اَÙ‡ْلاًÙˆَسَÙ‡ْلاً

Sunday 5 January 2014

Pendekatan Aksiologi Filsafat Ilmu



BAB II
PEMBAHASAN
Pendekatan Aksiologi Filsafat Ilmu
A.    Pengertian Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan ? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral ? bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? bagaimana kaitan antara teknik, prosedural yang merupakan operasional metode ilmiah dengan moral-moral  atau profesional (Jujun S. Suriasumantri, 1985, hlm. 34-35)
Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
 Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan  secara kumunal dan universal. Kumunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunya konotasi ras, ideologi, atau agama.[1]
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi. Ada beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya:
1.      Aksiologi berasal dari kata axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yng berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai[2]
2.      Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri filsafat Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dan pengetahuan yang diperoleh.
3.      Menurut Bramel, aksiologi terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu  tindakan moral, idang ini melahirkan bidang khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Sosio-political life.yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan flsafat sosio- politik.[3]
4.      Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value dan Valuation . ada tiga bentuk Value dan Valuation.
a.       Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, dan kesucian. Penggunan nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik  atau predikat pro dan kontra, sebagai suatu lawan dari suatu yang lain dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai aksiologi adalah bagian dari etika.
b.      Nilai sebagai kata benda kongktret. Contohnya ketika berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang bernilai seperti nilainya, nilai dia, dan, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaiman berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.       Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalsam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai[4]
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.[5]
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.  Seperti ungkapan ‘’saya pernah belajar etika’’. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan, perbuatan atau manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan: ia bersifat etis atau ia seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan yang tidak susila.[6]
B.  Faktor dalam soal aksiologi
Soal utama aksiologi berkaitan dengan empat factor penting berikut:
1.      Apakah nilai itu berasal dari keinginan, kesenangan, kepentingan, keinginan rasio murni, berbagai pengalaman yang mendorong semangat hidup.
2.      Jenis-jenis nilai menyangkut nilai intrinsic, nilai-nilai instrumental yang menjadi penyebab.
3.      Kriteria nilai berarti ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh teori psikologi dan logika menurut kaum hedonis ukuran nilai terletak pada kenikmatan yang dilakukan seseorang atau masyarakat. Para penganut idealis mengakui sistem obyektif norma-norma rasional atau ideal sebagai kriteria.
4.      Status metafisika nilai mempersoalkan bagaimana hubungan antara nilai terhadap fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu alam. Ditemukan tiga macam jawaban jawaban:
a.       Subjektivisme: nilai merupakan sesuatu yang terikat pada pengaaman manusia.
b.      Obyektivisme logis melihat bahwa nilai merupakan hakikat yang bebasdari keberadannya yang diketahui tanpa status eksistensial atau tindakan dalam realitas.
c.       Obyektivisme metafisik menganggap bahwa nilai atau norma adalah integral dan obyektif.[7]
Nilai itu objektif ataukah subyektif  adalah sangat tergantung  dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subyektif, apabila subyek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ukur segalanya atau eksistensnya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah nilai bersifat psikis ataupun fisis. Dengan demikin nilai subyektif akan memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia , seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subyektif  selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.[8]
Nilai itu obyektif, jika idak tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai. Nilai obyektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang obyektivisme. Obyektivisme ini beranggapan pada tolok ukur suatu gagasan berada pada obyeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Misalnya kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan pada obyektivitas fakta, kebenaran tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur-prosedur. Demikian juga dengan nilai orang yang berselera rendah tidak mengurangi keindahan sebuah karya seni.
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukut kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuan bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai obyektif hanya menjadi tujuan utamanya, dan tidak mau terikat dengan nilai-nilai subyektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuankegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.[9]

Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun  konktret seperti teknologi. Teknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan ataukah masalah moral ? apabila teknologi itu menimbulkan akses yang negative terhadap masyarakat.[10]
Di hadapan dengan masalah moral dalam akses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuan terbagi terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmu hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah dipergunakan dengan tujuan baik atau buruk. Golongan kedua bahwa netralitas ilmu tehadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuwan, sedang dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitis ilmu terletak  pada epistomologisnya saja. Artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuan mempunyai landasan moral yang kuat.
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan  secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan . Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapay menerapkan rinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindari yang buruk dalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang mempertanggungjawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma  moral. Lalu apa yang menjadi criteria pada nilai dan norma moral itu ? norma moral tidak beriri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama pada nilai moral adalah yang terkait dengan tanggungjawab seseorang norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik atau buruk dari segi etis. Bagi seorang ilmuan , nilai dan norma moral yang dimilikinya menjadi penentu, apakah ia menjadi ilmuan yang baik ataukah belum.
Peneraan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuan, apakah itu berupa teknologi maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tangah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang terkait dengan nilai-nilai ? ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya, agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan diinya. Solusi yang diberikan Al-Qur’an terhadapap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah  dan rahmat bagi manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.[11]
C.    Tujuan ilmu pengetahuan
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sndiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan , seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan manusia yang sangat terbatas di muka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengrtahuan untuk meringankan beban hidup manusia, karena dari ilmu pengetahuan itulah nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah , seperti kebutuhan pangan, sandang, energy, kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.[12]
















BAB III
KESIMPULAN
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan. Permasalahan yang utama dalam aksiologi  adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.

Soal utama aksiologi berkaitan dengan empat factor penting berikut:
1.   Apakah nilai itu berasal dari keinginan, kesenangan, kepentingan, keinginan rasio murni, berbagai pengalaman yang mendorong semangat hidup.
2.   Jenis-jenis nilai menyangkut nilai intrinsic, nilai-nilai instrumental yang menjadi penyebab.
3.   Kriteria nilai berarti ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh teori psikologi dan logika menurut kaum hedonis ukuran nilai terletak pada kenikmatan yang dilakukan seseorang atau masyarakat. Para penganut idealis mengakui sistem obyektif norma-norma rasional atau ideal sebagai kriteria.
4.   Status metafisika nilai mempersoalkan bagaimana hubungan antara nilai terhadap fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu alam.

Netralitis ilmu terletak  pada epistomologisnya saja. Artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuan mempunyai landasan moral yang kuat.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sndiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan , seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya.



BACA JUGA : MOTi EXPONENT

Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran

Daftar Pustaka
Amsal Bakhtiar. 2005.  Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo.
Burhanuddin Salam. 1997. Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Reneka Cipta.
Jalaludin dan Abdullah ldi. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kondrat Kebung. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Surajiyo. 2010.  filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.



[1] Surajiyo, filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet.ke-5, hal. 152.
[2] Burhanuddin Salam, Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet ke-1, hal. 168.
[3] Jalaludin dan Abdullah ldi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) cet. Ke-1, hal. 106.
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), cet ke 2, hal. 165.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Kondrat Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), cet petama, hal. 14-15.
[8]Amstal bachtiar. Loc.it., hal. 166.
[9]Ibid., hal. 167.
[10] Ibid., hal. 169.
[11] Ibid., hal. 170-171
[12] Ibid., hal. 174

0 comments: