A.Sistem Pemerintahan dalam Siyasah Dusturiyah
Islam
merupakan agama yang komprehensif dan telah mengatur seluruh sendi kehidupan
manusia, tidak hanya dalam masalah individual namun termasuk juga dalam masalah
kenegaraan. Berkaitan dengan sistem pemerintahan, dalam Islam tercermin
sebagaimana pada konsep imamah dimana hal ini secara eksplisit telah diatur
dalam siyasah dusturiyah, yaitu siyasah yang berhubungan dengan peraturan dasar
tentang bentuk pemerintahan dan batasan kekuasaannya, cara pemilihan (kepala
negara), batasan kekuasaan yang lazim bagi pelaksanaan urusan umat, dan
ketetapan hak-hak yang wajib bagi individu dan masyarakat, serta hubungan
antara penguasa dan rakyat..[1] Ruang
lingkup pembahasan dalam siyasah dusturiyah ini meliputi masalah-masalah
imamah, hak dan kewajibannya, rakyat status dan hak-haknya, bai’at, waliyul ’ahdi, perwakilan, ahlul halli wal aqdi dan wazarah.[2]
Ruang
lingkup siyasah dusturiyah tersebut di atas tidak akan dipaparkan semua dalam
penulisan ini, sebab sehubungan dengan tema dalam makalah ini, maka pembahasan
dalam penulisan ini hanya akan dipaparkan dua masalah saja yaitu tentang imamah
dan bai’at. Dimana imamah ini merupakan cerminan daripada sistem pemerintahan
di dalam Islam sedangkan bai’at sendiri merupakan cerminan tentang adanya konsep
koalisi di dalam Islam. Kedua masalah tersebut akan dipaparkan sebagai berikut:
1.Imamah
a. Pengertian Imamah
Imamah
menurut bahasa berarti kepemimpinan. Imamah yang memiliki arti pemimpin, ia
disebut ketua yang memimpin bawahanya. Imamah sering juga disebut khalifah,
yaitu penguasa atau pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam juga digunakan untuk
orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu, untuk pemimpin pasukan, dan untuk
orang dengan fungsi lainnya.[3]
Al-Qur’an
tidak menyebutkan kata imamah, yang ada hanya kata imam(pemimpin) dan ’aimmah
(pemimpin-pemimpin), seperti:
“Kami
telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpinpemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan
kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah
mereka selalu menyembah”. (Q.S. Al-Anbiya : 73)[4]
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‚Sesungguhnya aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya
mohon juga) dari keturunanku‛ Allah berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang yang zalim”. Q.S. Al-Baqarah [2] : 124)[5]
Dengan
demikian, berdasarkan tinjauan arti imamah secara epistimologi, kata imam
berarti pemegang kekuasaan atas umat Islam. Syekh Abu Zahrah mengatakan bahwa‚ imamah
itu berarti juga khalifah, sebab orang yang menjadi khalifah adalah penguasa
tertinggi (pimpinan tertinggi) bagi umat Islam setelah Nabi wafat.[6]
Suyuthi
Pulungan dalam bukunya fiqh siyasah mengemukakan bahwa pengertian imamah baik
secara etimologis maupun terminologis, menunjukkan bahwa istilah-istilah itu
muncul dalam sejarah Islam sebagai sebutan bagi institusi politik untuk
menggantikan fungsi kenabian dalam urusan agama dan urusan politik. Secara
historis institusi khilafah muncul sejak terpilihnya Abu Bakar sebagai khilafat
Rasulullah dalam memimpin umat Islam sehari setelah beliau wafat. Kemudian
setelan Abu Bakar wafat berturut-turut terpilih Umar bin Khattab, Usman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib dalam kedudukan yang sama.
Jadi perkembangan arti khilafah dari penggantian
kepada pemerintahan alias‚institusi pemerintahan dirasionalisasikan dan diberi
label agama yang dikaitkan dengan kedudukan Abu Bakar dan penerusnya dalam
memimpin umat Islam dalam urusan agama dan politik.[7]
Sebagai
pemangku jabatan dalam keimamahan ini disebut imam. Kata imam sendiri merupakan
turunan dari kata amma yang berarti menjadi ikutan. Kata imam berarti‚ pemimpin
atau contoh yang harus diikuti. Adapun secara istilah Imam adalah seorang yang
memegang jabatan umum dalam urusan agama dan urusan dunia sekaligus.[8]
b.Suksesi Imamah
Berkaitan
dengan sistematika untuk menentukan seorang imam, hal ini dapat dilihat dari
beberapa praktik dari proses pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama
hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Seluruh mekanisme dalam pemililihan
Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib tersebut telah memberikan gambaran kepada
kita bagaimana mekanisme pemilihan seorang kepala negara dalam pemerintahan
Islam.
Pemilihan
dan penetapan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah dilakukan secara demokratis.
Pencalonannya, diusulkan oleh Umar bin Khattab yang kemudian mendapatkan
dukungan dari Basyir bin Sa’d selaku ketua suku Khazraj dan Usaid bin Hudhair
seorang pemimpin kaum Aus. Pencalonan Abu Bakar tesebut akhirnya memperoleh
kesepakatan dari sebagian besar yang hadir pada saat itu walaupun sebelumnya
harus melalui proses perdebatan yang panjang.[9]
Ketika
Abu Bakar sakit dan merasa kematiannya sudah dekat, ia memanggil para pemuka
sahabat yaitu Umar, Usman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan beberapa tokoh lainnya dari kalangan Muhajirin dan
Anshar. kemudian mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan maksud
untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan
umat Islam. Para pemuka yang dipanggil Abu Bakar tersebut ternyata tidak
keberatan dengan pilihan khalifah Abu Bakar tersebut.[10]
Selanjutnya
setelah Khalifah Umar wafat, posisi beliau digantikan Usman bin Affan untuk
menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar.
Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah
seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin
Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf. Keenam sahabat ini mempunyai hak memilih
dan dipilih. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk
Usman sebagai khalifah.11
Usman
dikenal sebagai khalifah yang bijaksana, beliau adalah orang yang anti
kekerasan ataupun kesewenang-wenangan, tanpa adanya suatu dasar hukum yang
dapat membenarkan tindakannya itu. Namun sangat disayangkan, sikap bijaksana
khalifah Usman itu telah dieksploitir dan dikhianati oleh kelompok Sabaiyah, karena
ternyata mereka mengepung tempat kediaman khalifah Usman dan kemudian
membunuhnya secara kejam.[11]
Wafatnya
Usman maka jabatan khalifah menjadi kosong. Ali dicalonkan untuk mengisi
kekosongan itu. Mula-mula Ali menolak dan Ali menghubungi Thalhah dan Zubair,
Ali menginginkan salah seorang diantara mereka bersedia untuk dipilih sebagai
khalifah dan beliau siap untuk melakukan bai’at kepada salah seorang dari
mereka.
Pada
akhirnya masalah penentuan khalifah itu diserahkan kepada umat Islam untuk
menentukannya melalui suatu musyawarah yang dihadiri rakyat Madinah. Proses
penentuan khalifah tersebut mayoritas sahabat mempertimbangkan bahwa orang yang
paling tepat untuk mengisi jabatan khalifah ketika itu adalah Ali. Ali yang
semula menolak jabatan itu, karena pertimbangan untuk kepentingan umat Islam,
ia menyatakan persetujuannya untuk dicalonkan. Dengan begitu maka ia terpilih
sebagai khalifah keempat.[12]
Berdasarkan
suksesi kepemimpinan keempat khulafaurrasyidin di atas dapat disimpulkan bahwa,
agama Islam dalam bentuk asalnya, tidak menetapkan cara atau prosedur tertentu
dalam memilih seorang khalifah, pengganti Rasulullah Saw. Menurut Suyuthi
Pulungan[13] prosedur
empat Khulafaurrasidin yang secara silih berganti memimpin masyarakat Islam
selama 29 tahun (632-661 M), jelas nampak, bahwa setiap khalifah terpilih dengan
cara-cara yang berbeda ( empat cara) yaitu:
1.
Pada pemilihan khalifah
pertama Abu Bakar Sidik, yaitu dengan cara pembaiatan dari para sahabat, lalu
diikuti oleh para kaum muslimin secara langsung.
2.
Dengan cara menyampaikan
amanat oleh khalifah Abu Bakar kepada Umar bin Khatab ra sebagai penerusnya
sebagai khalifah yang kedua. Tetapi setelah Abu Bakar wafat, Umar menyerahkan
kembali kekuasaannya kepada umat Islam lalu beliau terpilih kembali melalui
syura.
3.
Membentuk suatu majelis
terbatas yang terdiri dari orang-orang pilihan, lalu setelah memperhatikan
aspirasi umat majelis tersebut memilih satu diantara mereka Utsman bin Affan
ra. sebagai khalifah ketiga.
4.
Pada pemilihan yang ke empat
hampir sama dengan yang ketiga yaitu pemilihan dengan cara melalui perwakilan
umat dan hasil dari penjaringan opini umum yang ada memilih Ali bin Abi Thalib
ra.
Sebagai Khalifah keempat dalam pemerintahan Islam. Itulah cara pemilihan
kepala negara yang dilakukan pada masa Khulafaurrasyidun, dan untuk selanjutnya
dalam sejarah Islam kita lihat untuk
menentukan para pemimpin masa selanjutnya seperti pada masa bani Uamayah,
Abasiyah dan seterusnya yang paling dominan adalah dengan menggunakan sistem
kerajaan.
c.
Hak dan Kewajiban Imamah
Al-Mawardi
menyebut dua hak imam yaitu, hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu. Akan
tetapi apabila kita pelajari sejarah, ternyata ada hak lain bagi imam, yaitu
hak untuk mendapatkan imbalan dari harta baitul mal untuk keperluan hidupnya dan
keluarganya secara patut sesuai dengan kedudukannya sebagai imam.[14]
Adapun tugas-tugas dari seorang imamah, yaitu :
1)
Melindungi/menjaga keutuhan
agama.
2)
Menerapkan hukum pada para
pihak yang berperkara (masalah perdata).
3)
Melindungi wilayah negara
dan tempat suci.
4)
Menegakkan supremasi hukum
(hudud) (masalah pidana).
5)
Melindungi daerah
perbatasan dengan benteng yang kokoh.
6)
Memerangi para penentang
Islam setelah mereka didakwahi & masukIslam atau dalam perlindungan kaum
muslimin (ahlu ẓimmah) .
7)
Mengambil fa’i (harta yang
diperoleh kaum muslimin tanpa peperangan) dan sedekah sesuai dengan kewajiban
syariat.
8)
Menentukan gaji dan apa
saja yang diperlukan dalam kas negara tanpa berlebihan.
9)
Mengangkat orang-orang
terlatih dalam tugas-tugas kenegaraan (misalnya: orang jujur yang mengurusi
keuangan, dsb).
10) Terjun langsung untuk menangani berbagai persoalan, menginspeksi
keadaan
11) Imam harus mundur dari imamah, karena dua hal, yaitu: cacat
dalam keadilan atau fasik, akibat adanya syahwat atau syubhat; cacat tubuh, terbagi
tiga: cacat pancaindra; cacat organ tubuh; cacat tindakan.[15]
d.
Struktur
Pemerintahan dalam Imamah
Dengan meneliti dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an,
Hadits ataupun Ijma’ Sahabat dan Qiyas, struktur pemerintahan yang terdapat
dalam pemerintahan Islam hanya ada delapan bagian, yaitu :
a.
Imam
Imam adalah orang yang mewakili umat dalam urusan
pemerintahan dan kekuasaan serta menerapkan hukum-hukum syara’.
b.
Mu’awin Tafwiḍ
(Wakil imam bidang pemerintahan)
Mu’awin Tafwiḍ adalah seorang pembantu
yang diangkat oleh imam agar dia bersama-sama dengan imam memikul tanggungjawab
pemerintahan dan kekuasaan. Maka dengan demikian, seorang imam akan menyerahkan
urusan-urusan negara dengan pendapatnya serta memutuskan urusan-urusan tersebut
dengan menggunakan ijtihadnya, berdasarkan hukum-hukum syara’. Mengangkat
mu’awin merupakan masalah yang dimubahkan, sehingga seorang imam diperbolehkan
untuk mengangkat mu’awinnya untuk membantunya dalam seluruh tanggungjawab dan
tugas yang menyangkut dengan masalah pemerintahan.
c.
Mu’awin Tanfiẓ
(setia usaha negara)
Mu’awin Tanfiẓ adalah pembantu yang
diangkat oleh seorang imam untuk membantunya dalam masalah operasional dan
senantiasa menyertai imam dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dia adalah seorang
protokoler yang menjadi penghubung antara imam dengan rakyat, dan antara imam
dengan negara-negara lain. Ia bertugas menyampaikan kebijakan-kebijakan dari
imam kepada mereka,serta menyampaikan informasi-informasi yang berasal dari
mereka kepada imam.
d.
Amir
Jihad (panglima perang)
Amir
Jihad adalah orang yang diangkat oleh imam untuk
menjadi seorang pimpinan yang berhubungan dengan urusan luar negeri, militer,
keamanan dalam negeri dan perindustrian. Dia bertugas untuk memimpin dan
mengaturnya.
e.
Wullat (pimpinan daerah tingkat I dan II)
Wullat atau biasa disebut dengan sebutan wali adalah
orang yang diangkat oleh imam untuk menjadi pejabat pemerintahan di suatu
daerah tertentu serta menjadi pimpinan di daerah tersebut. Adapun negeri yang
dipimpin oleh imam Islamiyah bisa diklasifikasikan menjadi beberapa bagian.
Masing-masing bagian itu disebut wilayah (setingkat propinsi). Setiap wilayah dibagi
lagi menjadi beberapa bagian, di mana masing-masing bagian itu disebut ‘imalah
(setingkat kabupaten). Orang yang memimpin wilayah disebut wali, sedangkan
orang yang memimpin ‘imalah disebut ‘amil atau hakim.
f.
Qadhi
atau Qadha (Hakim atau lembaga peradilan)
Qadhi atau Qadha adalah lembaga yang bertugas untuk
menyampaikan keputusan hukum yang sifatnya mengikat. Lembaga ini bertugas
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota masyarakat
atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak masyarakat atau mengatasi
perselisihan yang terjadi antara warga masyarakat dengan aparat pemerintahan,
baik imam, pejabat pemerintahan atau pegawai negeri yang lain.
g.
Jihad
Idari (jabatan
administrasi umum)
Penanganan urusan negara serta kepentingan rakyat diatur
oleh suatu departemen, jawatan atau unit-unit yang didirikan untuk menjalankan
urusan negara serta memenuhi kepentingan rakyat tersebut. Pada masing-masing
departemen tersebut akan diangkat kepala jawatan yang mengurusi jawatannya,
termasuk yang bertanggungjawab secara langsung terhadap jawatan tersebut.
Seluruh pimpinan itu bertanggungjawab kepada orang yang memimpin departemen,
jawatan dan unit-unit mereka yang lebih tinggi, dari segi kegiatan mereka serta
tanggungjawab kepada wali, dari segi keterikatan pada hukum dan sistem secara
umum.
h.
Majlis
Ummat
Majlis Ummat adalah majlis yang terdiri dari orang-orang
yang mewakili aspirasi kaum muslimin, agar menjadi pertimbangan imam dan tempat
imam meminta masukan dalam urusan-urusan kaum muslimin. Mereka mewakili ummat
dalam muḥasabah (kontrol dan koreksi) terhadap pejabat
pemerintahan (ḥukkam). Anggota Majlis Ummat dipilih melalui pemilihan
umum, bukan dengan penunjukkan atau pengangkatan, karena status mereka adalah
mewakili semua rakyat dalam menyampaikan pendapat mereka, sedangkan seorang
wakil itu hakekatnya hanya akan dipilih oleh orang yang mewakilkan.
Pemerintahan
di dalam konsep imamah juga bisa disebut sebagai pemerintahan hukum Tuhan atas
manusia. Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mewujudkan pemerintahan yang
islami, berbagai ayat dalam al-Qur’an bisa dijumpai yang menerangkan perintah
Allah tersebut, diantaraya yaitu:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. danSesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik.”(QS. Al-Maidah [5]: 49)[16]
Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (al-Maidah[5]: 50)[17]
Sesuai
dengan tujuan dan misinya, pemerintah dalam konsep imamah memiliki tugas dan
fungsi sebagai berikut: (1) mempertahankan lembaga-lembaga dan hukum Islam; (2)
melaksanakan hukum Islam; (3) membangun tatanan yang adil; (4) memungut dan
memanfaatkan pajak sesuai dengan ajaran Islam; (5) menentang segala bentuk
agresi, mempertahankan kemerdekaan dan integrasi teritorial tanah Islam; (6)
memajukan pendidikan; (7) memberantas korupsi dan segala jenis penyakit sosial
lainnya; (8) memberikan perlakuan yang sama kepada semua warga tanpa
diskriminasi; (9) memecahkan masalah kemiskinan dan (10) memberikan pelayanan
kemanusiaan secara umum.[18]
Berdasarkan
tujuan dan misi pemerintahan tersebut di atas, maka untuk dapatnya dicapai
tujuan dari pemerintahan di dalam konsep imamah tersebut, bagi ummat Islam
diberikan hak untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah dan menasihatinya
sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan
pemerintahan. Sedangkan pemerintah diperintah untuk bermusyawarah dengan
rakyat, menghargai aspirasinya, dengan mengambil yang baik dari
masukan-masukannya. Maka dengan demikian
cita-cita untuk menciptakan tatanan sosial yang adil sesuai dengan ketentuan
syari’at akan bisa direalisasikan. Cita-cita keadilan berdasarkan syari’at
merupakan cita-cita ideal bagi suatu pemerintahan dalam konsep imamah.
2.Bai’at
a.Pengertian Bai’at
Secara
etimologis kata berasal dari akar kata (menjadi ) yang berarti menjual. Bai’at adalah
kata jadian yang mengandung arti perjanjian, janji setia atau saling berjanji
dan setia, karena dalam pelaksanaanya selalu melibatkan dua pihak secara
sukarela. Bai’at berarti juga berjabat
tangan untuk bersedia menjawab akad transaksi barang atau hak dan kewajiban,
saling setia dan taat.[19]
Menurut
Ibnu Khaldun secara terminologis baiat adalah perjanjian orang yang berbai’at
untuk taat melakukan sumpah setia kepada pemimpinnya bahwa ia akan
menyelamatkan pandangan yang diembannya dari pemimpin, baik berupa perintah
yang disenangi maupun tidak disenangi. Sedangkan menurut Ibnu Manzur bai’at
adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak
menjual apa yang dimilikinya, menyerahkan dirinya dan kesetiannya kepada pihak
kedua secara ikhlash dalam urusannya.[20]
Implementasi
bai’at dalam hak dan kewajiban secara timbal balik tergambar dalam al-Qur’an
yang menyatakan, bila datang kepada Nabi perempuan-perempuan yang beriman untuk
Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan
mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan
berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak
akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka ia harus menerima janji itu dan
memperlakukan mereka dengan baik serta memohonkan ampunan dari Allah kepada
mereka.[21]
b.Dasar Hukum Bai’at
Al-Qur’an menjelaskan ayat-ayat tentang bai’at ini di antaranya adalah:
“Hai Nabi, apabila
datang kepadamu perempuanperempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia,
bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan
berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam
urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan
kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Qs. Mumtahanah [60]: 12)[22]
Ayat 12 surat al-Mumtahanah di atas
penulis menjelaskan bahwa ayatini adalah tentang bai’at terhadap kaum wanita
yang datang kepada NabiMuhammad Saw, dan Nabi Saw menguji mereka dengan
syarat-syarat yangtertera di dalam surat tersebut, dan dalam bai’at tidak ada
anjuran untukberperang, hanya bersifat ketaatan dan kepatuhan kepada Allah dan
Rasul-Nya.Adapun perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka
itu.Maksudnya ialah Mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenaihubungan
antara pria dan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anaksi Fulan
bukan anak suaminya dan sebagainya.
“Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka maka barangsiapa yang
melanggar janjinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka
Allah akan memberinya pahala yang besar.‛ (Qs. Al-Fath [48]: 10)[23]
“Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbai’at kepadamu
dibawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu
menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat waktunya”. (Qs. Al-Fath [48]:18)[24]
Mustafa
al-Maraghi menjelaskan dala tafsirnya, bahwa bai’at pada asalnya berarti
akad yang diucapkan seseorang untuk dirinya sendiri untuk melakukan ketaatan
kepada seorang imam dan untuk menunaikan suatu janji yang ia bertekad untuk
melaksanakannya. Adapun yang dimaksud di sini ialah Bai’atu Ridhwan di
Hudaibiyah itu. Di
mana sekelompok sahabat Nabi telah bersumpah setia kepada beliau untuk tidak lari dari pertempuran.
Maksud
ayat, sesungguhnya orang-orang yang bersumpah setia di Hudaibiyah di antara
sahabat-sahabat, untuk tidak lari mnghadapi musuh, dan takkan mundur dari
mereka, sesungguhnya mereka bersumpah setia kepada Allah dengan cara bersumpah.
Dan sesungguhnya Allah telah menjamin mereka akan memperoleh surga karena
mereka menunaikan sumpah tersebut kepada-Nya.
Dan barang siapa yang memenuhi janjinya dalam bai’at
tersebut, maka ia akan memperoleh upah dan pahala di akhirat dan Allah akan
memasukkan ke dalam surga di mana ia mendapatkan hal-hal yang tak pernah
dilihat oleh mata siapapun, tak pernah didengar oleh telinga siapapun, dan tak
pernah terlintas dalam hati siapapun.[25]
Dari kedua ayat pada surat al-Fath
ini penulis menerangkan, bahwa Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi
Muhammad Saw. Besertapengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk
melakukan 'umrahdan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama
ditinggalkan. Sesampainyadi Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin
Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan
kamu muslimin.mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang
karenaUtsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar
bahwaUtsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu
musliminmelakukan bai'ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan
janjisetia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama
Nabisampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai
Allahsebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut
Bai'aturRidwan. Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga merekamelepaskan
Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damaidengan kaum
muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
Yang dimaksud dengan kemenangan yang
dekat ialah kemenangan Orangyang berjanji setia biasanya berjabatan tangan.
Caranya berjanji setia denganRasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan
orang yang berjanji itu.Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk
menyatakan bahwaberjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah.
Jadi seakanakanAllah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. Hendaklahdiperhatikan
bahwa Allah Maha suci dari segala sifat-sifat yang menyerupaimakhluknya.
c.Sejarah Bai’at
Dalam sejarah bai’at pernah terjadi dari sebelum masa
Rasulullah. Bai’at tersebut diantaranya adalah Bai’at Muthayyibin, yaitu
perjanjian antara kabilah Bani Abdud Dar, Bani Jamah, Bani Salim, Bani Makhzum
dan Bani Adi, yaitu untuk tidak saling berebut kekuasaan atas Ka’bah yaitu
dengan memasukkan masing-masing tangannya ke dalam mangkok berisi minyak wangi
dan mengusapkannya ke Ka’bah sehingga dinamakan Muthayyibin (orang-orang yg
memakai minyak wangi).
Pada masa Rasulullah bai’at juga terjadi beberapa kali
diantaranya bai’at Aqabah pertama dan bai’at Aqabah kedua. Bai’at Aqabah
pertama terjadi pada tahun 621 M disuatu bukit yang bernama Aqabah. Bai’at
Aqabah pertama ini dilakukan antara Nabi dengan 12 (dua belas) orang dari
Kabilah Kharaj dan Aus dari Yastrib. Isi dari bai’at ini adalah: mereka
berjanji setia kepada Nabi untuk tidak menserikatkan Allah, tidak akan mencuri,
berzina, membunuh anak-anak, menuduh dengan tuduhan palsu, tidak akan
mendurhakai Nabi di dalam kebaikan.[26]
Bai’at Aqabah Kedua terjadi tahun 622 M, dilakukan antara
Nabi dengan 75 orang Yastrib yang terdiri dari berbagai kalangan baik dari
muslim maupun non muslim yang mewakili warga sukunya. Bai’at Aqabah kedua ini
disebut juga bai’at kubra,di dalam bai’at ini terjadi dialog antara Rasulullah
dengan orang-orang Yastrib, dan pada akhirnya orang-orang Yastrib membai’at
Rasul dengan kata-kata:
“Kami berbai’at (janji setia) untuk taat dan selalu
mengikuti baik pada waktu kesulitan maupun pada waktu dalam kemudahan, pada
waktu senang dan pada waktu susah dan tetap berbicara benar dimaapun kami
berada, tidak takut celaan orang di dalam membela kalimah Allah.”[27] Demikian
di atas merupakan sejarah dari beberapa bai’at yang pernah terjadi baik pada
masa rasulullah maupun sebelum masa rasulullah. Adapun setelah masa Rasulullah
bai’at juga masih tetap terjadi, diantaranya adalah pembaiatan terhadap Khulafaurrasyidin
dan lain sebagainya.
Dari bai’at-bai’at yang dilakukan Muslimin kepada Nabi
Saw tersebut di atas intinya adalah janji setia, patuh dan ta’at kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (perintah agama), melaksanakan Islam dan membela
atau melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan siap mati untuk
berjuang serta berjihad melawan orang kafir dalam mempertahankan Islam. Dan
bila melihat beberapa contoh bai’at tersebut diatas, bahwa bai’at itu tidak
hanya dilakukan antara dua belah pihak saja melainkan juga beberapa belah
pihak.
Sementara
itu bai’at yang mencerminkan adanya koalisi di dalam pemilihan kepala Negara
bisa dilihat dalam peristiwa pembaiatan terhadap kholifah pertama Sayyidina Abu
Bakar Shiddiq. Dimana pada saat itu terjadi perdebatan yang sengit antara kaum
Anshar dan kaum Muhajirin tentang siapa yang akan menggantikan kepemimpinan
Rasul Saw.
Pada
peristiwa tersebut Umar mengusulkan agar Abu Bakar yang menjadi pemimpin, namun
usulan tersebut tidak begitu saja langsung diterima, malah terjadi perdebetan.
Ada beberapa nama selain Abu Bakar yang dikemukakan mayarakat pada saat itu,
diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib dan Sa’d bin ‘Ubadah. Ditengah-tengah perdebatan tersebut akhirnya
ada dua orang yang masing-masing dari suku Khazraj dan dari kaum ‘Aus yang
kemudian menyatakan baiatnya terhadap abu bakar. Orang tersebut adalah Basyir
bin Sa’d, ayah Nu’man bin Basyir, saudara sepupu Sa’d bin ‘Ubadah, ketua suku
Khazraj dan pemimpin kaum ‘Aus, Usaid bin Hudhair.[28] Maka setelah Umar Bin
Khattab dan dua orang tersebut
menyatakan baiatnya kepada Abu Bakar, baiat tersebut akhirnya diikuti oleh
masyarakat lainnya sehingga dengan demikian Abu Bakar yang akhirnya terpilih
sebagai pemimpin[29].
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian mengenai konsepsi imamah
dan bai’at dalam siyasah dusturiyah dapat diambil benang sarinya, bahwa pengertian
imamah baik secara etimologis maupun terminologis, menunjukkan bahwa
istilah-istilah itu muncul dalam sejarah Islam sebagai sebutan bagi institusi
politik untuk menggantikan fungsi kenabian dalam urusan agama dan urusan
politik.
Berkaitan dengan sistematika untuk menentukan
seorang imam, hal ini dapat dilihat dari beberapa praktik dari proses pemilihan
Abu Bakar sebagai Khalifah pertama hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Seluruh mekanisme dalam pemililihan Abu Bakar
hingga Ali bin Abi Thalib tersebut telah memberikan gambaran kepada kita
bagaimana mekanisme pemilihan seorang kepala negara dalam pemerintahan
Islam.
Suksesi kepemimpinan ke empat
khulafaurrasyidin, bahwa agama Islam dalam bentuk asalnya tidak menetapkan cara
atau prosedur tertentu dalam memilih seorang khalifah, pengganti Rasulullah
Saw. Prosedur empat Khulafaurrasidin
yang secara silih berganti memimpin masyarakat Islam selama 29 tahun (632-661
M), terlihat bahwa setiap khalifah terpilih dengan cara-cara yang berbeda (empat
cara) yaitu:
a. Pada
pemilihan khalifah pertama Abu Bakar Sidik, yaitu dengan cara pembaiatan dari
para sahabat, lalu diikuti oleh para kaum muslimin secara langsung.
b. Dengan
cara menyampaikan amanat oleh khalifah Abu Bakar kepada Umar bin Khatab ra
sebagai penerusnya sebagai khalifah yang kedua. Tetapi setelah Abu Bakar wafat,
Umar menyerahkan kembali kekuasaannya kepada umat Islam lalu beliau terpilih
kembali melalui syura.
c. Membentuk
suatu majelis terbatas yang terdiri dari orang-orang pilihan, lalu setelah
memperhatikan aspirasi umat majelis tersebut memilih satu diantara mereka
Utsman bin Affan ra. sebagai khalifah ketiga.
d.
Pada
pemilihan yang keempat hampir sama dengan yang ketiga yaitu pemilihan dengan
cara melalui perwakilan umat dan hasil dari penjaringan opini umum yang ada
memilih Ali bin Abi Thalib ra.
Sebagai Khalifah keempat dalam pemerintahan
Islam. Itulah cara pemilihan kepala negara yang dilakukan pada masa
khulafaurrasyidun, dan untuk selanjutnya dalam sejarah Islam kita lihat untuk menentukan para pemimpin
masa selanjutnya seperti pada masa bani Uamayah, Abasiyah dan seterusnya yang paling
dominan adalah dengan menggunakan sistem kerajaan.
Bila diimplentasikan pada saat ini, pemerintah
dalam konsep imamah memiliki tugas dan fungsi melaksanakan hukum Islam dan
melindungi atau menjaga keutuhan agama, demi tercapainya kemaslahatan ummat. Bagi
ummat Islam diberikan hak untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah dan
menasihatinya sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dalam
menjalankan pemerintahan. Sedangkan pemerintah diperintah untuk bermusyawarah
dengan rakyat, menghargai aspirasinya, dengan mengambil yang baik dari
masukan-masukannya. Maka dengan demikian
cita-cita untuk menciptakan tatanan sosial yang adil sesuai dengan ketentuan
syari’at akan bisa direalisasikan. Cita-cita keadilan berdasarkan syari’at
merupakan cita-cita ideal bagi suatu pemerintahan dalam konsep imamah.
Implementasi bai’at dalam hak dan kewajiban
secara timbal balik antara dua belah pihak pemimpin dan ummat yang saling
menukar janji setia untuk saling menaati, seolah-olah masing-masing keduanya
telah menjual apa yang ada pada dirinya, baik dalam hal menyenangkan maupun
pada hal yang tidak disukai dan mempercayakan segala urusan kepada pemimpin
yang dilakukkan setelah permusyawaratan.
Ba'iat itu secara syar'i maupun kebiasaan
tidaklah diberikan kecuali kepada amirul mukminin dan khalifah kaum muslimin.
Karena orang yang meneliti dengan cermat kenyataan yang ada baiat masyarakat
kepada kepala negaranya, dia akan mendapati bahwa baiat itu terjadi untuk
kepala negara. Pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada musyawarah dari
sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli wal 'aqdi.
Jual Rak Minimarket dan Rak Gudang
Daftar
Pustaka
As-Salus, Ali Ahmad. 1997. Aqidah al-Imamah
‘Inda as-Syi’ah Al-Isna ‘Asyariyah.Tjmh. Jakarta: Gema Insani Prees.
as-Salas, Ali. 1997. Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’I.
Jakarta: Gema InsaniPress.
Asy-Syannawi, Fahmi. 2006. Fiqih
Politik, Dinamika Politik Islam Sejak Masa Nabi Sampai Kini. Bandung:
Pustaka Setia.
Azhary, M. Tahir. 1992. Negara Hukum. Jakarta
: Bulan Bintang.
Dahlan, Abdul Aziz. 1999. Ensiklopedi Hukum
Islam. Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Departemen
Agama, 2005. Al-Qur’an Dan Terjemahnya : Al-Jumanatul ‘Ali . CV.
Penerbit J-ART.
Djazuli, Ahmad. 2007. Fiqh
Siyasah-Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Jakarta
: Kencana Prenada Media Group.
Muhammad, Husein. 2002. Al-Huda Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam:
Bai’at dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: Pusat Penelitian Islam.
O. Hashem. 2004. Sejarah Islam Wafat Rasulullah &
Suksesi Sepeninggal Beliau Di Saqifah. Jakarta:Yapi.
Pulungan, Suyuthi. 1994 Fiqh Siyasah. Jakarta :
Raja Grafindo Persada.
[1]
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994),
hal. 40
[2]Ibid.,hal. 41
[3] Ali Ahmad As-Salus. Aqidah
al-Imamah ‘Inda as-Syi’ah Al-Isna ‘Asyariyah.Tjmh (Jakarta: Gema Insani
Prees, 1997), hal. 15
[4] Departemen Agama, Al-Qur’an
Dan Terjemahnya : Al-Jumanatul ‘Ali (CV. Penerbit J-ART, 2005), hal. 328
[5]
Ibid, hal. 19
[6] Ali Ahmad As-Salus. Op.cit.,
hal. 16
[7] Suyuthi Pulungan,op.
cit., hal. 45
[8]Ibid.,hal.
59
[9] Hashem, Sejarah Islam
Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau Di Saqifah, (Jakarta :
Yapi, 2004), hal. 107
[10] M. Tahir Azhary, Negara
Hukum, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 131
[11]Ibid,hal.
137
[12]Ibid,hal. 137-138
[13] Suyuthi Pulungan, op.cit.,hal.
159-160
[14]
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah-Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syari’ah, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 93
[15]
Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syari’at Islam, (Jakarta:
Darul Falah)
[16]
Departemen Agama, Al-Qur’aan Dan Terjemahnya :hal. 116
[17] Ibid.
[18] M. Tahir Azhary, Negara
Hukum, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 142
[19] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), 179
[21]Ibid.,hal. 179
[25]Ibid.,hal
153-154.
[27]Ibid.,hal. 104-105
[28] O. Hashem, Sejarah
Islam : Wafat Rasulullah Dan Suksesi Sepeninggal Beliau Di Saqifah,
(Jakarta : Yapi, 2004), hal. 108
[29]Ibid., hal. 108
0 comments:
Post a Comment