اَهْلاًوَسَهْلاً

Tuesday, 14 January 2014

Al-Qadhi ‘Iyadh



BIOGRAFI
Al-Qadhi ‘Iyadh
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah: Ulumul Hadis I
Dosen Pengampu : Warso Winata, MA















Mulya 14113450009
Adadin/Tafsir Hadis B/2



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
Jalan Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon 54132
Tahun 2012

Al-Qadhi ‘Iyadh
A.    Riwayat hidup
Ia adalah Al Qadhi Abu Al Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh Al Yahshabi Al Andalusi As-Sabti Al Maliki, seorang imam dan ulama serta hafizh, dan juga seorang syaikh Islam. Ia dilahirkan pada tahun 476 H. Al Qadhi Iyadh memiliki banyak ilmu, serta menuangkannya ke dalam kitab, melalui karya-karyanyalah maka ia terkenal di seluruh pelosok negeri.
Suatu ketika ia terpilih sebagai pemimpin di negerinya, tetapi hal itu justru membuatnya semakin tawadhu’ dan takut kepada Allah SWT. Al Qadhi Syamsuddin berkata dalam kitab Wafayat Al A’yan, “Al Qadhi Iyadh adalah seorang ulama hadits pada zamannya, dan seorang yang alim di antara orang-orang di sekitarnya, dia juga menguasai ilmu nahwu, bahasa, dan dialek bangsa Arab, serta mengetahui ilmu hari dan nasab.”
Al Qadhi Syamsuddin melanjutkan perkataannya, “Di antara karya Al Qadhi Iyadh adalah kitab Al Ikmal fi Syarh Shahih Muslim sebagai pelengkap kitab Al Mu’lim karya Al Mazari, ia juga mengarang kitab Masyariq Al Anwar fi Tafsir Gharib Al Hadits, dan juga kitab At-Tanbihat. Di dalam kitab-kitab yang dikarangnya, Al Qadhi Iyadh memiliki keunikan tersendiri, dan semua karangannya adalah karangan yang sangat menakjubkan, ia pun memiliki syair yang indah.”
Aku katakan, “Karangan-karangannya sangat berharga, tetapi di antara karangannya yang aku anggap paling bagus adalah kitab Asy-Syifa, tetapi sayangnya kitab tersebut  dipenuhi dengan hadits-hadits yang dibuat-buat (dusta). Kitab tersebut tidak pernah dikritik oleh ulama lain, semoga Allah memberikan kepadanya balasan yang baik, dan menjadikan kitab Asy-Syifa sebagai kitab yang bermanfaat.
Di dalam kitab tersebut terdapat pula berbagai macam takwil yang jauh dari kebenaran, kitab ini juga penuh dengan khabar-khabar Ahad yang mutawatir, oleh karena itu mengapa kita masih saja puas dengan khabar-khabar maudhu’ (palsu), dan kita pun menerima khabar yang penuh dengan dendam dan dengki, tetapi ingat bahwa sesuatu yang belum diketahui, dosanya dapat terampuni, bacalah kitab Dala`il An-Nubuwwah karya Imam Al Baihaqi, karena kitab tersebut merupakan obat penyejuk hati dan juga sebagai cahaya petunjuk.”104 
Al Qadhi Ibnu Khallikan berkata, “Guru-guru Qadhi Iyadh hampir berjumlah seratus orang. Qadhi Iyadh wafat pada tahun 544 H. ”Aku katakan, “Telah sampai kepadaku sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Qadhi Iyadh wafat setelah dilempar tombak oleh seseorang, karena Qadhi Iyadh mengingkari kemaksuman Ibnu Tumart.”

B.     Al-Qadhi 'Iyadh: Kewajipan Mentakzim Rasulullah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم



Al-Qadhi Abu Al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh bin  'Imrun bin Musa bin Muhammad bin 'Abdullah bin Musa bin 'Iyadh al-Yahshubi al-Maliki, adalah seorang faqih di dalam mazhab Maliki dan seorang ulama hadits pada zamannya. Hal ini disebut oleh al-Qadhi Syamsuddin di dalam kitab Wafayat al-A’yan: “Al Qadhi Iyadh adalah seorang ulama hadits pada zamannya, dan seorang yang alim di antara orang-orang di sekitarnya, dia juga menguasai ilmu nahwu, bahasa, dan dialek bangsa Arab, serta mengetahui ilmu hari dan nasab.”
Qadhi ‘Iyadh lahirkan di Ceuta (hujung utara Maghribi, di persisiran pantai Mediterranean berdekatan dengan Selat Gibraltar) pada bulan Sya’ban tahun 476H. Keluarga beliau berasal dari Andalus yang berhijrah ke kota Fes di Maghribi.
Pada tahun 509H, beliau mengembara ke Andalus untuk mencari ilmu. Di sana beliau belajar kepada Qadhi Abu ‘Abdullah Muhammad ibn ‘Ali ibn Hamdin, Abu al-Hussin as-Siraj, Abu Muhammad ibn ‘Attab dan lain-lain. Menurut Ibnu Khallikan, guru-guru Qadhi Iyadh berjumlah hampir seratus orang. Sekembalinya dari Andalus, beliau di lantik menjadi Qadhi Ceuta. Kemudian dilantik menjadi Qadhi Granada pada tahun 531H. Namun tidak lama setelah itu, beliau kembali menjadi Qadhi di Ceuta.
Beliau juga menulis sejumlah kitab-kitab, antaranya: Al-Ikmal fi Syarh Shahih Muslim sebagai pelengkap kitab Al Mu’lim karya Al Mazari; Masyariq al Anwar fi Tafsir Gharib al Hadits; at-Tanbihat al-Mustanbita; Tartib al-Madaraik wa Taqrib al-Masalik; al-I’lam bi Hudud Qawaid al-Islam; al-Ilma fi Dabt ar-Riwayah wa Taqyid as-Sama’; Ajwiba al-Qurtubiyyin; al-Maqasid al-Hisan fima Yalzam al-Insan; al-Syifa bi Ta‘rif Huquq al-Mustafa dan lain-lain. Qadhi Iyadh meninggal dunia pada tahun 544H di Marakkesh, Maghribi.
Di kitab beliau berjudul al-Syifa bi Ta‘rif Huquq al-Mustafa (juzuk 2, halaman. 35-36) beliau menyebutkan tentang kewajipan mentakzim Rasulullah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم. Kata beliau Ketahuilah bahawa kehormatan Nabi صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم sesudah wafatnya serta memulia dan mengagungkannya adalah lazim (wajib), sebagaimana hal keadaan pada masa hidupnya. Dan yang demikian itu adalah ketika menyebut Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم, menyebut hadits dan sunnahnya, mendengar nama dan sirahnya, bermuamalah dengan ahli keluarganya serta memuliakan ahlulbait dan para sahabat Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم .
Kata Abu Ibrahim al-Tujibi: Wajib atas setiap mukmin apabila menyebut Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم  atau disebut nama Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم  di sisinya hendaklah ia tunduk, khusyuk, hormat dan diam dari bergerak serta merasakan kehebatan Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم  dan kehormatannya, sebagaimana dirinya akan berasa begitu sekiranya dia sendiri berada di hadapan Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم, serta beradab sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah Taala kepada kita. Kata al-Qadhi ‘Iyadh lagi: Beginilah akhlak para salafussoleh dan imam-imam kita dahulu (رضي الله عنهم).
C.     Kecakapan Menerima Hadits
Para ulama berbeda pendapat tentang kecakapan seseorang membawa hadits; namun, dapat kami simpulkan dalam suatu redaksi yang mencakup semua pendapat itu. Kesimpulan itu adalah: Pokok kecakapan dan keahlian menerima hadits menurut jumhur adalah tamyiz, yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hapal terhadap apa yang didengarnya.
Banyak muhadditsin yang menetapkan batas minimal umur orang tersebut lima tahun. Pendapat ini dinisbatkan oleh Qadhi ‘Iyadh kepada ahli hadits. Ibnu al-Shalah berkata, “Pemberian batas umur lima tahun itu adalah pendapat yang ditetapkan oleh tindakan ahli hadits mutakhir.  Mereka menyebut kegiatan anak yang berumur lima tahun atau lebih dalam mengikuti pengajian hadits dengan sami’a (ia dengar), sedangkan bagi anak yang di bawah umur lima tahun dengan hadhara (ia hadir) atau uhdhira (ia diajak menghadiri).”
Hal ini mengingatkan kepada kita tentang istilah yang kita jumpai dalam manuskrip-manuskrip, tentang daftar pendengar para ulama dan keterangan tentang nama para pendengarnya. Sehubungan dengan hal itu mereka pun berkata: “Kitab ini pernah didengar oleh Polan dan Polan, dan dihadiri oleh Polan.”
Akan tetapi, penelitian yang saksama tentang hal ini menunjukkan bahwa tolok ukur kecakapan menerima hadits adalah tamyiz, sebagaimana kami jelaskan di muka. Inilah pendapat jumhur, dan inilah pendapat yang shahih dan dapat diikuti.
Adapun pembatasan umur lima tahun itu tidak menafikan pendapat tersebut. Qadhi ‘Iyadh berkata, “Barangkali mereka memandang bahwa usia lima tahun itu merupakan usia minimal bagi seseorang untuk dapat menghapalkan dan memahami apa yang didengarnya. Bila bukan itu alasannya, maka batas usia tamyiz itu dikembalikan kepada adat. Banyak sekali orang yang lamban pikirannya dan jelek daya nalarnya tidak dapat menghapal suatu apa pun setelah umur tersebut, dan banyak pula orang yang cerdas pikirannya dan bagus daya nalarnya telah dapat paham banyak hal sebelum umur tersebut.”
Sebagian besar muhadditsin, fuqaha, dan ulama ushul memperbolehkan periwayatan hadits yang diterima melalui al-I’lam meskipun tidak disertai Ijazah. Pendapat ini disepakati pula oleh al-Ramahurmuzi. Qadhi ‘Iyadh berkata, “Pendapat ini benar dan tidak ada alternatif lain, karena melarang seseorang meriwayatkan hadits yang telah diriwayatkan bukan karena ada cacat atau ada keraguan,tidak dapat dibenarkan; karena ia benar-benar telah meriwayatkannya dan tindakannya itu tidak dapat diralat kembali.
Letak kebenaran Qadhi ‘Iyadh ini adalah bahwa penerimaan hadits dengan Ijazah itu dipandang sah karena dalam Ijazah itu terdapat pemberitahuan secara global, sedang dalam al-I’lam identik dengan ikhbar, bahkan lebih akurat darinya sebab disertai dengan isyarat terhadap kitab secara jelas dan guru yang menunjukkan itu berkata, “Ini adalah hadits yang aku dengar dari Polan.”
Prosesi peringatan maulid Nabi Saw. pernah diadakan secara meriah di kota Makkah bahkan sebelum peringatan tersebut diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193).
D.    Pemikiran Al-Qadhi’ Iyadh
1.      Prosesi peringatan maulid Nabi
Prosesi peringatan maulid Nabi Saw. di kota Makkah secara meriah yang terekam dengan baik dalam sebuah buku yang berjudul Messenger of Allah: Ash-Shofa` of Al-Qadhi ‘Iyadh yang ditulis oleh Aisyah Binti Abdurrahman Bewley dan dijadikan refrensi oleh Syekh Muhammad Hisyam Kabbani untuk bukunya yang berjudul Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi terjadi pada abad ke-10 Masehi.
Di dalam buku tersebut dikatakan bahwa ada tiga catatan saksi mata terpercaya, yaitu sejarawan Ibnu Huhayrah, Ibnu Hajar Al-Haytsami dan An-Nahrawali yang menyatakan bahwa setiap tahun pada tanggal 12 Rabiul Awal, setelah shalat isya, empat qadhi kota Makkah yang mewakili keempat madzhab Sunni dan sekelompok besar masyarakat yang meliputi para fuqaha dan tokoh kota Makkah, para syekh, para guru dan murid Alwiyah, para pemimpin dan orang-orang yang terpelajar semua meninggalkan masjid dan berangkat bersama-sama untuk berkunjung ke tempat kelahiran Nabi Saw., sambil membaca dzikir dan tahlil (laa ilaaha Illallaah). Rumah-rumah di sepanjang jalur perjalanan diterangi dengan lampu-lampu dan lilin-lilin besar. Sebagian besar orang berhamburan. Mereka mengenakan pakaian spesial dan membawa anak-anak bersama mereka. Setelah tiba di tempat kelahiran, sebuah khutbah disampaikan khusus memperingati kelahiran Nabi saw. yang menguraikan berbagai keajaiban yang terjadi pada hari peristiwa tersebut. Setelah itu, do`a dibacakan untuk khalifah, amir kota Makkah dan qadhi Syafi`i dan semuanya berdo`a dengan kerendahan hati. Sesaat sebelum shalat Isya dilaksanakan, semua orang kembali dari tempat kelahiran Rasulullah Saw. ke Masjidil Haram, yang sudah hampir penuh sesak, dan semua duduk bershaf-shaf di bawah maqam Ibrahim. Di masjid, seorang khatib membacakan tahmid dan tahlil dan sekali lagi do`a untuk khalifah, amir Makkah dan qadhi dari mazhab Syafi`i. Setelah itu, adzan untuk shalat Isya dikumandangkan. Setelah shalat, kerumunan bubar.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ ر عَنْ رَسُوْلِ اللهِ J أَنَّهُ قَالَ] : إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا يُكْتَبُ لَهُ عَشْرَةَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، وَكُلُّ سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا يُكْتَبُ لَهُ مِثْلَهَا حَتَّى يُلْقِيَ اللهُ[ {a}
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : "Apabila salah seorang di antara kalian membaguskan keislamannya maka setiap kebaikan yang ia kerjakan dicatat untuknya sepuluh kali hingga tujuh ratus kali lipat. Dan setiap kejahatan yang ia kerjakan, akan dicatat untuknya kejahatan yang sama, hingga ia bertemu Allah." (HR al-Bukhari dan Muslim.)
Penjelasan Hadits
Apabila salah seorang diantara Anda membaguskan keislamannya, yaitu melaksanakan ajaran Islam dengan sebenar-benarnya, bukan seperti Islamnya orang-orang munafik. Maka, setiap kebajikan yang dilakukannya akan dicatat sebanyak sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Ini merupakan bukti anugerah Allah yang melipat gandakan balasan pahala orang mukmin tanpa batas. Dan bisa jadi balasan pahala tersebut melebihi tujuh ratus kali lipat, sebagaimana firman Allah :"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui" Allah SWT juga berfirman : "Barangsiapa berbuat baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amal-nya, dan barangsiapa yang berbuat jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)"
Setiap kejahatan yang dilakukan oleh seseorang itu akan dicatat yang sama (dengan tekadnya melakukannya, Ed), hingga ia bertemu Allah. Imam al-Maziri mengatakan : "Menurut pendapat al-Qadhi Abu Bakar bin ath-Thayib, orang yang berhasrat dan bertekad ingin berbuat maksiat, maka ia berdosa atas hasrat dan tekadnya itu."
Menurutnya, apa yang diterangkan dalam hadits di atas dan hadits-hadits lain yang senada dengannya adalah berlaku bagi orang yang tidak memantapkan dirinya untuk melakukannya, meski hanya terlintas dalam pikirannya untuk melakukan kemaksiatan itu. Dan ini disebut keinginan yang jelas berbeda dengan tekad. Tetapi pendapat al-Qadhi Abu Bakar ini ditentang oleh banyak ulama ahli fiqih dan ahli hadits yang cenderung berpegang pada lahiriahnya hadits.
Al-Qadhi Iyadh berkata : "Mayoritas ulama salaf dan ulama ahli fiqih serta ahli hadits cenderung kepada pendapat yang dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar, berdasarkan beberapa hadits yang menunjukkan adanya tuntutan terhadap perbuatan-perbuatan hati. Tetapi menurut mereka, hasrat seperti itu dicacat sebagai satu kejahatan, sehingga orang yang sudah mantap untuk melakukannya akan disiksa dan dicatat sebagai suatu kemaksiatan. Jika ia melaksanakan hasrat tersebut, maka akan dicacat sebagai perbuatan maksiat yang lain lagi. Dan jika ia meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka dicatat untuknya suatu kebaikan, sebagaimana yang dikemukakan dalam hadits tadi."
3.      Mengangkat tangan ketika takbiratul ihram
Kata Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh, mengangkat tangan dalam shalat tidaklah wajib. Tidak ada ulama yang berpendapat demikian kecuali Dawud Azh-Zhahiri. Ia mengatakan wajib mengangkat tangan ketika takbiratul ihram. Namun sebagian pengikut madzhab/murid-muridnya menyelisihi pendapatnya ini. Mereka tidak mewajibkannya. (Ikmalul Mu’lim 2/261-262).

     Yang berpendapat wajib di antaranya adalah Al-Humaidi, Dawud Azh-Zhahiri, Ahmad bin Yasar, ‘Ali ibnul Madini, Ishaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Auza’i. (Fathul Bari, Ibnu Rajab 4/296-297, Nailul Authar 2/11)
Ibnu Hazm t mengatakan, “Mengangkat tangan ketika takbiratul ihram pada awal shalat adalah perkara fardhu. Shalat tidak teranggap (sah) tanpa perkara ini.” (Al-Muhalla 2/264)
Dalil mereka di antaranya adalah hadits:

صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)
.

4.      Memakan daging hewan kurban
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ :إِنَّ رَسُولَ اللهِ n قَدْ نَهَاكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا لُحُومَ نُسُكِكُمْ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ فَلَا تَأْكُلُوا
Ali bin Abi Thalib  pernah menyampaikan, “Sesungguhnya Rasulullah  telah telah melarang kalian memakan daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Maka, janganlah kalian makan (lebih dari tiga hari).” (HR. al-Bukhari no. 5573 dan Muslim no. 1969).



       Seputar Sanad Hadits Al-Qadhi Iyadh menjelaskan, “Hadits ini, melalui riwayat Sufyan, memiliki ‘illah (cacat) menurut ahli hadits dalam hal rafa’nya (sampai kepada Rasulullah ). Sebab, para hafizh, murid-murid Sufyan tidak menyebutkannya secara rafa’. Oleh karena itu, al-Bukhari t tidak meriwayatkan hadits ini melalui jalan Sufyan akan tetapi meriwayatkannya dari jalan lain.

     Ad-Daruquthni t menjelaskan, ‘Riwayat ini termasuk wahm (kesalahan) Abdul Jabbar bin al-‘Ala’. Sebab, Ali al-Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Qa’nabi, Abu Khaitsamah, Ishaq, dan yang lain meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah secara waqf (sampai kepada sahabat).

     Hadits ini sahih secara rafa’ melalui az-Zuhri, namun bukan dari jalan Sufyan.Shalih, Yunus, Ma’mar, az-Zubaidi, dan Malik dari riwayat Juwairiyah, mereka semua meriwayatkan hadits ini dari az-Zuhri secara rafa.’ Ini adalah penjelasan ad-Daraquthni.Adapun matan hadits tetaplah sahih apa pun keadaannya.
Wallahu a’lam.”makna hadits-hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan tidak bolehnya menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Daging tersebut harus habis dikonsumsi dan dibagikan dalam waktu kurang dari tiga hari. Sejak dan hingga kapan hitungan tiga hari itu?

     Al-Qadhi ‘Iyadh menerangkan, “Ada kemungkinan, tiga hari itu terhitung dari hari menyembelih kurban. Bisa jadi juga, tiga hari tersebut terhitung dari hari Nahr (10 Dzulhijjah), meskipun waktu penyembelihannya tertunda sampai hari-hari Tasyriq, dan kemungkinan makna inilah yang paling dhahir dari sabda Rasulullah.”
Hukum ini pernah berlaku selama beberapa waktu. Hingga suatu saat, Rasulullah menerangkan bahwa hukum tersebut tidak lagi berlaku. Yang kemudian berlaku adalah bolehnya mengonsumsi, menyimpan, atau membagikan daging hewan kurban lebih dari tiga hari sejak saat menyembelihnya di hari Nahr. Berikut ini kami akan menyebutkan hadits-hadits yang mansukhah (telah dihapuskan hukumnya) dan hadits-hadits nasikhah (yang menghapus hukum sebelumnya dan yang berlaku seterusnya).


BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran

0 comments: