BAB
II
PEMBAHASAN
Pendekatan Aksiologi Filsafat Ilmu
A.
Pengertian Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang
nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan ? bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral ? bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? bagaimana kaitan antara teknik,
prosedural yang merupakan operasional metode ilmiah dengan moral-moral atau profesional (Jujun S. Suriasumantri,
1985, hlm. 34-35)
Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan
dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan
sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan
kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
Untuk
kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun
dipergunakan secara kumunal dan
universal. Kumunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik
bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal
berarti bahwa ilmu tidak mempunya konotasi ras, ideologi, atau agama.[1]
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan
aksiologi. Ada beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya:
1.
Aksiologi
berasal dari kata axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yng
berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai[2]
2.
Sedangkan
arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri filsafat
Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dan pengetahuan yang diperoleh.
3.
Menurut
Bramel, aksiologi terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, idang ini melahirkan bidang
khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi
keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Sosio-political life.yaitu
kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan flsafat sosio- politik.[3]
4.
Dalam
Encyclopedia of Philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value
dan Valuation . ada tiga bentuk Value dan Valuation.
a.
Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak.
Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan
dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk
kewajiban, dan kesucian. Penggunan
nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam
kritik atau predikat pro dan kontra,
sebagai suatu lawan dari suatu yang lain dan ia berbeda dengan fakta. Teori
nilai aksiologi adalah bagian dari etika.
b.
Nilai sebagai kata benda kongktret. Contohnya
ketika berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk
merujuk pada sesuatu yang bernilai seperti nilainya, nilai dia, dan, dan sistem
nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai
sebagaiman berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.
Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalsam
ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai[4]
Dari
definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika.[5]
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti,
pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan manusia. Seperti
ungkapan ‘’saya pernah belajar etika’’. Arti kedua, merupakan suatu predikat
yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan, perbuatan atau
manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan: ia bersifat etis atau ia seorang
yang jujur atau pembunuhan merupakan yang tidak susila.[6]
B.
Faktor dalam soal aksiologi
Soal utama aksiologi berkaitan
dengan empat factor penting berikut:
1.
Apakah
nilai itu berasal dari keinginan, kesenangan, kepentingan, keinginan rasio
murni, berbagai pengalaman yang mendorong semangat hidup.
2.
Jenis-jenis
nilai menyangkut nilai intrinsic, nilai-nilai instrumental yang menjadi
penyebab.
3.
Kriteria nilai berarti ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh teori psikologi
dan logika menurut kaum hedonis ukuran nilai terletak pada kenikmatan yang
dilakukan seseorang atau masyarakat. Para penganut idealis mengakui sistem
obyektif norma-norma rasional atau ideal sebagai kriteria.
4.
Status metafisika nilai mempersoalkan
bagaimana hubungan antara nilai terhadap fakta yang diselidiki melalui
ilmu-ilmu alam. Ditemukan tiga macam jawaban jawaban:
a.
Subjektivisme: nilai merupakan sesuatu yang
terikat pada pengaaman manusia.
b.
Obyektivisme logis melihat bahwa nilai
merupakan hakikat yang bebasdari keberadannya yang diketahui tanpa status
eksistensial atau tindakan dalam realitas.
c.
Obyektivisme metafisik menganggap bahwa nilai
atau norma adalah integral dan obyektif.[7]
Nilai
itu objektif ataukah subyektif adalah sangat
tergantung dari hasil pandangan yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subyektif, apabila subyek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ukur segalanya atau
eksistensnya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah nilai bersifat psikis ataupun
fisis. Dengan demikin nilai subyektif akan memperhatikan berbagai pandangan
yang dimiliki akal budi manusia , seperti perasaan, intelektualitas dan hasil
nilai subyektif selalu akan mengarah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.[8]
Nilai
itu obyektif, jika idak tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai.
Nilai obyektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
obyektivisme. Obyektivisme ini beranggapan pada tolok ukur suatu gagasan berada
pada obyeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Misalnya kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan pada
obyektivitas fakta, kebenaran tidak diperkuat atau diperlemah oleh
prosedur-prosedur. Demikian juga dengan nilai orang yang berselera rendah tidak
mengurangi keindahan sebuah karya seni.
Kemudian
bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. seorang ilmuan haruslah bebas
dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang
nantinya akan dapat mengukut kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuan
bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan penelitiannya
berhasil dengan baik. Nilai obyektif hanya menjadi tujuan utamanya, dan tidak
mau terikat dengan nilai-nilai subyektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat,
nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuankegiatan ilmiahnya
dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.[9]
Setelah
ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik,
ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak
maupun konktret seperti teknologi.
Teknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul
pertanyaan, bagaimana teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi, apakah
ini merupakan masalah kebudayaan ataukah masalah moral ? apabila teknologi itu
menimbulkan akses yang negative terhadap masyarakat.[10]
Di hadapan dengan masalah moral dalam akses
ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuan terbagi terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama
berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu
secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmu hanyalah menemukan
pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah
dipergunakan dengan tujuan baik atau buruk. Golongan kedua bahwa netralitas
ilmu tehadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuwan, sedang
dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus
ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah
hakikat kemanusiaan.
Dari
dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitis ilmu terletak pada epistomologisnya saja. Artinya tanpa
berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara
ontologis dan aksiologis, ilmuan harus mampu menilai mana yang baik dan mana
yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuan mempunyai landasan
moral yang kuat.
Etika
keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis
yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan . Tujuan etika keilmuan
adalah agar seorang ilmuan dapay menerapkan rinsip-prinsip moral, yaitu yang
baik dan menghindari yang buruk dalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat
menjadi ilmuan yang mempertanggungjawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan
kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan
apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan
apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Nilai
dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi criteria pada
nilai dan norma moral itu ? norma moral tidak beriri sendiri, tetapi ketika ia berada
pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung nilai yang ada seperti
nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama pada nilai moral
adalah yang terkait dengan tanggungjawab seseorang norma moral menentukan
apakah seseorang berlaku baik atau buruk dari segi etis. Bagi seorang ilmuan ,
nilai dan norma moral yang dimilikinya menjadi penentu, apakah ia menjadi
ilmuan yang baik ataukah belum.
Peneraan ilmu pengetahuan yang telah
dihasilkan oleh para ilmuan, apakah itu berupa teknologi maupun teori-teori
emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai
kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu
pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di
tengah-tangah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang
terkait dengan nilai-nilai ? ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya,
dan agamalah yang menjadi konteksnya, agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada
tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah agar
manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan diinya. Solusi yang diberikan Al-Qur’an terhadapap ilmu pengetahuan yang
terikat dengan nilai adalah cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur
semestinya, sehingga ia menjadi berkah
dan rahmat bagi manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.[11]
C. Tujuan ilmu pengetahuan
Tentang
tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan
para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sndiri merupakan tujuan
pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan
ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan , seni untuk seni, sastra
untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah
sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian
yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya
para peneliti atau ilmuan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk
menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan manusia yang sangat terbatas di
muka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengrtahuan untuk
meringankan beban hidup manusia, karena dari ilmu pengetahuan itulah nantinya
akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk
mengatasi berbagai masalah , seperti kebutuhan pangan, sandang, energy,
kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat lainnya cenderung menjadikan
ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi
umat manusia secara keseluruhan.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Aksiologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi
mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan. Permasalahan yang utama dalam aksiologi adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud
adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada
permasalahan etika dan estetika.
Soal utama aksiologi berkaitan dengan empat factor penting berikut:
1.
Apakah
nilai itu berasal dari keinginan, kesenangan, kepentingan, keinginan rasio
murni, berbagai pengalaman yang mendorong semangat hidup.
2.
Jenis-jenis
nilai menyangkut nilai intrinsic, nilai-nilai instrumental yang menjadi
penyebab.
3.
Kriteria nilai berarti ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh teori psikologi
dan logika menurut kaum hedonis ukuran nilai terletak pada kenikmatan yang
dilakukan seseorang atau masyarakat. Para penganut idealis mengakui sistem
obyektif norma-norma rasional atau ideal sebagai kriteria.
4. Status metafisika nilai mempersoalkan bagaimana hubungan antara nilai
terhadap fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu alam.
Netralitis
ilmu terletak pada epistomologisnya
saja. Artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang
nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuan harus mampu menilai
mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang
ilmuan mempunyai landasan moral yang kuat.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat
antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sndiri
merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan
tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan , seni
untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
Amsal Bakhtiar. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo.
Burhanuddin Salam. 1997. Logika Materil:
Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Reneka Cipta.
Jalaludin dan Abdullah ldi. 1997. Filsafat
Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kondrat Kebung. 2011. Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Surajiyo. 2010. filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
[1]
Surajiyo, filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet.ke-5, hal.
152.
[2]
Burhanuddin Salam, Logika
Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet
ke-1, hal. 168.
[3]
Jalaludin dan Abdullah ldi, Filsafat
Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) cet. Ke-1, hal. 106.
[4]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
Raja Grafindo, 2005), cet ke 2, hal. 165.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
[7]
Kondrat Kebung, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), cet petama, hal. 14-15.
0 comments:
Post a Comment