اَهْلاًوَسَهْلاً

Thursday, 9 January 2014

Sejarah Perkembangan Ilmu Jarh wa Ta’dil



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perkembangan Ilmu Jarh wa Ta’dil
Embrio jarh wa ta’dil sebenarnya telah ada pada masa Rasulullah.  Rasulullah pernah memuji sahabatnya pada suatu hari yaitu Khalid ibn al-Walid dengan menyebutnya sebagai sebaik-baik hamba Allah. Dia adalah pedang dari sekian pedang Allah[1]. Jarh wa ta’dil yang terdapat pada Rasulullah masih hidup hanya bersifat praktik secara langsung, dalam arti dengan ucapan dan belum ada kitab yang tersusun. Kemudian jarh wa ta’dil sebagai diplisin khusus baru tersusun dengan sempurna yaitu pada masa beberapa tahun setelah peristiwa terbunuhnya Khalifah Usman bin ‘Affan, seiring dengan merebaknya hadis-hadis palsu. Peristiwa terbunuhnya Khalifah Usman inilah yang dalam Islam dikenal dengan al-fitnah al-kubra.
Tragedi memilukan tersebut tidak hanya berdampak pada politik belaka, namun berimplikasi juga pada ranah ilmu-ilmu keislaman tradisional. Ilmu-ilmu keislaman tradisional tersebut diantaranya adalah teologi, fikih, dan hadis. Dampak yang nyata dari tragedi tersebut yaitu dengan munculnya skisme (penggolongan) baik dalam politik maupun teologi[2]. Hadis sebagai bagian dari ilmu-ilmu keislaman dalam konteks yang khusus telah mendapatkan dampak yang cuckup signifikan dari adanya al-fitnah al-kubra, yaitu berkembangnya hadis dan studinya yang diawali dengan bermunculannya hadis palsu.
Hadis-hadis palsu mulai bermunculan pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib pada abad 41 H. Umat Islam pada waktu saling bermusuhan satu sama lain. Faktor yang menjadikan mereka mengeluarkan hadis-hadis palsu yaitu untuk membela dan menyerang antar satu kelompok. Faktor tersebut bisa disebut dengan faktor politik yang dikemas dengan nuansa agama. [3]
Persebaran hadis palsu semakin merajalela, hal ini menumbuhkan keinginan para ulama untuk membuat kaidah-kaidah yang bisa dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk dapat mencirikan hadis-hadis palsu tersebut. Kaidah tersebut mengacu pada dua sisi penting dari sebuah hadis yaitu sanad dan matan.
Perkembangan selanjutnya dalam periwayatan hadis tidaklah cukup dengan hanya menyampaikan matannya saja. Periwayatan hadis harus menyertakan pula mata rantai periwayatan hadis (sanad). Para ulama menetapkan aturan yang ketat, hal ini dengan tujuan membatasi gerak seseorang untuk memalsukan hadis Nabi Muhammad SAW. Sistem seperti ini dinamakan sistem isnad.
Periwayatan hadis dengan sistem isnad berjalan dengan baik. Para ulama masih tetap semangat untuk mengembangkan studi tentang hadis, seakan merasa tak puas dengan otentitas hadis Nabi yang hanya dengan metode isnad tersebut. Para ulama pun menerapkan kaidah yang fungsinya meneliti para perawi hadis. Metode tersebut dikenal dengan istilah ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu ini berisi kaedah-kaedah untuk memeriksa dan meneliti keadaan  periwayat hadis sehingga diketahui integritas moral dan kapasitas intelektualnya, sehingga dapat diketahui hal-hal yang mengindikasikan kejujuran dan kedustaannya.[4]
B.     Kaum Alawiyin
Kami uraikan Alawiyin karena beberapa faktor petimbangan diantaranya :
1.      Pergerakan yang mereka lakukan berimbas pada berbagai goncangan yang dapat menghilangkan status keamanan di berbagai wilayah yang menjadi daerah konflik dimana dari hilangnya status kemanan tersebut berdampak besar kepada beberapa aspek kehidupan.
2.      Ada sebagian dari kalangan ahli hadits yang tidak bersikap netral diantaranya ada yang mendukung kaum Alawiyin baik secara materiil maupun spirituil.
3.      Keistimewaan pergerakan mereka didukung oleh masyarakat banyak dibandingkan pergerakan-pergerakan lainnya.
4.      Kita mengetahui bagaimana cara para politikus syi’ah untuk memanfaatkan kaum Alawiyin yang sedang bersiteru.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang yang berasal dari garis keturunan Ali bin Abi Tholib. Alawiyin memandang bahwa merekalah yang lebih layak menjadi kalifah dari pada keturunan umayyah dan abassiyah, karena itulah diantara mereka seperti  Husain Bin Ali RA melakukan pemberontakan dimasa kekalifahan umayyah yang selanjutnya disusul dengan pemberontakan lain yang dipimpin oleh Zahid bin Ali bin Husain dan putranya Yahya di masa kalifah Hisyam bin Abdul Malik.
Di awal pergerakan Abassiyah mereka menyerukan ajakan yang ditegakkan atas satu prinsip yaitu Menyandarkan Hukum Pemerintahan  Pada Arridlo (Ali bin Musa Al kadzim 153-203 H) dari keluarga nabi Muhammad SAW. Sementara kaum Alawiyinpun memiliki pandangan bahwa memang merekalah yang lebih layak dibanding selain mereka dalam memetik hasil slogan diatas. Namun saat para propagandis-propagandis itu dapat menguasai kota kuffah mereka malah membai’at assafah (Abul Abbas Abdullah khalifah pertama abassiyah bukan Arridlo yang sebagaimana diserukan-pen).
Hingga kaum Alawiyinpun naik pitam dan mencari kesempatan untuk berusaha melepaskan diri dari pemerintahan perlakuan yang kasar. Terlebih mereka telah merasakan kekerasan dalam pergaulan dengan kaum abassiyah yang hampir melebihi perlakuan kekerasan yang dilakukan kaum umayyah sendiri, karena itu merekapun melakukan pemberontakan guna melawan mereka ( Kaum Abassiyah).
1.      Pemberontakan yang dilakukan oleh Muhammad Nafiz Az- Zakiyah
Orang yang pertama kali melakukan pemberontakan dari kalangan Alawiyin adalah Muhammad Nafiz Az- Zakiyah didaerah Hijaz. Beliau termasuk cucu dari Ali dan tergolong orang terbaik dari kalangan Quarisy dari sisi keutamaan kemuliaan dan keilmuan. Beliau juga seorang yang zuhud dan ahli ibadah. Beliau dan saudaranya ibrahim enggan untuk mengikuti bai’at tersebut ia mengasingkan diri hingga keluar dimasa pemerintahan Al-Mansyur tahun 145/762 H pada saat keluarganya akan disiksa lalu beliau didukung oleh pendukung mekkah dan madinah yang diberi gelar Amirul Mu’minin. Beliaupun menghadapi pasukannya Al-mansyur hingga pada akhirnya beliau melarikan diri setelah menunjukan sikap kepahlawanan yang luar biasa.[5]
2.      Perlawanan Ibrahim ( Saudaranya Muhammad Nafiz Az- Zakiyah)
Ditengah pergolakan saudarannya, Ibrahim keluar dari pengasingannya (Kuffah) dan menguasai Darul Imarot dan mengusir kekuatan Al-mansyur. Beliau dibantu oleh ulama-ulama fuqoha bashrah dan orang-orang terkemukanya, kaum Mu’tazilah dan kaum Syi’ah zaydiyah. Imam abu hanifah pun ikut membantu beliau secara sembunyi-sembunyi diikuti oleh penduduk kota wasith (kota terdahulu di Irak antara Basrah dan Kuffah ) dan Ahwaz , faruz kepaluan di mesir dekat kepulauan Iskandariya dan Wasil bin Atha (Pemimpin ahli kalam kaum Mu’tazilah) hingga pada akhirnya beliau mendengar kabar bahwa saudaranya (Muhammad) terbunuh. Berita tersebut menyebabkan kesedihan yang mendalam pada IbraShim. Lalu Ibrahim pun menyampaikan berita terbunuhnya saudaranya itu kepada orang banyak sehingga mereka semakin bersemangat untuk membantu perjuangan kaum Alawiyin. Namun khalifah Al-Mansyur dapat memajamkan perjuangan Ibrahim tersebut.
3.      Perlawanan Husain Bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Tholib
Sebagian kaum Alawiyin yang berdomisili di Madinah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari seorang pejabat Al Hadi (Musa bin Mahdi seorang khalifah Abbasiyah ke-4 169-170 H), sehingga kaum Alawiyinpun mengangkat senjata dan mereka membai’at Al Husain sebagai pemimpin mereka. Selanjutnya mereka berperang dengan tentara pemerintah di Fukh (Suatu daerah antara Makkah dan Madinah). Pada akhirnya mereka dapat dipukul mundur hingga Al Husain terbunuh dalam perang ini. Namun ada dua orang dari kalangan Alawiyyin yang berhasil melarikan diri dari pertempuran di Fukh tadi. Dimana nantinya kedua orang tersebut lah yang melanjutkan perang selanjutnya.
4.      Perlawanan Yahya bin Abdullah bin Hasan
Beliau adalah salah seorang dari dua orang yang  berhasil kabur dalam pertempuran di Fukh ia berlindung di negeri Dailam ( suatu daerah pegunungan di Iran), selanjutnya beliau mengangkat dirinya sebagai pemimpin dimasa pemerintahan Harun Ar-Rasyid ( Khalifah Abassiyah ke-5 170-193 H/ 786-809 M). Yahya pun berdamai dengan Ar-Rasyid dan meminta jaminan keamanan kemudian pergi ke Baghdad (Irak).
Ada kekhawatiran pada diri Khalifah ( Harun Ar-Rasyid) atas ancaman yang ditimbulkan oleh Yahya hingga pada akhirnya Yahya dimasukkan kepenjara akibat adanya fitnah hingga wafat.
5.      Idris bin Abdullah (Syiah)
Ia adalah orang kedua dari orang yang melarikan diri dari pertempuran di Fukh. Beliau lalu berlindung ke Maroko dan mendapat bantuan dari kaum Bar-bar (penduduk di Afrika utara yang menentang pemerintahan Abasiyah). Selanjutnya khalifah Harun Ar-Rasyid mengutus seseorang untuk meracuninya hingga beliau wafat (177 H/793 M). Idris bin Abdullah meninggalkan istri yang sedang mengandung kemudian disaat anaknya dilahirkan para pengikutnya memberi nama Idris dan di bai’at menjadii pemimpin untuk bangsa idrisiah.
Penyebab runtuhnya bangsa ini akibat anugrahnya Harun Ar Rasyid buat kemerdekaanya bangsa aqolib (pemerintahan  184-296 H/800-909 M di Afrika yang didirikan oleh Ibrahim bin Aqlab, pembantu khalifah Harun Ar Rasyid). Supaya bangsa ini bisa melindunginya dari ancaman Abbasiyah agar tidak merambah  sampai ke Mesir dan Syam.
6.      Perlawan Muhammad Ad Dibaj
Akhir kemunculan Alawiyin di hijaz adalah munculnya Muhammad bin Ja’far As shadiq. Beliau mengangkat dirinya sebagai pemimpin di Mekkah saat khalifah Al-Ma’mun (Abdullah bin harun Ar Rasyid, Ia adalah khalifah Abbasiyah yang ke-7, termasuk khalifah terbesar dari kekhalifahan Abbasiyah).
Kemudian Muhammad bin Ja’far As shadiq di bai’at menjadi khalifah dan diberi gelar Amirul mu’minin. Kemudian Al Ma’mun mengutus pasukannya untuk menumpas pasukan Muhammad bin Ja’far As shadiq hingga dapat ditaklukan, namun akhirnya khalifah Al Ma’mun mengampuninya.
Dari kajian perlawanan-perlawanan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa :
a.       Perlawanan-perlawanan itu terjadi di Hijaz, Irak, Negeri Dailam (Iran) dan Maroko, namun yang paling sering terjadi di Hijaz.
b.      Kejadian-kejadian diatas dapat memberikan pengetahuan pada kita akan kecenderungan masing-masing daerah. Hal ini dapat membantu kita untuk mengenali tokoh-tokoh dalam keberpihakannya dan faktor-faktor penyebab sakit hati. kejadian tersebut terlebih terjadi di Hijaz yang notabennya adalah daerah hadits dan Irak sebagai pusat kebudayaan.
c.       Kita juga melihat bahwa dua imam besar yakni Imam Malik dan Imam Abu Hanifah ikut mebantu perlawanan yang dilakukan oleh Muhammad Nafis dan saudaranya ibrahim. Adapun Imam Malik pernah berfatwa agar membatalkan bai’at terhadap khalifah Al Mansyur (Kholifah Abbasiyah ke-2, 158 H). Beliau sampaikan kepada penduduk Madinah “Kalian melakukan bai’at karena terpaksa, bagi orang yang terpaksa tidak berdosa menerjang sumpah...”. akibatnya imampun mendapat hukuman berupa pukulan yang dilakukan oleh para pendukung khalifah Al manshur namun beliau tidak menghentikan sikapnya. Adapun sikap imam Abu hanifah malah membantunya terang-terangan, beliau juga mampu melemahkan semangat sebagian pemimpin pasukan yang bermaksud memerangi Ibrahim. Akibat sikapnya ini telah mempersempit ruang gerak beliau hingga akhirnya dipenjara.
Dari perlawanan-perlawanan yang dilakukan kaum Alawiyin menghasilkan kemerdekaan bagi kaum Idrisiah dan Agholibah. Demikian itu sebagaimana yang akan kita lihat terjadi setelah terbentuknya pusat-pusat dunia baru.[6]
C.    Dinasti Abbasiyah dalam periode pengaruh Persia I (Abbasiyah I),  (tahun 750-847 M/132-232 H).
Pada masa ini muncul aliran teologi rasionalis mu’tazilah yang sangat subur, bahkan dijadikan sebagi aliran resmi negara. Khusus para penulis keislaman dan ulama, mereka sering kali mendapatkan hak-hak keistimewaan dari pemerintah[7]. Para ulama ini begitu dekat dengan orang awam, bahkan mendapat dukungan dari penduduk. Maka hubungan harmonis antara pemerintahan, ulama, dan masyarakat awam ini merupakan faktor penting dalam menjaga stabilitas kerajaan, karena ulama mengarahkan mereka ke sana.
Di masa ini juga hidup dan jaya-jayanya para ulam besar, diantaranya dalam bidang hukum Islam terdapat  Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi’i. Dalam bidang teologi terdapat Wasil ibn Ata’, Abu Huzzail, al-Nazzam, al-Jubba’i, al-Asy’ari, al-Maturidi. Dalam bidang tasawuf terdapa Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj. Dalam bidang filsafat terdapat Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Maskawaih di. Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa’i di bidang hadis, dan sebagainya. [8]
D.    Dinasti Abbasiyah dalam periode pengaruh Turki I (Abbasiyah II)
Kekhalifahan Abasiyah pada periode awal telah mampu membentangkan kekuasaannya keseluruh wilayah islam kecuali Andalusia, dan sebagian sebagian daerah yang melepaskan diri dari kekuasaan mereka seperti dinasti Idrisiyah di Maroko dan Agholibah di Afrika pada masa kekhalifahan Harun Arrasyid dan dinasti Thohiriyah (Tahun 205-209 H didirikan oleh Thahir bin Husain seorang jendral perangnya Al Ma’mun Al Abbasi) di Khurasan.[9]
Puncak kejayaan dalam Islam memang terjadi di zaman al-Makmun (813-817 M/198-334 H). Namun bila dicermati maka masa ini pula yang menyebabkan munculnya embrago mundurnya dunia Islam, terutama dalam bidang politik. Ada beberapa kebijakan yang menjadi pangkal kemunduran  pada periode II  ini.
Pertama, pada periode ini perbedaan pendapat semakin meruncing, baik antar golongan/madzhab fikih maupun antar madzhab ilmu kalam. Para ulam hadis pada masa ini menghadapi golongan madzhab fikih yang fanatik. Sementara madzhab ilmu kalam terutama muktazilah sangat memusuhi ulama ilmu hadis. Pertentangan pendapat antara ulama ilmu kalam dengan ulama ilmu hadis sebenarnya telah mulai lahir sejak abad ke-2 Hijriyah. Tetapi karena pada masa itu penguasa belum memberi angin segar kepada muktazilah, maka pertentangan itu masih berada pada tingkan antargolongan saja. Namun ketika pemerintahan pada awal abad ke-3 Hijriyah dipegang oleh al-Makmun yang pendapatnya sama dengan kaum muktazilah khususnya tentang kemakhlukan, maka pad masa ini ulama hadis menghadapi ujian yang lebih berat lagi.
Pada perkembangan berikutnya ketika khalifah al-Mutawakkil mulai memegang tumpuk kekuasaan Dinasti Abbasiyah (232 H/846 M) pengaruh aliran muktazilah mualai surut. Hal ini disebabkan karena ulama hadis telah mendapatkaarn angin segar dari penguasa. Dalam catatan sejarah khalifah yang satu ini sangan menentang paham keberadaan golongan muktazilah (ahlu ra’yi), dan membela golongan ahlu al-hadis. Sehingga aliran salaf (tradisionalis) mulai berpengaruh pada pemerintahan dn menjadi aliran resmi negara pada masa kekhalifahan al-Mutawakkil (khalifah XI).
Keadaan tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan hadis. Pada masa-masa ini hadis Nabi mulai tersebar luas ke berbagai wilayah. Mahmud Abu Rayah menyebut periode ini sebagai periode penyempurnaan dan pemilahan. Yaitu penenganan terhadap hal-hal yang belum terselesaikan pada periode-periode sebelumnya seperti al-jarh wa al-ta’dil, persambungan sanad, dan ktitik matan.  Disamping itu pemisahan hadis Nabi dengan fatwa sahabat juga dilakukan oleh ulama hadis.
Kedua, pada masa secara politik terjadi perebutan pengaruh antara keturunan Arab dengan keturunan Persia. Pada akhirnya keturunan Persia yang semakin eksis dan berpengaruh, sementara keturunan Arab semakin termaginalkan. Keadaan inilah yang memicu ketegangan dan disintegrasi umat Islam. [10]
Di periode ke dua telah terjadi peristiwa besar yaitu melemahnya kekuasaan kekhalifahan hingga menyebabkan banyak dinasti yang memisahkan diri yang terjadi melalui dua fase :
a.       Semakin meningkatnya kekuasaan orang-orang Turki (232-234 H/948-950)
b.      Semakin besar pengaruh kekuasaan Buwaihiyun (oleh Abu Syuja’ Buweih)
Dengan dua periode ini muncul satu istilah poweritas pemimpin. Khalifah Al Mu’tashim (khalifah Abbasiyah ke-8, pengganti khalifah Al Ma’mun). Merupakan khalifah Abbasiyah pertama yang meminta bantuan ke bangsa Turki. Di mana pihak pemerintah menempatkan banyak orang-ornag Turki pada jabatan-jabatan tinggi pemerintahan juga menghadiahi wilayah-wilayah Islam. Hal inilah yang menjadi titik balik dari pemerintahan arab menuju pemerintahan Turki yang merupakan awal mula melemahnya kekuasaan khalifah hingga pada akhirnya lenyap sama sekali. 
Hasan Ibrahim Hasan memberikan ringkasan mengenai faktor penyebab melemahnya kekhalifahan Abbasiyah, sebagai berikut:
1.      Meluasnya wilayah Turki dan kebijakan pemerintah dalam pengangkatan dan pelepasan khalifah sesuai dengan selera mereka.
2.      Masuknya perang para wanita dalam mengurus politik pemerintahan.
3.      Banyaknya pengangkatan dan pelepasan kabinet.
4.      Pengangkatan pejabat dalam satu masa lebih dari satu kali.
Sehubungan dengan semakin meluasnya kekuasaan wilayah kaum Buwaihiyin ini maka keadaan semakin parah dari sebelumnya dikarenakan mereka adalah kaum syi’ah radikal yang tidak mau berkompromi dengan hak-hak khalifah Abbasiyah yang beraliran sunni. Inilah situasi politik secara umum pada masa itu, di mana telah terjadi peristiwa-peristiwa besar dan pemberontakan yang berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakat. Seperti pemberontakan azzanji, washil, dan al-Ahwaz.  Pemberontakan al-Ahwaz menyerukan agar nasab alawiylah yang didikuti, prinsip-prinsip dasar khawarij yang demokratis dan kemerdekaan dari perbudakan. Namun pada prakteknya tindakan mereka berlawanan dengan apa yang mereka serukan. Akibatnya banyak menelan korban. Seluruh peristiwa-peristiwa tersebut memiliki dampak sosial yang sangat besar, khususnya pada perseteruan antara syi’ah dan sunni serta penyebaran pemikiran-pemikiran yang menyeleweng sebagai hasil dari syi’ah radikal.
Hal inilah yang menjadikan para kritikus hadis untuk terus-menerus mengamalkan tugas mereka sampai akhir abad ke-4.  Setelah selesainya pembukuan hadis dalam kitab-kitab shahih yang enam, terlihat pengaruh hadis-hadis buatan (maudlu’) dalam persoalan-persoalan yang menguntungkan mereka sendiri. [11]

BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran


[1] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, as- Sunnah Qabla at -Tadwin (Kairo: Maktabah Wahdah, 1963), hlm. 253.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I dan II (Jakarta: UI Press, 1985).
[3] Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Ilmi Li al-Malayin, 1977), hlm. 266-267.
[4] Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi penelitian Hadis.
[5] Atthobary Tarikh Al Umam Wal Muluk Juz 9 Hal.201
[6] Muhammad Thahir al-Jawabi, Al-Jarh wa al-Ta’dil Bainal Mutasyadidin wal Mutasyahilin, halaman 116.
[7] W. Montgomery, Pergolakan pemikiran Politik Islam, hlm. 100.
[8] Ibid, 134.
[9] Muhammad Thahir al-Jawabi, Al-Jarh wa al-Ta’dil Bainal Mutasyadidin wal Mutasyahilin, halaman 119.
[10] Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1993), hlm. 309.
[11] Muhammad Thahir al-Jawabi, Al-Jarh wa al-Ta’dil Bainal Mutasyadidin wal Mutasyahilin, halaman 121.

0 comments: