BAB
I
PEMBAHASAN
Hadis
Ahkam Tentang Thaharah
A.
Kewajiban Bersuci
Secara morfologi (bahasa): Thaharah berarti An-Nazhafah
(pembersihan) atau An-Nazahah (pensucian). Secara Etimologi (istilah):
membersihkan diri dari najis (kotoran) dan hadats. Atau mensucikan diri dari
segala macam sifat, perangai, akhlak,
perilaku yang kotor, tidak
terpuji.
Kata thaharah
berarti suci atau bersih menurut istilah syara’ mengandung banyak tafsir,
diantaranya. Suatu perbuatan yang menjadikan seseorang boleh sholat, misalnya
wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. Bisa juga berarti sisa air yang
telah digunakan karena berfungsi sebagai pembersih.[1]
Berikut penjelasan dalam hadis Shahih Muslim.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ
حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلاَلٍ حَدَّثَنَا أَبَانٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى أَنَّ
زَيْدًا حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا سَلاَّمٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِى مَالِكٍ
الأَشْعَرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم الطُّهُورُ شَطْرُ
الإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلأُ الْمِيزَانَ. وَسُبْحَانَ اللَّهِ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلآنِ أَوْ
تَمْلأُ مَا بَيْنَ السَّمَوَاتِ
وَالأَرْضِ وَالصَّلاَةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ
وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ
نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا [2]
Dari Abu Malik
Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, Dia berkata: Rasulullah
sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bersuci adalah separuh dari
keimanan, ucapan ‘Alhamdulillah’ akan memenuhi timbangan, ‘subhanAllah
walhamdulillah’ akan memenuhi ruangan langit dan bumi, sholat adalah cahaya,
dan sedekah itu merupakan bukti, kesabaran itu merupakan sinar, dan Al Quran
itu merupakan hujjah yang akan membela atau menuntutmu. Setiap jiwa manusia
melakukan amal untuk menjual dirinya, maka sebagian mereka ada yang
membebaskannya (dari siksa Allah) dan sebagian lain ada yang menjerumuskannya
(dalam siksa-Nya).” (HR Muslim).
1. Analisis Hadis
Kedudukan
Hadits
Hadits ini
sangat agung karena kata-katanya sangat menyentuh jiwa. Jiwa yang sehat pasti
akan tersentuh dengan hadits ini dan lahirlah ketaatan.
Bersuci
Adalah Separuh Iman
Ulama
berbeda pendapat tentang makna bersuci merupakan separuh iman. Dua pendapat yang
paling masyhur adalah:
1.
Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa,
baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu
meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti
sudah memenuhi separuh iman.
2.
Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua
macam, yaitu bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan
dengan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman
adalah sholat. Jadi bersuci itu separuh dari sholat. Sholat dikatakan sebagai
iman karena merupakan pokok amalan iman.
“Alhamdulillah”
Memenuhi Timbangan
“Alhamdulillah”
adalah pujian bagi Allah atas seluruh kesempurnaan-Nya. Allah terpuji dalam
lima hal sebagai berikut :
1.
Terpuji karena kesempurnaan rububiyah-Nya.
2.
Terpuji karena kesempurnaan uluhiyah-Nya.
3.
Terpuji karena kesempurnaan asma dan sifat-Nya.
4.
Terpuji karena kesempurnaan takdir-Nya.
5.
Terpuji karena kesempurnaan syariat-Nya.
“Alhamdulillah”
memenuhi timbangan dapat diartikan dengan dua penafsiran yaitu :
1.
Amalan yang lainnya diletakkan dalam timbangan terlebih dahulu kemudian
“alhamdulillah”, maka penuhlah timbangan.
2.
”Alhamdulillah” sebagai pasangan dari “subhanAllah”. Agama sempurna
dengan dua hal, itsbat dan tanzih. “Alhamdulillah” merupakan itsbat dan “subhanAllah”
merupakan tanzih. Maka jika “subhanAllah” diletakkan dalam timbangan kemudian
baru “alhamdulillah” penuhlah timbangan.
Sholat
Sebagai Nur, Shodaqoh Sebagai Burhan dan Sabar Sebagai Dhiya
Nur adalah cahaya yang tidak memancarkan sinar. Burhan adalah cahaya
yang memancarkan sinar namun tidak menyengat. Dhiya’ adalah cahaya yang
memancarkan sinar yang menyengat, dan membakar.[3]
Kandungan hadis
Iman merupakan ucapan dan
perbuatan, bertambah dengan amal saleh dan ketaatan dan berkurang dengan
maksiat dan dosa. Amal perbuatan akan ditimbang pada hari kiamat dan dia
memiliki beratnya. Bersuci merupakan syarat sahnya ibadah, karena itu harus
diperhatikan. Menjaga shalat akan mendatangkan petunjuk dan memperbaiki kondisi
seorang muslim terhadap manusia, membedakannya dengan akhlaknya dan perilakunya,
kewara’annya dan ketakwaannya. Seruan untuk berinfaq pada jalan-jalan kebaikan dan
bersegera melakukannya di mana hal tersebut merupakan pertanda benarnya
keimanan. Maksudnya adalah timbangan kebaikan seorang hamba pada hari kiamat.
Dikatakan cahaya karena shalat dapat menunjukkan seseorang kepada perbuatan
yang baik. Bukti akan kebenaran keimanannya. Menjual dirinya baik kepada Allah ta’ala
dengan menta’ati-Nya atau kepada syetan dengan bermaksiat kepada-Nya.[4]
Terdapat
pula pada hadis bukhari
حدثنا محمد بن المثنى قال:
حدثنا محمد بن خازم قال: حدثنا الأعمش، عن مجاهد، عن طاوس، عن ابن عباس قال:
مر النبي صلى الله عليه وسلم بقبرين، فقال: إنهما ليعذبان، وما يعذبان في كبير، أما أحدهما فكان لا يستتر من البول، وأما الآخر فكان يمشي بالنميمة قال ابن المثنى: وحدثنا وكيع قال: حدثنا الأعمش قال: سمعت مجاهدا: مثله: يستتر من بوله
صحيح البخاري[5]
مر النبي صلى الله عليه وسلم بقبرين، فقال: إنهما ليعذبان، وما يعذبان في كبير، أما أحدهما فكان لا يستتر من البول، وأما الآخر فكان يمشي بالنميمة قال ابن المثنى: وحدثنا وكيع قال: حدثنا الأعمش قال: سمعت مجاهدا: مثله: يستتر من بوله
صحيح البخاري[5]
Ketika Rasulullah saw. Melewati dua buah kubur beliau bersabda
ingatlah sesungguhnya mayat ini sedang disiksa tetapi bukan karena melakukan
dosa besar. Salah seorang di antara mereka disiksa karena waktu di dunia suka
membuat fitnah, dan seorang lagi disiksa karena tidak membersihkan dirinya dari
air kencingnya
Hadis di atas menerangkan tentang hukum air kencing, hukumnya
adalah najis, sehingga setiap muslim hati-hati menjaganya. Lebih-lebih ketika
kencing, jangan sampai ada percikan yang mengenai badan atau pakaian. Sebab
kalau itu terjadi, maka akan menyebabkan pelakunya mendapatkan siksaan kubur,
sebagaimana yang telah di kisahakan pada hadis di atas.[6]
Selain itu terdapat dalam Sunan tirmidzi
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا أبو عوانة عن
سماك بن حرب عن ابن عمر : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لا تقبل صلاة بغير
طهور و لا صدقة
من غلول قال هناد في حديثه إلا بطهور قال
أبو عيسى هذا الحديث أصح شيء في هذا الباب و أحسن و في الباب عن أبي المليح عن
أبيه و أبي هريرة و أنس و أبو المليح بن أسامة أسمه عامر و يقال زيد بن أسامة بن
عمير الهذلي
قال الشيخ الألباني : صحيح[7]
B. Tata
cara bersuci
Thoharoh
Dzohiroh Hissiyah Yaitu membersihkan diri dari khobats (kotoran luar) dan
hadats (dari dalam). Khobats adalah najis (kotoran) yang dapat dihilangkan
dengan air seperti kotoran yang melekat dibaju orang sholat, dibadan dan
ditempat sholatnya. Sedangkan hadats adalah thoharoh dari kotoran yang khusus
dan tertentu cara menghilangkannya yaitu dengan wudhu, mandi atau tayamum.[8]
Seperti dalam hadisnya Muatha Imam Malik
حدثني يحيى عن مالك عن أبي الزناد عن الأعرج
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال :إذا استيقظ أحدكم من نومه
فليغسل يده قبل أن يدخلها في وضوئه فإن أحدكم لا يدري أين باتت يده[9]
Yahya
meriwayatkan padaku dari Malik dari abi juned dari A’raj dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah saw, berkata: apabila salah seorang dia antara kamu bangun
dari tidurnya janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum
membasuhnya terlebih dahulu. Sebab dia tidak tahu dimanakah tangannya
diletakkan ketika tidur.
Hadis di atas menerangkan tentang kemakruhan
memasukkan tangan ke dalam bejana bagi orang yang akan mengambil air wudhu atau
sehabis tidur sebelum dibasuh sebab dikhwatirkan tangan tersebut terkena najis,
sehingga kemudian membuat air yang berada di dalam bejana menjadi najis. Karena
itu sebelum berwudhu atau ketika bangun tidur disunatkan membasuh tangan tiga
kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana.[10]
Selain itu terdapat pada shahih Bukhari
حدثنا عبد الله بن يوسف قال: أخبرنا مالك،
عن ابن شهاب، عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة، عن أم قيس بنت محصن: أنها أتت
بابن لها صغير، لم يأكل الطعام، إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأجلسه رسول
الله صلى الله عليه وسلم في حجره، فبال على ثوبه، فدعا بماء، فنضحه ولم يغسله
صحيح البخاري[11]
صحيح البخاري[11]
Diriwayatkan dari Ummu Qais binti
mihsan Radiyallahu anha. bahwa dia pernah mengunjungi Rasulullah yang membawa
anak laki-lakinya yang belum pernah menyantap makanan, kemudian meletakannya
dipangkuan beliau lalu anak tersebut kencing. Dia berkata “Rasulullah hanya
memercikan sedikit air saja di atasnya.
Hadis di atas
menerangkan tentang keharusan membasuh air kencing dan najis selain yang
terdapat di dalam masjid, apabila air kencing terdapat di atas tanah, sedangkan
tanah itu biasa digunakan untuk melakukan shalat, maka cara mencucinya cukup
dengan menyiramkan air di atasnya, sebab pada hakikatnya semua tanah suci.
Hadis tersebut juga menerangkan hukum air kencing bayi laki-laki yang belum
makan sesuatu kecuali air susu ibu. Hukumnya adalah najis mukhafafah, cara
membasuhkannya cukup dengan memercikan atau menyiramkan air ke tempat yang
terkena najis.[12]
C.
Macam-macam najis dan cara mensucikannya
1.
Benda-benda
yang termasuk najis
Suatu barang menurut hukum aslinya
adalah suci selama tak ada dalil yang menunjukakan bahwa benda itu najis benda
najis itu banyak di antaranya:
a.
Bangkai
binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia
Adapun binatang
binatang laut seperti ikan dan bangkai binatang darat yang tidak berdarah ketika
masih hidupnya seperti belalang serta mayat manusia, smuanya suci. Adapun
bangkai ikan dan binatang darat yang tidak berdarah, begitu juga mayat manusia,
tidak termasuk dalam arti bangkai yang umum dalam ayat tersebut karena ada
keterangan lain. Bagian bangkai seperti daging, kulit, tulang, urat, bulu, dan
lemaknya, semuanya itu najis menurut imam Syafi’i. menurut mazhab hanafi yang
najis hanya bagian-bagian yang mengandung roh (Bagian-bagian yang bernyawa)
saja, seperti daging dan kulit. Bagian-bagian yang tidak bernyawa seperti kuku, tulang, tanduk, dan bulu,
semuanya itu suci. Bagian-bagian yang tidak bernyawa dari anjing dan babi tidak
termasuk najis
b.
Darah
Segala macam darah itu najis, selain hati dan limpa. Dikeculikan
juga darah yang tertinggal di dalam daging binatang yang sudah disembelih,
bagitu juga darah ikan. Kedua macam darah ini suci atau dimaafkan artinya
diperbolehkan atau dihalakan. cara membersihkan darah yang mengenai pakaian
mula pertama darah itu dihilangkan, lalu dibasuh dengan air pada bagian yang
terkena darah tersebut. Tidak perlu kain atau pakaian yag terkena darah dibasuh
seluruhnya. Bila yang demikian telah dilakukan, maka berarti sudah suci, bisa
dipakai untuk melaksanakan shalat.[13]
c.
bejana yang dijilat anjing
Najis mugallazah
(tebal), yaitu hadis najis . benda yang terkena najis ini hendaklah dibasuh
tujuh kali satu kali diantaranya dibasuh dengan air yang dicampur dengan debu.[14]
وحدثنا زهير بن حرب حدثنا
إسماعيل بن إبراهيم عن هشام بن حسان عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة قال قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات
أولاهن بالتراب
صحيح الإمام مسلم[15]
صحيح الإمام مسلم[15]
Diriwayatkan dari abi hurairoh
rodiyallahu anhu dia telah berkata rosulullah saw telah bersabda’’ apabilah
anjing menjilat air yang berada dalam bejana salahseorang diantara kamu,
hendaklah air tersebut di tuangkan(di tuangkan), kemudian basuhlah bejana itu
sebanyak tujuh kali.’’
Hadis di atas
menerangkan tentang keharusan membasuh bejana tujuh kali, yang salah satu di
antaranya ada yang di campur dengan debuh, apabilah bejana tersebut di jilat
anjing. Demikian pulah air yang berada dalam bejana yang di jilat anjing harus
di buang. Baru kemudian di basuh tujuh kali. Demikianlah cara menghilangkan
najis mugholadzoh, baik yang berada pada bejana maupun yang lain.[16]
d.
Hukum mani (sperma)
وحدثنا يحيى بن يحيى أخبرنا خالد بن
عبد الله عن خالد عن أبي معشر عن إبراهيم عن علقمة والأسود أن رجلا نزل بعائشة
فأصبح يغسل ثوبه فقالت عائشة إنما كان يجزئك إن رأيته أن تغسل مكانه فإن لم تر
نضحت حوله ولقد رأيتني أفركه من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم فركا فيصلي فيه
صحيح الإمام مسلم[17]
صحيح الإمام مسلم[17]
Dari Alqamah bahwa seseorang datang kepada Aisyah, kemudian Aisyah berkata: Seandainya engkau melihat mani, maka engkau cukup mencuci tempatnya saja, kalau engkau tidak melihatnya, engkau siram air di sekitarnya. Aku pernah mengerik mani pada pakaian Rasulullah saw. dengan sekali kerik, kemudian beliau memakainya untuk salat.
Hadis di atas menerangkan tentang
cara membersihkan sperma. Bila sperma kering, kemudian menempel pada pakaian
maka cara membersihkannya cukup dikerik. Sebab pada hakikatnya sperma manusia
adalah suci.
Segala cairan
yang keluar dari jalan (qubul dan dubur) hukumnya najis, sesuatu yang telah
terbiasa keluar dari keduanya, misalnya air kencing, air besar atau kotoran,
maupun yang jarang keluarnya misalnya darah. Adapun cara membasuh atau
mencucinya, untuk najis ainiyah terlihat nyata, pertama menghilangkan
bentuknya, sifat-sifatnya, seperti rasa, warna dan baunya. Maka jika masih
terdapat dianatar sekian sifat, misalnya masih terasa najis, najis tersebut,
berarti belum di nilai suci, keculi warna dan baunya sulit di hilangkan, maka
tidaklah mengapa atau dinilai suci. Apabilah najis tidak terlihat dengan mata,
di sebut najis hukmiyah, maka cara mensucikannya dengan cukup memercikan air,
pada apa saja yang terkena najis tersebut, walaupun satu percikan.[18]
Itulah
beberapa macam najis & cara pembersihannya, yang telah disebutkan dlm
dalil. Adapun sebagian ulama menyebutkan hal-hal najis lainnya dlm kitab-kitab
fiqih selain dari yang telah disebutkan, seperti muntah, nanah, khamr,
& yang lainnya. Akan tetapi tidak ada dalil yang shahih yang
menunjukkan bahwa semua itu najis. Sedangkan hukum asal dari sesuatu adalah
suci selama tak ada dalil shahih yang menetapkan kenajisannya. Sehingga, kita
menetapkan bahwa semuanya adalah suci.[19]
BAB III
KESIMPULAN
Secara morfologi (bahasa): Thaharah berarti An-Nazhafah
(pembersihan) atau An-Nazahah (pensucian). Secara Etimologi (istilah):
membersihkan diri dari najis (kotoran) dan hadats. Atau mensucikan diri dari
segala macam sifat, perangai, akhlak,
perilaku yang kotor, tidak
terpuji.
Kata thaharah berarti
suci atau bersih menurut istilah syara’ mengandung banyak tafsir, diantaranya.
Suatu perbuatan yang menjadikan seseorang boleh sholat, misalnya wudhu, mandi,
tayamum, dan menghilangkan najis. Bisa juga berarti sisa air yang telah
digunakan karena berfungsi sebagai pembersih. Berikut penjelasan dalam hadis
Shahih Muslim.
Thoharoh
Dzohiroh Hissiyah Yaitu membersihkan diri dari khobats (kotoran luar) dan
hadats (dari dalam). Khobats adalah najis (kotoran) yang dapat dihilangkan
dengan air seperti kotoran yang melekat dibaju orang sholat, dibadan dan
ditempat sholatnya. Sedangkan hadats adalah thoharoh dari kotoran yang khusus
dan tertentu cara menghilangkannya yaitu dengan wudhu, mandi atau tayamum.
Segala cairan
yang keluar dari jalan (qubul dan dubur) hukumnya najis, sesuatu yang telah
terbiasa keluar dari keduanya, misalnya air kencing, air besar atau kotoran,
maupun yang jarang keluarnya misalnya darah.
Kecuali air
mani manusia, atau air mani hewan yang suci, bukan hewan seperti anjing, babi,
dan keturunan masing-masing, serta bukan keturunan salah seekor dari keduanya,
yang kawin dengan hewan suci, misalnya anjing dan kambing.
Adapun cara
membasuh atau mencucinya, untuk najis ainiyah terlihat nyata, pertama
menghilangkan bentuknya, sifat-sifatnya, seperti rasa, warna dan baunya. Maka
jika masih terdapat dianatar sekian sifat, misalnya masih terasa najis, najis
tersebut, berarti belum di nilai suci, keculi warna dan baunya sulit di
hilangkan, maka tidaklah mengapa atau dinilai suci.
Apabilah najis
tidak terlihat dengan mata, di sebut najis hukmiyah, maka cara mensucikannya
dengan cukup memercikan air, pada apa saja yang terkena najis tersebut,
walaupun satu percikan.
Wada yang di jilat
anjing atau babi, cara menyucikannya, di basuh dengan air sampai tujuh kali,
salah satunya di campuri dengan debu yang suci dengan merata, hingga bagian
yang terkena najis tersebut.
Itulah beberapa
macam najis & cara pembersihannya, yang telah disebutkan dlm dalil. Adapun
sebagian ulama menyebutkan hal-hal najis lainnya dlm kitab-kitab fiqih selain
dari yang telah disebutkan, seperti muntah, nanah, khamr, & yang
lainnya. Akan tetapi tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa
semua itu najis. Sedangkan hukum asal dari sesuatu adalah suci selama tak ada
dalil shahih yang menetapkan kenajisannya. Sehingga, kita menetapkan bahwa
semuanya adalah suci.
Jika seorang
muslim ragu mengenai kenajisan air, pakaian, tempat shalat, benda, atau yang
lainnya, semuanya itu tetap dinilai suci. Demikian pula apabila kita meyakini
kesucian sesuatu hal, kemudian kita merasa ragu apakah hal tersebut najis atau
tidak, maka hukum yang berlaku adalah kesucian yang kita yakini. Demikian pula
apabila kita meyakini kenajisan sesuatu hal, kemudian kita lupa utk
menyucikannya, apakah sudah disucikan atau belum, maka hukum yang berlaku
adalah apa yang diyakini. Demikian itulah kaidah yang agung, yakni tetap
berpedoman pada keadaan yang diketahui dan mengesampingkan keraguan.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi Sanadin Abi hasan Nuruddin Muhammad. Tanpa tahun Shahih Bukhari. Beirut
Libanon. Darul Kutub Al-Ilmiah.
Abu Abdillah, Syekh Syamsuddin. 2010. Terjemah Fathul Qarib. Surabaya:
Mutiara Ilmu.
Alaisi, Yahya bin Yahya. tanpa tahun Muatha Imam Malik. Beirut:
Darul Kutub Al-Alamiah.
Mahalli, Ahmad Mudjab 2003. Hadis-Hadis Mutafaun Alaih. Jakarta
Timur: Prenada Media.
Mudjab Mahalli, Ahmad. 2003Hadis-Hadis Muttafaq Alaih. Jakarta
Timur: Prenada Media.
Muhammad Abdul Hadi Sanadin, Abi hasan Nuruddin. tanpa tahun. Shahih Bukhari. Beirut Libanon. Darul
Kutub Al-Ilmiah.
Muhammad bin Isa bin Sauroh, Liabi
Isa. tanpa tahun, Jamiu Shahih Wahuwa Sunan Tirmidzi, (Beirut: Darul
Kutub Al-Alamiah,.
Nawawi 2001. Jamiu’ Shahih. Kohiroh: Darul Hadis.
Rasyid, Sulaiman 1994Fiqih Islami. Bandung: Sinar Baru Algen
Sindo.
yahya bin syaraf, nawawi muhyiddin. 2001. Hadis Arba’in
Nawawiyah Indonesia. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah.
[1]
Syekh Syamsuddin Abu Abdillah. Terjemah Fathul Qarib. (Surabaya: Mutiara
Ilmu, 2010), cet pertama, hal. 13.
[2]
Nawawi, Jamiu’ Shahih, (Kohiroh: Darul Hadis, 2001), jilid ke-2, hal. 101
[3]
Ringkasan Syarah Arba’in
An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id
[4]
muhyiddin
yahya bin syaraf nawawi, Hadis Arba’in Nawawiyah
Indonesia,( Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah,
2001), Hal. 96.
[5]
Abi hasan Nuruddin Muhammad Abdul Hadi
Sanadin, Shahih Bukhari, (Beirut Libanon, Darul Kutub Al-Ilmiah, tt) juz
1, hal. 97
[6]
Ahmad Mudjab Mahalli. Hadis-Hadis Muttafaq Alaih (Jakarta Timur: Prenada
Media, 2003) jilid bagian ibadat, Hal 191.
[7] Liabi Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh, Jamiu Shahih
Wahuwa Sunan Tirmidzi, (Beirut: Darul Kutub Al-Alamiah, tanpa tahun), jilid
1, hal. 5
[9]
Yahya bin Yahya Alaisi, Muatha Imam Malik, (Beirut: Darul Kutub
Al-Alamiah, tanpa tahun), hal. 19.
[10]
Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-Hadis Mutafaun Alaih, (Jakarta Timur: Prenada
Media, 2003), bagian ibadah, hal. 186.
[11]
Abi hasan Nuruddin Muhammad Abdul Hadi
Sanadin, Shahih Bukhari, (Beirut Libanon, Darul Kutub Al-Ilmiah, tt) juz
1
[12]
Ahmad Mudjab Mahalli, op. cit., hal 189.
[13]
Ahmad Mudjab Mahalli, op. cit., hal 190.
[14]
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islami, (Bandung, Sinar Baru Algen Sindo, 1994) ,
hal. 21
[15][15][15]
Nawawi, Jamiu’ Shahih, (Kohiroh: Darul Hadis, 2001)
[16]
Ahmad Mudjab Mahalli, op. cit., hal 191.
[17]
Nawawi, Jamiu’ Shahih, (Kohiroh: Darul Hadis, 2001)
[18]
Syekh Syamsudin Abu Abdillah, op.cit., hal. 49-51
0 comments:
Post a Comment