اَÙ‡ْلاًÙˆَسَÙ‡ْلاً

Saturday, 5 October 2013

Penelitian Budaya Gusaran



Budaya Gusaran
Oleh: Moelyha Djati
BAB II
Laporan Penelitian
A.  Pengertian gusaran
Kata gusaran bagi orang yang baru mendengar pasti bertanya-tanya tentang budaya gusaran. Di daerah Cibingbin terdapat budaya yang aneh bagi orang yang belum biasa melakukan dan berkecubung dalam dunia kebudayaan. Tidak bisa dipungkiri keberadaan budaya gusaran berkembang sejak zaman dulu hingga sekarang. Yang membawa sedikit perubahan secara praktek. Dari hasil pengamatan secara interview, awalnya saya bertanya kepada orang yang keadaannya lanjut usia, jawaban yang didapat ngawur entah kemana kurang nyambung kemudian dibantu seorang ibu rumah tangga yang masih muda. Jawaban yang saya dapat bahwasannya gusaran  merupakan sejenis budaya yang dinamakan dengan khitanan namun gusaran bagi kaum wanita dari tujuan memiliki kesamaan untuk membersihkan diri.
Kurang percaya dengan hal itu kemudian bertanya kepada mantan kepala sekolah yang sudah pensiun namun apa yang terjadi tidak dapat info hanya menyuruh ke orang lebih tahu seperti kyai. Mendengar hal itu langsung saya laksanakan, info dari kyai pun sama tidak mengetahui hanya menyuruh silahkan berkunjung kepada paraji gusaran. Apa yang didapat dari seorang paraji atau orang yang melakukan gusaran.
Pendapat penduduk aslinya pun banyak yang tidak tahu tentang budaya gusaran masih kurang percaya diri karena keawaman mereka. Menurut paraji bahwa yang dimaksud dengan gusaran berupa hajatan bagi keluarga yang mempunya anak perempuan untuk digosok giginya sebagai syarat untuk mengadakan gusaran. Budaya gusaran  karena suatu keluarga lama belum mengadakan hajatan sementara dia sering kondangan menghadiri resepsi hajatan kepada orang lain yang dianggap sudah cukup banyak seperti halnya tabungan. Maka dari itu untuk kembalinya apa yang diberikan kepada orang lain mengadakan hajatan gusaran tersebut, hajatan di daerah Ciangir dapat keuntungan yang berlipat, itu juga jika sering kondangan ke orang lain dan mengembalikannya, jadi tidak perlu takut tidak mempunyai uang jika akan mengadakan hajatan khususnya gusaran karena modal hajatan sudah ditanggung dari orang yang pernah dikondangani. Beda halnya di daerah lain jika mengadakan hajatan harus modal dari pihak hajat sendiri sehingga kemungkinan rugi karena orang berupa uang saja tanpa diberi beras dan makanan tambahan.


