BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Ilmu Jarh wa Ta’dil
Embrio
jarh wa ta’dil sebenarnya telah ada pada masa Rasulullah. Rasulullah pernah memuji sahabatnya pada
suatu hari yaitu Khalid ibn al-Walid dengan menyebutnya sebagai sebaik-baik
hamba Allah. Dia adalah pedang dari sekian pedang Allah[1].
Jarh wa ta’dil yang terdapat pada Rasulullah masih hidup hanya bersifat praktik
secara langsung, dalam arti dengan ucapan dan belum ada kitab yang tersusun.
Kemudian jarh wa ta’dil sebagai diplisin khusus baru tersusun dengan sempurna
yaitu pada masa beberapa tahun setelah peristiwa terbunuhnya Khalifah Usman bin
‘Affan, seiring dengan merebaknya hadis-hadis palsu. Peristiwa terbunuhnya
Khalifah Usman inilah yang dalam Islam dikenal dengan al-fitnah al-kubra.
Tragedi
memilukan tersebut tidak hanya berdampak pada politik belaka, namun
berimplikasi juga pada ranah ilmu-ilmu keislaman tradisional. Ilmu-ilmu
keislaman tradisional tersebut diantaranya adalah teologi, fikih, dan hadis.
Dampak yang nyata dari tragedi tersebut yaitu dengan munculnya skisme
(penggolongan) baik dalam politik maupun teologi[2].
Hadis sebagai bagian dari ilmu-ilmu keislaman dalam konteks yang khusus telah
mendapatkan dampak yang cuckup signifikan dari adanya al-fitnah al-kubra, yaitu
berkembangnya hadis dan studinya yang diawali dengan bermunculannya hadis
palsu.
Hadis-hadis
palsu mulai bermunculan pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib pada abad 41 H.
Umat Islam pada waktu saling bermusuhan satu sama lain. Faktor yang menjadikan
mereka mengeluarkan hadis-hadis palsu yaitu untuk membela dan menyerang antar
satu kelompok. Faktor tersebut bisa disebut dengan faktor politik yang dikemas
dengan nuansa agama. [3]
Persebaran
hadis palsu semakin merajalela, hal ini menumbuhkan keinginan para ulama untuk
membuat kaidah-kaidah yang bisa dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk dapat
mencirikan hadis-hadis palsu tersebut. Kaidah tersebut mengacu pada dua sisi
penting dari sebuah hadis yaitu sanad dan matan.
Perkembangan
selanjutnya dalam periwayatan hadis tidaklah cukup dengan hanya menyampaikan
matannya saja. Periwayatan hadis harus menyertakan pula mata rantai periwayatan
hadis (sanad). Para ulama menetapkan aturan yang ketat, hal ini dengan tujuan
membatasi gerak seseorang untuk memalsukan hadis Nabi Muhammad SAW. Sistem
seperti ini dinamakan sistem isnad.
Periwayatan
hadis dengan sistem isnad berjalan dengan baik. Para ulama masih tetap semangat
untuk mengembangkan studi tentang hadis, seakan merasa tak puas dengan
otentitas hadis Nabi yang hanya dengan metode isnad tersebut. Para ulama pun
menerapkan kaidah yang fungsinya meneliti para perawi hadis. Metode tersebut
dikenal dengan istilah ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu ini berisi kaedah-kaedah
untuk memeriksa dan meneliti keadaan
periwayat hadis sehingga diketahui integritas moral dan kapasitas
intelektualnya, sehingga dapat diketahui hal-hal yang mengindikasikan kejujuran
dan kedustaannya.[4]
B.
Kaum
Alawiyin
Kami
uraikan Alawiyin karena beberapa faktor petimbangan diantaranya :
1.
Pergerakan
yang mereka lakukan berimbas pada berbagai goncangan yang dapat menghilangkan
status keamanan di berbagai wilayah yang menjadi daerah konflik dimana dari
hilangnya status kemanan tersebut berdampak besar kepada beberapa aspek
kehidupan.
2.
Ada sebagian
dari kalangan ahli hadits yang tidak bersikap netral diantaranya ada yang
mendukung kaum Alawiyin baik secara materiil maupun spirituil.
3.
Keistimewaan
pergerakan mereka didukung oleh masyarakat banyak dibandingkan pergerakan-pergerakan
lainnya.
4.
Kita mengetahui
bagaimana cara para politikus syi’ah untuk memanfaatkan kaum Alawiyin yang
sedang bersiteru.
Kaum
Alawiyin adalah orang-orang yang berasal dari garis keturunan Ali bin Abi
Tholib. Alawiyin memandang bahwa merekalah yang lebih layak menjadi kalifah
dari pada keturunan umayyah dan abassiyah, karena itulah diantara mereka
seperti Husain Bin Ali RA melakukan
pemberontakan dimasa kekalifahan umayyah yang selanjutnya disusul dengan
pemberontakan lain yang dipimpin oleh Zahid bin Ali bin Husain dan putranya
Yahya di masa kalifah Hisyam bin Abdul Malik.
Di
awal pergerakan Abassiyah mereka menyerukan ajakan yang ditegakkan atas satu
prinsip yaitu Menyandarkan Hukum Pemerintahan
Pada Arridlo (Ali bin Musa Al kadzim 153-203 H) dari keluarga
nabi Muhammad SAW. Sementara kaum Alawiyinpun memiliki pandangan bahwa memang
merekalah yang lebih layak dibanding selain mereka dalam memetik hasil slogan
diatas. Namun saat para propagandis-propagandis itu dapat menguasai kota kuffah
mereka malah membai’at assafah (Abul Abbas Abdullah khalifah pertama abassiyah
bukan Arridlo yang sebagaimana diserukan-pen).
Hingga
kaum Alawiyinpun naik pitam dan mencari kesempatan untuk berusaha melepaskan
diri dari pemerintahan perlakuan yang kasar. Terlebih mereka telah merasakan
kekerasan dalam pergaulan dengan kaum abassiyah yang hampir melebihi perlakuan
kekerasan yang dilakukan kaum umayyah sendiri, karena itu merekapun melakukan
pemberontakan guna melawan mereka ( Kaum Abassiyah).
1.
Pemberontakan
yang dilakukan oleh Muhammad Nafiz Az- Zakiyah
Orang
yang pertama kali melakukan pemberontakan dari kalangan Alawiyin adalah
Muhammad Nafiz Az- Zakiyah didaerah Hijaz. Beliau termasuk cucu dari Ali dan
tergolong orang terbaik dari kalangan Quarisy dari sisi keutamaan kemuliaan dan
keilmuan. Beliau juga seorang yang zuhud dan ahli ibadah. Beliau dan saudaranya
ibrahim enggan untuk mengikuti bai’at tersebut ia mengasingkan diri hingga
keluar dimasa pemerintahan Al-Mansyur tahun 145/762 H pada saat keluarganya akan
disiksa lalu beliau didukung oleh pendukung mekkah dan madinah yang diberi
gelar Amirul Mu’minin. Beliaupun menghadapi pasukannya Al-mansyur hingga pada
akhirnya beliau melarikan diri setelah menunjukan sikap kepahlawanan yang luar
biasa.[5]
2.
Perlawanan
Ibrahim ( Saudaranya Muhammad Nafiz Az- Zakiyah)
Ditengah
pergolakan saudarannya, Ibrahim keluar dari pengasingannya (Kuffah) dan
menguasai Darul Imarot dan mengusir kekuatan Al-mansyur. Beliau dibantu oleh
ulama-ulama fuqoha bashrah dan orang-orang terkemukanya, kaum Mu’tazilah dan
kaum Syi’ah zaydiyah. Imam abu hanifah pun ikut membantu beliau secara
sembunyi-sembunyi diikuti oleh penduduk kota wasith (kota terdahulu di Irak
antara Basrah dan Kuffah ) dan Ahwaz , faruz kepaluan di mesir dekat kepulauan
Iskandariya dan Wasil bin Atha (Pemimpin ahli kalam kaum Mu’tazilah) hingga
pada akhirnya beliau mendengar kabar bahwa saudaranya (Muhammad) terbunuh.
Berita tersebut menyebabkan kesedihan yang mendalam pada IbraShim. Lalu Ibrahim
pun menyampaikan berita terbunuhnya saudaranya itu kepada orang banyak sehingga
mereka semakin bersemangat untuk membantu perjuangan kaum Alawiyin. Namun khalifah
Al-Mansyur dapat memajamkan perjuangan Ibrahim tersebut.
3.
Perlawanan
Husain Bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Tholib
Sebagian
kaum Alawiyin yang berdomisili di Madinah mendapat perlakuan yang tidak
manusiawi dari seorang pejabat Al Hadi (Musa bin Mahdi seorang khalifah
Abbasiyah ke-4 169-170 H), sehingga kaum Alawiyinpun mengangkat senjata dan
mereka membai’at Al Husain sebagai pemimpin mereka. Selanjutnya mereka
berperang dengan tentara pemerintah di Fukh (Suatu daerah antara Makkah dan
Madinah). Pada akhirnya mereka dapat dipukul mundur hingga Al Husain terbunuh
dalam perang ini. Namun ada dua orang dari kalangan Alawiyyin yang berhasil
melarikan diri dari pertempuran di Fukh tadi. Dimana nantinya kedua orang
tersebut lah yang melanjutkan perang selanjutnya.
4.
Perlawanan
Yahya bin Abdullah bin Hasan
Beliau
adalah salah seorang dari dua orang yang
berhasil kabur dalam pertempuran di Fukh ia berlindung di negeri Dailam
( suatu daerah pegunungan di Iran), selanjutnya beliau mengangkat dirinya
sebagai pemimpin dimasa pemerintahan Harun Ar-Rasyid ( Khalifah Abassiyah ke-5
170-193 H/ 786-809 M). Yahya pun berdamai dengan Ar-Rasyid dan meminta jaminan
keamanan kemudian pergi ke Baghdad (Irak).
Ada kekhawatiran
pada diri Khalifah ( Harun Ar-Rasyid) atas ancaman yang ditimbulkan oleh Yahya
hingga pada akhirnya Yahya dimasukkan kepenjara akibat adanya fitnah hingga
wafat.
5.
Idris bin
Abdullah (Syiah)
Ia
adalah orang kedua dari orang yang melarikan diri dari pertempuran di Fukh.
Beliau lalu berlindung ke Maroko dan mendapat bantuan dari kaum Bar-bar
(penduduk di Afrika utara yang menentang pemerintahan Abasiyah). Selanjutnya
khalifah Harun Ar-Rasyid mengutus seseorang untuk meracuninya hingga beliau
wafat (177 H/793 M). Idris bin Abdullah meninggalkan istri yang sedang
mengandung kemudian disaat anaknya dilahirkan para pengikutnya memberi nama
Idris dan di bai’at menjadii pemimpin untuk bangsa idrisiah.
Penyebab
runtuhnya bangsa ini akibat anugrahnya Harun Ar Rasyid buat kemerdekaanya
bangsa aqolib (pemerintahan 184-296
H/800-909 M di Afrika yang didirikan oleh Ibrahim bin Aqlab, pembantu khalifah
Harun Ar Rasyid). Supaya bangsa ini bisa melindunginya dari ancaman Abbasiyah
agar tidak merambah sampai ke Mesir dan
Syam.
6.
Perlawan
Muhammad Ad Dibaj
Akhir
kemunculan Alawiyin di hijaz adalah munculnya Muhammad bin Ja’far As shadiq.
Beliau mengangkat dirinya sebagai pemimpin di Mekkah saat khalifah Al-Ma’mun
(Abdullah bin harun Ar Rasyid, Ia adalah khalifah Abbasiyah yang ke-7, termasuk
khalifah terbesar dari kekhalifahan Abbasiyah).
Kemudian
Muhammad bin Ja’far As shadiq di bai’at menjadi khalifah dan diberi gelar
Amirul mu’minin. Kemudian Al Ma’mun mengutus pasukannya untuk menumpas pasukan
Muhammad bin Ja’far As shadiq hingga dapat ditaklukan, namun akhirnya khalifah
Al Ma’mun mengampuninya.
Dari
kajian perlawanan-perlawanan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa :
a.
Perlawanan-perlawanan
itu terjadi di Hijaz, Irak, Negeri Dailam (Iran) dan Maroko, namun yang paling
sering terjadi di Hijaz.
b.
Kejadian-kejadian
diatas dapat memberikan pengetahuan pada kita akan kecenderungan masing-masing
daerah. Hal ini dapat membantu kita untuk mengenali tokoh-tokoh dalam
keberpihakannya dan faktor-faktor penyebab sakit hati. kejadian tersebut
terlebih terjadi di Hijaz yang notabennya adalah daerah hadits dan Irak sebagai
pusat kebudayaan.
c.
Kita juga
melihat bahwa dua imam besar yakni Imam Malik dan Imam Abu Hanifah ikut mebantu
perlawanan yang dilakukan oleh Muhammad Nafis dan saudaranya ibrahim. Adapun
Imam Malik pernah berfatwa agar membatalkan bai’at terhadap khalifah Al Mansyur
(Kholifah Abbasiyah ke-2, 158 H). Beliau sampaikan kepada penduduk Madinah
“Kalian melakukan bai’at karena terpaksa, bagi orang yang terpaksa tidak
berdosa menerjang sumpah...”. akibatnya imampun mendapat hukuman berupa pukulan
yang dilakukan oleh para pendukung khalifah Al manshur namun beliau tidak
menghentikan sikapnya. Adapun sikap imam Abu hanifah malah membantunya
terang-terangan, beliau juga mampu melemahkan semangat sebagian pemimpin pasukan
yang bermaksud memerangi Ibrahim. Akibat sikapnya ini telah mempersempit ruang
gerak beliau hingga akhirnya dipenjara.
Dari perlawanan-perlawanan yang dilakukan
kaum Alawiyin menghasilkan kemerdekaan bagi kaum Idrisiah dan Agholibah.
Demikian itu sebagaimana yang akan kita lihat terjadi setelah terbentuknya
pusat-pusat dunia baru.[6]
C.
Dinasti
Abbasiyah dalam periode pengaruh Persia I (Abbasiyah I), (tahun 750-847 M/132-232 H).
Pada
masa ini muncul aliran teologi rasionalis mu’tazilah yang sangat subur, bahkan dijadikan
sebagi aliran resmi negara. Khusus para penulis keislaman dan ulama, mereka
sering kali mendapatkan hak-hak keistimewaan dari pemerintah[7].
Para ulama ini begitu dekat dengan orang awam, bahkan mendapat dukungan dari
penduduk. Maka hubungan harmonis antara pemerintahan, ulama, dan masyarakat
awam ini merupakan faktor penting dalam menjaga stabilitas kerajaan, karena
ulama mengarahkan mereka ke sana.
Di masa
ini juga hidup dan jaya-jayanya para ulam besar, diantaranya dalam bidang hukum
Islam terdapat Imam Malik, Abu Hanifah,
Imam Syafi’i. Dalam bidang teologi terdapat Wasil ibn Ata’, Abu Huzzail,
al-Nazzam, al-Jubba’i, al-Asy’ari, al-Maturidi. Dalam bidang tasawuf terdapa
Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj. Dalam bidang filsafat
terdapat Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Maskawaih di. Imam Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, dan an-Nasa’i di bidang hadis, dan sebagainya. [8]
D.
Dinasti
Abbasiyah dalam periode pengaruh Turki I (Abbasiyah II)
Kekhalifahan Abasiyah pada periode awal
telah mampu membentangkan kekuasaannya keseluruh wilayah islam kecuali
Andalusia, dan sebagian sebagian daerah yang melepaskan diri dari kekuasaan
mereka seperti dinasti Idrisiyah di Maroko dan Agholibah di Afrika pada masa
kekhalifahan Harun Arrasyid dan dinasti Thohiriyah (Tahun 205-209 H didirikan
oleh Thahir bin Husain seorang jendral perangnya Al Ma’mun Al Abbasi) di
Khurasan.[9]
Puncak
kejayaan dalam Islam memang terjadi di zaman al-Makmun (813-817 M/198-334 H).
Namun bila dicermati maka masa ini pula yang menyebabkan munculnya embrago
mundurnya dunia Islam, terutama dalam bidang politik. Ada beberapa kebijakan
yang menjadi pangkal kemunduran pada
periode II ini.
Pertama,
pada periode ini perbedaan pendapat semakin meruncing, baik antar
golongan/madzhab fikih maupun antar madzhab ilmu kalam. Para ulam hadis pada
masa ini menghadapi golongan madzhab fikih yang fanatik. Sementara madzhab ilmu
kalam terutama muktazilah sangat memusuhi ulama ilmu hadis. Pertentangan
pendapat antara ulama ilmu kalam dengan ulama ilmu hadis sebenarnya telah mulai
lahir sejak abad ke-2 Hijriyah. Tetapi karena pada masa itu penguasa belum
memberi angin segar kepada muktazilah, maka pertentangan itu masih berada pada
tingkan antargolongan saja. Namun ketika pemerintahan pada awal abad ke-3
Hijriyah dipegang oleh al-Makmun yang pendapatnya sama dengan kaum muktazilah
khususnya tentang kemakhlukan, maka pad masa ini ulama hadis menghadapi ujian
yang lebih berat lagi.
Pada
perkembangan berikutnya ketika khalifah al-Mutawakkil mulai memegang tumpuk
kekuasaan Dinasti Abbasiyah (232 H/846 M) pengaruh
aliran muktazilah mualai surut. Hal ini disebabkan karena ulama hadis telah
mendapatkaarn angin segar dari penguasa. Dalam catatan sejarah khalifah yang
satu ini sangan menentang paham keberadaan golongan muktazilah (ahlu ra’yi),
dan membela golongan ahlu al-hadis. Sehingga aliran salaf (tradisionalis) mulai
berpengaruh pada pemerintahan dn menjadi aliran resmi negara pada masa
kekhalifahan al-Mutawakkil (khalifah XI).
Keadaan
tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan hadis. Pada masa-masa ini
hadis Nabi mulai tersebar luas ke berbagai wilayah. Mahmud Abu Rayah menyebut
periode ini sebagai periode penyempurnaan dan pemilahan. Yaitu penenganan
terhadap hal-hal yang belum terselesaikan pada periode-periode sebelumnya
seperti al-jarh wa al-ta’dil, persambungan sanad, dan ktitik matan. Disamping itu pemisahan hadis Nabi dengan
fatwa sahabat juga dilakukan oleh ulama hadis.
Kedua,
pada masa secara politik terjadi perebutan pengaruh antara keturunan Arab
dengan keturunan Persia. Pada akhirnya keturunan Persia yang semakin eksis dan
berpengaruh, sementara keturunan Arab semakin termaginalkan. Keadaan inilah
yang memicu ketegangan dan disintegrasi umat Islam. [10]
Di periode ke dua telah terjadi peristiwa
besar yaitu melemahnya kekuasaan kekhalifahan hingga menyebabkan banyak dinasti
yang memisahkan diri yang terjadi melalui dua fase :
a.
Semakin
meningkatnya kekuasaan orang-orang Turki (232-234 H/948-950)
b.
Semakin besar
pengaruh kekuasaan Buwaihiyun (oleh Abu Syuja’ Buweih)
Dengan dua periode ini muncul satu istilah
poweritas pemimpin. Khalifah Al Mu’tashim (khalifah Abbasiyah ke-8, pengganti
khalifah Al Ma’mun). Merupakan khalifah Abbasiyah pertama yang meminta bantuan
ke bangsa Turki. Di mana pihak pemerintah menempatkan banyak orang-ornag Turki
pada jabatan-jabatan tinggi pemerintahan juga menghadiahi wilayah-wilayah Islam.
Hal inilah yang menjadi titik balik dari pemerintahan arab menuju pemerintahan
Turki yang merupakan awal mula melemahnya kekuasaan khalifah hingga pada
akhirnya lenyap sama sekali.
Hasan Ibrahim Hasan memberikan ringkasan
mengenai faktor penyebab melemahnya kekhalifahan Abbasiyah, sebagai berikut:
1.
Meluasnya
wilayah Turki dan kebijakan pemerintah dalam pengangkatan dan pelepasan
khalifah sesuai dengan selera mereka.
2.
Masuknya
perang para wanita dalam mengurus politik pemerintahan.
3.
Banyaknya
pengangkatan dan pelepasan kabinet.
4.
Pengangkatan
pejabat dalam satu masa lebih dari satu kali.
Sehubungan
dengan semakin meluasnya kekuasaan wilayah kaum Buwaihiyin ini maka keadaan
semakin parah dari sebelumnya dikarenakan mereka adalah kaum syi’ah radikal
yang tidak mau berkompromi dengan hak-hak khalifah Abbasiyah yang beraliran
sunni. Inilah situasi politik secara umum pada masa itu, di mana telah terjadi
peristiwa-peristiwa besar dan pemberontakan yang berpengaruh pada kehidupan
sosial masyarakat. Seperti pemberontakan azzanji, washil, dan al-Ahwaz. Pemberontakan al-Ahwaz menyerukan agar nasab alawiylah
yang didikuti, prinsip-prinsip dasar khawarij yang demokratis dan kemerdekaan
dari perbudakan. Namun pada prakteknya tindakan mereka berlawanan dengan apa
yang mereka serukan. Akibatnya banyak menelan korban. Seluruh
peristiwa-peristiwa tersebut memiliki dampak sosial yang sangat besar,
khususnya pada perseteruan antara syi’ah dan sunni serta penyebaran
pemikiran-pemikiran yang menyeleweng sebagai hasil dari syi’ah radikal.
Hal
inilah yang menjadikan para kritikus hadis untuk terus-menerus mengamalkan
tugas mereka sampai akhir abad ke-4.
Setelah selesainya pembukuan hadis dalam kitab-kitab shahih yang enam,
terlihat pengaruh hadis-hadis buatan (maudlu’) dalam persoalan-persoalan yang
menguntungkan mereka sendiri. [11]
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
[1] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, as- Sunnah Qabla at -Tadwin (Kairo:
Maktabah Wahdah, 1963), hlm. 253.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I
dan II (Jakarta: UI Press, 1985).
[3] Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu (Beirut: Dar
al-Ilmi Li al-Malayin, 1977), hlm. 266-267.
[4] Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi penelitian Hadis.
[6] Muhammad Thahir al-Jawabi, Al-Jarh wa al-Ta’dil Bainal Mutasyadidin
wal Mutasyahilin, halaman 116.
[7] W. Montgomery, Pergolakan pemikiran Politik Islam, hlm. 100.
[8] Ibid, 134.
[9] Muhammad Thahir al-Jawabi, Al-Jarh wa al-Ta’dil Bainal Mutasyadidin
wal Mutasyahilin, halaman 119.
[10] Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1993), hlm. 309.
[11] Muhammad Thahir al-Jawabi, Al-Jarh wa al-Ta’dil Bainal Mutasyadidin
wal Mutasyahilin, halaman 121.
0 comments:
Post a Comment