BAB
II
Pembahasan
Kesalahan Berpikir
A.
Pengertian kesalahan berpikir
Sesat pikir (fallacia, Latin atau fallacy, Inggris)
ialah kekeliruan penaralan yang disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang
tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan logika atau susunan dan
penggunaan bahasa serta penekanan kata yang secara sengaja atau tidak, telah
menyebabkan pertautan atau asoiasi gagasan tidak tepat. Biasanya, sesat pikir
tidak dapat segera diketahui karena sepintas lalu, tampak seolah-olah benar
tetapi sesungguhnya keliru. Jika pelaku sesat pikir itu tidak menyadari akan
sesat pikir yang dilakukannya, hal itu disebut paralogisme. Namun apabila sesat pikir itu dilakukan dengan
sengaja untuk menyesatkan orang lain, disebut sofisme.[1]
Secara garis besar kita telah mempelajari ilmu logika berarti
secara teoritis sudah dapat menggunakan akal kecerdasan daripada sebelumnya.
Namun ada baiknya bila kita mempelajari juga kesalahan-kesalahan berpikir yang
mungkin dapat kita perbuat atau mungkin diperbuat orang lain kepada kita.
Logika timbul karena usaha manusia untuk menghindari
kesalahan-kesalahan berpikir, jadi sebenarnya logika juga punya tujuan praktis.
Kesalahan berpikir daripada manusia memang sering kita jumpai apakah itu
disengaja atau tidak disadarinya. Kesalahan berpikir itu harus kita hindaria
atau kita ketahui bahwa hal-hal tersebut memang kesalahan berpikir. Membiarkan
suatu kesalahan berpikir adalah sama dengan
menjerumuskan diri kita sendiri dan orang lain.
Tujuan kita belajar adalah memperoleh pengetahuan yang benar,
karena kebenaran itu telah diperoleh maka berguna bagi kehidupan manusia. Dari
pengetahuan ilmu alam manusia dapat memanfaatkannya dengan baik dalam kehidupan
modern ini tidak dapat kita bayangkan andaikata pengetahuan ilmu alam yang
salah justru yang berkembang tentu dunia makin mundur. Andaikata orang kolera
disangka penyakit akibat guna-guna maka tidak tertolong lagi jiwa orang yang menderita. Masih menjadi kenyataan bahwa
di sekitar kita masih banyak orang yang mlakukan kesalahan berpikir yang
akibatnya langsumg diderita mereka dan orang sekitarnya. Pengrusakan alam,
pengrusakan lingkungan, kerusuhan, pencurian, kebodohan, kemelaratan, dan masih
banyak penderitaan hidup lainnya merupakan akibat dari kesesatan berpikir.[2]
B.
Penyebab kesalahan berpikir
Sebab-sebab
kesalahan atau kesesatan berpikir itu
bermacam-macam, antara lain :
1.
Karena tidak menguasai teknik berpikir (logika).
2.
Karena kurang sungguh-sungguh dalam menggunakan akal kecerdasan,
kurang cermat mengadakan penelitian.
3.
Karena kurang mengusai pengetahuan yang berhubungan dengan
fakta-fakta, ini akibat dari pendidikan yang terlalu sedikit.
4.
Karena kurag menguasai bahasa dan penggunannya. Banyak orang yang
menganggap mudah berbahasa, umunya mereka kurang teliti terhadap susunan
kalimat dan arti suatu kata, maka mereka membuat kesalahan berpikir.
5.
Karena kesengajaan untuk menyesatkan orang agar menurut kehendak
misalnya dalam reklame atau pidato-pidato propaganda.
Untuk menghindari kesalahan berpikir harus mempunyai kemauan baik
untuk berpikir lurus dan memperhatikan kaidah-kaidah berpikir serta hal-hal
yang berhubungan dengan pengetahuan obyek yang dipikirkan atau materinya.[3]
Selain itu manusia menyadari keterbatasan kemampuan akal dalam
memikirkan objek pikir. Oleh karena itu, kerapkali terjadi kesalahan-kesalahan
dalam melakukan kegiatan berpikir. Kesalahan berpikir bisa terjadi disebabkan
oleh hal-hal berikut.
1.
Ketergesah-gesahan dalam membuat suatu keputusan (asyar’ fi al
hukm).
2.
Menganggap mudah dalam mengajukan proposisi, tidak teliti, dan
tidak hati-hati (suhulat al-tashdiq).
3.
Membangga-banggakan kemampuan berpikir dan pendapat diri sendiri (attahjub
bi al ra’y).
4.
Tradisi yang keliru (ta’tsir al-‘adah).
5.
Mengikuti kecendrungan hawa nafsu (al-maiwulu wa al-syahwah).
6.
Senang berselisih pendapat (hubb al mukhalifah).
7.
Haus pujian orang lain (hubb al-ra’i).
Jika
seseorang melakukan hal-hal tersebut, ia akan mudah terjebak dalam kesalahan
berpikir, begitu pula sebaliknya.[4]
C.
Klasifikasi kesalahan berpikir
Mengingat perbedaan sumber kesalahan maka kesalahan berpikir itu
dapat digolong-golongkan sebagai berikut:
1.
Kesalahan penggunaan bahasa
Sesat pikir karena bahasa dapat terjadi karena kesalahan sebagai
berikut:
a.
Kesalahan ekwivokasi atau menggunakan term ekuivokal
Kesalahan berpikir karena menggunakan sebuah kata atau kata-kata
yang punya beberapa arti.[5]
Term ekuivokal adalah term yang memiliki makna ganda, misalnya jarak dapat
berarti ruang sela antara benda atau tempat, tetapi dapat berarti juga pohon
yang sering ditanam sedemikian rupa dan berfungsi sebagai pagar.[6]
b.
Kesalahan amfiboly
Kesalahan berfikir karena susunan kalimat yang dapat ditfsirkan
berbeda-beda sehingga menimbulkan salah pengertian.[7]
Amfiboly disebut kalimat yang bermakna ganda hal itu terjadi apabila
sebuah kalimat disusun sedemikian rupa sehingga arti kalimat itu ditafsirkan
secara berbeda-beda. Contoh:
Irfan mencintai kekasihnya, dan demikian pula saya ! kalimat itu bisa berarti:
Irfan mencintai kekasihnya, dan saya mencintai kekasihnya si Irfan. Atau
bisa juga berarti: Irfan mencintai kekasihnya, dan saya mencintai kekasih
saya.[8]
c.
Kesalahan komposisi
Kesalahan berfikir yang terjadi karena beranggapan bahwa hal-hal
yang benar pada keseluruhan juga benar pada bagian-bagiannya. Kebalikannya
adalah kesalahan pembagian yaitu beranggapan bahwa sifat-sifat benar yang
dimiliki anggota suatu himpunan juga dimiliki oleh himpunan itu.
Contoh: Suatu
perkumpulan mahasiswa yang bertujuan meningkatkan mutu belajar mahasiswa, lalu
dianggap bahwa setiap anggota perkumpulan tersebut juga bermutu tanpa kecuali.
Sebaliknya ada anggota perkumpulan tersebut yang kebetulan berkelakuan tidak
baik lalu dikatakan bahwa perkumpulan mahasiswa itu tidak baik.[9]
d.
Menggunakan aksen yang membedakan arti suatu kata atau kesalahan
tekanan
Ada kata-kata yang apabila aksennya diubah akan memiliki arti yang
berbeda. Misalnya. Apel : jika tekanan terletak pada huruf “a”, artinya ialah pohon atau buah apel,
tetapi terjadi pada suku kata “pel” artinya ialah apel bendera dan sebagainya.
Sesat pikir tersebut disebut fallacy of accent.[10]
2.
Kesalahan formil (Logical Fallacies)
a.
Kesalahan dalam pembagian:
a)
Pembagian terlalu sempit atau terlalu luas.
b)
Pembagian saling meliputi.
c)
Pembagian bersilang. Kesalahan-kesalahan semacam ini terjadi bila
pembagian tidak menurut ketentuan).
b.
Kesalahan penarikan kesimpulan
a)
Fallacy of four term.
Kesalahan berpikir yang terjadi karena melanggar peraturan
silogisme yang pertama, yaitu bahwa dalam sebuah silogisme hanya ada tiga term
yang disebut dua kali. Apabila ada empat term maka terjadi kesalahan ini. Bisa
juga terjadi bahwa term menengah punya arti ganda sehingga terjadi empat term
juga. Kesalahan ini disebut ekwivokasi, termasuk juga kesalahan semantik.
b)
Fallacy of undistributed middle
Kesalahan berpikir karena term menengah undistributed. Karena term
menengah tidak mencakup semuanya (undistributed) maka tidak dapat mengubah dua
term yang lain, jadi tidak dapat ditarik kesimpulan.
P1: semua binatang adalah fana
P2: semua manusia adalah fana
K : semua binatang adalah manusia
Ini tidak benar karena melanggar peraturan, fana (middle term)
undistributed.
c)
Fallacy of illicit process
Kesalahan berpikir yang terjadi karena term-term premis
undistributed sedang pada konklusi menjadi distributed. Bila term mayor
undistributed pada premis dan menjadi distributed pada konklusi kesalahan
disebut illicitmayor. Contoh:
Semua kuda berkaki empat.
Tak seekorpun kucing adalah kuda.
Tak seekorpun kucing berkaki empat.
bila term minor undistributed pada premis dan menjadi distributed
pada kesalahan disebut illicit minor.
Semua raja adalah dihormati.
Semua raja adalah manusia.
Semua manusia adalah dihormati.
d)
The fallacy of negative premis.
Kesalahan karena dua premis yang negatif. Jika premis itu berupa
proposisi negatif keduanya maka tak ada hubungan antara term-term maka antara
dua premis itu tak dapat ditarik konklusi.
e)
Konklusi affirmatif yang ditarik dan premis negatif. Bila
salah satu premis negatif berarti term
menengah tidak punya hubungan dengan term mayor atau term minor, akibatnya
hubungan term mayor dan minor negatif dengan perkataan lain konklusinya negatif.
Kalau konklusinya affirmatif maka jelas salah.
f)
Konklusi negatif yang berasal dari dua premis affirmatif. Bila
kedua premisnya affirmatif maka term menengah tentu mempunyai hubungan dengan
term mayor maupun term minor. Jelas mayor dan minor ada hubungan, maka
konkulasinya pasti affirmatif.
g)
Konkulasi dari dua premis khusus.
Apabila dua sillogisme dengan dua premis khusus (partikuler)
ternyata tidak dapat ditarik kesimpulan karena melanggar peraturan-peraturan
silogisme.
h)
Fallacy of denying antecedent
Kesalahan berpikir yang terjadi pada silogisme hipotesis
kondisional, yaitu dengan mengingkari antecedent maka kemudian disimpulkan
bahwa konsekwensinya tidak benar.
Bila p maka q
Tidak
p
Jadi tidak q
i)
Falaccy of affirming the consequent
Kesalahan berpikir karena pengumpula dari silogismehtpotesis
kondisional dengan membenarkan konsekuen kemudian mengumpulkan bahwa antecedentnya
benar.
Bila p maka q
benar
q
Jadi p.
c.
Kesalahan pada pengumpulan langsung conversi yang salah.
Kesalahan berpikir yang terjadi karena pemutaran proposisi tanpa
memperhatikan aturan sehingga memutar proposisi begitu saja akibatnya subjek
menjadi predikat dan predikat menjadi subjek.[11]
d.
Sesat pikir empat term (fallacy of four terms)
Bentuk silogime yang sahih adalah silogisme yang hanyamemiliki tiga
term yang masing-masing disebut tiga kali. Apabila dalam sebuah silogisme
terdapat empat term, bentuk silogisme itu tidak sahih. Hal itu melanggar
ketentuan pertama mngenai term-term silogisme.[12]
Contoh:
Semua perbuatan mengganggu orang lain diancam dengan
hukuman, Menjual barang dibawah harga tetangganya adalah mengganggu kepentingan
orang lain. Jadi menjual harga dibawah tetangganya diancam dengan hukuman.
3.
Sesat pikir Material
Sesat
pikir material ialah sesat pikir yang terjadi bukan karena bahasa atau bentuk
penalaran yang tidak sahih, melainkan yang terjadi pada materi atau isi
penalaran itu sendiri. Jenis-jenis sesat pikir material adalah senagai berikut:
a.
Argumen terhadap orangnya (Argumentum ad hominem)
Sesat pikir ini terjadi karena argumentasi yang diberikan tidak
setuju kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi terarah kepada pribadi orang
yang menjadi lawan bicara.
b.
Argumen untuk mempermalukan (Argumentum ad verecundiam)
Sesat pikir ini terjadi karena argumentasi yang diberikan memang
sengaja tidak terarah kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi dibuat
sedemikian rupa untuk membangkitkan perasaan malu si lawan bicara. Contoh: ”
Jika Anda benar-benar seorang pembela kebenaran , Anda pasti akan membenarkan
saya karena apa yang saya katakan selalu benar !” Hal itu sering pula dilakukan
oleh pemasang iklan. Misalnya, “Orang yang bijaksana adalah orang yang selalu
menggunakan produk kami !”
c.
Argumen berdasarkan kewibawaan (Argumentum auctoritatis)
Dalam suatu diskusi, tiba-tiba seseorang mengatakan demikian: “saya
yakin apa yang dikatakan beliau adalah baik dan benar karena beliau adalah
seorang pemimpin yang brilian, seorang tokoh yang sangat dihormati, dan seorang
tokoh yang jenius !” jelas terlihat bahwa argumen yang dikemukakan oleh seorang
tersebut tidak berdasarkan penalaran sebagaimana mestinya, tetapi berdasarkan
pada kewibawaan si pembicara terdahulu. Sesat pikir itu perlu dihindari.
d.
Argumen ancaman (Argumentum ad baculum)
Argumen ancaman mendesak orang untuk menerima suatu konklusi
tertentu dengan alasan bahwa jika menolak akan membawa akibat yang tidak
diinginkan.
e.
Argumen belas kasihan (Argumentum ad misericordiam)
Sesat pikir ini sengaja terarah untuk membangkitkan rasa belas
kasihan si lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan.
f.
Argumen demi rakyat (Argumen ad populum)
Argumen ini dibuat untuk menghasut massa, rakyat kelompok untuk
membakar emosi mereka dengan alasan bahwa pemikiran yang melatarbelakangi auatu
usul atau program adalah demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri.
Argumen ini bertujuan untuk memperoleh dukungan atau membenarkan tindakan si
pembicara.
g.
Argumen ketidaktahuan (Argumentum ad ignorantiam)
Apabila kita memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada karena kita
tidak mengetahui apapun juga mengenai sesuatu itu, hal itu adalah sesat pikir.
Belum tentu bahwa apa yang tidak diketahui itu benar-benar tidak ada. Sesat pikir
yang demikian disebut Argumentum ad ignorantiam.[13]
D.
Kesalahan dalam berargumentasi
Meskipun
kaidah-kaidah mantik mengajarkan berpikir benar, kesalahan berpikir bisa saja
terjadi karena yang berpikir itu manusia. Jika kesalahan itu tidak disengaja,
disebut Ghalath (Ghalath al-Manthiq), sedangkan kesalahan itu disengaja,
disebut Mughalathath atau Supsathah, yaitu Sofism.
Ghalath Manthiq
tersebut ada dua macam, yaitu “kesalahan dalam formulasi” (al-aghaliyath
al-shuriyat ) dan kesalahan materi (al-aghaliyath al-madiyat).
Kesalahan pertama disebabkan oleh berbedanya salah satu syarat yang dibakukan
dalam bentuk-bentuk syakal. Sedangkan,
kesalahan kedua disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat yang ditentukan pada
bahan atau materi qiyas, artinya terdiri dari qadhiyah-qadhiyah yang salah. [14]
Telah dapat diketahui bersama bahwa ilmu mantiq merupakan salah
satu disiplin ilmu yang selalu berusaha supaya terhindar dari kesalahan dan
kekeliruan dalam berpikir, baik pada saat menyusun premis-premis maupun menarik
kesimpulan. Sekalipun demikian, manusia masih saja terjebak ke dalam kesalahan,
maka kesalahn yang terjadi pada argumentasi Burhan (logis) itu terdapat pada
dua hal, yaitu:
Pertama,
kesalahan dari sisi materi-materi yang dipakaialam premis-premis
Argumentasi Burhan, yaitu pada isi
muqoddam-muqoddam (premis-premis), bukan
pada kriteria (syarat) dan hukum-hukumnya. Maksudnya ialah suatu muqoddam yang
dalam menyusunnya tidak cermat , sehingga berakbat pada munculnya kesalahan
dalam kesimpulan yang dihasilkanya. Sedangkan kesalahan-kesalahan tesebut ,
biasanya terjadi dalam lima kemungkinan
kesalahan, yaitu:
1.
Kemungkinan kesalahan dalam menetapkan kesluruhan sifat yang pada hakikatnya berlaku
untuk satu saja dari kesurhan sifat tersebut.
2.
Kemungkinan kesalahan dalam menetapkan sifat dari sesuatu yang
posisinya dalam keadaan khusus itu, menjadi sifat dari sesuatu tersebut yang
pada hakikatnya ia berposisi dalam keadaan umum.
3.
Kemungkinan kesalahan dalam menetapkan suatu sifat dari sesuatu
dalam keadaan tetap dan menyeluruh, menjadi suatu sifat dari sesuatu yang pada
hakikatnya keberadaannya dalam keadaan khusus.
4.
Kemungkinan kesalahandalam menetapkan sesuatu (sifat) yang dengan
sendirinya ia menjadi sesuatu sifat pada susunan yang sengaja dibuat-buat
supaya ia menjadi sesuatu (sifat) dari hal tersebut.
5.
Kemungkinan kesalahan dalam menetapkan sesuatu kepada jenis
dari sesuatu yang lain, yang hakikatnya ia berlaku tetap pada nau.
Kedua,kesalahan pada penerapan pasangan dalam syakl (formula)
qiyas. Maksudnya suatu kesalahan yang terjadi pada kekeliruan dalam penerapan
pasangan, misalnya dalam syakl awwal terdapat empat pasangan yang berpotensi
kuat memunculkan suatu kesimpulan, akan tetapi dalam berpikir, orang secara
tidak sadar terkadang menggunakan pasangan lain yang tidak berpotensi kuat
memunculkan kesimpulan atau bisa memunculkan kesimpulan, tetapi hasilnya salah.dari
kenyatan seperti itu, dapat diambil pemahaman bahwa kesalahan penerapan
pasangan dalam syakl itu terjadi pada enam kemungkinan, yaitu:
1.
Kemungkinan kesalahan pada pemakaian had ausath yang sama pada
kedua qadliyyah , tetapi artinya berbeda.
2.
Kemungkinan kesalahan pada pemakaian bunyi lafal dan artinya sama,
baik pada hd ausath maupun had asghor.
3.
Kemungkinan kesalahan pada syakl III, yang hadnya ausathnya menjadi
maudlu’ bagi kedua muqoddam.
4.
Kemugkinan kesalahan pada syakl II, yang had ausatnya menjadi
mahmul pada kdua muqoddam.
5.
Kemungkinan kesalahan pada penarikan kesimpulan berupa substansi
muqaddam berdasarkan pengecualian substansi tali.
6.
Kemungkinan kesalahan pada penarikan kesimpulan berupa lawan tali
berdasarkan pengecualian lawan muqaddam.[15]
BAB III
Kesimpulan
Sejauh ini, kita telah mempelajari
cara-cara berfikir benar, melalui metode deduksi. Kini dapat kita kumpulkankan
kekeliruan-kekeliruan berfikir yang sedang terjadi. Secara garis besar kita telah mempelajari ilmu logika berarti
secara teoritis sudah dapat menggunakan akal kecerdasan daripada sebelumnya.
Namun ada baiknya bila kita mempelajari juga kesalahan-kesalahan berpikir yang
mungkin dapat kita perbuat atau mungkin diperbuat orang lain kepada kita.
Sesat pikir (fallacia, Latin atau fallacy, Inggris)
ialah kekeliruan penaralan yang disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang
tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan logika atau susunan dan
penggunaan bahasa serta penekanan kata yang secara sengaja atau tidak, telah
menyebabkan pertautan atau asoiasi gagasan tidak tepat. Biasanya, sesat pikir
tidak dapat segera diketahui karena sepintas lalu, tampak seolah-olah benar
tetapi sesungguhnya keliru. Jika pelaku sesat pikir itu tidak menyadari akan
sesat pikir yang dilakukannya, hal itu disebut paralogisme. Namun apabila sesat pikir itu dilakukan dengan
sengaja untuk menyesatkan orang lain, disebut sofisme.
Tujuan kita belajar adalah memperoleh pengetahuan yang benar,
karena kebenaran itu telah diperoleh maka berguna bagi kehidupan manusia. Dari
pengetahuan ilmu alam manusia dapat memanfaatkannya dengan baik dalam kehidupan
modern ini tidak dapat kita bayangkan andaikata pengetahuan ilmu alam yang
salah justru yang berkembang tentu dunia makin mundur.
Di dalam logika deduktif, kita dengan mudah
memperoleh kesesatan karena adanya kata-kata yang disebut homonim, yaitu kata
yang memiliki banyak arti yang dalam logika biasanya disebut kesalahan semantik
atau bahasa. Kesalahan semantik itu dapat pula disebut ambiguitas. Adapun untuk
menghindari ambiguitas dapat dengan berbagai cara, misalnya menunjukkan
langsung adanya kesesatan semantik dengan mengemukakan konotasi sejati. Memilih
kata-kata yang hanya arti tunggal, menggunakan wilayah pengertian yang tepat,
apakah universal atau partikular. Dapat juga dengan konotasi subyektif yang
berlaku khusus atau obyektif yang bersifat komprehensif.
Kesesatan di dalam logika induktif dapat dikemukakan
seperti prasangka pribadi, pengamatan yang tidak lengkap atau kurang teliti,
kesalahan klasifikasi atau penggolongan karena penggolongannya tidak lengkap
atau tumpang tindih maupun masih campur aduk. Kesesatan juga bisa terjadi pada
hipotesis karena suatu hipotesis bersifat meragukan yang bertentangan dengan
fakta. kemudian yang berkaitan dengan sebab adalah antiseden yang tidak cukup,
dan analisis yang perbedaannya tidak cukup meyakinkan. Tidak cukupnya perbedaan
itu menjadikannya suatu kecenderungan homogen, masih pula terdapat kebersamaan
yang sifatnya kebetulan. Kesalahan juga terjadi karena generalisasi yang tergesa-gesa,
atau analogi yang keliru. Kesalahan juga terjadi karena
suatu argumen ternyata memuat premis-premis yang tidak berhubungan dengan
kesimpulan yang akan dicari. Sebuah argumen yang premis-premisnya tidak
berhubungan dengan kesimpulannya merupakan argumen yang “salah” sekalipun semua
premisnya itu mungkin benar.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
Rapar, Jan
Hendrik. 1996. Pengantar Logika.Yogyakarta:
Kanisius.
Sambas,
syukriadi. 1997. Mantik Kaidah Brpikir Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Arif, Oesman.
1982. Ilmu Logika.Surabaya: Bina Ilmu.
Zaini
al-Hasyimiy, Muahammad Ma’shum. 2008. Teori Berfikir Logika.Jombang:
Darul Hikmah dan Maktabah Al-Syarifah Al-Khodijah.
[1] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, Yogyakarta: 1996, hlm. 92.
[2] Oesman Arif, Ilmu Logika, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), cetakan
ke 2, hlm. 64.
[3] Ibid., hlm. 65
[4] Syukriadi Sambas, Mantik Kaidah Berpikir Islam. Bandung, 1997,
hlm. 34.
[5] Oesman Arif, op.cit, hlm. 68.
[6] Jan Hendrik Rapar, op.cit, hlm. 92.
[7] Oesman Arif, loc.it.
[8] Jan Hendrik Rapar, loc. It.
[9] Oesman Arif, loc.it.
[10] Jan Hendrik Rapar, loc. It.
[11] Oesman Arif, op.cit, hlm. 65-67.
[12] Jan Hendrik Rapar, op.cit, hlm. 93.
[13] Ibid., hlm. 94-95.
[14] Ibid., hlm. 149.
[15] Muhammad Ma’shum Zaini al-Hasyimiy, Teori Berfikir Logic, (Jombang:
Darul Hikmah dan Maktabah Al- Syarifah
Al-Khodijah, 2008), Cetakan ke 1, hlm. 219-226.
0 comments:
Post a Comment