PROPOSAL PENELITIAN
PEMAHAMAN
HADIS TENTANG RU’YATUL HILAL DALAM PENENTUAN AWAL PUASA RAMADHAN DAN HARI RAYA
IDUL FITRI DALAM KONTEKS SAINS
Diajukan Untuk Memenuhi
Tugas Terstruktur
Mata Kuliah:
Metodologi Penelitian Hadis
Disusun oleh:
Mulya
NIM: 14113450009
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS ADADIN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2013
PEMAHAMAN
HADIS TENTANG RU’YATUL HILAL DALAM PENENTUAN AWAL PUASA RAMADHAN DAN HARI RAYA
IDUL FITRI DALAM KONTEKS SAINS
A. Latar Belakang
Persoalan ibadah Islam harus
ditentukan melalui dalil yang pasti yaitu al-Qur’an dan hadis. Mengacu kepada
kaidah usuliyah yang menyebutkan bahwa pada asalnya ibadah adalah haram
kecuali ada dalil yang mewajibkannya, maka perlu dalam melaksanakan ibadah
didukung dalil yang pasti.[1]
Salah satu ibadah yang sangat terkait erat dengan perintah Allah swt. dan Nabi
saw adalah masalah ibadah puasa. Di dalam ibadah ini banyak menimbulkan
berbagai perbedaan di antara umat Islam terutama di dalam hal kapan
diwajibkannya puasa itu atau kapan berakhirnya (berhari raya). Hal tersebut
terkait erat dengan penentuan awal dan berakhirnya suatu bulan.
Jika berpedoman pada QS. Al-Baqarah
ayat 158 dijelaskan bahwa puasa itu diwajibkan kepada siapa saja yang merasakan
(menemukan) bulan Ramadhan dan puasa itu adalah hari-hari tertentu. Ayat
tersebut tidak menjelaskan kapan puasa Ramadhan dimulai. Informasi
pelaksanaannya ditemukan dalam hadis nabi yang beredaksi beragam karena
diriwayatkan bi a-lma’na. paling tidak ada dua kategori dalam persoalan
ini yakni melihat bulan (hilal) dan melalui perkiraan jika tidak menemukan wujud
al-hilal.[2]
Pembahasan ini akan memberikan
penjelasan seputar hadis yang dijadikan obyek pemahaman umat Islam khususnya
dalam persoalan penentuan awal dimulainya ibadah puasa dan berakhirnya puasa
(berhari raya) dalam hadis konteks sains. Kajian ini menjadi penting karena
diantara umat Islam ada yang berpendapat bahwa upaya ru’yat harus dilakukan
dengan mata telanjang jika memakai teknologi hasil temuan iptek dianggap
bid’ah. Pembahasan ini akan dimulai dari sisi pemahaman hadis secara ma’an
al hadis kemudian diintegrasikan dengan sains karena persoalan ini
menyangkut ilmu sains. Pola pemaknaan ini diharapkan dapat membantu kontroversi
perbedaan penerapan awal waktu puasa dan hari raya yang sering terjadi di
kalangan umat Islam, khusunya Indonesia.[3]
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, untuk mempermudah kajian dan agar
penelitian yang dilakukan terarah pada satu objek sehingga menghasilkan hasil
akhir yang komprehensif, integral dan menyeluruh sehingga relative mudah
dipahami dan dapat merepresentasikan. Maka dirumuskan beberapa masalah pokok
sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pemahaman hadis tentang ruyatul hilal dalam penentuan awal puasa ramadhan dan
hari raya idul fitri ?
2.
Bagaimana
proses penentuan terjadinya ruyatul hilal dalam konteks sains ?
Tujuan dan kegunaan penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah dalam penelitian, penulis memiliki
maksud dan tujuan baik bersifat ilmiah maupun akademis.
1.
Untuk
memahami hadis-hadis mengenai ruyatul hilal dalam penentuan awal Puasa Ramdhan
dan hari raya Idul Fitri.
2.
Untuk
mengetahui proses penentuan terjadinya ruyatul hilal dalam konteks sains ?
Adapun kegunaan dari penelitian ini:
1.
Secara
teoritis adalah untuk memberikan pemahaman hadis tentang ruyatul hilal dalam
penentuan awal puasa ramadhan dan hari raya idul fitri
2.
Secara
praktik penelitian diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pembahasan tentang
ruyatul hilal menurut perspektif hadis dan konteks sains.
C.
Penelitian Terdahulu dan Batasan Masalah
Penelitian wilayah kajian hadis terkait dengan ruyatul hilal dalam
penentuan awal puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri sejauh ini belum penulis
temukan, adapun pembahasan mengenai ru’yatul hilal kebanyakan berbentuk
artikel. Maka dari itu dengan belum banyak adanya pembahasan terkait dengan
ruyatul hilal dalam perspektif hadis dan konteks sains, sehingga penulis
tergugah untuk meneliti pemahaman hadis tentang ruyatul hilal hilal dalam penentuan
awal puasa ramadhan dan hari raya dalam konteks sains.
Dengan begitu banyak sudut pandang yang perlu dibahas, penulis
mengambil dari sisi hadis dan konteks sains dalam menentukan ru’yatul hilal.
Dan lebih spesifik lagi dari dua belas bulan yang ada pada tahun hijriah,
penulis meneliti hanya bulan Ramadhn dan Syawal. Hal itu pula dalam rangka
menentukan awal puasa Ramadhan kemudian dilanjut dengan penentuan jari raya
Idul Fitri.
D.
Telaah Pustaka
Pembahasahan
yang membicarakan tentang ru’yatul hilal kurang banyak dibahas dalam berbagai
buku secara utuh hanya saja terdapat dalam bab tertentu.
Dalam
pengumpulan bahan penelitian yang diperlukan penulis mengambil beberapa,
diantaranya: dalam menemukan hadis terkait dengan hadis yang diperlukan
menggunakan CD maktabah syamilah, Maktabah Syamilah adalah versi Digital dari kitab-kitab
kuning yang ada sekarang, seperti masalah Fiqih, Ushul Fiqih, Hadits, Matan
Hadits, dan lain sebagainya.
Pembahasan ru’yatul hilal terdapat pada buku
Aplikasi Penelitian Hadis yang disusun oleh M. Alfatih Suryadilaga, dalam
pembahasannya tentang ruyah pengarang menelaah tentang ru’yatul hilal menjadi sampel
penelitian yang menyertakan hadis dan melihat dari konteks sains.[4] Sumber berikutnya
mengambil dari buku Ilmu Falak karya A. Jamil, dalam pembahasannya mengenai
ru’yah hilal atau hisab awal bulan diserai dengan data astronomis,
langkah-langkah hisab awal bulan dan tekniknya dalam menentukan awal bulan.[5] Berikutnya didukung pula
dari buku Al-Qur’an dan sains karya Harun Yahya yang membahas al-Qur’an yang
diterapkan terhadap sains.[6]
E.
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka. Artinya, bahan atau objek
materiil penelitian data data tertulis, lebih spesifik lagi data yang berkenaan
dengan tema penelitian ini, pemahaman hadis tentang ru’yatul hilal dalam
penentuan awal puasa ramadhan, hari raya idul fitri dalam konteks sains.
Selain itu berpijak dari perlu
adanya dalil yang kuat dalam hal ini, maka di bawah ini adalah hadis-hadis yang
dijadikan pedoman dalam melakukan penetapan awal ramadhan dan hari raya.
Hadis-hadis yang terhimpun di bawah diperoleh melalui penelusuran dengan CD masuat
al-Hadis al-Syarif, dan CD Maktabah Syamilah.
Penelusuran hadis dilakukan melalui
metode bi alfaz dengan menggunakan kata صُومُوا لِرُؤْيَتِهِز. Setelah melakukan penelusuran melaui CD mausu’at
al-hadis al-syarif ditemukan dalam 16 tempat, sebagaimana terlihat di bawah
ini:
No.
|
Nama Kitab
|
Jumlah
|
1
|
Shahih Bukhari
|
1
|
2
|
Shahih Muslim
|
3
|
3
|
Sunan Tirmizi
|
1
|
4
|
Sunan Nasa’i
|
1
|
5
|
Sunan Ibnu Majah
|
1
|
6
|
Musnad Ahmad
|
7
|
7
|
Sunan al-darimi
|
2
|
Jumlah
|
16
|
Adapun jika dilihat dalam CD Maktabah Syamilah diproleh 91 hadis
dari 48 kitab hadis ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin. Untuk
menjelaskan teks tentang ruyatul hilah dapat dilihat salah bebarapa hadis di bawah ini.[7]
Bukhori, 1909
حَدَّثَنَا آدَمُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
زِيَادٍ قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ : قَالَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ، أَوْ قَالَ : قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صلى الله عليه
وسلم صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Rassululah saw bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya
(hilal), dan berbukalah berhari raya karena melihatnya (hilal bulan syawal).
Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah sya’ban 30 hari
Tirmizi, 684
حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن
أبي هريرة : قال قال النبي صلى الله عليه و سلم لا تقدموا الشهر بيوم ولا بيومين إلا
أن يوافق ذلك صوما كان يصومه أحدكم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فعدوا ثلاثين ثم أفطروا
”Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa
satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa
padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal syawal). Jika
ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah tiga puluh hari kemudian
berbukalah (idul fitri) dan satu bulan itu 29 hari.”[8]
F.
Landasan Teori
1.
Pemahaman hadis
Dari redaksi di atas dapat dikatakan bahwa hadis tentang ruyatul hilal
diriwayatkan secara makna terbukti dengan beragamnya isi teks hadis yang
menjelaskan persoalan tersebut. Di dalam sahih bukhari hanya dijelaskan
perintah puasa dan berhari raya karena ruyatul hilal dan jika terhalang maka
disempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari, sebagaimana teks,
وسلم
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ
غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Istilah gubbiya diartika dengan الشيء او عنه: جهله to be ignorant,
have no knowledge of atau غبي الشيء عليه to be unknown to.maka dapat diartikan bahwa jika
upaya ru’yatul hilal tidak dapat dilakukan karena tidak dapat diketahui maka
perlu menggenapkan bilangan sya’ban dan Ramadhan 30 hari.
Rasululah mewanti-wanti agar tidak
mendahului bulan dua atau tiga hari kecuali dengan melakukan ru’yatul hilal,
jika terhalang awan atau mendung maka sempurnakan bilangan bulan tersebut
menjadi 30 hari.[9]
2. Pola perhitungan awal bulan
Pola pemahaman hadis di atas dapat digolongkan dua kelompok, yaitu pertama
hisab. Secara harifiyah bermakna perhitungan. Di dunia Islam istilah hisab
sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi
matahari dan bulan terhadap bumi dalam
rangka penentuan dimulainya awal bulan
pada kalender hijriah. Pentingnya penentuan posisi matahari karen umat
Islam untuk ibadah shalatnya menggunakan posisi matahari sebagai patokannya.
Sedangkan penentuan posisi bulan untuk mengetahui posisi hilal sebagai penanda
masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriah. Ini penting terutama untuk
menentukan awal Ramadhan saat orang mulai berpuasa, awal syawal saat mengakhiri
puasa dan merayakan Idul Fitri, serta awal dzulhijah saat orang akan wukuf haji
di Arafah (9 Dzulhijah) dan beridul Adha (10 Dzulhijah).[10]
Cara hisab ini didukung Q.S Yunus ayat 5,
bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat
penghitung tahun dan perhitungan lainnya. Q.S Ar-Rahman ayat 5 matahari dan
bulan beredar menurut perhitungan. Banyak ibadah dalam Islam yang terkait
langsung denga posisi benda-benda astronomis (khususnya matahari dan bulan),
maka umat Islm sudah sejak awal mula muncul peradaban Islam menaruh perhatian
besar terhadap ilmu astronomi yang dikenal dengan ilmu falak. Di antara
astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah
al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, al-Khwarizmi, al-Batani dan Habash.
Kedua, rukyat adalah aktivitas mengamati vasibilitas
hilal, yakni menampakkan bulan sabit yang nampak pertama kali setalah terjadinya
ijtimak atau bulan baru. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau
dengan alat bantu optik seperti teleskop yang dilengkapi CCD imaging. Rukyat
dilakukan setelah matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal
sangat redup dibanding cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila
hilal terlihat, maka pada petang mahgrib waktu setempat telah memasuki bulan
(kalender) baru Hijriah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib esoknya.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat
dengan jelas. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari
terlalu pendek, maka secara teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi
cahaya bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan cahaya langit sekitarnya.
Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hila dapat terlihat tanpa alat
bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara bulan-matahari
sebesar 8 dertajat.
Sebagai
sebuah bentuk kegiatan dalam mencari kapan dimulainya awal bulan (kalender)
Hijriah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan
sabit) idak terlihat (atau gagal terlihat, maka bulan kalender berjalan
digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Criteria ini berpegang pada Hadis Nabi
Muhammad SAW:
Berpuasalah
kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika
terhalang maka genapkanlah (istikmal).[11]
Rukyah
hilal (melihat bulan baru) untuk mengetahui pergantian bulan dan khususnya
untuk mengetahui awal Ramadhan dan Syawal dalam rangka pelaksanaan ibadah puasa
dan hari raya Idul fitri, dapat dilakukan denganmenggunakan teropong atau menggunakan gawang lokasi.
Rukyah
umumnya dilakukan di tepi pantai atau di atas dataran tinggi seperti gunung
atau bukit, karena kedua tempat tersebut merupakan lokasi bebas halangan untuk
melihat hilal di ufuk bagian barat. Misalnya di daerah Pelabuhan Ratu di
Kabupaten Ciamis, Tugu Monas Jakarta, Pantai Kuta Bali dan tempat-tempat
lainnya.[12]
3.
Sains
Allah memerintahkan umat manusia
untuk menyelidiki dan merenungkan ciptaan langit, bumi dan gunung-gunung,
bintang-bintang dan tumbuh-tumbuhan, benih, binatang, pergantian siang dan
malam, manusia, hujan dan pelbagai ciptaan lainnya. Dengan mencermati semua
ini, manusia akan semakin menyadari cita seni ciptaan Allah di dunia
sekelilingnya, dan akhirnya dapat mengenali penciptannya, yang telah
menciptakan seluruh alm semesta beserta segala isinya dari ketiadaan.
“sains” menawarkan cita rasa seni
ciptaan Allah, yaitu dengan mengamati alam semesta beserta seluruh mahluk di
dalamnya, dan menyampaikan hasilnya kepada umat manusia. Agama, oleh karena
itu, mendorong sains, menjadikan alat untuk mempelajari keagungan ciptaan
Allah.
Agama tidak hanya mendorong studi
ilmiah konklusif dan tepat guna, karena didukung oleh kebenaran yang
diungkapkan melalui agama. Alasannya, agama merupakn sumber tunggal yang
menyediakan jawaban pasti dan akurat, misalnya untuk pertanyaan bagaimana
kehidupan dan alm semesta tercipta. Dengan demikian, jika dimulai pada landasan
yang tepat, riset akan mengungkapkan kebenaran mengenai asal-usul alam
semesta dan pengaturan kehidupan dalam
waktu tersingkat serta dengan upaya dan energy minimum. Seperti dinyatakan oleh
Abert Einstein, yang dianggap sebagai salah seorang ilmuwan terbesar pada abad
ke-20 “sains tanpa agama adalah pincang” dengan perkataan lain, ilmu
pengetahuan tanpa panduan agama tidak dapat berjalan dengan benar, tetapi
justru membuang banyak waktu dalam mencapai hasil tertentu atau lebih buruk
lagi, seringkali tidak memperoleh bukti yan meyakinkan .
Sains yang diikuti oleh para ilmuwan
materialis yang tidak mampu melihat kebenaran, terutama dalam dua ratus terakhir
, ternyata telah menimbulkan pemborosan waktu, kesia-sian banyak riset, dan
penghamburan jutaan dolar tanpa hasil apapun.
Ada satu fakta yang harus disadari
benar: sains dapat mencapai hasil yang dapat diandalkan hanya jika tujuan
utamanya adalah penyelidikan tanda-tanda penciptaan di alam semesta, dan
bekerja keras semata-mata untuk mencapai tujuan ini. Sains dapat mencapai
tujuan akhirnya dalam waktu sesingkat mungkin hanya bila ia ditunjukkan ke arah
yang benar, dengan kata lain jika dipandu dengan benar.[13]
G.
Sistematika Penelitian
penelitian
ini memuat 7 bagian, yaitu diantaranya:
1.
membahas
tentang latar belakang artinya alasan penulis untuk mengangkat dalam penelitian
pemahaman hadis tentang ruyatul hilal dalam konteks sains.
2.
Rumusan
masalah, adalah suatu pokok masalah yang diangkat dalam meneliti ruyatul hilal.
3.
Penelitian
terdahulu dan batasan masalah, pada bagian ini penulis melihat penelitian
sebelumnya mengenai ru’yatul hilal dan membatasi pembahasan tersebut pada bulan
ramadhan dan syawal, sehingga pembahasan tidak terlalu melebar.
4.
Telaah
pustaka, pada bagian ini penulis menentukan sumber-sumber yang diambil mengenai
ru’yatul hilal. Baik itu berupa buku maupun aplikasi software sebagai pendukung
penelitian sehingga memudahkan dalam proses penelitian.
5.
Metode
penelitan, hal ini adalah bagian bagaimana penulis menggunakan metode yang
diambil mengenai pembahasan ruyatul hilal.
6.
Landasan
teori, bagian ini sebagai penjelasan materi dasar dalam penelitian sehingga
terbaca gambaran umum mengenai penelitian tersebut.
7.
Sistematika
penelitian, pada bagian ini menjelaskan urutan penelitian secara umum.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
Abd al-Rahman al-Suyutiy, Jalal Al-din. t,th. al-Asbahwa
al-Nazair fi al-Furu. Indonesia: Maktabah Dar ihyaal-kutub al-Arabiyah.
Jamil,A. 2011. Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi). Jakarta:
Amzah.
Maktabah Syamilah
Suryadilaga, M. Alfatih. 2009.
Aplikasi Penelitian Hadis. Yogyakarta: Teras.
Yahya, Harun.2002. Al-Qur’an dan Sains. Bandung: Dzikra.
[1]
Jalal Al-din Abd al-Rahman al-Suyutiy, al-Asbahwa al-Nazair fi al-Furu, (Indonesia:
Maktabah Dar ihyaal-kutub al-Arabiyah, t.th.), hal 43.
[2]
Pola tersebut merupakan perkembangan dari pemahaman atas ayat-ayat al-Qur’an
dan hadis Nabi tentang persoalan penetapan dan polanya selalu berkembang sesuai
dengan perkembangan iptek.
[3]
M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: Teras,
2009), cet pertama, hal. 149
[4]
Ibid.,
[5]
A. Jamil, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi), (Jakarta: Amzah, 2011), cet.
Ke-2
[6]
Harun Yahya, Al-Qur’an dan Sains, (Bandung: Dzikra, 2002)
[7]
M. Alfatih Suryadilaga, loc.it., hal. 150.
[8]
Ibid.,
[9]
Ibid., hal. 157.
[10]
Ibid., hal. 158
[11]
Ibid., hal 159-161.
[12]
A. Jamil, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi), (Jakarta: Amzah, 2011), cet.
Ke-2, hal. 153.
[13]
Harun Yahya, Al-Qur’an dan Sains, (Bandung: Dzikra, 2002), hal. 1-2
0 comments:
Post a Comment