BAB
II
Pembahasan
A.
Biografi Ahmad ibn Hanbal
1.
Nasab
Dan Kelahirannya
Beliau adalah Abu
Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin
Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu
dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu
nasab pula dengan nabi Ibrahim.[1]
Ketika beliau masih
dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang
ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, pada bulan Rabi‘ul Awwal
-menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H. Beliau tumbuh dewasa
sebagai seorang anak yatim. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda 30
tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah
binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy-lah yang berperan penuh dalam mendidik dan
membesarkan beliau. Ayahnya berpulang kepada Allah SWT dengan hanya
meninggalkan harta pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Sebuah riwayat
menyebutkan bahwa jika Ahmad bin Hanbal ditanya mengenai asal usul sukunya, dia
mengatakan bahwa ia adalah anak dari suku orang-orang miskin.
2. Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad dibesarkan
di Baghdad dan mendapatkan pendidikan awalnya di kota tersebut hingga usia 19
tahun (riwayat lain menyebutkan bahwa Ahmad pergi keluar dari Baghdad pada usia
16 tahun). Saat itu, kota Baghdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam,
yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta
penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli
hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Al-Quran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 195 H sampai
tahun 197 H Ahmad belajar fiqh dan ushul Fiqh pada Imam Syafi’I yang pada waktu
itu berada di Hijaz. Di Hijaz pula ia belajar pada Imam Malik dan Imam al-Laits
bin Sa’ad al-Misri.dalam pencarian hadis ia juga pergi ke Yaman, kepada
Abdurraziq bin Hammam, dan ke daerah-daerah lain, seperti Khurasan, Persia, dan
Tarsus.
Diantara tokoh-tokoh yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya adalah Imam Syafi‘I, secara keilmuan Imam Ahmad berguru kepada Asy-Syafi’i tentang fiqh, ia termasuk akbar talamidz Asy-Syafi’i Al-Baghdadiyin.dalam bidang hadis, ia meriwayatkan dari Hasyim, Ibrahim ibn Sa’d, dan Sufyan ibn Uyainah. Sementara menurut Muhammad Abu Zahrah dijelaskan bahwaguru Ahmadibn Hanbal dalam bidang fiqh adalah Abu Yusuf[2]. Selain itu masih banyak guru-guru yang yang lain seperti: Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan dan Waqi’, Yazid bin Harun,Ibrahim bin Sa’d,Jarir bin Abd al Hamid,Abu Dawud al-Tayalisi,Abdurrahman ibn al-Mahdy dan lain-lain. Sedangkan beberapa ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, al-Syafi’i,Abul Walid,Abdur Razzaq,Yahya ibn Ma’in Ali ibn al-Madiny,Al-Husail ibn Manshur dan lain-lain.
Ahmad bin Hanbal seorang ilmuwan yang produktif. Beliau banyak menulis kitab diantaranya ialah kitab al-‘Illal, al -Tafsir, al-Nasikh wal Mansukh, kitab al-Zuhd, al-Masa’il, kitab Fadail al-Sahabah, kitab al-Fara’id, al- Manasik, kitab al-Iman, kitab al Asyribah, Ta’at al-rasul dan kitab al-Ra’d ‘ala al-Jahmiyah. Kitabnya yang paling agung dan termasyur ialah Musnad Ahmad.[3]
Sebuah kitab dinamakan
kitab Musnad apabila penyusunnya memasukkan semua hadis yang pernah dia terima,
dengan tanpa penyaringan dan menerangkan derajat-derajat hadis tersebut. Dalam
kitab musnad ini, nama sahabatlah yang diketengahkan sebagai tema’. Semua
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat terhimpun dalam satu kelompok,
tanpa diklasifikasikan isinya dan tanpa disisihkan antara Hadits yang shohih
dan dlo’if. Setelah selesai dituliskan semua Hadits dari seorang sahabat,
barulah beralih kepada Hadits-hadits seorang sahabat yang lain dalam keadaan
yang sama. Di samping dengan mudah dapat diketahui jumlah Hadits yang
diriwayatkan oleh seorang sahabat, terdapat juga kesulitan dalam sistem Kitab
Musnad ini, bila kita hendak mencari Hadits-hadits yang menjadi dalil suatu
masalah tertentu.
Salah satu periwayatannya yaitu Imam Ibn Jauzi meriwayatkan dari
Imam Ahmad, bahwa beliau berkata : “ Iman itu bertambah dan berkurang seperti
diterangkan dalam hadis : Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah
orang yang paling bagus akhlaknya”[4]
3. Sakit Dan Wafatnya
Menjelang wafatnya,
beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun
berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu
rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu.
Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241 (855 M),
tepat pada usia 77 tahun beliau menghadap kepada rabbnya, beliau wafat di
Baghdad. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka
yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang
mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada
yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya
menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi
menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Sepeninggal beliau
madzab hanbali berkembang luas dan menjadi salah satu madzab yang memiliki
banyak penganut.
B.
Latar belakang penyusunan kitab Musnad Ahmad
Pada tahun 195 H sampai 197 H Ahmad belajar fiqh dan Ushul Fiqh
pada imam Syafi’i yang pada waktu itu berada di Hijaz. Di Hijaz pula ia belajar
pada Imam Malik dan Imam al-Laits bin Sa’ad al-Misri. Dalam pencarian hadis ia
juga pergi ke Yaman, kepada Abdurrizaq bin Hammam, dan ke daerah-daerah lain,
seperti Khurasan, Persia, dan Tarsus. Ahmad menganggap Imam Syafi’i sebagai
guru besarnya, oleh karena itu dalam pemikiran ia banyak dipengaruhdi oleh Imam
Syafi’i. Hal ini juga bisa diketahui dari kata-kata Ahmad ibn Hanbal ketika ia
sudah menjadi Imam yang besar: apabila saya ditanya tentang sesuatu yang tidak
saya jumpai kabar (yakni hadis dan atsar para sahabat) yang menjelaskannya,
maka saya berpegang kepada imam Syafi’i. Karena besarnya pengaruh imam Syafi’i
kepada Ahmad ibn Hanbal sampai-sampai al-Tobari pernah tidak mau menganggapnya
sebagai fuqaha atau mujtahid, dan menganggap sebagai muttabi, periwayat hadis,
dan bertaklid.
Meskipun pemikiran dan metode Ahmad banyak dipengaruhi Imam
syafi’i, terutama warna fiqh yang dihasilkannya, hal tersebut sangat mungkin
dikarenakan ia lebih menguasai hadis dari pada imam Syafi’i.[5]
hal tersebut dapat dilihat, misalnya, dalam masalah yang sama Ahmad bisa
berbeda pendapat dengan imam Syafi’I, karena ia mempunyai hadis tentang masalah
tersebut, sementara imam syafi’I tidak. Imam Syafi’I juga pernah menyatakan
kepada Ahmad ibn Hanbal dan para ahli hadis “kalian lebih tahu tentang hadis dan
khobar dari pada aku, maka apabila shohih beritahulah aku”. Karyanya yang
menumental, musnad Ahmad juga jauh lebih banyak memuat hadis, sementara karya
imam Syafi’I adalah percampuran keduanya. Bisa dikatakan posisi imam Ahmad
berada diantara imam syafi’I dan imam Malik.[6]
Dengan demikian meskipun ia banyak dipengaruhi oleh imam Syafi’I,
banyak pula warna-warna Maliki dalam fiqhnya. Dalam metodenya ia lebih banyak
menggunakan deduksi, namun itu tidak berarti menafikan bahwa ia juga
menggunakan induksi.[7]
Dia juga menggunakan qiyas,[8]
istihsan,[9]
istihsab,[10] dan
juga mempunya kecendrungan tekstualis serta mengembalikan masalah kepada hadis
dan atsar. Mungkin karena kecendrungan dia kepada hadis itu pula, sehingga ia
mendapatkan julukan sebagai penghulu para ulama salaf.[11]
Ahmad ibn Hanbal bukan hanya seorang ahli hadis dan fiqh, ia juga
seorang sufi yang dipengaruhi oleh pemikiran dan teladan dari seorang sufi
besar, hasan al-Bisri (w 110/728) dan Ibrahim ibn Adam (w 170/786). Keduanya
memberikan pengaruh besar dalam memberikan jalan dan metode untuk mencapai
hidup yang sejati dan kewajiban-kewajiban yang benar terhadap Allah.
Murid-murid dan pengikut Ahmad yang berusah konsisten mengikuti
pendapat atau faham Ahmad selanjutnya dikenal dengan pengikut madzhab Hanbali.
Dasar-dasar madzhab ini, sebagaimana
digunakan Ahmad ialah Al-Qur’an dan hadis, Fatwa sahabat, Pendapat sahabat yang
lebih dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, Hadis mursal dan hadis dhaif (Hadis
ini dipakai apabila tidak ada keterangan atau pendapat yang menolaknya), dan
Qiyas.
Madzhab Hanbali
berkembang khususnya di Baghdad di tempat kelahiran ahmad, kemudian berkembang
ke Iraq. Pada permulaan abad ke 4 madzhab masuk ke Nadzad dan masuk ke Mesir
pada masa pemerintahan fatimiyah dan Ayubiyah. Menurut sebagian ulama penganut
madzhab ini tidak banyak karena Ahmad terlalu keras berpegang pada riwayat dan
bersikukuh untuk tidak berfatwa tentang sesuatu yang tidak ada nashnya. Madzhab
Hanbali dipandang tidak dapat menjawab persoalan masyarakat masyarakat yang
terus berkembang, karena terlalu sempit, tidak leluasa menggunakan qiyas, atau
istihsan dan maslahah mursalah sebagaimana pada madzhab lain.[12]
Kecintaan ibn
Hanbal yang begitu besar kepada Nabi, kepada hadis membuatnya tidak peduli pada
rangkaian perawi, yang menurut para ahli faliditasnya secara cermat. Bagi ahmad
hanya ada satu kriteria untuk menilai satu hadis sah atau tidak. kriteria
tersebut ialah bahwa hadis tersebut harus menggambarkan karakter yang
sesungguhnya dari Nabi dan menyoroti aspek-aspek sosial ekonomi, agama, dan
etika dari kehidupan beliau. Termasuk dalam hal ini ialah makanan yang beliau
santap, pakaian yang dikenakan, cara beliau sholat, berperang, berjalan, duduk
dan tidur. Dalam musnadnya Ahmad bahkan mencantumkan hadis-hadis yang perawi
pertamanya tidak tidak diketahui, hal
ini mengundang kriktikan keras dari beberapa ulama.[13]
C.
Sistematika penyusunan kitab Musnad Ahmad
Tidak ada
sistematika tunggal yang dijadikan standar oleh Imam Ahmad dalam penyusunan
urutan sahabat di Musnadnya. Beliau memulai urutan itu dengan empat orang
Al-Khulafaur Rasyidin, diikuti kemudian dengan 6 sahabat lain yang termasuk ke
dalam 10 orang yang dijamin masuk surga (Asratul Kiraam), yaitu : Abu Bakar
Siddiq, Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan,
Ali Bin Abi Thalib, Thalhah Bin Abdullah, Zubair Bin Awaam, Sa’ad bin Abi
Waqqas, Sa’id Bin Zaid, Abdurrahman Bin Auf, Abu Ubaidillah Bin Jarrah. Sampai
di sini bisa dikatakan bahwa sistematika penyusunan yang digunakan Imam Ahmad
adalah melihat dari kedudukan atau tingkatan para sahabat berdasarkan siapa di
antara mereka yang terlebih dahulu masuk Islam (As-Sabiqunal Awwalun).
Al-Musnad
Imam Ahmad Ibnu Hanbal pernah dipublikasikan dengan modifikasi baru yakni
dengan sistematika huruf hijaiyah oleh inisiatif al-Hafidz Abu Bakar
al-Maqaddisi (seorang pemuka ulama madzhab Hanbali). Format terakhir justru
memodifikasi yang mengelompokkan masing-masing hadits berdasar atas kesatuan
materi ajaran dan disusun mengikuti sistematika bab-bab seperti pada kitab
fiqh. Modifikasi terakhir di kerjakan oleh Ahmad Ibnu Abd. Rahman al-Banna
(lebih dikenal dengan panggilan al-Sya’ati) dan sekaligus mensyarahi dengan
titel kitab “Bulughul-amani”. Beliau tergolong ulama abad 14 hijriah dan
meninggal pada tahun 1351 H.
Musnad Ahmad termasuk kitab termashur dan terbesar yang disusun
pada periode ke 5 perkembangan abad ke 3 H. Kitab ini melengkapai dan
menghimpun dan kitab-kitab hadis yang ada sebelumnya dan merupakan satu kitab
yang dapat memenuhi kebutuhan muslim dalam hal agama dan dunia, pada masanya
seperti halnya ulama abad ke 3 semasanya, Ahmad menyusun hadis dalam kitabnya
secara musnad. Hadis-hadi yang terdapat dalam musnad tersebut tidak semua
riwayat Ahmad, sebagian merupakan tambahan dari putranya yang bernama Abdullah
dan tambahan dari Abu Bakar Al-Qati’i.[14]
Kepandaian imam Ahmad ibn Hanbali dalam ilmu hadis tak diragukan lagi. Putra
sulungnya yaitu Abdullah bin Ahmad bahwa Imam Hanbali telah hafal 700.000 hadis
di luar kepala.[15] Hadis
sebanyak itu kemudian diseleksi secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya
al-Musnad berjumlah 40.000 berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkan. kurang
lebih 10.000 diantaranya dengan berulang-ulang. Tambahan dari Abdullah putera
Ahmad sekitar 10.000 hadis dan beberapa tambahan pula dari Ahmad ibn Jafar
Al-Qati’i. Abdullah ibn Ahmad ibn Hanballah yang menyusun kitab musnad ini.
Berdasarkan
sumbernya, hadis-hadis yang terdapat dalam kitab musnad Ahmad dapat dibagi enam
macam sebagai berikut:
1.
Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari ayahnya Ahmad ibn Habal
dengan mendengar langsung. Hadis seperti ini paling banyak jumlahnya dalam
musnad Ahmad.
2.
Hadis yang didengar Abdullah dari ayahnya dan dari orang lain.
hadis semacam ini sangat sedikit jumlahnya.
3.
Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari selain ayahnya. Hadis-hadis
ini oleh ahli hadis disebut zawaid Abdullah (tambahan-tambahan).
4.
Hadis yang tidak didengar Abdullah dari ayahnya tetapi dibacakan
kepada sang ayah.
5.
Hadis yang tidak didengar dan tidak dibacakan Abdullah kepada
ayahnya, tetapi Abdullah menemukan dalam kitab sang ayah yang ditulis dengan
tangan.
6.
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hafiz Abu Bakar al-Qati’i.
Di Islamic Reseach Insitute, terdapat tiga edisi musnad ibn
Hanbal. Edisi pertama diterbitkan untuk ke tiga kalinya oleh Daral al-Ma’arif.
Kairo pada tahun 1949/1374, dengan diberi komentar yang sangat bagus dan indeks
yang ditulis sarjana Mesir Ahmad Muhammad Syakir. Volume ke 14 edisi ini memuat
musnad Abu Hurairoh dan diterbitkan pada tahun 1955/1374. Edisi kedua diterbitkan
di Beirut oleh Dar Sadir dan terdiri dari enam volume, tanpa tahun. Edisi ke 3
diterbitkan pertama kali di kairo pada tahun 1313 H. Edisi terdiri dari 6
volume pula dengan ditambah catatan pinggir Kanz al-Ummal oleh ‘Asl’
al-Din Ali ‘Al-Muttaqi.
Musnad Ahmad tercatat sebagai Masterpiece dalam khazanah
literatur hadis dan dalam hal hadis dari segi litaratur dan sejarah tidak ada
tandingannya.[16]
D.
Metode penyusunan kitab Musnad Ahmad
Imam
Ahmad menulis riwayat para Ahlul Bayt dan sanak kerabat Rasulullah, termasuk
anggota Bani Hasyim. Kemudian Imam Ahmad beralih kepada jumlah periwayatan
dengan mencantumkan para sahabat yang meriwayatkan hadits dalam jumlah besar
(al-Muktsirûn min al-Riwâyah).
Selanjutnya beliau menggunakan kriteria
tempat dan domisili. Dalam kriteria ini Imam Ahmad menyebutkan riwayat-riwayat
para sahabat yang tinggal di Mekah (al-
Makkiyyun), lalu mereka yang tinggal Madinah (al-Madaniyyun), lalu
secara berurutan, mereka yang tinggal di Syam (al-Syamiyyun), di Kufah (al-Kufiyyun),
dan di Basrah (al-Bashriyyun). Barulah, pada bagian berikutnya, Imam Ahmad
mencantumkan riwayat-riwayat para sahabat Anshar, kemudian para sahabat
perempuan.
Mengenai penulisan bab, Imam Ahmad
menuliskan setiap sahabat dalam bab tersendiri. Di dalamnya, beliau
mencantumkan seluruh hadits yang diriwayatkan oleh sahabat tersebut lengkap
dengan sanadnya. Jika terdapat perbedaan sanad atau demi tujuan tertentu, maka
Imam Ahmad mengulang kembali pencantuman sanad atau matan hadits seringkali
kedua-duanya pada tempat yang berbeda. Karena itu, jumlah hadits yang mengalami
pengulangan mencapai seperempat bagian Musnad beliau.
Jika ada dua hadits yang sanadnya sama dan
disebutkan berurutan di dalam Musnad, maka Imam Ahmad hanya mencantumkan sanad
tersebut di hadits yang pertama dan tidak mencantumkannya di hadits yang kedua.
Sementara jika dua hadits tersebut memiliki sanad yang berbeda, maka Imam Ahmad
mencantumkan masing-masing sanad itu pada hadits yang bersangkutan.
Dalam persoalan redaksi periwayatan
hadits (shighah al-ada), Imam Ahmad dikenal sangat ketat. Ia berpendapat bahwa
seseorang tidak boleh mengubah shighah al-ada sebagaimana yang telah
didengarnya dari gurunya. Artinya, jika gurunya meriwayatkan hadits dengan
redaksi “haddatsana”, misalnya, maka ia tidak boleh mengubahnya dengan
“akhbarana”. Karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa, dalam Musnad Ahmad,
semua shighah al-ada ditulis sebagaimana adanya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Musnad
tersebut tidak semua riwayat Ahmad bin Hanbal, sebagian merupakan tambahan dari
puteranya yang bernama Abdullah dan tambahan dari Abu Bakar al-Qati’i. Musnad
tersebut memuat 40.000 hadits,kurang lebih 10.000 diantaranya dengan
berulang-ulang.Tambahan dari Abdullah, putera Ahmad sekitar 10.000 hadist dan
beberapa tambahan pula dari Ahmad bin Ja’far al-Qatili.
Sebagai kitab yang terkenal, banyak ulama
yang memberikan perhatian khusus terhadap kitab Musnad ini. Gulam ibn Sa’labah
(wafat tahun 345 H) misalnya, mengumpulkan lafadz-lafadz gharib yang terdapat
di dalam kitab Musnad ini dan memaknainya. Ibn al-Mulaqqin al-Syafi’i (wafat
tahun 804 H) membuat ringkasan (Mukhtasar) dari Musnad tersebut, dan al-Sindy
(wafat tahun 1199 H) membuat syarah dari kitab tersebut. Pada perkembangannya,
Musnad Ahmad disusun berdasarkan susunan fiqh oleh Abdurrahman ibn Muhammad
al-Banna yang terkenal dengan al-Sa’at dan dijadikan tujuh bagian. Kitab ini
kemudian dinamakan al-Fath al-Rabbany.
Metode penilitian lapangan secara fisik Kitab Musnad Ahmad dapat dianalisa
sebagai berikut:
Juz pertama yaitu Musnad sahabat
nomor hadis dari 1 sampai 1716
Juz 2 yaitu Musnad Ahlil
Bait nomor hadis 1718 sampai 1741
dilanjut Musnad Bani Hasim dengan
nomor hadis 1763 sampai 1838.
Juz 3 yaitu musnad Bani
Hasim dengan nomor hadis dari 1839sampai 3548
Juz 4 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 3549 sampai 4448
Juz 5 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 4449 sampai 5269
Juz 6 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 6414 sampai 7119
Juz 7 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 6414 sampai 7119
Juz 8 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 7871 sampai 8100
Juz 10 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 14795 sampai 15236
Juz 11 tidak ada rincian daftar isinya scara langsung
Juz 12 yaitu Musnad Makin nomor hadis 15237 sampai 16352
Juz 13 yaitu Musnad Makin nomor hadis 16353 sampai 17843 dan 19651
sampai 21186
Juz 14 yaitu Musnad Makin nomor hadis 17845 sampai 19377
Juz 15 yaitu Musnad Makin nomor hadis 19651 sampai 21186
Juz 16 yaitu Musnad Makin nomor hadis 21468 sampai 23133
Juz 17 yaitu Musnad Makin
nomor hadis 13357 sampai 23892
Juz 18 yaitu Musnad Makin nomor hadis 25480 sampai
27026 dan musnad kobail 27031 sampai 27519
Pada juz 19 menerangkan daftar isi secara global dan urutan sanadsampaisanad sahabat.
Pensyarah kitab
Pensyarah juz 1
sampai 8 oleh Ahmad Muhammad Syakir
Pensyarah juz 9
sampai 18 oleh Hamzah Ahmad Zain
Pensyarah juz
19 dan 20 oleh keduanya yaitu Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad Zain.
E.
Penilaian ulama terhadap Imam Ahmad dan Kitab
Selama
hidupnya, Ahmad ibn Hanbal terkenal wara’, pendiam, suka berfikir, peka
terhadap kondisi sosial, dan juga suka bertukar pendapat. Dia mempunyai pikiran
yang cemerlang, wawasan yang luas, dan kepribadian yang baik. Ketika imam
syafi’I belajar di Baghdad dan menuju Mesir pernah mengatakan sebagai berikut,
“ ketika saya meninggalkan di sana tidak ada orang yang lebih pandai di bidang
fiqh, lebih wara’, lebih zuhud, dan lebih alim dari Ahmad ibn Hanbal.
Menurut Abu
Masyhar pernah berkata “aku tidak pernah dapati seorang yang benar-benar
menjaga agamanya selain dari orang muda yang tinggal di timur (ibn Hanbal).”
An –Nawawi
berkata ; “beliau adalah seorang imam yang bijaksana di samping kebesaran,
ketuaan, kewiraan, kezuhudan, ingatan, banyak ilmu dan kekuasaannya.”
Menurut Asghar
Ali Engineer imam Abu Hanifah adalah seorang yang liberal dan modernis
sementara imam malik seorang yang konservatif (imam Muhafidzin), imam Syafi’I
moderat, dan imam Ahmad ibn Hanbal tergolong kaku dan orthodox.[17]
Secara umum ada
tiga pendapat penilaian ulama yang berbeda tentang derajat hadis musnad Ahmad.
1.
Bahwa secara seluruh hadis yang terdapat di dalamnya dapat
dijadikan hujjah. Pendapat ini berdasarkan perkataan Ahmad ketika ditanyakan
kepadanya tentang nilai suatu hadis “ jika umat Islam berselisih tentang suatu
hadis maka merujuklah pada kitab musnad, jika mereka menemukan hadis tersebut ada
dalam musnad, jika tidak ada maka hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah”.
2.
Bahwa di dalam musnad terdapat hadis shahih, dhaif, dan bahkan
maudhu. Ibnu al-Jauzi menjelaskan bahwa dalam kitab musnad Ahmad terdapat 29
hadis maudhu. Menurut Al-Iroqi bahkan terdapat 39 hadis maudhu d dalam hadis
maudhu di dalam musnad, yang berasal dari tambahan-tambahan Abdullah putera
Ahmad.
3.
Bahwa di dalam musnad terdapat hadis shahih dan dhaif yang
mendekati hasan. Diantara mereka yang berpendapat demikian ialah al-Jahabi,
ibnu Hajar Al-Asqolani, ibnu Taimiyyah dan as-Suyuthi.[18]
BAB III
Kesimpulan
A.
Biografi imam Ahmad
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin
Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin
Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada
diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi
Ibrahim
Diantara
tokoh-tokoh yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya adalah Imam Syafi‘I,
secara keilmuan Imam Ahmad berguru kepada Asy-Syafi’i tentang fiqh, ia termasuk
akbar talamidz Asy-Syafi’i Al-Baghdadiyin.dalam bidang hadis, ia
meriwayatkan dari Hasyim, Ibrahim ibn Sa’d, dan Sufyan ibn Uyainah. Sementara
menurut Muhammad Abu Zahrah dijelaskan bahwaguru Ahmadibn Hanbal dalam bidang
fiqh adalah Abu Yusuf. Selain itu masih banyak guru-guru yang yang lain
seperti: Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin
‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan dan Waqi’, Yazid bin
Harun,Ibrahim bin Sa’d, Jarir bin Abd al Hamid, Abu Dawud
al-Tayalisi,Abdurrahman ibn al-Mahdy dan lain-lain. Sedangkan beberapa ulama
yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau,
Abdullah dan Shalih, Abu Zur‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram,
al-Syafi’i,Abul Walid,Abdur Razzaq,Yahya ibn Ma’in Ali ibn al-Madiny,Al-Husail
ibn Manshur dan lain-lain.
Ahmad bin Hanbal
seorang ilmuwan yang produktif. Beliau banyak menulis kitab diantaranya ialah
kitab al-‘Illal, al -Tafsir, al-Nasikh wal Mansukh, kitab al-Zuhd, al-Masa’il,
kitab Fadail al-Sahabah, kitab al-Fara’id, al- Manasik, kitab al-Iman, kitab al
Asyribah, Ta’at al-rasul dan kitab al-Ra’d ‘ala al-Jahmiyah. Kitabnya yang
paling agung dan termasyur ialah Musnad Ahmad.
Menjelang wafatnya,
beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun
berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu
rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu.
Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241 (855 M),
tepat pada usia 77 tahun beliau menghadap kepada rabbnya, beliau wafat di
Baghdad
B.
Latar belakang penyusunan kitab Musnad Ahmad
Meskipun Imam
Ahmad banyak dipengaruhi oleh imam Syafi’I, banyak pula warna-warna Maliki
dalam fiqhnya. Dalam metodenya ia lebih banyak menggunakan deduksi, namun itu
tidak berarti menafikan bahwa ia juga menggunakan induksi. Dia juga menggunakan
qias, istikhsan, istihsab, dan juga mempunya kecendrungan tekstualis serta
mengembalikan masalah kepada hadis dan atsar. Mungkin karena kecendrungan dia
kepada hadis itu pula, sehingga ia mendapatkan julukan sebagai penghulu para
ulama salaf. Meskipun pemikiran dan metode Ahmad banyak dipengaruhi Imam
syafi’i, terutama warna fiqh yang dihasilkannya, hal tersebut sangat mungkin
dikarenakan ia lebih menguasai hadis dari pada imam Syafi’i. hal tersebut dapat
dilihat, misalnya, dalam masalah yang sama Ahmad bisa berbeda pendapat dengan imam
Syafi’I, karena ia mempunyai hadis tentang masalah tersebut, sementara imam
syafi’I tidak
C.
Sistematika penyusunan kitab Musnad Ahmad
Tidak ada sistematika tunggal yang dijadikan
standar oleh Imam Ahmad dalam penyusunan urutan sahabat di Musnadnya. Beliau
memulai urutan itu dengan empat orang Al-Khulafaur Rasyidin, diikuti kemudian
dengan 6 sahabat lain yang termasuk ke dalam 10 orang yang dijamin masuk surga
(Asratul Kiraam), yaitu : Abu Bakar Siddiq,
Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Thalhah Bin
Abdullah, Zubair Bin Awaam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Sa’id Bin Zaid, Abdurrahman
Bin Auf, Abu Ubaidillah Bin Jarrah. Sampai di sini bisa dikatakan bahwa
sistematika penyusunan yang digunakan Imam Ahmad adalah melihat dari kedudukan
atau tingkatan para sahabat berdasarkan siapa di antara mereka yang terlebih
dahulu masuk Islam (As-Sabiqunal Awwalun).
Al-Musnad
Imam Ahmad Ibnu Hanbal pernah dipublikasikan dengan modifikasi baru yakni
dengan sistematika huruf hijaiyah oleh inisiatif al-Hafidz Abu Bakar
al-Maqaddisi (seorang pemuka ulama madzhab Hanbali). Format terakhir justru
memodifikasi yang mengelompokkan masing-masing hadits berdasar atas kesatuan
materi ajaran dan disusun mengikuti sistematika bab-bab seperti pada kitab
fiqh. Modifikasi terakhir di kerjakan oleh Ahmad Ibnu Abd. Rahman al-Banna
(lebih dikenal dengan panggilan al-Sya’ati) dan sekaligus mensyarahi dengan
titel kitab “Bulughul-amani”. Beliau tergolong ulama abad 14 hijriah dan
meninggal pada tahun 1351 H.
D.
Metode penyusunan kitab Musnad Ahmad
Imam
Ahmad menulis riwayat para Ahlul Bayt dan sanak kerabat Rasulullah, termasuk
anggota Bani Hasyim. Kemudian Imam Ahmad beralih kepada jumlah periwayatan
dengan mencantumkan para sahabat yang meriwayatkan hadits dalam jumlah besar
(al-Muktsirûn min al-Riwâyah).
Mengenai penulisan bab, Imam Ahmad
menuliskan setiap sahabat dalam bab tersendiri. Di dalamnya, beliau
mencantumkan seluruh hadits yang diriwayatkan oleh sahabat tersebut lengkap
dengan sanadnya. Jika terdapat perbedaan sanad atau demi tujuan tertentu, maka
Imam Ahmad mengulang kembali pencantuman sanad atau matan hadits seringkali
kedua-duanya pada tempat yang berbeda. Karena itu, jumlah hadits yang mengalami
pengulangan mencapai seperempat bagian Musnad beliau.
Jika ada dua hadits yang sanadnya sama dan disebutkan berurutan di dalam Musnad, maka Imam Ahmad hanya mencantumkan sanad tersebut di hadits yang pertama dan tidak mencantumkannya di hadits yang kedua. Sementara jika dua hadits tersebut memiliki sanad yang berbeda, maka Imam Ahmad mencantumkan masing-masing sanad itu pada hadits yang bersangkutan. Dalam persoalan redaksi periwayatan hadits (shighah al-ada), Imam Ahmad dikenal sangat ketat. Ia berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengubah shighah al-ada sebagaimana yang telah didengarnya dari gurunya. Artinya, jika gurunya meriwayatkan hadits dengan redaksi “haddatsana”, misalnya, maka ia tidak boleh mengubahnya dengan “akhbarana”. Karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa, dalam Musnad Ahmad, semua shighah al-ada ditulis sebagaimana adanya.
Juz pertama yaitu Musnad sahabat
nomor hadis dari 1 sampai 1716
Juz 2 yaitu Musnad Ahlil
Bait nomor hadis 1718 sampai 1741
dilanjut Musnad Bani Hasim dengan
nomor hadis 1763 sampai 1838.
Juz 3 yaitu musnad Bani
Hasim dengan nomor hadis dari 1839sampai 3548
Juz 4 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 3549 sampai 4448
Juz 5 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 4449 sampai 5269
Juz 6 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 6414 sampai 7119
Juz 7 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 6414 sampai 7119
Juz 8 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 7871 sampai 8100
Juz 10 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 14795 sampai 15236
Juz 11 tidak ada rincian daftar isinya scara langsung
Juz 12 yaitu Musnad Makin nomor hadis 15237 sampai 16352
Juz 13 yaitu Musnad Makin nomor hadis 16353 sampai 17843 dan 19651
sampai 21186
Juz 14 yaitu Musnad Makin nomor hadis 17845 sampai 19377
Juz 15 yaitu Musnad Makin nomor hadis 19651 sampai 21186
Juz 16 yaitu Musnad Makin nomor hadis 21468 sampai 23133
Juz 17 yaitu Musnad Makin
nomor hadis 13357 sampai 23892
Juz 18 yaitu Musnad Makin nomor hadis 25480sampai
27026 dan musnad kobail 27031 sampai 27519
Pada juz 19 menerangkan daftar isi secara global dan urutan sanadsampaisanad sahabat.
Pensyarah kitab
Pensyarah juz 1
sampai 8 oleh Ahmad Muhammad Syakir
Pensyarah juz 9
sampai 18 oleh Hamzah Ahmad Zain
Pensyarah juz
19 dan 20 oleh keduanya yaitu Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad Zain.
E.
Penilaian ulama terhadap penulis dan kitabnya
Menurut
Abu Masyhar pernah berkata “aku tidak pernah dapati seorang yang benar-benar
menjaga agamanya selain dari orang muda yang tinggal di timur (ibn Hanbal).”
An
–Nawawi berkata ; “beliau adalah seorang imam yang bijaksana di samping
kebesaran, ketuaan, kewiraan, kezuhudan, ingatan, banyak ilmu dan
kekuasaannya.”
Menurut
Asghar Ali Engineer imam Abu Hanifah adalah seorang yang liberal dan modernis
sementara imam malik seorang yang konservatif (imam Muhafidzin), imam Syafi’I
moderat, dan imam Ahmad ibn Hanbal tergolong kaku dan orthodox. Secara umum ada
tiga pendapat penilaian ulama yang berbeda tentang derajat hadis musnad Ahmad.
1.
Bahwa secara seluruh hadis yang terdapat di dalamnya dapat
dijadikan hujjah. Pendapat ini berdasarkan perkataan Ahmad ketika ditanyakan
kepadanya tentang nilai suatu hadis “ jika umat Islam berselisih tentang suatu
hadis maka merujuklah pada kitab musnad, jika mereka menemukan hadis tersebut
ada dalam musnad, jika tidak ada maka hadis tersebut tidak dapat dijadikan
hujjah”.
2.
Bahwa di dalam musnad terdapat hadis shahih, dhaif, dan bahkan
maudhu. Ibnu al-Jauzi menjelaskan bahwa dalam kitab musnad Ahmad terdapat 29
hadis maudhu. Menurut Al-Iroqi bahkan terdapat 39 hadis maudhu d dalam hadis
maudhu di dalam musnad, yang berasal dari tambahan-tambahan Abdullah putera
Ahmad.
3.
Bahwa di dalam musnad terdapat hadis shahih dan dhaif yang
mendekati hasan. Diantara mereka yang berpendapat demikian ialah al-Jahabi,
ibnu Hajar Al-Asqolani, ibnu Taimiyyah dan as-Suyuthi.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
Abdurrahman. 2003. Studi Kitab Hadis. yogyakarta: Teras
Ahmad Muhammad Syakir (Syarah). Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal.
Qahiroh: Darul Hadits.
Asy-Syurbasi. 2004. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. Semarang:
Amzah.
Muhammad ibn Abdurrahman al-Khumais. 1425H. Aqidah Imam Empat.
Saudi Arabia.
Supriayadi, Dedi. 2008. Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan
Baru. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003),
cetakan pertama, hal. 25.
[2] Dedi Supriayadi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008) cetakan pertama, hal. 245.
[3] Abdurrahman, op.cit., hal. 27.
[4]Muhammad bin Abdurrahman al-Kumais, Aqidah Imam Empat, (Saudi
Arabia: 1425 H), hal. 134.
[5] Abdurrahman, Op.cit., hal. 28.
[6] Ibid., hal. 29.
[7] Deduksi dalam kitab yaitu penentuan
tema utama di awal pembahasan kitab adapun selanjutnya sebagai penjelasan dan
penguat. Induksi sebaliknya diawali oleh pemahasan, penjelasan n awal sehingga dapat diambil kesimpulan tema
pada akhir.
[8] Qiyas artinya menggabungkan atau
menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum
ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya
dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
[10]
Istihsab menurut bahasa berarti mencari sesuatu yang selalu menyertai sedangkan menurut para Ahli ushul fiqh adalah menbiarkan suatu hukum yang sudah pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuanya sampai sekarang kecuali ada dalil yang merubahnya.
Istihsab menurut bahasa berarti mencari sesuatu yang selalu menyertai sedangkan menurut para Ahli ushul fiqh adalah menbiarkan suatu hukum yang sudah pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuanya sampai sekarang kecuali ada dalil yang merubahnya.
[11] Ibid., hal 29
[12] Ibid., hal. 31.
[13] Abdurrahman, Op.cit., hal.
29-31
[14] Ibid., hal. 32-33.
[15] Dedi Supriadi, op.cit., hal. 111.
[16] Ibid., hal. 33-35.
[17] Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Semarang:
Amzah, 2004 ), cetakan keempat, hal. 243.
[18] Abdurrahman, op.cit., hal. 38.
0 comments:
Post a Comment