اَهْلاًوَسَهْلاً

Thursday, 9 January 2014

Biografi Ahmad ibn Hanbal



BAB II
Pembahasan

A.    Biografi Ahmad ibn Hanbal
1.      Nasab Dan Kelahirannya
     Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.[1]
       Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H. Beliau tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy-lah yang berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Ayahnya berpulang kepada Allah SWT dengan hanya meninggalkan harta pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa jika Ahmad bin Hanbal ditanya mengenai asal usul sukunya, dia mengatakan bahwa ia adalah anak dari suku orang-orang miskin.

2. Masa Menuntut Ilmu
      Imam Ahmad dibesarkan di Baghdad dan mendapatkan pendidikan awalnya di kota tersebut hingga usia 19 tahun (riwayat lain menyebutkan bahwa Ahmad pergi keluar dari Baghdad pada usia 16 tahun). Saat itu, kota Baghdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.

      Setamatnya menghafal Al-Quran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah.
     Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
     Pada tahun 195 H sampai tahun 197 H Ahmad belajar fiqh dan ushul Fiqh pada Imam Syafi’I yang pada waktu itu berada di Hijaz. Di Hijaz pula ia belajar pada Imam Malik dan Imam al-Laits bin Sa’ad al-Misri.dalam pencarian hadis ia juga pergi ke Yaman, kepada Abdurraziq bin Hammam, dan ke daerah-daerah lain, seperti Khurasan, Persia, dan Tarsus.

      Diantara tokoh-tokoh yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya adalah Imam Syafi‘I, secara keilmuan Imam Ahmad berguru kepada Asy-Syafi’i tentang fiqh, ia termasuk akbar talamidz Asy-Syafi’i Al-Baghdadiyin.dalam bidang hadis, ia meriwayatkan dari Hasyim, Ibrahim ibn Sa’d, dan Sufyan ibn Uyainah. Sementara menurut Muhammad Abu Zahrah dijelaskan bahwaguru Ahmadibn Hanbal dalam bidang fiqh adalah Abu Yusuf[2]. Selain itu masih banyak guru-guru yang yang lain seperti:  Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan dan Waqi’, Yazid bin Harun,Ibrahim bin Sa’d,Jarir bin Abd al Hamid,Abu Dawud al-Tayalisi,Abdurrahman ibn al-Mahdy dan lain-lain. Sedangkan beberapa ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, al-Syafi’i,Abul Walid,Abdur Razzaq,Yahya ibn Ma’in Ali ibn al-Madiny,Al-Husail ibn Manshur dan lain-lain.

      Ahmad bin Hanbal seorang ilmuwan yang produktif. Beliau banyak menulis kitab diantaranya ialah kitab al-‘Illal, al -Tafsir, al-Nasikh wal Mansukh, kitab al-Zuhd, al-Masa’il, kitab Fadail al-Sahabah, kitab al-Fara’id, al- Manasik, kitab al-Iman, kitab al Asyribah, Ta’at al-rasul dan kitab al-Ra’d ‘ala al-Jahmiyah. Kitabnya yang paling agung dan termasyur ialah Musnad Ahmad.[3]
      Sebuah kitab dinamakan kitab Musnad apabila penyusunnya memasukkan semua hadis yang pernah dia terima, dengan tanpa penyaringan dan menerangkan derajat-derajat hadis tersebut. Dalam kitab musnad ini, nama sahabatlah yang diketengahkan sebagai tema’. Semua Hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat terhimpun dalam satu kelompok, tanpa diklasifikasikan isinya dan tanpa disisihkan antara Hadits yang shohih dan dlo’if. Setelah selesai dituliskan semua Hadits dari seorang sahabat, barulah beralih kepada Hadits-hadits seorang sahabat yang lain dalam keadaan yang sama. Di samping dengan mudah dapat diketahui jumlah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, terdapat juga kesulitan dalam sistem Kitab Musnad ini, bila kita hendak mencari Hadits-hadits yang menjadi dalil suatu masalah tertentu.
Salah satu periwayatannya yaitu Imam Ibn Jauzi meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata : “ Iman itu bertambah dan berkurang seperti diterangkan dalam hadis : Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling bagus akhlaknya”[4]

3. Sakit Dan Wafatnya
     Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241 (855 M), tepat pada usia 77 tahun beliau menghadap kepada rabbnya, beliau wafat di Baghdad. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Sepeninggal beliau madzab hanbali berkembang luas dan menjadi salah satu madzab yang memiliki banyak penganut.

B.     Latar belakang penyusunan kitab Musnad Ahmad
Pada tahun 195 H sampai 197 H Ahmad belajar fiqh dan Ushul Fiqh pada imam Syafi’i yang pada waktu itu berada di Hijaz. Di Hijaz pula ia belajar pada Imam Malik dan Imam al-Laits bin Sa’ad al-Misri. Dalam pencarian hadis ia juga pergi ke Yaman, kepada Abdurrizaq bin Hammam, dan ke daerah-daerah lain, seperti Khurasan, Persia, dan Tarsus. Ahmad menganggap Imam Syafi’i sebagai guru besarnya, oleh karena itu dalam pemikiran ia banyak dipengaruhdi oleh Imam Syafi’i. Hal ini juga bisa diketahui dari kata-kata Ahmad ibn Hanbal ketika ia sudah menjadi Imam yang besar: apabila saya ditanya tentang sesuatu yang tidak saya jumpai kabar (yakni hadis dan atsar para sahabat) yang menjelaskannya, maka saya berpegang kepada imam Syafi’i. Karena besarnya pengaruh imam Syafi’i kepada Ahmad ibn Hanbal sampai-sampai al-Tobari pernah tidak mau menganggapnya sebagai fuqaha atau mujtahid, dan menganggap sebagai muttabi, periwayat hadis, dan bertaklid.
Meskipun pemikiran dan metode Ahmad banyak dipengaruhi Imam syafi’i, terutama warna fiqh yang dihasilkannya, hal tersebut sangat mungkin dikarenakan ia lebih menguasai hadis dari pada imam Syafi’i.[5] hal tersebut dapat dilihat, misalnya, dalam masalah yang sama Ahmad bisa berbeda pendapat dengan imam Syafi’I, karena ia mempunyai hadis tentang masalah tersebut, sementara imam syafi’I tidak. Imam Syafi’I juga pernah menyatakan kepada Ahmad ibn Hanbal dan para ahli hadis “kalian lebih tahu tentang hadis dan khobar dari pada aku, maka apabila shohih beritahulah aku”. Karyanya yang menumental, musnad Ahmad juga jauh lebih banyak memuat hadis, sementara karya imam Syafi’I adalah percampuran keduanya. Bisa dikatakan posisi imam Ahmad berada diantara imam syafi’I dan imam Malik.[6]
Dengan demikian meskipun ia banyak dipengaruhi oleh imam Syafi’I, banyak pula warna-warna Maliki dalam fiqhnya. Dalam metodenya ia lebih banyak menggunakan deduksi, namun itu tidak berarti menafikan bahwa ia juga menggunakan induksi.[7] Dia juga menggunakan qiyas,[8] istihsan,[9] istihsab,[10] dan juga mempunya kecendrungan tekstualis serta mengembalikan masalah kepada hadis dan atsar. Mungkin karena kecendrungan dia kepada hadis itu pula, sehingga ia mendapatkan julukan sebagai penghulu para ulama salaf.[11]
Ahmad ibn Hanbal bukan hanya seorang ahli hadis dan fiqh, ia juga seorang sufi yang dipengaruhi oleh pemikiran dan teladan dari seorang sufi besar, hasan al-Bisri (w 110/728) dan Ibrahim ibn Adam (w 170/786). Keduanya memberikan pengaruh besar dalam memberikan jalan dan metode untuk mencapai hidup yang sejati dan kewajiban-kewajiban yang benar terhadap Allah.
Murid-murid dan pengikut Ahmad yang berusah konsisten mengikuti pendapat atau faham Ahmad selanjutnya dikenal dengan pengikut madzhab Hanbali. Dasar-dasar madzhab ini,  sebagaimana digunakan Ahmad ialah Al-Qur’an dan hadis, Fatwa sahabat, Pendapat sahabat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, Hadis mursal dan hadis dhaif (Hadis ini dipakai apabila tidak ada keterangan atau pendapat yang menolaknya), dan Qiyas.
Madzhab Hanbali berkembang khususnya di Baghdad di tempat kelahiran ahmad, kemudian berkembang ke Iraq. Pada permulaan abad ke 4 madzhab masuk ke Nadzad dan masuk ke Mesir pada masa pemerintahan fatimiyah dan Ayubiyah. Menurut sebagian ulama penganut madzhab ini tidak banyak karena Ahmad terlalu keras berpegang pada riwayat dan bersikukuh untuk tidak berfatwa tentang sesuatu yang tidak ada nashnya. Madzhab Hanbali dipandang tidak dapat menjawab persoalan masyarakat masyarakat yang terus berkembang, karena terlalu sempit, tidak leluasa menggunakan qiyas, atau istihsan dan maslahah mursalah sebagaimana pada madzhab lain.[12]
Kecintaan ibn Hanbal yang begitu besar kepada Nabi, kepada hadis membuatnya tidak peduli pada rangkaian perawi, yang menurut para ahli faliditasnya secara cermat. Bagi ahmad hanya ada satu kriteria untuk menilai satu hadis sah atau tidak. kriteria tersebut ialah bahwa hadis tersebut harus menggambarkan karakter yang sesungguhnya dari Nabi dan menyoroti aspek-aspek sosial ekonomi, agama, dan etika dari kehidupan beliau. Termasuk dalam hal ini ialah makanan yang beliau santap, pakaian yang dikenakan, cara beliau sholat, berperang, berjalan, duduk dan tidur. Dalam musnadnya Ahmad bahkan mencantumkan hadis-hadis yang perawi pertamanya tidak tidak  diketahui, hal ini mengundang kriktikan keras dari beberapa ulama.[13]

C.    Sistematika penyusunan kitab Musnad Ahmad
Tidak ada sistematika tunggal yang dijadikan standar oleh Imam Ahmad dalam penyusunan urutan sahabat di Musnadnya. Beliau memulai urutan itu dengan empat orang Al-Khulafaur Rasyidin, diikuti kemudian dengan 6 sahabat lain yang termasuk ke dalam 10 orang yang dijamin masuk surga (Asratul Kiraam), yaitu : Abu Bakar Siddiq,  Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Thalhah Bin Abdullah, Zubair Bin Awaam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Sa’id Bin Zaid, Abdurrahman Bin Auf, Abu Ubaidillah Bin Jarrah. Sampai di sini bisa dikatakan bahwa sistematika penyusunan yang digunakan Imam Ahmad adalah melihat dari kedudukan atau tingkatan para sahabat berdasarkan siapa di antara mereka yang terlebih dahulu masuk Islam (As-Sabiqunal Awwalun).
Al-Musnad Imam Ahmad Ibnu Hanbal pernah dipublikasikan dengan modifikasi baru yakni dengan sistematika huruf hijaiyah oleh inisiatif al-Hafidz Abu Bakar al-Maqaddisi (seorang pemuka ulama madzhab Hanbali). Format terakhir justru memodifikasi yang mengelompokkan masing-masing hadits berdasar atas kesatuan materi ajaran dan disusun mengikuti sistematika bab-bab seperti pada kitab fiqh. Modifikasi terakhir di kerjakan oleh Ahmad Ibnu Abd. Rahman al-Banna (lebih dikenal dengan panggilan al-Sya’ati) dan sekaligus mensyarahi dengan titel kitab “Bulughul-amani”. Beliau tergolong ulama abad 14 hijriah dan meninggal pada tahun 1351 H.
Musnad Ahmad termasuk kitab termashur dan terbesar yang disusun pada periode ke 5 perkembangan abad ke 3 H. Kitab ini melengkapai dan menghimpun dan kitab-kitab hadis yang ada sebelumnya dan merupakan satu kitab yang dapat memenuhi kebutuhan muslim dalam hal agama dan dunia, pada masanya seperti halnya ulama abad ke 3 semasanya, Ahmad menyusun hadis dalam kitabnya secara musnad. Hadis-hadi yang terdapat dalam musnad tersebut tidak semua riwayat Ahmad, sebagian merupakan tambahan dari putranya yang bernama Abdullah dan tambahan dari Abu Bakar Al-Qati’i.[14] Kepandaian imam Ahmad ibn Hanbali dalam ilmu hadis tak diragukan lagi. Putra sulungnya yaitu Abdullah bin Ahmad bahwa Imam Hanbali telah hafal 700.000 hadis di luar kepala.[15] Hadis sebanyak itu kemudian diseleksi secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya al-Musnad berjumlah 40.000 berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkan. kurang lebih 10.000 diantaranya dengan berulang-ulang. Tambahan dari Abdullah putera Ahmad sekitar 10.000 hadis dan beberapa tambahan pula dari Ahmad ibn Jafar Al-Qati’i. Abdullah ibn Ahmad ibn Hanballah yang menyusun kitab musnad ini.
Berdasarkan sumbernya, hadis-hadis yang terdapat dalam kitab musnad Ahmad dapat dibagi enam macam sebagai berikut:
1.      Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari ayahnya Ahmad ibn Habal dengan mendengar langsung. Hadis seperti ini paling banyak jumlahnya dalam musnad Ahmad.
2.      Hadis yang didengar Abdullah dari ayahnya dan dari orang lain. hadis semacam ini sangat sedikit jumlahnya.
3.      Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari selain ayahnya. Hadis-hadis ini oleh ahli hadis disebut zawaid Abdullah (tambahan-tambahan).
4.      Hadis yang tidak didengar Abdullah dari ayahnya tetapi dibacakan kepada sang ayah.
5.      Hadis yang tidak didengar dan tidak dibacakan Abdullah kepada ayahnya, tetapi Abdullah menemukan dalam kitab sang ayah yang ditulis dengan tangan.
6.      Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hafiz Abu Bakar al-Qati’i.
Di Islamic Reseach Insitute, terdapat tiga edisi musnad ibn Hanbal. Edisi pertama diterbitkan untuk ke tiga kalinya oleh Daral al-Ma’arif. Kairo pada tahun 1949/1374, dengan diberi komentar yang sangat bagus dan indeks yang ditulis sarjana Mesir Ahmad Muhammad Syakir. Volume ke 14 edisi ini memuat musnad Abu Hurairoh dan diterbitkan pada tahun 1955/1374. Edisi kedua diterbitkan di Beirut oleh Dar Sadir dan terdiri dari enam volume, tanpa tahun. Edisi ke 3 diterbitkan pertama kali di kairo pada tahun 1313 H. Edisi terdiri dari 6 volume pula dengan ditambah catatan pinggir Kanz al-Ummal oleh ‘Asl’ al-Din Ali ‘Al-Muttaqi.
Musnad Ahmad tercatat sebagai Masterpiece dalam khazanah literatur hadis dan dalam hal hadis dari segi litaratur dan sejarah tidak ada tandingannya.[16]

D.    Metode penyusunan kitab Musnad Ahmad
Imam Ahmad menulis riwayat para Ahlul Bayt dan sanak kerabat Rasulullah, termasuk anggota Bani Hasyim. Kemudian Imam Ahmad beralih kepada jumlah periwayatan dengan mencantumkan para sahabat yang meriwayatkan hadits dalam jumlah besar (al-Muktsirûn min al-Riwâyah).
     Selanjutnya beliau menggunakan kriteria tempat dan domisili. Dalam kriteria ini Imam Ahmad menyebutkan riwayat-riwayat para sahabat yang tinggal di Mekah (al-       Makkiyyun), lalu mereka yang tinggal Madinah (al-Madaniyyun), lalu secara berurutan, mereka yang tinggal di Syam (al-Syamiyyun), di Kufah (al-Kufiyyun), dan di Basrah (al-Bashriyyun). Barulah, pada bagian berikutnya, Imam Ahmad mencantumkan riwayat-riwayat para sahabat Anshar, kemudian para sahabat perempuan.
     Mengenai penulisan bab, Imam Ahmad menuliskan setiap sahabat dalam bab tersendiri. Di dalamnya, beliau mencantumkan seluruh hadits yang diriwayatkan oleh sahabat tersebut lengkap dengan sanadnya. Jika terdapat perbedaan sanad atau demi tujuan tertentu, maka Imam Ahmad mengulang kembali pencantuman sanad atau matan hadits seringkali kedua-duanya pada tempat yang berbeda. Karena itu, jumlah hadits yang mengalami pengulangan mencapai seperempat bagian Musnad beliau.
     Jika ada dua hadits yang sanadnya sama dan disebutkan berurutan di dalam Musnad, maka Imam Ahmad hanya mencantumkan sanad tersebut di hadits yang pertama dan tidak mencantumkannya di hadits yang kedua. Sementara jika dua hadits tersebut memiliki sanad yang berbeda, maka Imam Ahmad mencantumkan masing-masing sanad itu pada hadits yang bersangkutan.
       Dalam persoalan redaksi periwayatan hadits (shighah al-ada), Imam Ahmad dikenal sangat ketat. Ia berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengubah shighah al-ada sebagaimana yang telah didengarnya dari gurunya. Artinya, jika gurunya meriwayatkan hadits dengan redaksi “haddatsana”, misalnya, maka ia tidak boleh mengubahnya dengan “akhbarana”. Karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa, dalam Musnad Ahmad, semua shighah al-ada ditulis sebagaimana adanya.
      Hadits-hadits yang terdapat dalam Musnad tersebut tidak semua riwayat Ahmad bin Hanbal, sebagian merupakan tambahan dari puteranya yang bernama Abdullah dan tambahan dari Abu Bakar al-Qati’i. Musnad tersebut memuat 40.000 hadits,kurang lebih 10.000 diantaranya dengan berulang-ulang.Tambahan dari Abdullah, putera Ahmad sekitar 10.000 hadist dan beberapa tambahan pula dari Ahmad bin Ja’far al-Qatili.
      Sebagai kitab yang terkenal, banyak ulama yang memberikan perhatian khusus terhadap kitab Musnad ini. Gulam ibn Sa’labah (wafat tahun 345 H) misalnya, mengumpulkan lafadz-lafadz gharib yang terdapat di dalam kitab Musnad ini dan memaknainya. Ibn al-Mulaqqin al-Syafi’i (wafat tahun 804 H) membuat ringkasan (Mukhtasar) dari Musnad tersebut, dan al-Sindy (wafat tahun 1199 H) membuat syarah dari kitab tersebut. Pada perkembangannya, Musnad Ahmad disusun berdasarkan susunan fiqh oleh Abdurrahman ibn Muhammad al-Banna yang terkenal dengan al-Sa’at dan dijadikan tujuh bagian. Kitab ini kemudian dinamakan al-Fath al-Rabbany.

Metode penilitian lapangan secara fisik Kitab Musnad Ahmad dapat dianalisa sebagai berikut:
Juz pertama yaitu Musnad sahabat  nomor hadis dari 1 sampai 1716
Juz  2 yaitu Musnad Ahlil Bait nomor hadis  1718 sampai 1741 dilanjut Musnad  Bani Hasim dengan nomor  hadis 1763 sampai 1838.
Juz 3 yaitu  musnad Bani Hasim dengan nomor hadis dari 1839sampai 3548
Juz 4 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 3549 sampai  4448
Juz 5 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 4449 sampai 5269
Juz 6 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 6414 sampai 7119
Juz 7 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 6414 sampai 7119
Juz 8 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis  7871 sampai 8100
Juz 10 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 14795 sampai 15236
Juz 11 tidak ada rincian daftar isinya scara langsung
Juz 12 yaitu Musnad Makin nomor hadis 15237 sampai 16352
Juz 13 yaitu Musnad Makin nomor hadis 16353 sampai 17843 dan 19651 sampai 21186
Juz 14 yaitu Musnad Makin nomor hadis 17845 sampai 19377
Juz 15 yaitu Musnad Makin nomor hadis  19651 sampai 21186
Juz 16 yaitu Musnad Makin nomor hadis 21468 sampai 23133
Juz 17  yaitu Musnad Makin nomor hadis 13357 sampai 23892
Juz  18 yaitu Musnad Makin nomor hadis 25480 sampai 27026 dan musnad kobail 27031 sampai 27519
Pada juz 19 menerangkan daftar isi secara global  dan urutan sanadsampaisanad sahabat.
Pensyarah kitab
Pensyarah juz 1 sampai 8 oleh Ahmad Muhammad Syakir
Pensyarah juz 9 sampai 18 oleh Hamzah Ahmad Zain
Pensyarah juz 19 dan 20 oleh keduanya yaitu Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad Zain.
E.     Penilaian ulama terhadap Imam Ahmad dan Kitab
Selama hidupnya, Ahmad ibn Hanbal terkenal wara’, pendiam, suka berfikir, peka terhadap kondisi sosial, dan juga suka bertukar pendapat. Dia mempunyai pikiran yang cemerlang, wawasan yang luas, dan kepribadian yang baik. Ketika imam syafi’I belajar di Baghdad dan menuju Mesir pernah mengatakan sebagai berikut, “ ketika saya meninggalkan di sana tidak ada orang yang lebih pandai di bidang fiqh, lebih wara’, lebih zuhud, dan lebih alim dari Ahmad ibn Hanbal.
Menurut Abu Masyhar pernah berkata “aku tidak pernah dapati seorang yang benar-benar menjaga agamanya selain dari orang muda yang tinggal di timur (ibn Hanbal).”
An –Nawawi berkata ; “beliau adalah seorang imam yang bijaksana di samping kebesaran, ketuaan, kewiraan, kezuhudan, ingatan, banyak ilmu dan kekuasaannya.”
Menurut Asghar Ali Engineer imam Abu Hanifah adalah seorang yang liberal dan modernis sementara imam malik seorang yang konservatif (imam Muhafidzin), imam Syafi’I moderat, dan imam Ahmad ibn Hanbal tergolong kaku dan orthodox.[17]



Secara umum ada tiga pendapat penilaian ulama yang berbeda tentang derajat hadis musnad Ahmad.
1.      Bahwa secara seluruh hadis yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini berdasarkan perkataan Ahmad ketika ditanyakan kepadanya tentang nilai suatu hadis “ jika umat Islam berselisih tentang suatu hadis maka merujuklah pada kitab musnad, jika mereka menemukan hadis tersebut ada dalam musnad, jika tidak ada maka hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah”.
2.      Bahwa di dalam musnad terdapat hadis shahih, dhaif, dan bahkan maudhu. Ibnu al-Jauzi menjelaskan bahwa dalam kitab musnad Ahmad terdapat 29 hadis maudhu. Menurut Al-Iroqi bahkan terdapat 39 hadis maudhu d dalam hadis maudhu di dalam musnad, yang berasal dari tambahan-tambahan Abdullah putera Ahmad.
3.      Bahwa di dalam musnad terdapat hadis shahih dan dhaif yang mendekati hasan. Diantara mereka yang berpendapat demikian ialah al-Jahabi, ibnu Hajar Al-Asqolani, ibnu Taimiyyah dan as-Suyuthi.[18]
















BAB III
Kesimpulan
A.    Biografi imam Ahmad
     Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim
            Diantara tokoh-tokoh yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya adalah Imam Syafi‘I, secara keilmuan Imam Ahmad berguru kepada Asy-Syafi’i tentang fiqh, ia termasuk akbar talamidz Asy-Syafi’i Al-Baghdadiyin.dalam bidang hadis, ia meriwayatkan dari Hasyim, Ibrahim ibn Sa’d, dan Sufyan ibn Uyainah. Sementara menurut Muhammad Abu Zahrah dijelaskan bahwaguru Ahmadibn Hanbal dalam bidang fiqh adalah Abu Yusuf. Selain itu masih banyak guru-guru yang yang lain seperti:  Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan dan Waqi’, Yazid bin Harun,Ibrahim bin Sa’d, Jarir bin Abd al Hamid, Abu Dawud al-Tayalisi,Abdurrahman ibn al-Mahdy dan lain-lain. Sedangkan beberapa ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, al-Syafi’i,Abul Walid,Abdur Razzaq,Yahya ibn Ma’in Ali ibn al-Madiny,Al-Husail ibn Manshur dan lain-lain.
      Ahmad bin Hanbal seorang ilmuwan yang produktif. Beliau banyak menulis kitab diantaranya ialah kitab al-‘Illal, al -Tafsir, al-Nasikh wal Mansukh, kitab al-Zuhd, al-Masa’il, kitab Fadail al-Sahabah, kitab al-Fara’id, al- Manasik, kitab al-Iman, kitab al Asyribah, Ta’at al-rasul dan kitab al-Ra’d ‘ala al-Jahmiyah. Kitabnya yang paling agung dan termasyur ialah Musnad Ahmad.
     Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241 (855 M), tepat pada usia 77 tahun beliau menghadap kepada rabbnya, beliau wafat di Baghdad
B.     Latar belakang penyusunan kitab Musnad Ahmad
Meskipun Imam Ahmad banyak dipengaruhi oleh imam Syafi’I, banyak pula warna-warna Maliki dalam fiqhnya. Dalam metodenya ia lebih banyak menggunakan deduksi, namun itu tidak berarti menafikan bahwa ia juga menggunakan induksi. Dia juga menggunakan qias, istikhsan, istihsab, dan juga mempunya kecendrungan tekstualis serta mengembalikan masalah kepada hadis dan atsar. Mungkin karena kecendrungan dia kepada hadis itu pula, sehingga ia mendapatkan julukan sebagai penghulu para ulama salaf. Meskipun pemikiran dan metode Ahmad banyak dipengaruhi Imam syafi’i, terutama warna fiqh yang dihasilkannya, hal tersebut sangat mungkin dikarenakan ia lebih menguasai hadis dari pada imam Syafi’i. hal tersebut dapat dilihat, misalnya, dalam masalah yang sama Ahmad bisa berbeda pendapat dengan imam Syafi’I, karena ia mempunyai hadis tentang masalah tersebut, sementara imam syafi’I tidak
C.    Sistematika penyusunan kitab Musnad Ahmad
 Tidak ada sistematika tunggal yang dijadikan standar oleh Imam Ahmad dalam penyusunan urutan sahabat di Musnadnya. Beliau memulai urutan itu dengan empat orang Al-Khulafaur Rasyidin, diikuti kemudian dengan 6 sahabat lain yang termasuk ke dalam 10 orang yang dijamin masuk surga (Asratul Kiraam), yaitu : Abu Bakar Siddiq,  Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Thalhah Bin Abdullah, Zubair Bin Awaam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Sa’id Bin Zaid, Abdurrahman Bin Auf, Abu Ubaidillah Bin Jarrah. Sampai di sini bisa dikatakan bahwa sistematika penyusunan yang digunakan Imam Ahmad adalah melihat dari kedudukan atau tingkatan para sahabat berdasarkan siapa di antara mereka yang terlebih dahulu masuk Islam (As-Sabiqunal Awwalun).
Al-Musnad Imam Ahmad Ibnu Hanbal pernah dipublikasikan dengan modifikasi baru yakni dengan sistematika huruf hijaiyah oleh inisiatif al-Hafidz Abu Bakar al-Maqaddisi (seorang pemuka ulama madzhab Hanbali). Format terakhir justru memodifikasi yang mengelompokkan masing-masing hadits berdasar atas kesatuan materi ajaran dan disusun mengikuti sistematika bab-bab seperti pada kitab fiqh. Modifikasi terakhir di kerjakan oleh Ahmad Ibnu Abd. Rahman al-Banna (lebih dikenal dengan panggilan al-Sya’ati) dan sekaligus mensyarahi dengan titel kitab “Bulughul-amani”. Beliau tergolong ulama abad 14 hijriah dan meninggal pada tahun 1351 H.
D.    Metode penyusunan kitab Musnad Ahmad
Imam Ahmad menulis riwayat para Ahlul Bayt dan sanak kerabat Rasulullah, termasuk anggota Bani Hasyim. Kemudian Imam Ahmad beralih kepada jumlah periwayatan dengan mencantumkan para sahabat yang meriwayatkan hadits dalam jumlah besar (al-Muktsirûn min al-Riwâyah).
     Mengenai penulisan bab, Imam Ahmad menuliskan setiap sahabat dalam bab tersendiri. Di dalamnya, beliau mencantumkan seluruh hadits yang diriwayatkan oleh sahabat tersebut lengkap dengan sanadnya. Jika terdapat perbedaan sanad atau demi tujuan tertentu, maka Imam Ahmad mengulang kembali pencantuman sanad atau matan hadits seringkali kedua-duanya pada tempat yang berbeda. Karena itu, jumlah hadits yang mengalami pengulangan mencapai seperempat bagian Musnad beliau. 

     Jika ada dua hadits yang sanadnya sama dan disebutkan berurutan di dalam Musnad, maka Imam Ahmad hanya mencantumkan sanad tersebut di hadits yang pertama dan tidak mencantumkannya di hadits yang kedua. Sementara jika dua hadits tersebut memiliki sanad yang berbeda, maka Imam Ahmad mencantumkan masing-masing sanad itu pada hadits yang bersangkutan. Dalam persoalan redaksi periwayatan hadits (shighah al-ada), Imam Ahmad dikenal sangat ketat. Ia berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengubah shighah al-ada sebagaimana yang telah didengarnya dari gurunya. Artinya, jika gurunya meriwayatkan hadits dengan redaksi “haddatsana”, misalnya, maka ia tidak boleh mengubahnya dengan “akhbarana”. Karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa, dalam Musnad Ahmad, semua shighah al-ada ditulis sebagaimana adanya.
Juz pertama yaitu Musnad sahabat  nomor hadis dari 1 sampai 1716
Juz  2 yaitu Musnad Ahlil Bait nomor hadis  1718 sampai 1741 dilanjut Musnad  Bani Hasim dengan nomor  hadis 1763 sampai 1838.
Juz 3 yaitu  musnad Bani Hasim dengan nomor hadis dari 1839sampai 3548
Juz 4 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 3549 sampai  4448
Juz 5 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 4449 sampai 5269
Juz 6 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 6414 sampai 7119
Juz 7 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 6414 sampai 7119
Juz 8 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis  7871 sampai 8100
Juz 10 yaitu musnad Bani Hasim nomor hadis 14795 sampai 15236
Juz 11 tidak ada rincian daftar isinya scara langsung
Juz 12 yaitu Musnad Makin nomor hadis 15237 sampai 16352
Juz 13 yaitu Musnad Makin nomor hadis 16353 sampai 17843 dan 19651 sampai 21186
Juz 14 yaitu Musnad Makin nomor hadis 17845 sampai 19377
Juz 15 yaitu Musnad Makin nomor hadis  19651 sampai 21186
Juz 16 yaitu Musnad Makin nomor hadis 21468 sampai 23133
Juz 17  yaitu Musnad Makin nomor hadis 13357 sampai 23892
Juz  18 yaitu Musnad Makin nomor hadis 25480sampai 27026 dan musnad kobail 27031 sampai 27519
Pada juz 19 menerangkan daftar isi secara global  dan urutan sanadsampaisanad sahabat.
Pensyarah kitab
Pensyarah juz 1 sampai 8 oleh Ahmad Muhammad Syakir
Pensyarah juz 9 sampai 18 oleh Hamzah Ahmad Zain
Pensyarah juz 19 dan 20 oleh keduanya yaitu Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad Zain.
E.     Penilaian ulama terhadap penulis dan kitabnya
Menurut Abu Masyhar pernah berkata “aku tidak pernah dapati seorang yang benar-benar menjaga agamanya selain dari orang muda yang tinggal di timur (ibn Hanbal).”
An –Nawawi berkata ; “beliau adalah seorang imam yang bijaksana di samping kebesaran, ketuaan, kewiraan, kezuhudan, ingatan, banyak ilmu dan kekuasaannya.”
Menurut Asghar Ali Engineer imam Abu Hanifah adalah seorang yang liberal dan modernis sementara imam malik seorang yang konservatif (imam Muhafidzin), imam Syafi’I moderat, dan imam Ahmad ibn Hanbal tergolong kaku dan orthodox. Secara umum ada tiga pendapat penilaian ulama yang berbeda tentang derajat hadis musnad Ahmad.
1.      Bahwa secara seluruh hadis yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini berdasarkan perkataan Ahmad ketika ditanyakan kepadanya tentang nilai suatu hadis “ jika umat Islam berselisih tentang suatu hadis maka merujuklah pada kitab musnad, jika mereka menemukan hadis tersebut ada dalam musnad, jika tidak ada maka hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah”.
2.      Bahwa di dalam musnad terdapat hadis shahih, dhaif, dan bahkan maudhu. Ibnu al-Jauzi menjelaskan bahwa dalam kitab musnad Ahmad terdapat 29 hadis maudhu. Menurut Al-Iroqi bahkan terdapat 39 hadis maudhu d dalam hadis maudhu di dalam musnad, yang berasal dari tambahan-tambahan Abdullah putera Ahmad.
3.      Bahwa di dalam musnad terdapat hadis shahih dan dhaif yang mendekati hasan. Diantara mereka yang berpendapat demikian ialah al-Jahabi, ibnu Hajar Al-Asqolani, ibnu Taimiyyah dan as-Suyuthi.


BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran

Daftar Pustaka

Abdurrahman. 2003. Studi Kitab Hadis. yogyakarta: Teras
Ahmad Muhammad Syakir (Syarah). Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal. Qahiroh: Darul Hadits.
Asy-Syurbasi. 2004. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. Semarang: Amzah.
Muhammad ibn Abdurrahman al-Khumais. 1425H. Aqidah Imam Empat. Saudi Arabia.
Supriayadi, Dedi. 2008. Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru. Bandung: Pustaka Setia.























































































































[1] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003), cetakan pertama, hal. 25.
[2] Dedi Supriayadi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) cetakan pertama, hal. 245.
[3] Abdurrahman, op.cit., hal. 27.
[4]Muhammad bin Abdurrahman al-Kumais, Aqidah Imam Empat, (Saudi Arabia: 1425 H), hal. 134.
[5] Abdurrahman, Op.cit., hal. 28.
[6] Ibid., hal. 29.
[7] Deduksi dalam kitab yaitu penentuan tema utama di awal pembahasan kitab adapun selanjutnya sebagai penjelasan dan penguat. Induksi sebaliknya diawali oleh pemahasan, penjelasan  n awal sehingga dapat diambil kesimpulan tema pada akhir.
[8] Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.

[9] Istihsan (Arab: استحسان) adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
[10]
Istihsab menurut bahasa berarti mencari sesuatu yang selalu menyertai sedangkan menurut para Ahli ushul fiqh adalah menbiarkan suatu hukum yang sudah pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuanya sampai sekarang kecuali ada dalil yang merubahnya.

[11] Ibid., hal 29
[12] Ibid., hal. 31.
[13] Abdurrahman, Op.cit.,  hal. 29-31
[14] Ibid., hal. 32-33.
[15] Dedi Supriadi, op.cit., hal. 111.
[16] Ibid., hal. 33-35.
[17] Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Semarang: Amzah, 2004 ), cetakan keempat, hal. 243.
[18] Abdurrahman, op.cit., hal. 38.

0 comments: