Budaya Gusaran
Oleh: Moelyha Djati
BAB
II
Laporan
Penelitian
A.
Pengertian gusaran
Kata
gusaran bagi orang yang baru mendengar pasti bertanya-tanya tentang budaya
gusaran. Di daerah Cibingbin terdapat budaya yang aneh bagi orang yang belum
biasa melakukan dan berkecubung dalam dunia kebudayaan. Tidak bisa dipungkiri
keberadaan budaya gusaran berkembang sejak zaman dulu hingga sekarang. Yang
membawa sedikit perubahan secara praktek. Dari hasil pengamatan secara
interview, awalnya saya bertanya kepada orang yang keadaannya lanjut usia,
jawaban yang didapat ngawur entah kemana kurang nyambung kemudian dibantu
seorang ibu rumah tangga yang masih muda. Jawaban yang saya dapat bahwasannya
gusaran merupakan sejenis budaya yang dinamakan
dengan khitanan namun gusaran bagi kaum wanita dari tujuan memiliki kesamaan untuk
membersihkan diri.
Kurang
percaya dengan hal itu kemudian bertanya kepada mantan kepala sekolah yang
sudah pensiun namun apa yang terjadi tidak dapat info hanya menyuruh ke orang
lebih tahu seperti kyai. Mendengar hal itu langsung saya laksanakan, info dari
kyai pun sama tidak mengetahui hanya menyuruh silahkan berkunjung kepada paraji
gusaran. Apa yang didapat dari seorang paraji atau orang yang
melakukan gusaran.
Pendapat
penduduk aslinya pun banyak yang tidak tahu tentang budaya gusaran masih kurang
percaya diri karena keawaman mereka. Menurut paraji bahwa yang dimaksud
dengan gusaran berupa hajatan bagi keluarga yang mempunya anak perempuan
untuk digosok giginya sebagai syarat untuk mengadakan gusaran. Budaya gusaran karena suatu keluarga lama belum mengadakan
hajatan sementara dia sering kondangan menghadiri resepsi hajatan kepada
orang lain yang dianggap sudah cukup banyak seperti halnya tabungan. Maka dari
itu untuk kembalinya apa yang diberikan kepada orang lain mengadakan hajatan gusaran
tersebut, hajatan di daerah Ciangir dapat keuntungan yang berlipat, itu juga
jika sering kondangan ke orang lain dan mengembalikannya, jadi tidak
perlu takut tidak mempunyai uang jika akan mengadakan hajatan khususnya gusaran
karena modal hajatan sudah ditanggung dari orang yang pernah dikondangani.
Beda halnya di daerah lain jika mengadakan hajatan harus modal dari pihak hajat
sendiri sehingga kemungkinan rugi karena orang berupa uang saja tanpa diberi
beras dan makanan tambahan.
B.
Latar belakang atau penyebab diadakannya Gusaran
Desa
Ciangir yang terletak di pedalaman masih dapat dikatakan penduduk kurang modern dalam segi konsumsi yang
disantap sehari-hari, mereka mayoritas sebagai petani yang mengandalkan hasil
bumi sehingga apapun yang mau dimakan untuk diri sendiri dan keluarga harus
mencari dari sawah yang harus rela mengkonsumsinya. Tidak begitu saja mereka
akal untuk berpikir dengan menciptakan menu masakan yang bahan bakunya dibilang
aneh. Misalkan tunas bambu tertentu bisa ditumis dengan bumbu yang pas, pucuk
daun kelapa, buah petai cina. Dengan keahlian tersebut mereka bisa mengubah
makanan tersebut yang rasanya tidak kalah dengan dengan masakan yang ada di
rumah makan.
Karena
hasil bumi yang di utamakan mereka dalam memberi sesuatu dalam bentuk sodakoh
ataupun yang lainnya dengan hasil bumi tersebut. Dapat dilihat dari kebiasaan
itu mereka masih menerapkan sistem ekonomi barter, sehingga selain dalam
pekerjaan dan hubungan sosial dengan menggunakan barang.
Pertukaran
barang diterapkan pada pelaksanaan hajatan, mereka memberikan beras sebanyak
dua sampai tiga kilogram ditambah makanan sebagai rasa solidaritas ditambah kondangan
uang bagi kaum laki-lakinya khusus pada saat malam hari pelaksanaan hajatan
sehingga hajatan di Desa Ciangir meraup keuntungan dari beras puluhan kilogram
atau bahkan kwintalan. Maka dari itu bagaimana tidak tertarik untuk tidak
melakukan hajatan, apabila seorang atau suatu keluarga merasa banyak sudah kondangan
kepada orang lain dan mencari apa yang akan dihajatin seperti tabungan.
Kemudian anak perempuan kecil biasanya masih sekolah dasar dijadikan sebagai
syarat diadakan gusaran dengan menggosok giginya dengan menggunakan batu
tertentu dibarengi membaca dua kalimat syahadat.
Dipandang
pada dari setiap periode gusaran mengalami perubahan bahwa pada zaman para
orang tua nenek masih kecil atau masa orde lama sistem gusaran dengan memotong
giginya. Namun banyak yang tidak kuat hanya digosok biasa saja dengan alat
khusus yang memiliki mantra.
C.
Tujuan penggusaran
Banyak
yang berasumsi bahwa gusaran sama halnya dengan khitanan bagi kaum perempuan
namun itu salah besar karena tidak kaitannya antara gigi dengan pengurangan
syahwat. Sangat wajar sekali mayoritas penduduk Desa Ciangir tingkat
pedidikannya masih rendah apalagi pendidikan agama walaupun semua penduduk
mengaku agama Islam namun masih jauh dalam prakteknya. Peranan pendidikan
sangat penting, warga di sana juga berpikiran untuk sekolah setinggi-tingginya
karena faktor ekonomi yang utama dan pekerjaan bisa menghambat cita-cita
mereka. Wajar diknas sembilan tahun sudah mereka terapkan, semua anak-anaknya
sudah sekolah minimal Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang sudah
menjadi ketentuan pemerintah dengan memberikan banyak bantuan dana APBN
setengahnya untuk pendidikan di Indonesia. Adapu yang ingin melanjutkan ke
Sekolah Lanjutan TingkatAtas (SLTA) bagi orang yang mampu secara ekonomi dan
kemampuan otak. Atau hanya dengan mengandalkan otak saja bisa sekolah tanpa
biaya (beasiswa), minat orang yang ingin melanjutkan ke SLTA masih sedikit jika
dihitung dalam bentuk persen hanya 30 % dari penduduk. Apalagi anak yang
melanjutkan ke perguruan tinggi hanya bisa dihitung dengan hitungan jari, masih
langka sekali mahasiswa di Desa Ciangir.
Pendidikan
pun sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan budaya bagitu juga dengan
budaya gusaran mereka mengadakan budaya gusaran akibat dari keadaan lingkungan
kemudian diolah dengan pemikiran mereka. Asal-usul dan pengertian gusaran
seperti yang dijelaskan sebelumnya, ternyata gusaran memiliki tujuan tertentu
bahwa untuk mengadakan hiburan dari kepenatan kerja yang mereka telah lakukan
tidak salahnya mengadakan hiburan tertentu. Yang menjadi tujuan utama untuk
menarik kembali apa yang telah diberikan dalam bentuk kondangan
terdahulu kepada orang lain ketika hajatan, bukannya mereka tidak ikhlas ketika
memberikannya namun untuk hiburan pula. karena gusaran harus dilaksanakan
disertai hiburan. Kenapa meraih keuntungan, karena harga kondangan yang
diberikan pada waktu sekarang dengan zaman dulu berbeda yang cenderung lebih
besar sekarang sebagaimana akibat dari perubahan ekonomi, tidak mungkin dengan
memberikan harga sama.
D.
Orang yang melakukan sebagai
penggusar
Dalam
mengadakan suatu kegiatan tentunya ada orang yang ahli dalam melakuan profesi.
Begitu pula acara gusaran tidak sembarang orang bisa melakukan karena hanya
dalam satu Desa Ciangir orang itu saja yang diundang tidak bisa diwakili dan
sebutan bagi orang yang melakukan gusaran adalah Paraji, sebutan ini
sama halnya apabila ada yang melahirkan secara manual tanpa bantuan bidan.
Namun sekarang masyarakat di desa tersebut lebih memilih ke bidan dikarenakan
lebih aman menurut ilmu kesehatan.
Di samping
itu pula pasca melahirkan memerlukan paraji, kepercayaan mistis yang belum bisa
dihilangkan dalam lingkungan masyarakat Desa Ciangir. Begitu pula dalam praktek gusaran mereka memakai Paraji
sebagai orang yang yang melakukan sebagai penggusar dengan mennggunakan alat
khusus yang hanya dimiliki penggusar. Dan tidak sembarang orang ataupun profesi
lain seperti dokter atau bidan tidak diizinkan karena seperti tadi dijelaskan
dokter tidak memiliki alatnya. Alat yang digunakan berupa batu khusus yang hanya
dimiliki oleh paraji.
E.
Orang yang digusar dan usianya
Dalam
konteks ini ada pelaku pasti ada sasaran, yang menjadi sasaran kebudayaan
gusaran tidak lain adalah seorang anak kecil yang masih sekolah tingkatan
dasar. Sengaja seorang anak kecil yang menjadi objek. Ketika usia tersebut
masih tanggungnya usia sehingga tidak salah untuk mengadakan sebuah acara
hajatan yang dapat mengundang orang-orang. Perlu diketahui salah satu kentalnya
rasa kekeluargaan di Desa Ciangir yakni ketika ada sebuah hajatan tidak perlu
memakai undangan yang penting masih dalam ruang lingkup lingkungan masyarakat
akan sadar dengan sendirinya untuk menghadiri hajatan. Penyebaran infomasi
sangat pesat, mereka saling memberi tahu dari mulut ke mulut. Yang penting kondangan
sebelum hari pelaksanan artinya tidak melewati batas undangan. Deegan begitu
tanpa mengeluarkan biaya untuk membuat undangan sehingga menambah keuntungan
tersendiri.
Anak
perempuan yang digusar pada usia lima sampai sepuluh tahun memberikan warna budaya yang menarik. Gusaran
tidak untuk wanita yang beranjak dewasa, meskipun tidak sempat digusar pada
waktu kecil tidak menjadi masalah atau menjadi kewajiban yang harus membayar
denda. Dalam hal ini tidak berlaku denda tersebut karena hanya untuk mengadakan
acara semata dan bila sudah dewasa tinggal nikahkan sehingga menimbulkan
hajatan. Begitu pula akan terasa aneh apabila yang menjadi objek gusaran adalah
laki-laki, keberadan laki-laki tidak digusar pada waktu kecil karena sudah ada
acara khitanan sebagai adanya hajatan, gusaran disebabkan karena lamanya suatu
keluarga belum melakukan hajatan sementara dirinya sudah banyak kondangan
kepada orang lain. khitanan dan kawinan sudah dianggap melakukan hajatan.
Adapun ingin sering melakukan hajatan berarti dirinya punya banyak hutang kondangan
kepada orang karena tidak sedikit di daerah Ciangir melakukan hajatan double
artinya hajatan satu acara dengan dua maksud, misalkan hajatan pernikahan
dibarengi khitanan namun hal tersebut dianggap satu hajatan, jadi tidak perlu
membawa dua kado. Selain itu menyangkut waktu tidak mungkin orang yang sudah
dewasa digusaran karena merasa malu juga, gusaran yang diselenggarakan hanya
sebagai upaya pengembalian kado, jika sudah dewasa masih ada hajatan yang lain
misalkan pernikahan.
F.
Acara yang ditampilkan ketika hajatan gusaran dan kepanitian
hajatan
Berbagai
acara yang sering ditampilkan dengan tujuan menghibur masyarakat. Acara yang
terselenggara boleh apa saja sesuai keinginan tuan hajat asalkan tidak melewati
batas norma ketenangan masyarakat. Sistem yang berlaku di desa Ciangir identik
dengan gotong royong ketika pembuatan panitia hajatan mereka bermusyawarah
dengan mengajukan berbagai pendapat sebagai mestinya. Mulai dari pendirian papayon
atau yang disebut dengan tenda hajat hingga pemotongan daging hewan yang
biasanya berupa kambing dan domba, semua itu sebagian besar dilakukan oleh kaum
laki-laki.
Adapun
tugas bagi perempuan bagian sie konsumsi di dapur mengurus masakan untuk
disajikan secara terus menerus karena dari mulai pagi tamu berdatangan silih
berganti jika ada yang ingin makan sehingga siap tersaji, hanya biasanya
dikhususkan untuk panitia pula. Selain itu para wanita bertugas bagian menghias
ruangan dan menyambut tamu yang membawa
kado kondangan yang ditukar makanan tradisi yang ada disetiap hajatan.
Sehingga pada waktu bulan tertentu banyak yang mengadakan hajatan disetiap
rumah yang menghadiri hajatan mendapat bingkisan makanan yang banyak bahkan
tidak termakan namun makanan yang dibuat berupa makanan ringan yang dapat
bertahan lama beberapa minggu.
Dalam
membentuk kepanitian mereka tidak merasa terbebani justru merasa senang karena
bisa berkumpul dan makan-makan. Semua itu demi berlangsungnya acara meskipun
mereka lelah bekerja secara ikhlas dapat terbalas dengan keberhasilan acara dan
sejenak menyaksikan pagelaran. Acara tersebut sesuai selera tuan hajat yakni
dangdutan, seni burok, panjat pinang, walupun masih kurang dengan keagamaan
jusrtru mereka sering mengadakan acara siraman rohani yang dapat menambah keimanan
mereka. Dalam acara gusaran semuanya menampilkan suatu pagelaran tertentu
karena sengaja mengadakan gusaran tidak lain hanya ingin mendapat kado kondangan
sehingga harus ada pagelaran tertentu untuk menarik perhatian masyarakat yang
dapat meninggalkan kesan baik dari penilaian masyarakat.
G.
Daerah yang ada budaya Gusaran
Dari
sekian banyak budaya ternyata budaya gusaran hanya berkembang di daerah
tertentu biasanya di daerah pelosok. Sebagai hasil dari pengamatan budaya
gusaran berkembang di daerah Kecamatan Cibingbin dan sekitarnya khususnya Desa
Ciangir yang masih kental akan melaksanakan acara gusaran. Selain di daerah
Cibingbin tidak ada yang melaksanakan gusaran itu terbukti orang aneh mendengar
kata gusaran dan memang tidak pernah melaksanakannya.Namun dari hasil observasi
masih ada daerah lain yang melaksanakan gusaran seperti Kecamatan Subang
Kabupaten Kuningan dan di sebagian daerah Brebes namun sistem pelaksanaanya
kurang tahu jelas karena saya meneliti secara spesifik ke daerah Cibingbin
sebagai tempat tinggal. Apaun bentuk budayanya daerah Cibingbin selalu menerima
budaya dari luar namun mereka pula masih punya filter untuk memilih budaya yang
baik di mata mereka.
H.
Budaya gusaran menurut hukum Islam
Kehadiran
budaya gusaran sudah ada zaman ketika masa orde lama yang mengalami
metamorfosis hal itu disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Dalam hal ini
budaya gusaran tidak bertentangan dengan syariat Islam karena dalam prosesnya penggusaran
seorang paraji menggosok gigi dengan batu khusus yang dianggap suci dibarengi
dengan membaca dua kalimat Syahadat.
Para
tokoh ulama yang ada di Desa Ciangir menganggap budaya gusaran sebagai suatu
hal yang tergolong bid’ah artinya ketika zaman Rosul budaya gusaran
tidak ada namun hal itu tidak dihukumi sebagai suatu yang haram tetapi lebih
condong hukumnya mubah artinya boleh-boleh saja. Dan lebih dalam acara gusaran
diisi dengan suatu yang bermanfaat seperti acara siraman rohani justru itu akan
menambah selain nilai materi tetapi bernilai pahala.
Keadaan
masyarakat di Desa Ciangir bisa dikatakan kurang dalam hal keagamaan, pergaulan
diterapkan dalam kelompok tertentu bernilai positif misalkan pertemanan dengan
anti rokok mereka senantiasa tidak merokok bagi laki-laki, sisi positifnya
seperti itu yang mampu menghemat dipakai untuk keperluan lain, rasa solidaritas
terlihat mulai dari anak-anak hingaa orang tua. Namun dibalik itu pada
pergaulan anak remaja perempuan kurang begitu mengerti dalam berpakaian mereka
tidak memakai kerudung ketika keluar rumah. Tanpa ada keadaran sendiri merka
harus disuruh-suruh hanya ketika pergi
ke sekolah setelah itu terbuka aurat yang seharusnya terjaga dari kaum
laki-laki bukan muhrimnya.
BAB III
Kesimpulan
Dari rasa
penasaran rasa ingin tahu tentang apa yang dimaksud tentang budaya Gusaran kini
sudah mengatehui sedikit tentang gusaran itu sendiri bahwasanya dari opini
masyarakat Desa Ciangir sebagian berpendapat sejenis khitanan pada kaum
perempuan, ternyata pendapat tersebut salah besar. Yang namanya Gusaran adalah sebuah tradisi yang ada
di daerah tertentu salah satunya di Kecamatan Cibingbin yang memusatkan pada
supaya terlaksannya alasan hajatan. Dengan kata lain suatu keluarga lama tidak
pernah melaksanakan hajatan sementara dirinya telah banyak menghadiri resepsi
kepada orang lain sambil memberikan kado hajatan baik berupa barang ataupun
uang sehingga hajatan di daerah Cibingbin akan meraih keuntungan. Dengan alasan
tersebut bukannya orang tersebut tidak ikhlas ketika memberikan kado namun hal
seperti ini sudah menjadi tradisi dengan saling membantu dan diharuskan
membayarnya. Adapun jika tidak menghadiri resepsi orang tersebut akan merasa
malu.
Kemudian
daripada gusaran terdapat pelaku atau orang yang ahli dalam bidang gusaran yang
dikenal dengan sebutan paraji gusaran, kata paraji ini yang sering
dipakai pada orang yang membantu proses melahirkan. Seorang paraji tidak
bisa dilakukan oleh sembarang orang karena sudah dikenal dan dipercaya yang
bisa melakukakun gusaran adalah orang tersebut atau bahkan di Desa Ciangir yang
cukup luas wilayahnya hanya orang itu sebut saja Bu Cetty yang usianya lanjut
usia namun masih bisa melakukan aktivitasnya sebagai paraji gusaran karena
beliau ahli juga dalam menghias pengantin gusar dan calon mempelai pernikahan.
Selain itu
orang yang digusar tdak lain adalah anak perempuan kecil yang masih suci dari
dosa ketika bersekolah pada tingkat dasar (SD). Gusaran ini dikhususkan hanya
untuk anak perempuan sebagai syarat terselenggaranya gusaran jika tidak anaknya
tidak perlu melakukan gusaran. Dengan kata lain gusaran tidak berlaku bagi kaum
laki-laki karena sebenarnya gusaran tidak perlu juga, kalau memang laki-laki
ingin mengadakan hajatan tinggal menunggu pada waktu khitanan semantara wanita
lama menunggu sampai pernikahan dan jalan alternatifnya mengadakan gusaran. Budaya
gusaran hanya berkembang di daerah Kecamatan Cibingbin Kuningan selain itu
jarang sekali bahkan tidak ada. Sementara menurut hukum agam Islam kedudukan
gusaran sebagai perkara bid’ah karena pada zaman Rosul tidak ada budaya seperti
itu. Keberadaan gusaran di Derah Cibingbin hanya senagai tradisi dari zaman
dulu, dan perlu digaris ini bukan budaya warisan dari agama hindu karena ketika
prakteknya seorang paraji gusaran mengucapkan dua kalimat syahadat.
Daftar Pustaka
Notowidagdo, Rohiman. 2002. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan
Al-Qur’an dn Hadis.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2003. Metodologi Penelitian
Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Readingbrick Mata Kuliah Dinamika Islam dan Budaya Lokal
0 comments:
Post a Comment