B.       Latar belakang atau penyebab diadakannya Gusaran
Desa Ciangir yang terletak di pedalaman masih dapat dikatakan penduduk  kurang modern dalam segi konsumsi yang disantap sehari-hari, mereka mayoritas sebagai petani yang mengandalkan hasil bumi sehingga apapun yang mau dimakan untuk diri sendiri dan keluarga harus mencari dari sawah yang harus rela mengkonsumsinya. Tidak begitu saja mereka akal untuk berpikir dengan menciptakan menu masakan yang bahan bakunya dibilang aneh. Misalkan tunas bambu tertentu bisa ditumis dengan bumbu yang pas, pucuk daun kelapa, buah petai cina. Dengan keahlian tersebut mereka bisa mengubah makanan tersebut yang rasanya tidak kalah dengan dengan masakan yang ada di rumah makan.
Karena hasil bumi yang di utamakan mereka dalam memberi sesuatu dalam bentuk sodakoh ataupun yang lainnya dengan hasil bumi tersebut. Dapat dilihat dari kebiasaan itu mereka masih menerapkan sistem ekonomi barter, sehingga selain dalam pekerjaan dan hubungan sosial dengan menggunakan barang.
Pertukaran barang diterapkan pada pelaksanaan hajatan, mereka memberikan beras sebanyak dua sampai tiga kilogram ditambah makanan sebagai rasa solidaritas ditambah kondangan uang bagi kaum laki-lakinya khusus pada saat malam hari pelaksanaan hajatan sehingga hajatan di Desa Ciangir meraup keuntungan dari beras puluhan kilogram atau bahkan kwintalan. Maka dari itu bagaimana tidak tertarik untuk tidak melakukan hajatan, apabila seorang atau suatu keluarga merasa banyak sudah kondangan kepada orang lain dan mencari apa yang akan dihajatin seperti tabungan. Kemudian anak perempuan kecil biasanya masih sekolah dasar dijadikan sebagai syarat diadakan gusaran dengan menggosok giginya dengan menggunakan batu tertentu dibarengi membaca dua kalimat syahadat.
Dipandang pada dari setiap periode gusaran mengalami perubahan bahwa pada zaman para orang tua nenek masih kecil atau masa orde lama sistem gusaran dengan memotong giginya. Namun banyak yang tidak kuat hanya digosok biasa saja dengan alat khusus yang memiliki mantra.
C.       Tujuan penggusaran
Banyak yang berasumsi bahwa gusaran sama halnya dengan khitanan bagi kaum perempuan namun itu salah besar karena tidak kaitannya antara gigi dengan pengurangan syahwat. Sangat wajar sekali mayoritas penduduk Desa Ciangir tingkat pedidikannya masih rendah apalagi pendidikan agama walaupun semua penduduk mengaku agama Islam namun masih jauh dalam prakteknya. Peranan pendidikan sangat penting, warga di sana juga berpikiran untuk sekolah setinggi-tingginya karena faktor ekonomi yang utama dan pekerjaan bisa menghambat cita-cita mereka. Wajar diknas sembilan tahun sudah mereka terapkan, semua anak-anaknya sudah sekolah minimal Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang sudah menjadi ketentuan pemerintah dengan memberikan banyak bantuan dana APBN setengahnya untuk pendidikan di Indonesia. Adapu yang ingin melanjutkan ke Sekolah Lanjutan TingkatAtas (SLTA) bagi orang yang mampu secara ekonomi dan kemampuan otak. Atau hanya dengan mengandalkan otak saja bisa sekolah tanpa biaya (beasiswa), minat orang yang ingin melanjutkan ke SLTA masih sedikit jika dihitung dalam bentuk persen hanya 30 % dari penduduk. Apalagi anak yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya bisa dihitung dengan hitungan jari, masih langka sekali mahasiswa di Desa Ciangir.
Pendidikan pun sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan budaya bagitu juga dengan budaya gusaran mereka mengadakan budaya gusaran akibat dari keadaan lingkungan kemudian diolah dengan pemikiran mereka. Asal-usul dan pengertian gusaran seperti yang dijelaskan sebelumnya, ternyata gusaran memiliki tujuan tertentu bahwa untuk mengadakan hiburan dari kepenatan kerja yang mereka telah lakukan tidak salahnya mengadakan hiburan tertentu. Yang menjadi tujuan utama untuk menarik kembali apa yang telah diberikan dalam bentuk kondangan terdahulu kepada orang lain ketika hajatan, bukannya mereka tidak ikhlas ketika memberikannya namun untuk hiburan pula. karena gusaran harus dilaksanakan disertai hiburan. Kenapa meraih keuntungan, karena harga kondangan yang diberikan pada waktu sekarang dengan zaman dulu berbeda yang cenderung lebih besar sekarang sebagaimana akibat dari perubahan ekonomi, tidak mungkin dengan memberikan harga sama.
D.       Orang  yang melakukan sebagai penggusar
Dalam mengadakan suatu kegiatan tentunya ada orang yang ahli dalam melakuan profesi. Begitu pula acara gusaran tidak sembarang orang bisa melakukan karena hanya dalam satu Desa Ciangir orang itu saja yang diundang tidak bisa diwakili dan sebutan bagi orang yang melakukan gusaran adalah Paraji, sebutan ini sama halnya apabila ada yang melahirkan secara manual tanpa bantuan bidan. Namun sekarang masyarakat di desa tersebut lebih memilih ke bidan dikarenakan lebih aman menurut ilmu kesehatan.
Di samping itu pula pasca melahirkan memerlukan paraji, kepercayaan mistis yang belum bisa dihilangkan dalam lingkungan masyarakat Desa Ciangir. Begitu pula dalam  praktek gusaran mereka memakai Paraji sebagai orang yang yang melakukan sebagai penggusar dengan mennggunakan alat khusus yang hanya dimiliki penggusar. Dan tidak sembarang orang ataupun profesi lain seperti dokter atau bidan tidak diizinkan karena seperti tadi dijelaskan dokter tidak memiliki alatnya. Alat yang digunakan berupa batu khusus yang hanya dimiliki oleh paraji.

E.       Orang yang digusar dan usianya
Dalam konteks ini ada pelaku pasti ada sasaran, yang menjadi sasaran kebudayaan gusaran tidak lain adalah seorang anak kecil yang masih sekolah tingkatan dasar. Sengaja seorang anak kecil yang menjadi objek. Ketika usia tersebut masih tanggungnya usia sehingga tidak salah untuk mengadakan sebuah acara hajatan yang dapat mengundang orang-orang. Perlu diketahui salah satu kentalnya rasa kekeluargaan di Desa Ciangir yakni ketika ada sebuah hajatan tidak perlu memakai undangan yang penting masih dalam ruang lingkup lingkungan masyarakat akan sadar dengan sendirinya untuk menghadiri hajatan. Penyebaran infomasi sangat pesat, mereka saling memberi tahu dari mulut ke mulut. Yang penting kondangan sebelum hari pelaksanan artinya tidak melewati batas undangan. Deegan begitu tanpa mengeluarkan biaya untuk membuat undangan sehingga menambah keuntungan tersendiri.
Anak perempuan yang digusar pada usia lima sampai sepuluh tahun  memberikan warna budaya yang menarik. Gusaran tidak untuk wanita yang beranjak dewasa, meskipun tidak sempat digusar pada waktu kecil tidak menjadi masalah atau menjadi kewajiban yang harus membayar denda. Dalam hal ini tidak berlaku denda tersebut karena hanya untuk mengadakan acara semata dan bila sudah dewasa tinggal nikahkan sehingga menimbulkan hajatan. Begitu pula akan terasa aneh apabila yang menjadi objek gusaran adalah laki-laki, keberadan laki-laki tidak digusar pada waktu kecil karena sudah ada acara khitanan sebagai adanya hajatan, gusaran disebabkan karena lamanya suatu keluarga belum melakukan hajatan sementara dirinya sudah banyak kondangan kepada orang lain. khitanan dan kawinan sudah dianggap melakukan hajatan. Adapun ingin sering melakukan hajatan berarti dirinya punya banyak hutang kondangan kepada orang karena tidak sedikit di daerah Ciangir melakukan hajatan double artinya hajatan satu acara dengan dua maksud, misalkan hajatan pernikahan dibarengi khitanan namun hal tersebut dianggap satu hajatan, jadi tidak perlu membawa dua kado. Selain itu menyangkut waktu tidak mungkin orang yang sudah dewasa digusaran karena merasa malu juga, gusaran yang diselenggarakan hanya sebagai upaya pengembalian kado, jika sudah dewasa masih ada hajatan yang lain misalkan pernikahan.

F.   Acara yang ditampilkan ketika hajatan gusaran dan kepanitian hajatan
Berbagai acara yang sering ditampilkan dengan tujuan menghibur masyarakat. Acara yang terselenggara boleh apa saja sesuai keinginan tuan hajat asalkan tidak melewati batas norma ketenangan masyarakat. Sistem yang berlaku di desa Ciangir identik dengan gotong royong ketika pembuatan panitia hajatan mereka bermusyawarah dengan mengajukan berbagai pendapat sebagai mestinya. Mulai dari pendirian papayon atau yang disebut dengan tenda hajat hingga pemotongan daging hewan yang biasanya berupa kambing dan domba, semua itu sebagian besar dilakukan oleh kaum laki-laki.
Adapun tugas bagi perempuan bagian sie konsumsi di dapur mengurus masakan untuk disajikan secara terus menerus karena dari mulai pagi tamu berdatangan silih berganti jika ada yang ingin makan sehingga siap tersaji, hanya biasanya dikhususkan untuk panitia pula. Selain itu para wanita bertugas bagian menghias ruangan dan  menyambut tamu yang membawa kado kondangan yang ditukar makanan tradisi yang ada disetiap hajatan. Sehingga pada waktu bulan tertentu banyak yang mengadakan hajatan disetiap rumah yang menghadiri hajatan mendapat bingkisan makanan yang banyak bahkan tidak termakan namun makanan yang dibuat berupa makanan ringan yang dapat bertahan lama beberapa minggu.
Dalam membentuk kepanitian mereka tidak merasa terbebani justru merasa senang karena bisa berkumpul dan makan-makan. Semua itu demi berlangsungnya acara meskipun mereka lelah bekerja secara ikhlas dapat terbalas dengan keberhasilan acara dan sejenak menyaksikan pagelaran. Acara tersebut sesuai selera tuan hajat yakni dangdutan, seni burok, panjat pinang, walupun masih kurang dengan keagamaan jusrtru mereka sering mengadakan acara siraman rohani yang dapat menambah keimanan mereka. Dalam acara gusaran semuanya menampilkan suatu pagelaran tertentu karena sengaja mengadakan gusaran tidak lain hanya ingin mendapat kado kondangan sehingga harus ada pagelaran tertentu untuk menarik perhatian masyarakat yang dapat meninggalkan kesan baik dari penilaian masyarakat.
G.      Daerah yang ada budaya Gusaran
Dari sekian banyak budaya ternyata budaya gusaran hanya berkembang di daerah tertentu biasanya di daerah pelosok. Sebagai hasil dari pengamatan budaya gusaran berkembang di daerah Kecamatan Cibingbin dan sekitarnya khususnya Desa Ciangir yang masih kental akan melaksanakan acara gusaran. Selain di daerah Cibingbin tidak ada yang melaksanakan gusaran itu terbukti orang aneh mendengar kata gusaran dan memang tidak pernah melaksanakannya.Namun dari hasil observasi masih ada daerah lain yang melaksanakan gusaran seperti Kecamatan Subang Kabupaten Kuningan dan di sebagian daerah Brebes namun sistem pelaksanaanya kurang tahu jelas karena saya meneliti secara spesifik ke daerah Cibingbin sebagai tempat tinggal. Apaun bentuk budayanya daerah Cibingbin selalu menerima budaya dari luar namun mereka pula masih punya filter untuk memilih budaya yang baik di mata mereka.

H.       Budaya gusaran menurut hukum Islam
Kehadiran budaya gusaran sudah ada zaman ketika masa orde lama yang mengalami metamorfosis hal itu disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Dalam hal ini budaya gusaran tidak bertentangan dengan syariat Islam karena dalam prosesnya penggusaran seorang paraji menggosok gigi dengan batu khusus yang dianggap suci dibarengi dengan membaca dua kalimat Syahadat.
 Para tokoh ulama yang ada di Desa Ciangir menganggap budaya gusaran sebagai suatu hal yang tergolong bid’ah artinya ketika zaman Rosul budaya gusaran tidak ada namun hal itu tidak dihukumi sebagai suatu yang haram tetapi lebih condong hukumnya mubah artinya boleh-boleh saja. Dan lebih dalam acara gusaran diisi dengan suatu yang bermanfaat seperti acara siraman rohani justru itu akan menambah selain nilai materi tetapi bernilai pahala.
Keadaan masyarakat di Desa Ciangir bisa dikatakan kurang dalam hal keagamaan, pergaulan diterapkan dalam kelompok tertentu bernilai positif misalkan pertemanan dengan anti rokok mereka senantiasa tidak merokok bagi laki-laki, sisi positifnya seperti itu yang mampu menghemat dipakai untuk keperluan lain, rasa solidaritas terlihat mulai dari anak-anak hingaa orang tua. Namun dibalik itu pada pergaulan anak remaja perempuan kurang begitu mengerti dalam berpakaian mereka tidak memakai kerudung ketika keluar rumah. Tanpa ada keadaran sendiri merka harus disuruh-suruh hanya ketika  pergi ke sekolah setelah itu terbuka aurat yang seharusnya terjaga dari kaum laki-laki bukan muhrimnya.
BAB III
Kesimpulan
Dari rasa penasaran rasa ingin tahu tentang apa yang dimaksud tentang budaya Gusaran kini sudah mengatehui sedikit tentang gusaran itu sendiri bahwasanya dari opini masyarakat Desa Ciangir sebagian berpendapat sejenis khitanan pada kaum perempuan, ternyata pendapat tersebut salah besar. Yang  namanya Gusaran adalah sebuah tradisi yang ada di daerah tertentu salah satunya di Kecamatan Cibingbin yang memusatkan pada supaya terlaksannya alasan hajatan. Dengan kata lain suatu keluarga lama tidak pernah melaksanakan hajatan sementara dirinya telah banyak menghadiri resepsi kepada orang lain sambil memberikan kado hajatan baik berupa barang ataupun uang sehingga hajatan di daerah Cibingbin akan meraih keuntungan. Dengan alasan tersebut bukannya orang tersebut tidak ikhlas ketika memberikan kado namun hal seperti ini sudah menjadi tradisi dengan saling membantu dan diharuskan membayarnya. Adapun jika tidak menghadiri resepsi orang tersebut akan merasa malu.
Kemudian daripada gusaran terdapat pelaku atau orang yang ahli dalam bidang gusaran yang dikenal dengan sebutan paraji gusaran, kata paraji ini yang sering dipakai pada orang yang membantu proses melahirkan. Seorang paraji tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang karena sudah dikenal dan dipercaya yang bisa melakukakun gusaran adalah orang tersebut atau bahkan di Desa Ciangir yang cukup luas wilayahnya hanya orang itu sebut saja Bu Cetty yang usianya lanjut usia namun masih bisa melakukan aktivitasnya sebagai paraji gusaran karena beliau ahli juga dalam menghias pengantin gusar dan calon mempelai pernikahan.
Selain itu orang yang digusar tdak lain adalah anak perempuan kecil yang masih suci dari dosa ketika bersekolah pada tingkat dasar (SD). Gusaran ini dikhususkan hanya untuk anak perempuan sebagai syarat terselenggaranya gusaran jika tidak anaknya tidak perlu melakukan gusaran. Dengan kata lain gusaran tidak berlaku bagi kaum laki-laki karena sebenarnya gusaran tidak perlu juga, kalau memang laki-laki ingin mengadakan hajatan tinggal menunggu pada waktu khitanan semantara wanita lama menunggu sampai pernikahan dan jalan alternatifnya mengadakan gusaran. Budaya gusaran hanya berkembang di daerah Kecamatan Cibingbin Kuningan selain itu jarang sekali bahkan tidak ada. Sementara menurut hukum agam Islam kedudukan gusaran sebagai perkara bid’ah karena pada zaman Rosul tidak ada budaya seperti itu. Keberadaan gusaran di Derah Cibingbin hanya senagai tradisi dari zaman dulu, dan perlu digaris ini bukan budaya warisan dari agama hindu karena ketika prakteknya seorang paraji gusaran mengucapkan dua kalimat syahadat.
Daftar Pustaka

Notowidagdo, Rohiman. 2002. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dn Hadis.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2003. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Readingbrick Mata Kuliah Dinamika Islam dan Budaya Lokal

0 comments: