اَÙ‡ْلاًÙˆَسَÙ‡ْلاً

Tuesday 14 January 2014

Muhammad Hasyim Asyari



BAB II
Pembahasan
Muhammad Hasyim Asyari

A.    Riwayat hidup
KH. Hasyim Asyari adalah putera Asy’ari bin Abdul Wahib bin Abdul Halim yang lahir di Pondok Gedang, sebuah desa di sebalah selatan kota Jombang Jawa Timur pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzulqaidah 1287 H, bertepatan dengan tanggal14 Februari 1871 M.
Pada usia enam tahun Hasyim Asy’ari pindah ke Desa Keras, di sinilah ia belajar dengan tekun kepada orang tuanya sendiri. Banyak buku atau kitab yang  telah pelajarinya. Pada saat berumur 15 tahun, ia mulai merantau mencari ilmu ke berbagai pondok pesantren yang ada saat itu, antara lain di Wonosobo, Probolinggo, Pelangitan, Trenggilis, Madura, hingga samapai ke Sidoarjo. Di Sidoarjo ia ”mengaji” kepada kyai Yakub Siwalan Panji pada tahun 1307 H/1891 M. Karena ‘kelebiha”  ia kemudian diambil menantu oleh kyainya dan dinikahkan dengan puteri yang bernama Khodijah, ketika itu ia berusia 21 tahun (1308H/1892 M).
Tidak lama setelah pernikahannya, dia dan istrinya diajak oleh mertuanya menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah dan Madinah. Karena saat itu kendaraan yang digunakan untuk berangkat ke Tanah Sucu sangat langka dan terbatas, maka menjadi suatu kelaziman apabila para haji bermungkim lama di Tanah Suci Mekah. Demikian pula dengan Hasyim Asy’ari dan keluarganya.
Setelah tujuh bulan berada di Tanah Suci Mekah, Khodijah melahirkan anak yang pertama, yang diberi nama Abdullah. Namun malang menimpanya, istri yang dicintainya meinggal dunia yang disusul dengan meninggalnya Abdullah yang baru berumur empat puluh hari. Tak lama kemudian ia dan mertuanya kembali pulang ke Indonesia.
Tahun 1309 H/1983 M., ia bersama adiknya bernama Amir kembali berangkat ke Mekah nntuk “mengaji” selama tujuh tahun di Tanah Suci Mekah. Ia mengaji kepada ulama besar seperti kepada Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syekh Khotib Al-Minangkabawi, dan Syekh Syaid bin Abdurrohman dalam berbagai jenis ilmu, juga mengaji kepada As-Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani tentang beberapa kitab hadis Nabawi. Kemudian beliau mengaji kepada Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmasi tentang ilmu syari’at. Setelah bermukim tujuh tahun beliau kembali ke tanah airnya Indonesia.
Sepulangnya dari Mekah beliau mendirikan pondok Pesantren Darul Ulum di Tebu Ireng Jombang tanggal 26 Rabiul awal 1318 H yang “bercorak” salafiyah bermadzhab syafi’iyah. Kini pondok tersebut, menjadi salah satu pondok yang disegani oleh pondok pesantren lainnya. KH. Asyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ranadhan 1366 H. Di rumahnya di Tebu Ireng Jombang dan di kebumikan dalam komplek pesantren yang dibangunnya.[1]
B.     Adab Pelajar Dalam Presfektif Hasim Asyari
Pendapat KH. Hasim Asyari tentang adab seorang pelajar sepenuhnya tedapat dalam kitab adabul alamiini wal mutaallimi karya Syaikh Muhamad Hasim Asyari al –Jambany yang telah diterjamahkan. Menurut KH. Hasim Asyari ada sepuluh adab yang harus dimiliki oleh pelajar terhadap dirinya sendiri, dalam rangka mendapatkan ilimu pengetahuan yaitu;
1.      Hendaklah membersihkan hatinya dari segala kebencian, kedengkian, akidah yang rusak dan ahlak yang bobrok, dengan demikian akan mudah baginya menerima ilmu dan menghapalkannya serta menelaah dan mengkaji kedalam pengertinnya dan memahami kehamoidannya. Adab yang pertama ini, jika dianggap sebagai urutan proiritas merupakan landasan utama menurut Asyari bagi pelajar untuk memudahkan memperoleh dan memahami ilimu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami karena kebersihan hati akan mengurangi beban seseorang dalam berpikir jernih. Kebencian dan kedengkian akan memberika beban bagi hati yang merupakan salah satu unsur atau sarana penting dalam kegiatan belajar.
2.      Hendaknya memperbagus niat dalam mencari ilmu tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mengamalkannya serta menghidupkan Syariat dan menyinari hatinya, mengosongkan batinnya dan bertaqarub dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan tidak bermaksud  mengejar tujuan duniawi seperti menjadi pemimpin, mencari peng hormatan, mencari pujian dan sanjungan orang lain dan sebagainya.[2]
3.      Hendaknya bersegera mencari ilmu pada masa mudanya dan selama hayatnya karena waktu berjalan dan tak pernah kembali. Hendaklah ia memutuskan diri dengan sesuatu menyibukkan dan menghalanginya dari kesempuranaan menuntut ilmu dan berijtihad serta kemampuan berjuang untuk memperolehnya. Anjuran Asyari tentang bersegera menuntut Ilmu ini sejalan dengan sebuah syair yang cukup populer: belajar dimasa muda bagaikan mengukir diatas batu, dan belajar di masa tua bagaikan mengukir di atas air’’.
4.      Hendaklah puas dengan makanan pakaian yang ada. Dengan kesabaran atas kehidupan  yang sederhana akan memperoleh kemuliaan ilmu dan mengumpulkan kecenderungan hati terhadap perbedaan harapan. Imam Syafi’I mengatakan tidaklah beruntung orang yang mencari ilmu dengan kekuatan jiwa dan kemuliaan hidup. Akan tetapi siapa yang mencarinya dengan hati yang merusak jiwanya dan sempitnya kehidupan dan berkhidmat pada ulama lebih beruntung.
5.      Hendaklah membagi waktu siang dan malam serta mampu memanfaatkan sisa umurnya, karena sesungguhnya sisa umur tidak bernilai. Waktu menghapal yang baik adalah malam hari (waktu sahur) dan untuk mencari adalah pagi hari dan untuk menulis pada siang hari. Sedangkan untuk pengkajian dan pengulangan pada malam hari. Tempat yang baik untuk menghapal adalah ruang tertentu dan di tempat-tempat yang jauh dari hal-hal yang melalaikan. Tidak baik menghapal di dekat tumbuh-tumbuhan, dan tempat yang bersuara bising.
6.      Hendakalah menyedikitkan makan dan minum, karena kenyang itu sungguh-sungguh menolak kemauan beribadah dan memberatkan badan. Diantara faidah sedikit makan adalah sehatnya badan dan terhindar dari penyakit jasmani. Hal ini sebagaimana diungkapkan: ‘’maka sesungguhnya penyakit yang banyak kamu saksikan, berasal dari makanan dan minuman.
7.      Hendaklah menggiring dirinya dengan wara’ dan kehati-hatian dalam setiap keadan dan makanan, minuman dan pakaian serta tempat tinggalnya.
8.      Hendaklah menyedikitkan penggunaan makanan yang merupakan penyebab lemahnya perasaan seperti at-thufah al-hamidi wal baqiilai dan meminum al-khali dan juga penggunaan al-balgham al-mubaliidi bagi benak dan yang memberatkan badan seperti banyak minum susu dan ikan dan sebagainya. Hendaklah meninggalkan apa-apa yang menyebabkan lupa.

9.      Hendaklah menyedikitkan tidurnya sepanjang tidak membawa dampak buruk bagi jasmani dan benaknya. Tidurnya dalam sehari-semalam tidak lebih dari 8 jam atau sepertiga hari. Sedikit tidur berarti banyak bangunnnya. Ukuran sedikit adalah sepanjang tidur tidur tersebut telah memberikan kesegaran terhadap jasmani dan rohani. Namun jika terpaksa banyak, maka ukuranya tidak melebihi delapan jam. Karena tidur melebihi  jam justru membuat manusia semakin bertambah lelah dan tidak menghasilkan kesegaran baik jasmani maupun rohani.
10.  Hendaklah meninggalkan al-isyrakh (pergaulan yang membuang-buang waktu). Karena sungguh meninggalkannya termasuk sesuatu yang lebih penting yang seharusnya dilakukan oleh penuntut ilmu, apalagi yang berlainan jenis secara khusus. Jika banyak bermain maka sedikit sekali berfikir. Bahanya isyrakh adalah menghilangkan umur tanpa manfaat dan hilang agama jika bukan bersama orang yang bukan ahlinya.[3]

C.    Karakteristik Sufisme Hasyim Asyari
Abstaksi dalam dunia kesufian, ada dua karakteristik yang sangat menonjol untuk membedakan benar atau sesat. Ajaran sufi yang benar, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam disebut dengan sufi ortodox. Ajaran sufi yang dianggap sesat, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam disebut dengan sufi heterodox. Jenis sufi ortodox adalah sufisme Sunni, dan sufi heterodox adalah sufisme falsafi. KH. Hasyim Asyari tampil ke permukaan adalah untuk membentengi umat dari distorsi sufisme heterodox tersebut. Karena itu, beliau mengecam keras praktek-praktek sufi/tarekat yang tumbuh dan berkembang di nusantara (Indonesia), yang dianggapnya menyimpang dari sufisme Sunni sebagaimana yang pernah diajarkan al-Junaid dan al-Ghazali, untuk dikembalikan kepada sufisme yang benar, yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
D.     Geneologi Sufisme KH. Hasyim Asyari
Syekh Muhammad Hasyim Asyari adalah tokoh yang sangat berpengaruh di Indonesia. Dia termasuk pembela Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dan tasawuf Sunni di Indonesia. Selain itu, ia mewarnai tasawuf dengan citra yang lebih positif untuk menghadapi aliran-aliran lain di Nusantara.

     Transmisi tasawuf Sunni al-Ghazali ternyata mendapat tempat di kalangan umat Islam Indonesia. Karena corak ini dianggap oleh sebagian orang sebagai tasawuf yang meramu tasawuf Sunni/tarekat, madzhab Syafii, dan teologi Asyariyah diyakini mampu mempertahankan tradisi keislaman dan originalitas pemikiran Islam menghadapi gerakan-gerakan yang berupaya memisahkan umat Islam dari sumber-sumber agamanya yang murni.

     Hal inilah yang barangkali menyebabkan tasawuf Sunni al-Ghazali dikenal sangat moderat, sehingga banyak berpengaruh di hati umat Islam Indonesia sejak dahulu hingga kini. Namun dalam perjalanan selanjutnya, tasawuf, khususnya tarekat yang diajarkan di nusantara (Indonesia), telah banyak mengalami distorsi, sehingga penyimpangan-penyimpangan dari aspek aqidah dan syariat seringkali terjadi, tidak lagi mengikuti ajaran-ajaran tarekat Sunni sebagaimana yang ditradisikan oleh ulama masa lalu (salaf al-salih). Dalam kondisi seperti inilah, Kyai Hasyim Asyari sadar dan ingin mengembalikan dan melestarikan misi Islam yang murni dalam aspek akidah, syariat dan tasawuf sebagai refleksi komitmen mengikuti tradisi salaf al-Salih tersebut.

      Dengan demikian, secara geneologis, dapat dilihat secara jelas bahwa sufisme KH. Hasyim Asyari adalah sufisme Sunni, sebagaimana sufisme yang telah diajarkan dan dikembangkan oleh para pendahulu dan guru-gurunya. Bahkan Kyai Hasyim sendiri pernah belajar tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah kepada Syekh Nawawi al-Bantany dari Syekh Khatib Sambas. Di mana mereka telah mewarisi sufistifikasi Sunni al-Junaid al-Baghdadi, al-Ghazali, dan yang dikembangkan oleh Wali Songo.







BAB III
Kesimpulan

      Pemikiran yang dikemukakan oleh KH. Hasim Asy’ari mengenai adab pelajar terhadap dirinya sendiri cendrung bersifat subyektif, artinya bahwa adab tersebut tidak mesti cocok bagi setiap invidu pelajar, karena sangat tergantung pada pola hidup dan lingkungan yang mempengaruhinya. Sebagai bukti bahwa pembagian waktu dan tempat belajar boleh jadi berbeda antara satu dan yang lainnya. Ada pelajar yang mampu dan menyukai belajar dan tidak dapat belajar bila ia tidak mendengarkan music secara perlahan. Ada pula pelajar yang mempunyai kekuatan belajar melalui pendengaran dan tidak melalui penglihatan. Bila ia mendengar akan mudah menghapalnya dan amat sulit baginya memahami sesuatu yang di bacanya meskipun berulang kali.     

     Akhirnya kita dapat memahami bahwa dalam bidang tasawuf, KH. Hasyim Asyari mengikuti faham sufi ortodox (sesuai dengan prisnip-prinsip Islam) sebagaimana yang telah dirumuskan al-Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali bukan hiterodox (sesat). Sufi jenis ini menekankan pada peningkatan nilai-nilai moral dan kesalehan dengan jalan melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. sufisme ini bukanlah yang menjurus ke panteistik dan syirik. Tetapi, dengan ajaran Islam Sunni. Beliau mencoba mengurangu akibat negatif dari praktek sufi dengan menekankan adanya persyaratan-persyaratan tertentu bagi orang-orang yang ingin mempraktekkan ajaran tasawuf.
  

BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran



Daftar Pustaka
Suwito dan Fauzan. 2008. Sejarah Pemikiran /para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa



[1] Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Bandung, 2003, hlm. 354-355.
[2] Ibid., hlm. 356-357.
[3] Ibid., hlm. 359-362.

0 comments: