BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pembagian tasybih
Tasybih
terbagi ke dalam lima jenis. Sebelum membahas pembagian tasybih perlu mengenal
pengertian dan unsur-unsur yang terdapat daripada tasybih. Tasybih sama dengan
’perumpamaan’ atau ‘simile’, yakni perbandingan yang dinyatakan secara
eksplisit dengan menggunakan kata-kata yang menunujukkan kesamaan.[1]
Adapun menurut ahli bayan, tasybih ialah lafaz yang menunjukkan kepada
berserikatnya dua perkara (musyabah dan musyabah bih) pada suatu makna (wajah
syabah) dengan alat yang datang kepadamu.[2]
Disamping itu
rukun-rukun tasybih yaitu:
1.
Musyabah
adalah sesuatu yang hendak diserupakan.
2.
Musyabah
bih adalah sesuatu yang diserupai.
3.
Wajah
syabah adalah sifat yang terdapat pada kedua pihak itu.
4.
Adatu
tasybih adalah huruf atau kata yang penyerupaan.[3]
Macam-macam
tasybih
1.
Tasybih
mursal adalah tasybih yang disebut adat tasybih-nya
2.
Tasybih
mufashal adalah tasbih yang disebut wajah syabah-nya
اناكا لماءإن
رضيتم صفاء # وإذاما سجطت كنت لهيبا
Bila aku rela,
maka aku setenang air yang jernih; dan bila aku marah, maka aku sepanas api
menyala.
سرنافي ليل بهيم كأنهالبحر ظلا ما وإرهابا
Aku berjalan pada suatu malam yang
gelap dan menakutkan, bagaikan berjalan ditengah laut.
Dalam bait pertama, penyair menyerupakan
dirinya dengan air jernih yang tenang di kala ia sedang rela dan api yang
bergejolak ketika marah, yakni sebagai suatu yang disukai namun berpengaruh.
dalam contoh syair yang kedua malam yang gelap dan menakutkan diserupakan
dengan laut. Bila kita perhatikan kedua tasybih di atas, pada keduanya adat
tasybih disebutkan, dinamakan tasybih mursal. Dan bila kita perhatikan lagi
pada keduanya, wajah syabahnya dijelaskan dan dirinci. Sebagai tasybih yang
demikian disebut tasybih mufashal.[4]
3.
Tasybih
mu’akkad adalah tasybih yang dibuang adat tasybih-nya
الجواد في السرعة برق خا طف
Kecepatan kuda balap itu bagaikan kilat yang menyambar
انت نجم في رفعة وضياء # تجتليك العيون شرق وغربا
Kedudukanmu yang tinggi dan kemasyhuranmu yang bagaikan bintang
yang tinggi lagi bercahaya. Semua mata, baik belahan timur maupun barat,
menatap ke arahmu.
Pada contoh
pertama, kuda balap diserupakan dengan kilat yang menyambar dalam kecepatannya.
Pada contoh yang ke dua, seseorang yang dipuja diserupakan dengan bintang dalam
hal tingginya kedudukan dan luasnya ketenaran. Dalam kedua contoh di atas tidak
disebut adat tasybihnya. Hal ini dimaksud untuk menguatkan anggapan bahwa tidak
musyabah adalah pihak musyabah bih itu sendiri. Tasybih seperti ini disebut
dengan tasybih mu’akkad.[5]
4.
Tasybih
mujmal adalah tasybih yang dibuang wajah
syabah-nya
Ibnul Mu’tazz berkata:
و كأنك الشمس المنيرة دينار جلته حدائد الضراب
matahari yang bersinar itu sungguh bagaikan dinar (uang logam)yang
tampak kuning cemerlang berkat tempaan besi cetakannya.
Ibnul
Mu’taz menyerupakan matahari ketika terbit dengan dinar yang baru saja selesai
dicetak. Ia tidak menyebutkan wajah syabahnya, yakni karena kekuning-kuningnya
yang mengkilat. Macam tasybih ini, yang tidak disebut wajah syabahnya disebut
sebagai tasybih mujmal.[6]
5.
Tasybih
baligh adalah tasybih yang dibuang adat
tasybih dan wajah syabah-nya.
Al-mutanabi menyatakan tentang
Saifud Daulah yang hendak menempuh suatu perjalanan:
اين اجمعت ايهد االهمام ؟ # نحن نبت الربا وانت الغما م
kemanakah tuan hendak
menuju wahai raja yang pemurah ? kami adalah tumbuh-tumbuhan dan Tuan adalah
mendung.
Al-Muraqisy menyatakan:
النشر مسك والوجوه دنا # نير واطراف الأكف عنم
baunya yang semerbak itu bak minyak kesturi, wajah-wajah yang
berkilauan bak dinar (uang logam), dan ujung-ujung telapak tangan merah bak
pacar.
Pada bait pertama, al-Mutanabi bertanya kepada orang yang dipujanya
untuk mengungkapkan wibawanya. Ia menyatakan:
Kemana tun hendak menuju ? mengapa tuan meninggalkan kami? Kami
tidak dapat hidup tanpa Tuankarena Tuan bagaikan mendung yang menhidupkan bumi
yang mati, sedangkan kami bagaikan tumbuh-tumbuhan yang tidak dapat hidup tanpa
siraman hujan.
Pada bait kedua, al-Muraqisy merupakan bau semerbaknya seseorang
dengan minyak kesturi, menyerupakan wajah-wajah mereka dengan muka uang dinar,
dan menyerupakan ruas ujung jari dengan pacar yang biasa dipakai untuk mewarnai
kuku.
Bila kita perhatikan kedua cntoh tasybih terakhir ini, maka
keduanya termasuk jenis tasybih mu’akkad. Akan tetapi, dibuang adat
tasybih dan wajah syabah-nya. Hal ini disebabkan penyair bermaksud
untuk berlebihan dalam menganggap bahwa musyabah adalah musyabah bih itu
sendiri. Oleh karena itu, ia tidak mempergunakan adat tasybih yang
memberi kesan bahwa musyabah lebih lemah daripada musyabah bih dalam
wajah syabah, disamping tidak menggunakan wajah syabah yang
memaksakan kdua pihak dalam suatu sifat atau lebih dan tidak pada sifat yang
lain. Tasybih seperti ini disebut sebagai tasybih baligh, yang merupakan
salah satu sarana pengungkapan balaghah dan arena kompetisi yang leluasa bagi
para penyair dan penulis.[7]
B.
Maksud dan tujuan tasybih
1.
Menjelaskan
kemungkinan yang terjadi suatu hal pada musyabah, yakni ketika suatu
sangat aneh disandarkan kepada musyabah, dan keanehan tidak lenyap
sebelum dijelaskan keanehan serupa dalam kasus lain.
Contoh:
Al-Buhturi berkata:
دَانٍ إِلَى اَيْدِالْعُفاة وشاسِعٌ # عن كل نِدٍ فى الندى وضربيب
كا لبدافرط فى العلو وضوؤه #
للعصبة السرين جد قريب
Ia dekat dengan
orang-orang yang membutuhkannya, namun ia jauh dengan orang-orang yang setaraf
dengannya dalam kebajikan dan kemuliaannya. Bagaikan bulan yang sangat tinggi
namun cahayanya sangat dekat bagi orang-orang yang menempuh perjalanan di malam
hari.
Dalam
bait Al-Buhturi menyifati
orang yang dipujinya, bahwa ia sangat dekat dengan orang-orang yang
dibutuhkannya, namun ia sangat tinggi kedudukannya, jauh dengan orang-orang
yang setaraf dengannya. Akan tetapi, ketika Al-Buhturi merasa bahwa harus
menyifati orang yang dipujinya itu dengan dua sifat yang berlawanan, yakni
dekat dan jauh, maka ia hendak menunjukan bahwa hal itu dapat terjadi dan tiada
kesulitan dalam masalah itu. Untuk itu, ia menyerupakan orang yang dipujinya
itu dengan bulan yang letaknya jauh di langit, tatapi cahayanya sangat dekat
kepada orang-orang yang menempuh perjalanan di waktu malam. Hal ini adalah
salah satu tujuan tasybih, yakni menunjukkan kemungkinan suatu hal dapat
terjadi pada musyabah.[8]
2.
Menjelaskan
keadaan musyabah, yakni jika musyabah tidak dikenal sifatnya sebelum dijelaskan
sebelum tasybih yang menjelaskannya. Dengan demikian, tasybih itu memberikan
pengertian yang sama dengan kata sifat. Contohnya:
An-Nabighah
Adz-Dzubyani berkata:
كأنك شمس والملوك كواكب # اذا طلعت لم يبد منهن كوكب
Seakan-akan engkau adalah matahari,
sedangkan raja-raja lain adalah bintang-bintangnya. Bila matahari telah terbit,
maka tiada satu bintang pun tampak
An-Nabighah
berkata merupakan orang yang dipujinya dengan matahari dan menyerupakan
Raja-raja lainnya dengan bintang-bintang karena pengaruh raja yang dipujinya
itu mengalahkan semua raja lainnya, seperti matahari menyembunyikan
bintang-bintang. Jadi, ia ingin menjelaskan kondisi raja yang dipuji dan
raja-raja lainnya. Dengan demikian, penjelasan suatu keadaan juga merupakan
salah satu maksud dan tujuan tasybih.[9]
3.
Menjelaskan kadar keadaan musyabah, yakni bila
musyabah sudah diketahui keadaan secara global, lalu tasybih didatangkan untuk
menjelaskan rincian keadan itu. Contohnya:
Al-Mutanabbi berkata dalam menyifati seekor singa:
ما قوبلت عيناه إلا ظنتا # تحت الدجى نارالفريق حلولا
Kedua mata
singa itu bila dalam kegelapan tidak dapat ditangkap mata kita kecuali disangka sebagai api
sekelompok orang yang mendiami daerah itu.
Syair
al-Mutanabi menjelaskan sifat mata singa dalam kegelapan, ia tampak merah
menyala sehingga orang yang melihatnya dari kejauhan akan menyangkanya sebagai
api yang dinyalakan oleh sekelompok orang yang tengah bermukim. Seandainya Al-Mutanabbi
tidak membuat tasybih, maka ia cukup
berkata, “Sesungguhnya kedua mata singa itu merah.” Namun, karena ia merasa perlu untuk
menghadirkan isi hatinya itu dalam bentuk tasybih, maka ia menjelaskan kadar
kebesaran warna merah mata singa tersebut. Jadi menjelaskan gambar sesuatu
adalah salah satu maksud dan tujuan tasybih.[10]
4.
Menegaskan
kedaan musyabah, yakni bila sesuatu yang disandarkan kepada musyabah itu
membutuhkan penegasan dan penjelasan dengan contoh.
Dan berhala-berhala yang mereka
sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka,
melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air
supaya sampai air ke mulutnya. (Q.S. Ar-Ra’d: 14)
Adapun firman Allah adalah menjelaskan keadaan orang yang menyembah
berhala yang menyembah tuhan-tuhan mereka yang tidak dapat memenuhi permintaan
mereka, dan do’a mereka itu tidak membawa faedah bagi diri mereka. Allah ingin
menjelaskan hal itu. Agar dapat diresapi oleh setiap orang , maka Di
menyerupakan mereka dengan orang yang membuka. Kedua telapak tangannya ke dalam
untuk diminum, maka dengan cara demikian air tidak sampai ke mulut, melainkan
akan jatuh kembali melalui sela-sela jari tangannya selam telaak dan jarinya
terbuka. Jadi, maksud dan tujuan tasybih dalam ayat di atas untuk menegaskan
keadan musyabah. Maksud dan tujuan demikian
ditempuh manakala musyabah merupakan hal yang bersifat abstrak,
mengingat yang abstrak sulit dipahami, tidak sebagaimana hal yang kongkret.
Maka untuk memudahkan pengertian, diserupakanlah dengan hal yang kongkret.[11]
5.
Memperindah
atau memperburuk musyabah.
Abul Hasan Al-Anbari, berkata dalam menyifati orang yang disalib
مددت يديك نحو هم احتفاء # كمد هما إليهم با لهبات
Uluran tanganmu kepada mereka dengan penuh penuh penghormatan
adalah seperti uluran tangan kepada mereka dengan beberapa pemberian.
Syair Abul Hasan Al-Anbari meerupakan
kasidah yang sangat mashur di dunia sastra Arab. Hal itu tiada lain karena
menyatakan kebagusansesuat yang disepakati oleh seluruh manusia sebagai sesuatu
yang jelek dan mengerikan, yakni penyaliban. Ia menyerupakan uluran tangan
orang yang disalib ke tiang salib dan dikelilingi oleh sekelompok manusia
dengan uluran tangannya untuk memberikan sesuatu kepada para peminta-minta
ketika hidup. Maksud dan tujuan dalam syair ini adalah untuk memperindah
sesuatu. Tujuan tasybih yang demikian sering ditampakkan dalam bentuk pujian,
ratapan, keagungan, dan untuk mengundang rasa belas kasihan.
Seorang Arab Badui berkata dalam
mencela istrinya
وتفتح لاكا نت فما لو ريته # توهمته بابا من النار يفتح
Ia membuka mulutnya, sebaiknya ia tidak pernah lahir. Bila engkau
melihat mulutnya itu maka engkau akan menduganya sebagai satu pintu neraka yang
terbuka
Pada bait terakhir, penyair
menyifati istrinya yang sedang marah dan menyakitkan, sehingga ia menyesalkan
keberadaannya. Dan untuk ia berkata laa kaanat (sebaiknya ia tidak perah
lahir). Ia menyerupakan mulut istrinya itu ketika terbuka menghamburkan
kemarahannya dengan salah satu pintu neraka. Maksuda dan tujuan tasybih dalam
syair ini adalah menjelekkan sesuatu . kebanyakan maksud dan tujuan demikian
dipakai untuk mengejek dan menggambarkan hal yang tidak disukai.[12]
BAB III
Kesimpulan
Tasybih
sama dengan ’perumpamaan’ atau ‘simile’, yakni perbandingan yang dinyatakan
secra eksplisit dengan menggunakan kata-kata yang menunujukkan kesamaan. Adapun
menurut ahli bayan, tasybih ialah lafaz yang menunjukkan kepada berserikatnya
dua perkara (musyabah dan musyabah bih) pada suatu makna (wajah syabah) dengan
alat yang dating kepadamu.
Disamping itu
rukun-rukun tasybih yaitu:
1.
Musyabah
adalah sesuatu yang hendak diserupakan.
2.
Musyabah
bih adalah sesuatu yang diserupai.
3.
Wajah
syabah adalah sifat yang terdapat pada kedua pihak itu.
4.
Adatu
tasybih adalah huruf atau kata yang penyerupaan.
Macam-macam
tasybih
1.
Tasybih
mursal adalah tasybih yang disebut adat tasybih-nya
2.
Tasybih
mufashal adalah tasbih yang disebut wajah
syabah-nya
3.
Tasybih
mu’akkad adalah tasybih yang dibuang adat tasybih-nya
4.
Tasybih
baligh adalah tasybih yang dibuang adat
tasybih dan wajah syabah-nya.
5.
Tasybih
mujmal adalah tasybih yang dibuang wajah
syabah-nya
Maksud dan tujuan
1.
Menjelaskan
kemungkinan yang terjadi suatu hal pada musyabah
2.
Menjelaskan
keadaan musyabah
3.
Menjelaskan kadar keadaan musyabah
4.
Menegaskan
kedaan musyabah
5.
Memperindah
dan memperburuk musyabah.
\
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
D. Hidayat. Tanpa Tahun Balaghah Untuk Semua. Semarang:
Karya Toha Putra.
Abdurrahman Al-Adhori. 2009. Terjemah Jauharul Maknun. Surabaya:
Mutiara Ilmu.
Ali
Al Jarim dan Mustafa Amin. 2009 Terjemah Al-Balaghaatul Waadhihah.
Bandung: Sinar Baru Algensido.
[1]D.
Hidayat, Balaghah Untuk Semua, (Semarang: Karya Toha Putra, tt), hal.
113.
[2]
Abdurrahman Al-Adhori, Terjemah Jauharul Maknun, (Surabaya: Mutiara
Ilmu, 2009), cetakan pertama, hal. 86.
[3]
Ali Al Jarim dan Mustafa Amin, Terjemah Al-Balaghaatul Waadhihah, (Bandung:
Sinar Baru Algensido, 2011), cet ke 9, hal. 20.
[4]
Ibid., hal. 27
[5]
Ibid., hal. 28
[6]
Ibid., hal. 27
[7]
Ibid., hal. 28
[8]
Ali Al Jarim dan Mustafa Amin, Terjemah Al-Balaghaatul Waadhihah, (Bandung:
Sinar Baru Algensido, 2011), cet ke 9, hal. 70.
[9]
Ibid., hal. 70.
[10]
Ibid., hal. 70.
[11]
Ibid., hal. 71.
[12]
Ibid., hal. 71.
0 comments:
Post a Comment