اَÙ‡ْلاًÙˆَسَÙ‡ْلاً

Tuesday, 14 January 2014

Pembahasan Kesalahan Berpikir



BAB II
Pembahasan Kesalahan Berpikir

A.    Pengertian kesalahan berpikir
Sesat pikir (fallacia, Latin atau fallacy, Inggris) ialah kekeliruan penaralan yang disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan logika atau susunan dan penggunaan bahasa serta penekanan kata yang secara sengaja atau tidak, telah menyebabkan pertautan atau asoiasi gagasan tidak tepat. Biasanya, sesat pikir tidak dapat segera diketahui karena sepintas lalu, tampak seolah-olah benar tetapi sesungguhnya keliru. Jika pelaku sesat pikir itu tidak menyadari akan sesat pikir yang dilakukannya, hal itu disebut paralogisme. Namun  apabila sesat pikir itu dilakukan dengan sengaja untuk menyesatkan orang lain, disebut sofisme.[1]
Secara garis besar kita telah mempelajari ilmu logika berarti secara teoritis sudah dapat menggunakan akal kecerdasan daripada sebelumnya. Namun ada baiknya bila kita mempelajari juga kesalahan-kesalahan berpikir yang mungkin dapat kita perbuat atau mungkin diperbuat orang lain kepada kita.
Logika timbul karena usaha manusia untuk menghindari kesalahan-kesalahan berpikir, jadi sebenarnya logika juga punya tujuan praktis. Kesalahan berpikir daripada manusia memang sering kita jumpai apakah itu disengaja atau tidak disadarinya. Kesalahan berpikir itu harus kita hindaria atau kita ketahui bahwa hal-hal tersebut memang kesalahan berpikir. Membiarkan suatu kesalahan berpikir adalah sama dengan  menjerumuskan diri kita sendiri dan orang lain.





Tujuan kita belajar adalah memperoleh pengetahuan yang benar, karena kebenaran itu telah diperoleh maka berguna bagi kehidupan manusia. Dari pengetahuan ilmu alam manusia dapat memanfaatkannya dengan baik dalam kehidupan modern ini tidak dapat kita bayangkan andaikata pengetahuan ilmu alam yang salah justru yang berkembang tentu dunia makin mundur. Andaikata orang kolera disangka penyakit akibat guna-guna maka tidak tertolong lagi jiwa orang  yang menderita. Masih menjadi kenyataan bahwa di sekitar kita masih banyak orang yang mlakukan kesalahan berpikir yang akibatnya langsumg diderita mereka dan orang sekitarnya. Pengrusakan alam, pengrusakan lingkungan, kerusuhan, pencurian, kebodohan, kemelaratan, dan masih banyak penderitaan hidup lainnya merupakan akibat dari kesesatan berpikir.[2]
B.     Penyebab kesalahan berpikir
Sebab-sebab kesalahan atau  kesesatan berpikir itu bermacam-macam, antara lain :
1.      Karena tidak menguasai teknik berpikir (logika).
2.      Karena kurang sungguh-sungguh dalam menggunakan akal kecerdasan, kurang cermat mengadakan penelitian.
3.      Karena kurang mengusai pengetahuan yang berhubungan dengan fakta-fakta, ini akibat dari pendidikan yang terlalu sedikit.
4.      Karena kurag menguasai bahasa dan penggunannya. Banyak orang yang menganggap mudah berbahasa, umunya mereka kurang teliti terhadap susunan kalimat dan arti suatu kata, maka mereka membuat kesalahan berpikir.
5.      Karena kesengajaan untuk menyesatkan orang agar menurut kehendak misalnya dalam reklame atau pidato-pidato propaganda.
Untuk menghindari kesalahan berpikir harus mempunyai kemauan baik untuk berpikir lurus dan memperhatikan kaidah-kaidah berpikir serta hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan obyek yang dipikirkan atau materinya.[3]


Selain itu manusia menyadari keterbatasan kemampuan akal dalam memikirkan objek pikir. Oleh karena itu, kerapkali terjadi kesalahan-kesalahan dalam melakukan kegiatan berpikir. Kesalahan berpikir bisa terjadi disebabkan oleh hal-hal berikut.
1.      Ketergesah-gesahan dalam membuat suatu keputusan (asyar’ fi al hukm).
2.      Menganggap mudah dalam mengajukan proposisi, tidak teliti, dan tidak hati-hati (suhulat al-tashdiq).
3.      Membangga-banggakan kemampuan berpikir dan pendapat diri sendiri (attahjub bi al ra’y).
4.      Tradisi yang keliru (ta’tsir al-‘adah).
5.      Mengikuti kecendrungan hawa nafsu (al-maiwulu wa al-syahwah).
6.      Senang berselisih pendapat (hubb al mukhalifah).
7.      Haus pujian orang lain (hubb al-ra’i).
Jika seseorang melakukan hal-hal tersebut, ia akan mudah terjebak dalam kesalahan berpikir, begitu pula sebaliknya.[4]

C.    Klasifikasi kesalahan berpikir
Mengingat perbedaan sumber kesalahan maka kesalahan berpikir itu dapat digolong-golongkan sebagai berikut:
1.      Kesalahan penggunaan bahasa
Sesat pikir karena bahasa dapat terjadi karena kesalahan sebagai berikut:
a.       Kesalahan ekwivokasi atau menggunakan term ekuivokal
Kesalahan berpikir karena menggunakan sebuah kata atau kata-kata yang punya beberapa arti.[5] Term ekuivokal adalah term yang memiliki makna ganda, misalnya jarak dapat berarti ruang sela antara benda atau tempat, tetapi dapat berarti juga pohon yang sering ditanam sedemikian rupa dan berfungsi sebagai pagar.[6]





b.      Kesalahan amfiboly
Kesalahan berfikir karena susunan kalimat yang dapat ditfsirkan berbeda-beda sehingga menimbulkan salah pengertian.[7] Amfiboly disebut kalimat yang bermakna ganda hal itu terjadi apabila sebuah kalimat disusun sedemikian rupa sehingga arti kalimat itu ditafsirkan secara berbeda-beda. Contoh:
Irfan mencintai kekasihnya, dan demikian pula saya ! kalimat itu bisa          berarti: Irfan mencintai kekasihnya, dan saya mencintai kekasihnya si Irfan. Atau bisa juga berarti: Irfan mencintai kekasihnya, dan saya mencintai kekasih saya.[8]
c.       Kesalahan komposisi
Kesalahan berfikir yang terjadi karena beranggapan bahwa hal-hal yang benar pada keseluruhan juga benar pada bagian-bagiannya. Kebalikannya adalah kesalahan pembagian yaitu beranggapan bahwa sifat-sifat benar yang dimiliki anggota suatu himpunan juga dimiliki oleh himpunan itu.
Contoh: Suatu perkumpulan mahasiswa yang bertujuan meningkatkan mutu belajar mahasiswa, lalu dianggap bahwa setiap anggota perkumpulan tersebut juga bermutu tanpa kecuali. Sebaliknya ada anggota perkumpulan tersebut yang kebetulan berkelakuan tidak baik lalu dikatakan bahwa perkumpulan mahasiswa itu tidak baik.[9]
d.      Menggunakan aksen yang membedakan arti suatu kata atau kesalahan tekanan
Ada kata-kata yang apabila aksennya diubah akan memiliki arti yang berbeda. Misalnya. Apel : jika tekanan terletak pada huruf  “a”, artinya ialah pohon atau buah apel, tetapi terjadi pada suku kata “pel” artinya ialah apel bendera dan sebagainya. Sesat pikir tersebut disebut fallacy of accent.[10]
2.      Kesalahan formil (Logical Fallacies)
a.       Kesalahan dalam pembagian:
a)      Pembagian terlalu sempit atau terlalu luas.
b)      Pembagian saling meliputi.
c)      Pembagian bersilang. Kesalahan-kesalahan semacam ini terjadi bila pembagian tidak menurut ketentuan).

b.      Kesalahan penarikan kesimpulan
a)      Fallacy of four term.
Kesalahan berpikir yang terjadi karena melanggar peraturan silogisme yang pertama, yaitu bahwa dalam sebuah silogisme hanya ada tiga term yang disebut dua kali. Apabila ada empat term maka terjadi kesalahan ini. Bisa juga terjadi bahwa term menengah punya arti ganda sehingga terjadi empat term juga. Kesalahan ini disebut ekwivokasi, termasuk juga kesalahan semantik.
b)      Fallacy of undistributed middle
Kesalahan berpikir karena term menengah undistributed. Karena term menengah tidak mencakup semuanya (undistributed) maka tidak dapat mengubah dua term yang lain, jadi tidak dapat ditarik kesimpulan.
P1: semua binatang adalah fana
P2: semua manusia adalah fana
K : semua binatang adalah manusia
Ini tidak benar karena melanggar peraturan, fana (middle term) undistributed.
c)      Fallacy of illicit process
Kesalahan berpikir yang terjadi karena term-term premis undistributed sedang pada konklusi menjadi distributed. Bila term mayor undistributed pada premis dan menjadi distributed pada konklusi kesalahan disebut illicitmayor. Contoh:
 Semua kuda berkaki empat.
Tak seekorpun kucing adalah kuda.
Tak seekorpun kucing berkaki empat.
bila term minor undistributed pada premis dan menjadi distributed pada kesalahan disebut illicit minor.
Semua raja adalah dihormati.
Semua raja adalah manusia.
Semua manusia adalah dihormati.
d)     The fallacy of negative premis.
Kesalahan karena dua premis yang negatif. Jika premis itu berupa proposisi negatif keduanya maka tak ada hubungan antara term-term maka antara dua premis itu tak dapat ditarik konklusi.


e)      Konklusi affirmatif yang ditarik dan premis negatif. Bila salah  satu premis negatif berarti term menengah tidak punya hubungan dengan term mayor atau term minor, akibatnya hubungan term mayor dan minor negatif dengan perkataan lain konklusinya negatif. Kalau konklusinya affirmatif maka jelas salah.
f)       Konklusi negatif yang berasal dari dua premis affirmatif. Bila kedua premisnya affirmatif maka term menengah tentu mempunyai hubungan dengan term mayor maupun term minor. Jelas mayor dan minor ada hubungan, maka konkulasinya pasti affirmatif.
g)      Konkulasi dari dua premis khusus.
Apabila dua sillogisme dengan dua premis khusus (partikuler) ternyata tidak dapat ditarik kesimpulan karena melanggar peraturan-peraturan silogisme.
h)      Fallacy of denying antecedent
Kesalahan berpikir yang terjadi pada silogisme hipotesis kondisional, yaitu dengan mengingkari antecedent maka kemudian disimpulkan bahwa konsekwensinya tidak benar.
Bila p maka q
Tidak p
Jadi tidak q
i)        Falaccy of affirming the consequent
Kesalahan berpikir karena pengumpula dari silogismehtpotesis kondisional dengan membenarkan konsekuen kemudian mengumpulkan bahwa antecedentnya benar.
Bila p maka q
benar q
Jadi  p.
c.       Kesalahan pada pengumpulan langsung conversi yang salah.
Kesalahan berpikir yang terjadi karena pemutaran proposisi tanpa memperhatikan aturan sehingga memutar proposisi begitu saja akibatnya subjek menjadi predikat dan predikat menjadi subjek.[11]


d.      Sesat pikir empat term (fallacy of four terms)
Bentuk silogime yang sahih adalah silogisme yang hanyamemiliki tiga term yang masing-masing disebut tiga kali. Apabila dalam sebuah silogisme terdapat empat term, bentuk silogisme itu tidak sahih. Hal itu melanggar ketentuan pertama mngenai term-term silogisme.[12] Contoh:
Semua perbuatan mengganggu orang lain diancam dengan hukuman, Menjual barang dibawah harga tetangganya adalah mengganggu kepentingan orang lain. Jadi menjual harga dibawah tetangganya diancam dengan hukuman.
3.      Sesat pikir Material
Sesat pikir material ialah sesat pikir yang terjadi bukan karena bahasa atau bentuk penalaran yang tidak sahih, melainkan yang terjadi pada materi atau isi penalaran itu sendiri. Jenis-jenis sesat pikir material adalah senagai berikut:
a.       Argumen terhadap orangnya (Argumentum ad hominem)
Sesat pikir ini terjadi karena argumentasi yang diberikan tidak setuju kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi terarah kepada pribadi orang yang menjadi lawan bicara.
b.      Argumen untuk mempermalukan (Argumentum ad verecundiam)
Sesat pikir ini terjadi karena argumentasi yang diberikan memang sengaja tidak terarah kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi dibuat sedemikian rupa untuk membangkitkan perasaan malu si lawan bicara. Contoh: ” Jika Anda benar-benar seorang pembela kebenaran , Anda pasti akan membenarkan saya karena apa yang saya katakan selalu benar !” Hal itu sering pula dilakukan oleh pemasang iklan. Misalnya, “Orang yang bijaksana adalah orang yang selalu menggunakan produk kami !”
c.       Argumen berdasarkan kewibawaan (Argumentum auctoritatis)
Dalam suatu diskusi, tiba-tiba seseorang mengatakan demikian: “saya yakin apa yang dikatakan beliau adalah baik dan benar karena beliau adalah seorang pemimpin yang brilian, seorang tokoh yang sangat dihormati, dan seorang tokoh yang jenius !” jelas terlihat bahwa argumen yang dikemukakan oleh seorang tersebut tidak berdasarkan penalaran sebagaimana mestinya, tetapi berdasarkan pada kewibawaan si pembicara terdahulu. Sesat pikir itu perlu dihindari.

d.      Argumen ancaman (Argumentum ad baculum)
Argumen ancaman mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan bahwa jika menolak akan membawa akibat yang tidak diinginkan.
e.       Argumen belas kasihan (Argumentum ad misericordiam)
Sesat pikir ini sengaja terarah untuk membangkitkan rasa belas kasihan si lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan.
f.       Argumen demi rakyat (Argumen ad populum)
Argumen ini dibuat untuk menghasut massa, rakyat kelompok untuk membakar emosi mereka dengan alasan bahwa pemikiran yang melatarbelakangi auatu usul atau program adalah demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri. Argumen ini bertujuan untuk memperoleh dukungan atau membenarkan tindakan si pembicara.
g.      Argumen ketidaktahuan (Argumentum ad ignorantiam)
Apabila kita memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada karena kita tidak mengetahui apapun juga mengenai sesuatu itu, hal itu adalah sesat pikir. Belum tentu bahwa apa yang tidak diketahui itu benar-benar tidak ada. Sesat pikir yang demikian disebut Argumentum ad ignorantiam.[13]
D.    Kesalahan dalam berargumentasi
Meskipun kaidah-kaidah mantik mengajarkan berpikir benar, kesalahan berpikir bisa saja terjadi karena yang berpikir itu manusia. Jika kesalahan itu tidak disengaja, disebut Ghalath (Ghalath al-Manthiq), sedangkan kesalahan itu disengaja, disebut Mughalathath atau Supsathah, yaitu Sofism.
Ghalath Manthiq tersebut ada dua macam, yaitu “kesalahan dalam formulasi” (al-aghaliyath al-shuriyat ) dan kesalahan materi (al-aghaliyath al-madiyat). Kesalahan pertama disebabkan oleh berbedanya salah satu syarat yang dibakukan dalam bentuk-bentuk syakal.  Sedangkan, kesalahan kedua disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat yang ditentukan pada bahan atau materi qiyas, artinya terdiri dari qadhiyah-qadhiyah yang salah. [14]


Telah dapat diketahui bersama bahwa ilmu mantiq merupakan salah satu disiplin ilmu yang selalu berusaha supaya terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, baik pada saat menyusun premis-premis maupun menarik kesimpulan. Sekalipun demikian, manusia masih saja terjebak ke dalam kesalahan, maka kesalahn yang terjadi pada argumentasi Burhan (logis) itu terdapat pada dua hal, yaitu:
Pertama, kesalahan dari sisi materi-materi yang dipakaialam premis-premis Argumentasi  Burhan, yaitu pada isi muqoddam-muqoddam  (premis-premis), bukan pada kriteria (syarat) dan hukum-hukumnya. Maksudnya ialah suatu muqoddam yang dalam menyusunnya tidak cermat , sehingga berakbat pada munculnya kesalahan dalam kesimpulan yang dihasilkanya. Sedangkan kesalahan-kesalahan tesebut , biasanya terjadi dalam lima kemungkinan  kesalahan, yaitu:
1.      Kemungkinan kesalahan dalam menetapkan  kesluruhan sifat yang pada hakikatnya berlaku untuk satu saja dari kesurhan sifat tersebut.
2.      Kemungkinan kesalahan dalam menetapkan sifat dari sesuatu yang posisinya dalam keadaan khusus itu, menjadi sifat dari sesuatu tersebut yang pada hakikatnya ia berposisi dalam keadaan umum.
3.      Kemungkinan kesalahan dalam menetapkan suatu sifat dari sesuatu dalam keadaan tetap dan menyeluruh, menjadi suatu sifat dari sesuatu yang pada hakikatnya keberadaannya dalam keadaan khusus.
4.      Kemungkinan kesalahandalam menetapkan sesuatu (sifat) yang dengan sendirinya ia menjadi sesuatu sifat pada susunan yang sengaja dibuat-buat supaya ia menjadi sesuatu (sifat) dari hal tersebut.
5.      Kemungkinan kesalahan dalam menetapkan sesuatu kepada jenis dari sesuatu yang lain, yang hakikatnya ia berlaku tetap pada nau.





Kedua,kesalahan pada penerapan pasangan dalam syakl (formula) qiyas. Maksudnya suatu kesalahan yang terjadi pada kekeliruan dalam penerapan pasangan, misalnya dalam syakl awwal terdapat empat pasangan yang berpotensi kuat memunculkan suatu kesimpulan, akan tetapi dalam berpikir, orang secara tidak sadar terkadang menggunakan pasangan lain yang tidak berpotensi kuat memunculkan kesimpulan atau bisa memunculkan kesimpulan, tetapi hasilnya salah.dari kenyatan seperti itu, dapat diambil pemahaman bahwa kesalahan penerapan pasangan dalam syakl itu terjadi pada enam kemungkinan, yaitu:
1.      Kemungkinan kesalahan pada pemakaian had ausath yang sama pada kedua qadliyyah , tetapi artinya berbeda.
2.      Kemungkinan kesalahan pada pemakaian bunyi lafal dan artinya sama, baik pada hd ausath maupun had asghor.
3.      Kemungkinan kesalahan pada syakl III, yang hadnya ausathnya menjadi maudlu’ bagi kedua muqoddam.
4.      Kemugkinan kesalahan pada syakl II, yang had ausatnya menjadi mahmul pada kdua muqoddam.
5.      Kemungkinan kesalahan pada penarikan kesimpulan berupa substansi muqaddam berdasarkan pengecualian substansi tali.
6.      Kemungkinan kesalahan pada penarikan kesimpulan berupa lawan tali berdasarkan pengecualian lawan muqaddam.[15]











BAB III
Kesimpulan
Sejauh ini, kita telah mempelajari cara-cara berfikir benar, melalui metode deduksi. Kini dapat kita kumpulkankan kekeliruan-kekeliruan berfikir yang sedang terjadi. Secara garis besar kita telah mempelajari ilmu logika berarti secara teoritis sudah dapat menggunakan akal kecerdasan daripada sebelumnya. Namun ada baiknya bila kita mempelajari juga kesalahan-kesalahan berpikir yang mungkin dapat kita perbuat atau mungkin diperbuat orang lain kepada kita.
Sesat pikir (fallacia, Latin atau fallacy, Inggris) ialah kekeliruan penaralan yang disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan logika atau susunan dan penggunaan bahasa serta penekanan kata yang secara sengaja atau tidak, telah menyebabkan pertautan atau asoiasi gagasan tidak tepat. Biasanya, sesat pikir tidak dapat segera diketahui karena sepintas lalu, tampak seolah-olah benar tetapi sesungguhnya keliru. Jika pelaku sesat pikir itu tidak menyadari akan sesat pikir yang dilakukannya, hal itu disebut paralogisme. Namun  apabila sesat pikir itu dilakukan dengan sengaja untuk menyesatkan orang lain, disebut sofisme.

Tujuan kita belajar adalah memperoleh pengetahuan yang benar, karena kebenaran itu telah diperoleh maka berguna bagi kehidupan manusia. Dari pengetahuan ilmu alam manusia dapat memanfaatkannya dengan baik dalam kehidupan modern ini tidak dapat kita bayangkan andaikata pengetahuan ilmu alam yang salah justru yang berkembang tentu dunia makin mundur.
Di dalam logika deduktif, kita dengan mudah memperoleh kesesatan karena adanya kata-kata yang disebut homonim, yaitu kata yang memiliki banyak arti yang dalam logika biasanya disebut kesalahan semantik atau bahasa. Kesalahan semantik itu dapat pula disebut ambiguitas. Adapun untuk menghindari ambiguitas dapat dengan berbagai cara, misalnya menunjukkan langsung adanya kesesatan semantik dengan mengemukakan konotasi sejati. Memilih kata-kata yang hanya arti tunggal, menggunakan wilayah pengertian yang tepat, apakah universal atau partikular. Dapat juga dengan konotasi subyektif yang berlaku khusus atau obyektif yang bersifat komprehensif.
Kesesatan di dalam logika induktif dapat dikemukakan seperti prasangka pribadi, pengamatan yang tidak lengkap atau kurang teliti, kesalahan klasifikasi atau penggolongan karena penggolongannya tidak lengkap atau tumpang tindih maupun masih campur aduk. Kesesatan juga bisa terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis bersifat meragukan yang bertentangan dengan fakta. kemudian yang berkaitan dengan sebab adalah antiseden yang tidak cukup, dan analisis yang perbedaannya tidak cukup meyakinkan. Tidak cukupnya perbedaan itu menjadikannya suatu kecenderungan homogen, masih pula terdapat kebersamaan yang sifatnya kebetulan. Kesalahan juga terjadi karena generalisasi yang tergesa-gesa, atau analogi yang keliru. Kesalahan juga terjadi karena suatu argumen ternyata memuat premis-premis yang tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari. Sebuah argumen yang premis-premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulannya merupakan argumen yang “salah” sekalipun semua premisnya itu mungkin benar.



BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran




Daftar Pustaka

Rapar, Jan Hendrik. 1996.  Pengantar Logika.Yogyakarta: Kanisius.
Sambas, syukriadi. 1997. Mantik Kaidah Brpikir Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arif, Oesman. 1982. Ilmu Logika.Surabaya: Bina Ilmu.
Zaini al-Hasyimiy, Muahammad Ma’shum. 2008. Teori Berfikir Logika.Jombang: Darul Hikmah dan Maktabah Al-Syarifah Al-Khodijah.



[1] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, Yogyakarta:  1996, hlm. 92.
[2] Oesman Arif, Ilmu Logika, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), cetakan ke 2, hlm. 64.
[3] Ibid., hlm. 65
[4] Syukriadi Sambas, Mantik Kaidah Berpikir Islam. Bandung, 1997, hlm. 34.
[5] Oesman Arif, op.cit, hlm. 68.
[6] Jan Hendrik Rapar, op.cit, hlm. 92.
[7] Oesman Arif, loc.it.
[8] Jan Hendrik Rapar, loc. It.
[9] Oesman Arif, loc.it.
[10] Jan Hendrik Rapar, loc. It.
[11] Oesman Arif, op.cit, hlm. 65-67.
[12] Jan Hendrik Rapar, op.cit, hlm. 93.
[13] Ibid., hlm. 94-95.
[14] Ibid., hlm. 149.
[15] Muhammad Ma’shum Zaini al-Hasyimiy, Teori Berfikir Logic, (Jombang: Darul Hikmah dan Maktabah Al-   Syarifah Al-Khodijah, 2008), Cetakan ke 1, hlm. 219-226.

0 comments: