اَهْلاًوَسَهْلاً

Saturday, 24 January 2015

Konsepsi Imamah dan Bai'at dalam Siyasah Dusturiyah



A.Sistem Pemerintahan dalam Siyasah Dusturiyah
Islam merupakan agama yang komprehensif dan telah mengatur seluruh sendi kehidupan manusia, tidak hanya dalam masalah individual namun termasuk juga dalam masalah kenegaraan. Berkaitan dengan sistem pemerintahan, dalam Islam tercermin sebagaimana pada konsep imamah dimana hal ini secara eksplisit telah diatur dalam siyasah dusturiyah, yaitu siyasah yang berhubungan dengan peraturan dasar tentang bentuk pemerintahan dan batasan kekuasaannya, cara pemilihan (kepala negara), batasan kekuasaan yang lazim bagi pelaksanaan urusan umat, dan ketetapan hak-hak yang wajib bagi individu dan masyarakat, serta hubungan antara penguasa dan rakyat..[1] Ruang lingkup pembahasan dalam siyasah dusturiyah ini meliputi masalah-masalah imamah, hak dan kewajibannya, rakyat status dan hak-haknya, bai’at, waliyul ’ahdi, perwakilan, ahlul halli wal aqdi dan wazarah.[2]
Ruang lingkup siyasah dusturiyah tersebut di atas tidak akan dipaparkan semua dalam penulisan ini, sebab sehubungan dengan tema dalam makalah ini, maka pembahasan dalam penulisan ini hanya akan dipaparkan dua masalah saja yaitu tentang imamah dan bai’at. Dimana imamah ini merupakan cerminan daripada sistem pemerintahan di dalam Islam sedangkan bai’at sendiri merupakan cerminan tentang adanya konsep koalisi di dalam Islam. Kedua masalah tersebut akan dipaparkan sebagai berikut:
1.Imamah                                
a. Pengertian Imamah
Imamah menurut bahasa berarti kepemimpinan. Imamah yang memiliki arti pemimpin, ia disebut ketua yang memimpin bawahanya. Imamah sering juga disebut khalifah, yaitu penguasa atau pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu, untuk pemimpin pasukan, dan untuk orang dengan fungsi lainnya.[3]
Al-Qur’an tidak menyebutkan kata imamah, yang ada hanya kata imam(pemimpin) dan ’aimmah (pemimpin-pemimpin), seperti:
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpinpemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah”. (Q.S. Al-Anbiya : 73)[4]

 
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‚Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku‛ Allah berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. Q.S. Al-Baqarah [2] : 124)[5]

Dengan demikian, berdasarkan tinjauan arti imamah secara epistimologi, kata imam berarti pemegang kekuasaan atas umat Islam. Syekh Abu Zahrah mengatakan bahwa‚ imamah itu berarti juga khalifah, sebab orang yang menjadi khalifah adalah penguasa tertinggi (pimpinan tertinggi) bagi umat Islam setelah Nabi wafat.[6]
Suyuthi Pulungan dalam bukunya fiqh siyasah mengemukakan bahwa pengertian imamah baik secara etimologis maupun terminologis, menunjukkan bahwa istilah-istilah itu muncul dalam sejarah Islam sebagai sebutan bagi institusi politik untuk menggantikan fungsi kenabian dalam urusan agama dan urusan politik. Secara historis institusi khilafah muncul sejak terpilihnya Abu Bakar sebagai khilafat Rasulullah dalam memimpin umat Islam sehari setelah beliau wafat. Kemudian setelan Abu Bakar wafat berturut-turut terpilih Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dalam kedudukan yang sama.
Jadi perkembangan arti khilafah dari penggantian kepada pemerintahan alias‚institusi pemerintahan dirasionalisasikan dan diberi label agama yang dikaitkan dengan kedudukan Abu Bakar dan penerusnya dalam memimpin umat Islam dalam urusan agama dan politik.[7]
Sebagai pemangku jabatan dalam keimamahan ini disebut imam. Kata imam sendiri merupakan turunan dari kata amma yang berarti menjadi ikutan. Kata imam berarti‚ pemimpin atau contoh yang harus diikuti. Adapun secara istilah Imam adalah seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan urusan dunia sekaligus.[8]
b.Suksesi Imamah
Berkaitan dengan sistematika untuk menentukan seorang imam, hal ini dapat dilihat dari beberapa praktik dari proses pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Seluruh mekanisme dalam pemililihan Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib tersebut telah memberikan gambaran kepada kita bagaimana mekanisme pemilihan seorang kepala negara dalam pemerintahan Islam. 
Pemilihan dan penetapan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah dilakukan secara demokratis. Pencalonannya, diusulkan oleh Umar bin Khattab yang kemudian mendapatkan dukungan dari Basyir bin Sa’d selaku ketua suku Khazraj dan Usaid bin Hudhair seorang pemimpin kaum Aus. Pencalonan Abu Bakar tesebut akhirnya memperoleh kesepakatan dari sebagian besar yang hadir pada saat itu walaupun sebelumnya harus melalui proses perdebatan yang panjang.[9]
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa kematiannya sudah dekat, ia memanggil para pemuka sahabat yaitu Umar, Usman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan beberapa tokoh lainnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar. kemudian mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Para pemuka yang dipanggil Abu Bakar tersebut ternyata tidak keberatan dengan pilihan khalifah Abu Bakar tersebut.[10]
Selanjutnya setelah Khalifah Umar wafat, posisi beliau digantikan Usman bin Affan untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf. Keenam sahabat ini mempunyai hak memilih dan dipilih. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah.11
Usman dikenal sebagai khalifah yang bijaksana, beliau adalah orang yang anti kekerasan ataupun kesewenang-wenangan, tanpa adanya suatu dasar hukum yang dapat membenarkan tindakannya itu. Namun sangat disayangkan, sikap bijaksana khalifah Usman itu telah dieksploitir dan dikhianati oleh kelompok Sabaiyah, karena ternyata mereka mengepung tempat kediaman khalifah Usman dan kemudian membunuhnya secara kejam.[11]
Wafatnya Usman maka jabatan khalifah menjadi kosong. Ali dicalonkan untuk mengisi kekosongan itu. Mula-mula Ali menolak dan Ali menghubungi Thalhah dan Zubair, Ali menginginkan salah seorang diantara mereka bersedia untuk dipilih sebagai khalifah dan beliau siap untuk melakukan bai’at kepada salah seorang dari mereka.
Pada akhirnya masalah penentuan khalifah itu diserahkan kepada umat Islam untuk menentukannya melalui suatu musyawarah yang dihadiri rakyat Madinah. Proses penentuan khalifah tersebut mayoritas sahabat mempertimbangkan bahwa orang yang paling tepat untuk mengisi jabatan khalifah ketika itu adalah Ali. Ali yang semula menolak jabatan itu, karena pertimbangan untuk kepentingan umat Islam, ia menyatakan persetujuannya untuk dicalonkan. Dengan begitu maka ia terpilih sebagai khalifah keempat.[12]
Berdasarkan suksesi kepemimpinan keempat khulafaurrasyidin di atas dapat disimpulkan bahwa, agama Islam dalam bentuk asalnya, tidak menetapkan cara atau prosedur tertentu dalam memilih seorang khalifah, pengganti Rasulullah Saw. Menurut Suyuthi Pulungan[13] prosedur empat Khulafaurrasidin yang secara silih berganti memimpin masyarakat Islam selama 29 tahun  (632-661 M), jelas  nampak, bahwa setiap khalifah terpilih dengan cara-cara yang berbeda ( empat cara) yaitu: 
1.      Pada pemilihan khalifah pertama Abu Bakar Sidik, yaitu dengan cara pembaiatan dari para sahabat, lalu diikuti oleh para kaum muslimin secara langsung.
2.      Dengan cara menyampaikan amanat oleh khalifah Abu Bakar kepada Umar bin Khatab ra sebagai penerusnya sebagai khalifah yang kedua. Tetapi setelah Abu Bakar wafat, Umar menyerahkan kembali kekuasaannya kepada umat Islam lalu beliau terpilih kembali melalui syura.
3.      Membentuk suatu majelis terbatas yang terdiri dari orang-orang pilihan, lalu setelah memperhatikan aspirasi umat majelis tersebut memilih satu diantara mereka Utsman bin Affan ra. sebagai khalifah ketiga.
4.      Pada pemilihan yang ke empat hampir sama dengan yang ketiga yaitu pemilihan dengan cara melalui perwakilan umat dan hasil dari penjaringan opini umum yang ada memilih Ali bin Abi Thalib ra.
Sebagai Khalifah keempat dalam pemerintahan Islam. Itulah cara pemilihan kepala negara yang dilakukan pada masa Khulafaurrasyidun, dan untuk selanjutnya dalam sejarah Islam  kita lihat untuk menentukan para pemimpin masa selanjutnya seperti pada masa bani Uamayah, Abasiyah dan seterusnya yang paling dominan adalah dengan menggunakan sistem kerajaan. 
c.       Hak dan Kewajiban Imamah
Al-Mawardi menyebut dua hak imam yaitu, hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu. Akan tetapi apabila kita pelajari sejarah, ternyata ada hak lain bagi imam, yaitu hak untuk mendapatkan imbalan dari harta baitul mal untuk keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut sesuai dengan kedudukannya sebagai imam.[14]
Adapun tugas-tugas dari seorang imamah, yaitu :
1)      Melindungi/menjaga keutuhan agama. 
2)      Menerapkan hukum pada para pihak yang berperkara (masalah perdata).
3)      Melindungi wilayah negara dan tempat suci. 
4)      Menegakkan supremasi hukum (hudud) (masalah pidana). 
5)      Melindungi daerah perbatasan dengan benteng yang kokoh. 
6)   Memerangi para penentang Islam setelah mereka didakwahi & masukIslam atau dalam perlindungan kaum muslimin (ahlu immah) .
7)   Mengambil fa’i (harta yang diperoleh kaum muslimin tanpa peperangan) dan sedekah sesuai dengan kewajiban syariat.
8)      Menentukan gaji dan apa saja yang diperlukan dalam kas negara tanpa berlebihan. 
9)   Mengangkat orang-orang terlatih dalam tugas-tugas kenegaraan (misalnya: orang jujur yang mengurusi keuangan, dsb).
10)  Terjun langsung untuk menangani berbagai persoalan, menginspeksi keadaan 
11)  Imam harus mundur dari imamah, karena dua hal, yaitu: cacat dalam keadilan atau fasik, akibat adanya syahwat atau syubhat; cacat tubuh, terbagi tiga: cacat pancaindra; cacat organ tubuh; cacat tindakan.[15]
d.      Struktur Pemerintahan dalam Imamah
Dengan meneliti dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an, Hadits ataupun Ijma’ Sahabat dan Qiyas, struktur pemerintahan yang terdapat dalam pemerintahan Islam hanya ada delapan bagian, yaitu :
a.       Imam 
Imam adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta menerapkan hukum-hukum syara’.
b.      Mu’awin Tafwi (Wakil imam bidang pemerintahan)
Mu’awin Tafwi adalah seorang pembantu yang diangkat oleh imam agar dia bersama-sama dengan imam memikul tanggungjawab pemerintahan dan kekuasaan. Maka dengan demikian, seorang imam akan menyerahkan urusan-urusan negara dengan pendapatnya serta memutuskan urusan-urusan tersebut dengan menggunakan ijtihadnya, berdasarkan hukum-hukum syara’. Mengangkat mu’awin merupakan masalah yang dimubahkan, sehingga seorang imam diperbolehkan untuk mengangkat mu’awinnya untuk membantunya dalam seluruh tanggungjawab dan tugas yang menyangkut dengan masalah pemerintahan. 
c.       Mu’awin Tanfi (setia usaha negara)
Mu’awin Tanfi adalah pembantu yang diangkat oleh seorang imam untuk membantunya dalam masalah operasional dan senantiasa menyertai imam dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dia adalah seorang protokoler yang menjadi penghubung antara imam dengan rakyat, dan antara imam dengan negara-negara lain. Ia bertugas menyampaikan kebijakan-kebijakan dari imam kepada mereka,serta menyampaikan informasi-informasi yang berasal dari mereka kepada imam.
d.      Amir Jihad (panglima perang)
Amir Jihad adalah orang yang diangkat oleh imam untuk menjadi seorang pimpinan yang berhubungan dengan urusan luar negeri, militer, keamanan dalam negeri dan perindustrian. Dia bertugas untuk memimpin dan mengaturnya.
e.       Wullat (pimpinan daerah tingkat I dan II)
Wullat atau biasa disebut dengan sebutan wali adalah orang yang diangkat oleh imam untuk menjadi pejabat pemerintahan di suatu daerah tertentu serta menjadi pimpinan di daerah tersebut. Adapun negeri yang dipimpin oleh imam Islamiyah bisa diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Masing-masing bagian itu disebut wilayah (setingkat propinsi). Setiap wilayah dibagi lagi menjadi beberapa bagian, di mana masing-masing bagian itu disebut ‘imalah (setingkat kabupaten). Orang yang memimpin wilayah disebut wali, sedangkan orang yang memimpin ‘imalah disebut ‘amil atau hakim.
f.       Qadhi atau Qadha (Hakim atau lembaga peradilan)
Qadhi atau Qadha adalah lembaga yang bertugas untuk menyampaikan keputusan hukum yang sifatnya mengikat. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota masyarakat atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak masyarakat atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara warga masyarakat dengan aparat pemerintahan, baik imam, pejabat pemerintahan atau pegawai negeri yang lain. 
g.      Jihad Idari (jabatan administrasi umum)
Penanganan urusan negara serta kepentingan rakyat diatur oleh suatu departemen, jawatan atau unit-unit yang didirikan untuk menjalankan urusan negara serta memenuhi kepentingan rakyat tersebut. Pada masing-masing departemen tersebut akan diangkat kepala jawatan yang mengurusi jawatannya, termasuk yang bertanggungjawab secara langsung terhadap jawatan tersebut. Seluruh pimpinan itu bertanggungjawab kepada orang yang memimpin departemen, jawatan dan unit-unit mereka yang lebih tinggi, dari segi kegiatan mereka serta tanggungjawab kepada wali, dari segi keterikatan pada hukum dan sistem secara umum.
h.      Majlis Ummat
Majlis Ummat adalah majlis yang terdiri dari orang-orang yang mewakili aspirasi kaum muslimin, agar menjadi pertimbangan imam dan tempat imam meminta masukan dalam urusan-urusan kaum muslimin. Mereka mewakili ummat dalam muasabah (kontrol dan koreksi) terhadap pejabat pemerintahan (ukkam). Anggota Majlis Ummat dipilih melalui pemilihan umum, bukan dengan penunjukkan atau pengangkatan, karena status mereka adalah mewakili semua rakyat dalam menyampaikan pendapat mereka, sedangkan seorang wakil itu hakekatnya hanya akan dipilih oleh orang yang mewakilkan.
Pemerintahan di dalam konsep imamah juga bisa disebut sebagai pemerintahan hukum Tuhan atas manusia. Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mewujudkan pemerintahan yang islami, berbagai ayat dalam al-Qur’an bisa dijumpai yang menerangkan perintah Allah tersebut, diantaraya yaitu:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. danSesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”(QS. Al-Maidah [5]: 49)[16]




Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (al-Maidah[5]: 50)[17]


Sesuai dengan tujuan dan misinya, pemerintah dalam konsep imamah memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: (1) mempertahankan lembaga-lembaga dan hukum Islam; (2) melaksanakan hukum Islam; (3) membangun tatanan yang adil; (4) memungut dan memanfaatkan pajak sesuai dengan ajaran Islam; (5) menentang segala bentuk agresi, mempertahankan kemerdekaan dan integrasi teritorial tanah Islam; (6) memajukan pendidikan; (7) memberantas korupsi dan segala jenis penyakit sosial lainnya; (8) memberikan perlakuan yang sama kepada semua warga tanpa diskriminasi; (9) memecahkan masalah kemiskinan dan (10) memberikan pelayanan kemanusiaan secara umum.[18]
Berdasarkan tujuan dan misi pemerintahan tersebut di atas, maka untuk dapatnya dicapai tujuan dari pemerintahan di dalam konsep imamah tersebut, bagi ummat Islam diberikan hak untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah dan menasihatinya sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Sedangkan pemerintah diperintah untuk bermusyawarah dengan rakyat, menghargai aspirasinya, dengan mengambil yang baik dari masukan-masukannya. Maka  dengan demikian cita-cita untuk menciptakan tatanan sosial yang adil sesuai dengan ketentuan syari’at akan bisa direalisasikan. Cita-cita keadilan berdasarkan syari’at merupakan cita-cita ideal bagi suatu pemerintahan dalam konsep imamah.




2.Bai’at
a.Pengertian Bai’at
Secara etimologis kata berasal dari akar kata (menjadi ) yang berarti menjual. Bai’at adalah kata jadian yang mengandung arti perjanjian, janji setia atau saling berjanji dan setia, karena dalam pelaksanaanya selalu melibatkan dua pihak secara sukarela. Bai’at  berarti juga berjabat tangan untuk bersedia menjawab akad transaksi barang atau hak dan kewajiban, saling setia dan taat.[19]
Menurut Ibnu Khaldun secara terminologis baiat adalah perjanjian orang yang berbai’at untuk taat melakukan sumpah setia kepada pemimpinnya bahwa ia akan menyelamatkan pandangan yang diembannya dari pemimpin, baik berupa perintah yang disenangi maupun tidak disenangi. Sedangkan menurut Ibnu Manzur bai’at adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya, menyerahkan dirinya dan kesetiannya kepada pihak kedua secara ikhlash dalam urusannya.[20]
Implementasi bai’at dalam hak dan kewajiban secara timbal balik tergambar dalam al-Qur’an yang menyatakan, bila datang kepada Nabi perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka ia harus menerima janji itu dan memperlakukan mereka dengan baik serta memohonkan ampunan dari Allah kepada mereka.[21]







b.Dasar Hukum Bai’at
Al-Qur’an menjelaskan ayat-ayat tentang bai’at ini di antaranya adalah:
 “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuanperempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Mumtahanah [60]: 12)[22]

Ayat 12 surat al-Mumtahanah di atas penulis menjelaskan bahwa ayatini adalah tentang bai’at terhadap kaum wanita yang datang kepada NabiMuhammad Saw, dan Nabi Saw menguji mereka dengan syarat-syarat yangtertera di dalam surat tersebut, dan dalam bai’at tidak ada anjuran untukberperang, hanya bersifat ketaatan dan kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya.Adapun perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka itu.Maksudnya ialah Mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenaihubungan antara pria dan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anaksi Fulan bukan anak suaminya dan sebagainya.



“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka maka barangsiapa yang melanggar janjinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.‛ (Qs. Al-Fath [48]: 10)[23]


“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbai’at kepadamu dibawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya”. (Qs. Al-Fath [48]:18)[24]

Mustafa al-Maraghi menjelaskan dala tafsirnya, bahwa bai’at pada asalnya berarti akad yang diucapkan seseorang untuk dirinya sendiri untuk melakukan ketaatan kepada seorang imam dan untuk menunaikan suatu janji yang ia bertekad untuk melaksanakannya. Adapun yang dimaksud di sini ialah Bai’atu Ridhwan di Hudaibiyah itu. Di mana sekelompok sahabat Nabi telah bersumpah setia kepada beliau  untuk tidak lari dari pertempuran.
Maksud ayat, sesungguhnya orang-orang yang bersumpah setia di Hudaibiyah di antara sahabat-sahabat, untuk tidak lari mnghadapi musuh, dan takkan mundur dari mereka, sesungguhnya mereka bersumpah setia kepada Allah dengan cara bersumpah. Dan sesungguhnya Allah telah menjamin mereka akan memperoleh surga karena mereka menunaikan sumpah tersebut kepada-Nya.
Dan barang siapa yang memenuhi janjinya dalam bai’at tersebut, maka ia akan memperoleh upah dan pahala di akhirat dan Allah akan memasukkan ke dalam surga di mana ia mendapatkan hal-hal yang tak pernah dilihat oleh mata siapapun, tak pernah didengar oleh telinga siapapun, dan tak pernah terlintas dalam hati siapapun.[25]
Dari kedua ayat pada surat al-Fath ini penulis menerangkan, bahwa Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad Saw. Besertapengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan 'umrahdan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampainyadi Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin.mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karenaUtsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwaUtsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu musliminmelakukan bai'ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janjisetia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabisampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allahsebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai'aturRidwan. Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga merekamelepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damaidengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
Yang dimaksud dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan Orangyang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia denganRasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu.Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwaberjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakanakanAllah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. Hendaklahdiperhatikan bahwa Allah Maha suci dari segala sifat-sifat yang menyerupaimakhluknya.
c.Sejarah Bai’at
Dalam sejarah bai’at pernah terjadi dari sebelum masa Rasulullah. Bai’at tersebut diantaranya adalah Bai’at Muthayyibin, yaitu perjanjian antara kabilah Bani Abdud Dar, Bani Jamah, Bani Salim, Bani Makhzum dan Bani Adi, yaitu untuk tidak saling berebut kekuasaan atas Ka’bah yaitu dengan memasukkan masing-masing tangannya ke dalam mangkok berisi minyak wangi dan mengusapkannya ke Ka’bah sehingga dinamakan Muthayyibin (orang-orang yg memakai minyak wangi).
Pada masa Rasulullah bai’at juga terjadi beberapa kali diantaranya bai’at Aqabah pertama dan bai’at Aqabah kedua. Bai’at Aqabah pertama terjadi pada tahun 621 M disuatu bukit yang bernama Aqabah. Bai’at Aqabah pertama ini dilakukan antara Nabi dengan 12 (dua belas) orang dari Kabilah Kharaj dan Aus dari Yastrib. Isi dari bai’at ini adalah: mereka berjanji setia kepada Nabi untuk tidak menserikatkan Allah, tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak-anak, menuduh dengan tuduhan palsu, tidak akan mendurhakai Nabi di dalam kebaikan.[26]
Bai’at Aqabah Kedua terjadi tahun 622 M, dilakukan antara Nabi dengan 75 orang Yastrib yang terdiri dari berbagai kalangan baik dari muslim maupun non muslim yang mewakili warga sukunya. Bai’at Aqabah kedua ini disebut juga bai’at kubra,di dalam bai’at ini terjadi dialog antara Rasulullah dengan orang-orang Yastrib, dan pada akhirnya orang-orang Yastrib membai’at Rasul dengan kata-kata: 
“Kami berbai’at (janji setia) untuk taat dan selalu mengikuti baik pada waktu kesulitan maupun pada waktu dalam kemudahan, pada waktu senang dan pada waktu susah dan tetap berbicara benar dimaapun kami berada, tidak takut celaan orang di dalam membela kalimah Allah.”[27] Demikian di atas merupakan sejarah dari beberapa bai’at yang pernah terjadi baik pada masa rasulullah maupun sebelum masa rasulullah. Adapun setelah masa Rasulullah bai’at juga masih tetap terjadi, diantaranya adalah pembaiatan terhadap Khulafaurrasyidin dan lain sebagainya. 
Dari bai’at-bai’at yang dilakukan Muslimin kepada Nabi Saw tersebut di atas intinya adalah janji setia, patuh dan ta’at kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (perintah agama), melaksanakan Islam dan membela atau melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan siap mati untuk berjuang serta berjihad melawan orang kafir dalam mempertahankan Islam. Dan bila melihat beberapa contoh bai’at tersebut diatas, bahwa bai’at itu tidak hanya dilakukan antara dua belah pihak saja melainkan juga beberapa belah pihak. 
Sementara itu bai’at yang mencerminkan adanya koalisi di dalam pemilihan kepala Negara bisa dilihat dalam peristiwa pembaiatan terhadap kholifah pertama Sayyidina Abu Bakar Shiddiq. Dimana pada saat itu terjadi perdebatan yang sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin tentang siapa yang akan menggantikan kepemimpinan Rasul Saw.
Pada peristiwa tersebut Umar mengusulkan agar Abu Bakar yang menjadi pemimpin, namun usulan tersebut tidak begitu saja langsung diterima, malah terjadi perdebetan. Ada beberapa nama selain Abu Bakar yang dikemukakan mayarakat pada saat itu, diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib dan Sa’d bin ‘Ubadah.  Ditengah-tengah perdebatan tersebut akhirnya ada dua orang yang masing-masing dari suku Khazraj dan dari kaum ‘Aus yang kemudian menyatakan baiatnya terhadap abu bakar. Orang tersebut adalah Basyir bin Sa’d, ayah Nu’man bin Basyir, saudara sepupu Sa’d bin ‘Ubadah, ketua suku Khazraj dan pemimpin kaum ‘Aus, Usaid bin Hudhair.[28] Maka setelah Umar Bin Khattab  dan dua orang tersebut menyatakan baiatnya kepada Abu Bakar, baiat tersebut akhirnya diikuti oleh masyarakat lainnya sehingga dengan demikian Abu Bakar yang akhirnya terpilih sebagai pemimpin[29].






BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian mengenai konsepsi imamah dan bai’at dalam siyasah dusturiyah dapat diambil benang sarinya, bahwa pengertian imamah baik secara etimologis maupun terminologis, menunjukkan bahwa istilah-istilah itu muncul dalam sejarah Islam sebagai sebutan bagi institusi politik untuk menggantikan fungsi kenabian dalam urusan agama dan urusan politik.
Berkaitan dengan sistematika untuk menentukan seorang imam, hal ini dapat dilihat dari beberapa praktik dari proses pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Seluruh mekanisme dalam pemililihan Abu Bakar  hingga Ali bin Abi Thalib tersebut telah memberikan gambaran kepada kita bagaimana mekanisme pemilihan seorang kepala negara dalam pemerintahan Islam. 
Suksesi kepemimpinan ke empat khulafaurrasyidin, bahwa agama Islam dalam bentuk asalnya tidak menetapkan cara atau prosedur tertentu dalam memilih seorang khalifah, pengganti Rasulullah Saw.  Prosedur empat Khulafaurrasidin yang secara silih berganti memimpin masyarakat Islam selama 29 tahun (632-661 M), terlihat bahwa setiap khalifah terpilih dengan cara-cara yang berbeda (empat cara) yaitu: 
a.       Pada pemilihan khalifah pertama Abu Bakar Sidik, yaitu dengan cara pembaiatan dari para sahabat, lalu diikuti oleh para kaum muslimin secara langsung.
b.      Dengan cara menyampaikan amanat oleh khalifah Abu Bakar kepada Umar bin Khatab ra sebagai penerusnya sebagai khalifah yang kedua. Tetapi setelah Abu Bakar wafat, Umar menyerahkan kembali kekuasaannya kepada umat Islam lalu beliau terpilih kembali melalui syura.
c.       Membentuk suatu majelis terbatas yang terdiri dari orang-orang pilihan, lalu setelah memperhatikan aspirasi umat majelis tersebut memilih satu diantara mereka Utsman bin Affan ra. sebagai khalifah ketiga.
d.            Pada pemilihan yang keempat hampir sama dengan yang ketiga yaitu pemilihan dengan cara melalui perwakilan umat dan hasil dari penjaringan opini umum yang ada memilih Ali bin Abi Thalib ra.
Sebagai Khalifah keempat dalam pemerintahan Islam. Itulah cara pemilihan kepala negara yang dilakukan pada masa khulafaurrasyidun, dan untuk selanjutnya dalam sejarah Islam  kita lihat untuk menentukan para pemimpin masa selanjutnya seperti pada masa bani Uamayah, Abasiyah dan seterusnya yang paling dominan adalah dengan menggunakan sistem kerajaan. 
Bila diimplentasikan pada saat ini, pemerintah dalam konsep imamah memiliki tugas dan fungsi melaksanakan hukum Islam dan melindungi atau menjaga keutuhan agama, demi tercapainya kemaslahatan ummat. Bagi ummat Islam diberikan hak untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah dan menasihatinya sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Sedangkan pemerintah diperintah untuk bermusyawarah dengan rakyat, menghargai aspirasinya, dengan mengambil yang baik dari masukan-masukannya. Maka  dengan demikian cita-cita untuk menciptakan tatanan sosial yang adil sesuai dengan ketentuan syari’at akan bisa direalisasikan. Cita-cita keadilan berdasarkan syari’at merupakan cita-cita ideal bagi suatu pemerintahan dalam konsep imamah.
Implementasi bai’at dalam hak dan kewajiban secara timbal balik antara dua belah pihak pemimpin dan ummat yang saling menukar janji setia untuk saling menaati, seolah-olah masing-masing keduanya telah menjual apa yang ada pada dirinya, baik dalam hal menyenangkan maupun pada hal yang tidak disukai dan mempercayakan segala urusan kepada pemimpin yang dilakukkan setelah permusyawaratan.
Ba'iat itu secara syar'i maupun kebiasaan tidaklah diberikan kecuali kepada amirul mukminin dan khalifah kaum muslimin. Karena orang yang meneliti dengan cermat kenyataan yang ada baiat masyarakat kepada kepala negaranya, dia akan mendapati bahwa baiat itu terjadi untuk kepala negara. Pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada musyawarah dari sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli wal 'aqdi.





Jual Rak Minimarket dan Rak Gudang




Daftar Pustaka

As-Salus, Ali Ahmad. 1997. Aqidah al-Imamah ‘Inda as-Syi’ah Al-Isna ‘Asyariyah.Tjmh. Jakarta: Gema Insani Prees.
as-Salas, Ali. 1997.  Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’I. Jakarta: Gema InsaniPress.
Asy-Syannawi, Fahmi. 2006.  Fiqih Politik, Dinamika Politik Islam Sejak Masa Nabi Sampai Kini. Bandung: Pustaka Setia.
Azhary, M. Tahir. 1992. Negara Hukum. Jakarta : Bulan Bintang.
Dahlan, Abdul Aziz. 1999. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Departemen Agama, 2005. Al-Qur’an Dan Terjemahnya : Al-Jumanatul ‘Ali . CV. Penerbit J-ART.
Djazuli, Ahmad. 2007. Fiqh Siyasah-Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Muhammad, Husein. 2002. Al-Huda Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam: Bai’at dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: Pusat Penelitian Islam.
O. Hashem. 2004.  Sejarah Islam Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau Di Saqifah. Jakarta:Yapi.
Pulungan,  Suyuthi. 1994 Fiqh Siyasah. Jakarta : Raja Grafindo Persada.





[1] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 40
[2]Ibid.,hal. 41        
[3] Ali Ahmad As-Salus. Aqidah al-Imamah ‘Inda as-Syi’ah Al-Isna ‘Asyariyah.Tjmh (Jakarta: Gema Insani Prees, 1997), hal. 15
[4] Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya : Al-Jumanatul ‘Ali (CV. Penerbit J-ART, 2005), hal. 328
[5] Ibid, hal. 19
[6] Ali Ahmad As-Salus. Op.cit., hal. 16
[7] Suyuthi Pulungan,op. cit., hal. 45
[8]Ibid.,hal. 59
[9] Hashem, Sejarah Islam Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau Di Saqifah, (Jakarta : Yapi, 2004), hal. 107
[10] M. Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 131
[11]Ibid,hal. 137
[12]Ibid,hal. 137-138
[13] Suyuthi Pulungan, op.cit.,hal. 159-160
[14] Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah-Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 93
[15] Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Darul Falah)
[16] Departemen Agama, Al-Qur’aan Dan Terjemahnya :hal.  116
[17] Ibid.
[18] M. Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 142
[19] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), 179
[20] Suyuti Pulungan, op.cit, hal. 73
[21]Ibid.,hal. 179
22 Departemen Agama, Al-Qur’aan Dan Terjemahnya, hal.  551
23Departemen Agama, Al-Qur’aan Dan Terjemahnya, hal.  512
24Departemen Agama, Al-Qur’aan Dan Terjemahnya, hal.  513
[25]Ibid.,hal 153-154.
[26] Ahmad Djazuli,op.cit.,  hal. 104 
[27]Ibid.,hal. 104-105            
[28] O. Hashem, Sejarah Islam : Wafat Rasulullah Dan Suksesi Sepeninggal Beliau Di Saqifah, (Jakarta : Yapi, 2004), hal. 108
[29]Ibid., hal. 108

0 comments: