BIOGRAFI
Al-Qadhi
‘Iyadh
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah: Ulumul Hadis I
Dosen Pengampu : Warso Winata, MA
Mulya 14113450009
Adadin/Tafsir Hadis B/2
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
Jalan
Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon 54132
Tahun 2012
Al-Qadhi
‘Iyadh
A. Riwayat
hidup
Ia
adalah Al Qadhi Abu Al Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh Al Yahshabi Al Andalusi
As-Sabti Al Maliki, seorang imam dan ulama serta hafizh, dan juga seorang
syaikh Islam. Ia dilahirkan pada tahun 476 H. Al Qadhi Iyadh memiliki banyak
ilmu, serta menuangkannya ke dalam kitab, melalui karya-karyanyalah maka ia
terkenal di seluruh pelosok negeri.
Suatu
ketika ia terpilih sebagai pemimpin di negerinya, tetapi hal itu justru
membuatnya semakin tawadhu’ dan takut kepada Allah SWT. Al Qadhi Syamsuddin
berkata dalam kitab Wafayat Al A’yan, “Al Qadhi Iyadh adalah seorang ulama
hadits pada zamannya, dan seorang yang alim di antara orang-orang di
sekitarnya, dia juga menguasai ilmu nahwu, bahasa, dan dialek bangsa Arab,
serta mengetahui ilmu hari dan nasab.”
Al
Qadhi Syamsuddin melanjutkan perkataannya, “Di antara karya Al Qadhi Iyadh
adalah kitab Al Ikmal fi Syarh Shahih Muslim sebagai pelengkap kitab Al Mu’lim
karya Al Mazari, ia juga mengarang kitab Masyariq Al Anwar fi Tafsir Gharib Al
Hadits, dan juga kitab At-Tanbihat. Di dalam kitab-kitab yang dikarangnya, Al
Qadhi Iyadh memiliki keunikan tersendiri, dan semua karangannya adalah karangan
yang sangat menakjubkan, ia pun memiliki syair yang indah.”
Aku
katakan, “Karangan-karangannya sangat berharga, tetapi di antara karangannya
yang aku anggap paling bagus adalah kitab Asy-Syifa, tetapi sayangnya kitab
tersebut dipenuhi dengan hadits-hadits yang dibuat-buat (dusta). Kitab
tersebut tidak pernah dikritik oleh ulama lain, semoga Allah memberikan
kepadanya balasan yang baik, dan menjadikan kitab Asy-Syifa sebagai kitab yang
bermanfaat.
Di
dalam kitab tersebut terdapat pula berbagai macam takwil yang jauh dari
kebenaran, kitab ini juga penuh dengan khabar-khabar Ahad yang mutawatir, oleh
karena itu mengapa kita masih saja puas dengan khabar-khabar maudhu’ (palsu),
dan kita pun menerima khabar yang penuh dengan dendam dan dengki, tetapi ingat
bahwa sesuatu yang belum diketahui, dosanya dapat terampuni, bacalah kitab
Dala`il An-Nubuwwah karya Imam Al Baihaqi, karena kitab tersebut merupakan obat
penyejuk hati dan juga sebagai cahaya petunjuk.”104
Al
Qadhi Ibnu Khallikan berkata, “Guru-guru Qadhi Iyadh hampir berjumlah seratus
orang. Qadhi Iyadh wafat pada tahun 544 H. ”Aku katakan, “Telah sampai kepadaku
sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Qadhi Iyadh wafat setelah dilempar tombak
oleh seseorang, karena Qadhi Iyadh mengingkari kemaksuman Ibnu Tumart.”
B. Al-Qadhi 'Iyadh: Kewajipan Mentakzim Rasulullah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم
Al-Qadhi
Abu Al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh bin 'Imrun bin Musa bin Muhammad
bin 'Abdullah bin Musa bin 'Iyadh al-Yahshubi al-Maliki, adalah seorang faqih
di dalam mazhab Maliki dan seorang ulama hadits pada zamannya. Hal ini disebut
oleh al-Qadhi Syamsuddin di dalam kitab Wafayat al-A’yan: “Al Qadhi Iyadh
adalah seorang ulama hadits pada zamannya, dan seorang yang alim di antara
orang-orang di sekitarnya, dia juga menguasai ilmu nahwu, bahasa, dan dialek
bangsa Arab, serta mengetahui ilmu hari dan nasab.”
Qadhi
‘Iyadh lahirkan di Ceuta (hujung utara Maghribi,
di persisiran pantai Mediterranean
berdekatan dengan Selat Gibraltar)
pada bulan Sya’ban tahun 476H. Keluarga beliau berasal dari Andalus yang
berhijrah ke kota Fes di Maghribi.
Pada
tahun 509H, beliau mengembara ke Andalus untuk mencari ilmu. Di sana beliau
belajar kepada Qadhi Abu ‘Abdullah Muhammad ibn ‘Ali ibn Hamdin, Abu al-Hussin
as-Siraj, Abu Muhammad ibn ‘Attab dan lain-lain. Menurut Ibnu Khallikan,
guru-guru Qadhi Iyadh berjumlah hampir seratus orang. Sekembalinya dari Andalus,
beliau di lantik menjadi Qadhi Ceuta. Kemudian dilantik menjadi Qadhi Granada
pada tahun 531H. Namun tidak lama setelah itu, beliau kembali menjadi Qadhi di
Ceuta.
Beliau
juga menulis sejumlah kitab-kitab, antaranya: Al-Ikmal fi Syarh Shahih Muslim
sebagai pelengkap kitab Al Mu’lim karya Al Mazari; Masyariq al Anwar fi
Tafsir Gharib al Hadits; at-Tanbihat al-Mustanbita; Tartib
al-Madaraik wa Taqrib al-Masalik; al-I’lam bi Hudud Qawaid al-Islam;
al-Ilma fi Dabt ar-Riwayah wa Taqyid as-Sama’; Ajwiba al-Qurtubiyyin;
al-Maqasid al-Hisan fima Yalzam al-Insan; al-Syifa bi Ta‘rif Huquq
al-Mustafa dan lain-lain. Qadhi Iyadh meninggal dunia pada tahun
544H di Marakkesh, Maghribi.
Di
kitab beliau berjudul al-Syifa bi Ta‘rif Huquq al-Mustafa (juzuk
2, halaman. 35-36) beliau menyebutkan tentang kewajipan mentakzim Rasulullah
صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم. Kata beliau
Ketahuilah bahawa kehormatan Nabi صلى
الله عليه وآله وصحبه وسلم sesudah
wafatnya serta memulia dan mengagungkannya adalah lazim (wajib), sebagaimana
hal keadaan pada masa hidupnya. Dan yang demikian itu adalah ketika menyebut
Baginda صلى الله عليه وآله
وصحبه وسلم,
menyebut hadits dan sunnahnya, mendengar nama dan sirahnya, bermuamalah dengan
ahli keluarganya serta memuliakan ahlulbait dan para sahabat Baginda صلى
الله عليه وآله وصحبه وسلم .
Kata
Abu Ibrahim al-Tujibi: Wajib atas setiap mukmin apabila menyebut Baginda صلى
الله عليه وآله وصحبه وسلم atau disebut nama
Baginda صلى الله عليه وآله
وصحبه وسلم di
sisinya hendaklah ia tunduk, khusyuk, hormat dan diam dari bergerak serta
merasakan kehebatan Baginda صلى
الله عليه وآله وصحبه وسلم dan kehormatannya,
sebagaimana dirinya akan berasa begitu sekiranya dia sendiri berada di hadapan
Baginda صلى الله عليه وآله
وصحبه وسلم,
serta beradab sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah Taala kepada kita.
Kata al-Qadhi ‘Iyadh lagi: Beginilah akhlak para salafussoleh dan imam-imam
kita dahulu (رضي
الله عنهم).
C. Kecakapan Menerima Hadits
Para
ulama berbeda pendapat tentang kecakapan seseorang membawa hadits; namun, dapat
kami simpulkan dalam suatu redaksi yang mencakup semua pendapat itu. Kesimpulan
itu adalah: Pokok kecakapan dan keahlian menerima hadits menurut jumhur adalah
tamyiz, yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami
dan hapal terhadap apa yang didengarnya.
Banyak
muhadditsin yang menetapkan batas minimal umur orang tersebut lima tahun.
Pendapat ini dinisbatkan oleh Qadhi ‘Iyadh kepada ahli hadits. Ibnu
al-Shalah berkata, “Pemberian batas umur lima tahun itu adalah pendapat yang
ditetapkan oleh tindakan ahli hadits mutakhir. Mereka menyebut kegiatan anak yang berumur
lima tahun atau lebih dalam mengikuti pengajian hadits dengan sami’a (ia
dengar), sedangkan bagi anak yang di bawah umur lima tahun dengan hadhara (ia
hadir) atau uhdhira (ia diajak menghadiri).”
Hal
ini mengingatkan kepada kita tentang istilah yang kita jumpai dalam
manuskrip-manuskrip, tentang daftar pendengar para ulama dan keterangan tentang
nama para pendengarnya. Sehubungan dengan hal itu mereka pun berkata: “Kitab
ini pernah didengar oleh Polan dan Polan, dan dihadiri oleh Polan.”
Akan
tetapi, penelitian yang saksama tentang hal ini menunjukkan bahwa tolok ukur
kecakapan menerima hadits adalah tamyiz, sebagaimana kami jelaskan di
muka. Inilah pendapat jumhur, dan inilah pendapat yang shahih dan dapat
diikuti.
Adapun
pembatasan umur lima tahun itu tidak menafikan pendapat tersebut. Qadhi
‘Iyadh berkata, “Barangkali mereka memandang bahwa usia lima tahun itu
merupakan usia minimal bagi seseorang untuk dapat menghapalkan dan memahami apa
yang didengarnya. Bila bukan itu alasannya, maka batas usia tamyiz itu
dikembalikan kepada adat. Banyak sekali orang yang lamban pikirannya dan jelek
daya nalarnya tidak dapat menghapal suatu apa pun setelah umur tersebut, dan
banyak pula orang yang cerdas pikirannya dan bagus daya nalarnya telah dapat
paham banyak hal sebelum umur tersebut.”
Sebagian
besar muhadditsin, fuqaha, dan ulama ushul memperbolehkan periwayatan hadits
yang diterima melalui al-I’lam meskipun tidak disertai Ijazah. Pendapat ini
disepakati pula oleh al-Ramahurmuzi. Qadhi ‘Iyadh berkata, “Pendapat ini
benar dan tidak ada alternatif lain, karena melarang seseorang meriwayatkan
hadits yang telah diriwayatkan bukan karena ada cacat atau ada keraguan,tidak
dapat dibenarkan; karena ia benar-benar telah meriwayatkannya dan tindakannya
itu tidak dapat diralat kembali.
Letak
kebenaran Qadhi ‘Iyadh ini adalah bahwa penerimaan hadits dengan Ijazah itu dipandang
sah karena dalam Ijazah itu terdapat pemberitahuan secara global, sedang dalam
al-I’lam identik dengan ikhbar, bahkan lebih akurat darinya sebab disertai
dengan isyarat terhadap kitab secara jelas dan guru yang menunjukkan itu
berkata, “Ini adalah hadits yang aku dengar dari Polan.”
Prosesi
peringatan maulid Nabi Saw. pernah diadakan secara meriah di kota Makkah bahkan sebelum peringatan tersebut diperkenalkan oleh Abu Said
al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193).
D. Pemikiran
Al-Qadhi’ Iyadh
1. Prosesi
peringatan maulid Nabi
Prosesi peringatan maulid Nabi Saw. di kota Makkah secara
meriah yang terekam dengan baik dalam sebuah buku yang berjudul Messenger of
Allah: Ash-Shofa` of Al-Qadhi ‘Iyadh yang ditulis oleh Aisyah Binti Abdurrahman
Bewley dan dijadikan refrensi oleh Syekh Muhammad Hisyam Kabbani untuk bukunya
yang berjudul Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi terjadi pada abad ke-10
Masehi.
Di
dalam buku tersebut dikatakan bahwa ada tiga catatan saksi mata terpercaya,
yaitu sejarawan Ibnu Huhayrah, Ibnu Hajar Al-Haytsami dan An-Nahrawali yang
menyatakan bahwa setiap tahun pada tanggal 12 Rabiul Awal, setelah shalat isya,
empat qadhi kota Makkah yang mewakili keempat madzhab Sunni dan sekelompok
besar masyarakat yang meliputi para fuqaha dan tokoh kota Makkah, para syekh,
para guru dan murid Alwiyah, para pemimpin dan orang-orang yang terpelajar
semua meninggalkan masjid dan berangkat bersama-sama untuk berkunjung ke tempat
kelahiran Nabi Saw., sambil membaca dzikir dan tahlil (laa ilaaha Illallaah).
Rumah-rumah di sepanjang jalur perjalanan diterangi dengan lampu-lampu dan
lilin-lilin besar. Sebagian besar orang berhamburan. Mereka mengenakan pakaian
spesial dan membawa anak-anak bersama mereka. Setelah tiba di tempat kelahiran,
sebuah khutbah disampaikan khusus memperingati kelahiran Nabi saw. yang
menguraikan berbagai keajaiban yang terjadi pada hari peristiwa tersebut.
Setelah itu, do`a dibacakan untuk khalifah, amir kota Makkah dan qadhi Syafi`i
dan semuanya berdo`a dengan kerendahan hati. Sesaat sebelum shalat Isya
dilaksanakan, semua orang kembali dari tempat kelahiran Rasulullah Saw. ke
Masjidil Haram, yang sudah hampir penuh sesak, dan semua duduk bershaf-shaf di
bawah maqam Ibrahim. Di masjid, seorang khatib membacakan tahmid dan tahlil dan
sekali lagi do`a untuk khalifah, amir Makkah dan qadhi dari mazhab Syafi`i.
Setelah itu, adzan untuk shalat Isya dikumandangkan. Setelah shalat, kerumunan
bubar.
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ ر عَنْ رَسُوْلِ اللهِ J أَنَّهُ قَالَ] : إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ
يَعْمَلُهَا يُكْتَبُ لَهُ عَشْرَةَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ،
وَكُلُّ سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا يُكْتَبُ لَهُ مِثْلَهَا حَتَّى يُلْقِيَ اللهُ[ {a}
Abu Hurairah ra
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : "Apabila salah seorang
di antara kalian membaguskan keislamannya maka setiap kebaikan yang ia
kerjakan dicatat untuknya sepuluh kali hingga tujuh ratus kali lipat. Dan
setiap kejahatan yang ia kerjakan, akan dicatat untuknya kejahatan yang sama,
hingga ia bertemu Allah." (HR al-Bukhari dan Muslim.)
Penjelasan Hadits
Apabila salah seorang
diantara Anda membaguskan keislamannya, yaitu melaksanakan ajaran Islam
dengan sebenar-benarnya, bukan seperti Islamnya orang-orang munafik. Maka,
setiap kebajikan yang dilakukannya akan dicatat sebanyak sepuluh sampai tujuh
ratus kali lipat. Ini merupakan bukti anugerah Allah yang melipat gandakan
balasan pahala orang mukmin tanpa batas. Dan bisa jadi balasan pahala
tersebut melebihi tujuh ratus kali lipat, sebagaimana firman Allah
:"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui" Allah SWT juga
berfirman : "Barangsiapa berbuat baik maka baginya (pahala) sepuluh kali
lipat amal-nya, dan barangsiapa yang berbuat jahat maka dia tidak
diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya sedang mereka
sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)"
Setiap kejahatan yang
dilakukan oleh seseorang itu akan dicatat yang sama (dengan tekadnya
melakukannya, Ed), hingga ia bertemu Allah. Imam al-Maziri mengatakan :
"Menurut pendapat al-Qadhi Abu Bakar bin ath-Thayib, orang yang
berhasrat dan bertekad ingin berbuat maksiat, maka ia berdosa atas hasrat dan
tekadnya itu."
Menurutnya, apa yang
diterangkan dalam hadits di atas dan hadits-hadits lain yang senada dengannya
adalah berlaku bagi orang yang tidak memantapkan dirinya untuk melakukannya,
meski hanya terlintas dalam pikirannya untuk melakukan kemaksiatan itu. Dan
ini disebut keinginan yang jelas berbeda dengan tekad. Tetapi pendapat
al-Qadhi Abu Bakar ini ditentang oleh banyak ulama ahli fiqih dan ahli hadits
yang cenderung berpegang pada lahiriahnya hadits.
Al-Qadhi Iyadh berkata :
"Mayoritas ulama salaf dan ulama ahli fiqih serta ahli hadits cenderung
kepada pendapat yang dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar, berdasarkan
beberapa hadits yang menunjukkan adanya tuntutan terhadap perbuatan-perbuatan
hati. Tetapi menurut mereka, hasrat seperti itu dicacat sebagai satu
kejahatan, sehingga orang yang sudah mantap untuk melakukannya akan disiksa
dan dicatat sebagai suatu kemaksiatan. Jika ia melaksanakan hasrat tersebut,
maka akan dicacat sebagai perbuatan maksiat yang lain lagi. Dan jika ia
meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka dicatat untuknya suatu
kebaikan, sebagaimana yang dikemukakan dalam hadits tadi."
3.
Mengangkat tangan ketika
takbiratul ihram
Kata Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh,
mengangkat tangan dalam shalat tidaklah wajib. Tidak ada ulama yang
berpendapat demikian kecuali Dawud Azh-Zhahiri. Ia mengatakan wajib
mengangkat tangan ketika takbiratul ihram. Namun sebagian pengikut
madzhab/murid-muridnya menyelisihi pendapatnya ini. Mereka tidak
mewajibkannya. (Ikmalul Mu’lim 2/261-262).
Yang berpendapat wajib di antaranya adalah Al-Humaidi, Dawud Azh-Zhahiri, Ahmad bin Yasar, ‘Ali ibnul Madini, Ishaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Auza’i. (Fathul Bari, Ibnu Rajab 4/296-297, Nailul Authar 2/11) Ibnu Hazm t mengatakan, “Mengangkat tangan ketika takbiratul ihram pada awal shalat adalah perkara fardhu. Shalat tidak teranggap (sah) tanpa perkara ini.” (Al-Muhalla 2/264)
Dalil mereka di antaranya adalah hadits:
صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِي “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533).
4.
Memakan daging hewan kurban
|
عَنْ عَلِيِّ
بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ :إِنَّ رَسُولَ اللهِ n قَدْ نَهَاكُمْ
أَنْ تَأْكُلُوا لُحُومَ نُسُكِكُمْ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ فَلَا تَأْكُلُوا
Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan, “Sesungguhnya Rasulullah telah telah melarang kalian memakan daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Maka, janganlah kalian makan (lebih dari tiga hari).” (HR. al-Bukhari no. 5573 dan Muslim no. 1969).
Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan, “Sesungguhnya Rasulullah telah telah melarang kalian memakan daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Maka, janganlah kalian makan (lebih dari tiga hari).” (HR. al-Bukhari no. 5573 dan Muslim no. 1969).
Seputar Sanad Hadits Al-Qadhi Iyadh menjelaskan, “Hadits ini, melalui riwayat Sufyan, memiliki ‘illah (cacat) menurut ahli hadits dalam hal rafa’nya (sampai kepada Rasulullah ). Sebab, para hafizh, murid-murid Sufyan tidak menyebutkannya secara rafa’. Oleh karena itu, al-Bukhari t tidak meriwayatkan hadits ini melalui jalan Sufyan akan tetapi meriwayatkannya dari jalan lain.
Ad-Daruquthni t menjelaskan, ‘Riwayat ini termasuk wahm (kesalahan) Abdul Jabbar bin al-‘Ala’. Sebab, Ali al-Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Qa’nabi, Abu Khaitsamah, Ishaq, dan yang lain meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah secara waqf (sampai kepada sahabat).
Hadits ini sahih secara rafa’ melalui az-Zuhri, namun bukan dari jalan Sufyan.Shalih, Yunus, Ma’mar, az-Zubaidi, dan Malik dari riwayat Juwairiyah, mereka semua meriwayatkan hadits ini dari az-Zuhri secara rafa.’ Ini adalah penjelasan ad-Daraquthni.Adapun matan hadits tetaplah sahih apa pun keadaannya.
Wallahu a’lam.”makna hadits-hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan tidak bolehnya menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Daging tersebut harus habis dikonsumsi dan dibagikan dalam waktu kurang dari tiga hari. Sejak dan hingga kapan hitungan tiga hari itu?
Al-Qadhi ‘Iyadh menerangkan, “Ada kemungkinan, tiga hari itu terhitung dari hari menyembelih kurban. Bisa jadi juga, tiga hari tersebut terhitung dari hari Nahr (10 Dzulhijjah), meskipun waktu penyembelihannya tertunda sampai hari-hari Tasyriq, dan kemungkinan makna inilah yang paling dhahir dari sabda Rasulullah.”
Hukum ini pernah berlaku selama beberapa waktu. Hingga suatu saat, Rasulullah menerangkan bahwa hukum tersebut tidak lagi berlaku. Yang kemudian berlaku adalah bolehnya mengonsumsi, menyimpan, atau membagikan daging hewan kurban lebih dari tiga hari sejak saat menyembelihnya di hari Nahr. Berikut ini kami akan menyebutkan hadits-hadits yang mansukhah (telah dihapuskan hukumnya) dan hadits-hadits nasikhah (yang menghapus hukum sebelumnya dan yang berlaku seterusnya).
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
0 comments:
Post a Comment