اَهْلاًوَسَهْلاً

Tuesday, 8 October 2013

Proposal Penelitian Hadis


PROPOSAL PENELITIAN

PEMAHAMAN HADIS TENTANG RU’YATUL HILAL DALAM PENENTUAN AWAL PUASA RAMADHAN DAN HARI RAYA IDUL FITRI DALAM KONTEKS SAINS

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Metodologi Penelitian Hadis
Dosen Pengampu: Hj. Umayah, M.Ag









Disusun oleh:
Mulya
NIM: 14113450009

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS ADADIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2013




PEMAHAMAN HADIS TENTANG RU’YATUL HILAL DALAM PENENTUAN AWAL PUASA RAMADHAN DAN HARI RAYA IDUL FITRI DALAM KONTEKS SAINS

A.     Latar Belakang
Persoalan ibadah Islam harus ditentukan melalui dalil yang pasti yaitu al-Qur’an dan hadis. Mengacu kepada kaidah usuliyah yang menyebutkan bahwa pada asalnya ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang mewajibkannya, maka perlu dalam melaksanakan ibadah didukung dalil yang pasti.[1] Salah satu ibadah yang sangat terkait erat dengan perintah Allah swt. dan Nabi saw adalah masalah ibadah puasa. Di dalam ibadah ini banyak menimbulkan berbagai perbedaan di antara umat Islam terutama di dalam hal kapan diwajibkannya puasa itu atau kapan berakhirnya (berhari raya). Hal tersebut terkait erat dengan penentuan awal dan berakhirnya suatu bulan.
Jika berpedoman pada QS. Al-Baqarah ayat 158 dijelaskan bahwa puasa itu diwajibkan kepada siapa saja yang merasakan (menemukan) bulan Ramadhan dan puasa itu adalah hari-hari tertentu. Ayat tersebut tidak menjelaskan kapan puasa Ramadhan dimulai. Informasi pelaksanaannya ditemukan dalam hadis nabi yang beredaksi beragam karena diriwayatkan bi a-lma’na. paling tidak ada dua kategori dalam persoalan ini yakni melihat bulan (hilal) dan melalui perkiraan jika tidak menemukan wujud al-hilal.[2]
Pembahasan ini akan memberikan penjelasan seputar hadis yang dijadikan obyek pemahaman umat Islam khususnya dalam persoalan penentuan awal dimulainya ibadah puasa dan berakhirnya puasa (berhari raya) dalam hadis konteks sains. Kajian ini menjadi penting karena diantara umat Islam ada yang berpendapat bahwa upaya ru’yat harus dilakukan dengan mata telanjang jika memakai teknologi hasil temuan iptek dianggap bid’ah. Pembahasan ini akan dimulai dari sisi pemahaman hadis secara ma’an al hadis kemudian diintegrasikan dengan sains karena persoalan ini menyangkut ilmu sains. Pola pemaknaan ini diharapkan dapat membantu kontroversi perbedaan penerapan awal waktu puasa dan hari raya yang sering terjadi di kalangan umat Islam, khusunya Indonesia.[3]

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, untuk mempermudah kajian dan agar penelitian yang dilakukan terarah pada satu objek sehingga menghasilkan hasil akhir yang komprehensif, integral dan menyeluruh sehingga relative mudah dipahami dan dapat merepresentasikan. Maka dirumuskan beberapa masalah pokok sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemahaman hadis tentang ruyatul hilal dalam penentuan awal puasa ramadhan dan hari raya idul fitri ?
2.      Bagaimana proses penentuan terjadinya ruyatul hilal dalam konteks sains ?
Tujuan dan kegunaan penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah dalam penelitian, penulis memiliki maksud dan tujuan baik bersifat ilmiah maupun akademis.
1.      Untuk memahami hadis-hadis mengenai ruyatul hilal dalam penentuan awal Puasa Ramdhan dan hari raya Idul Fitri.
2.      Untuk mengetahui proses penentuan terjadinya ruyatul hilal dalam konteks sains ?
Adapun kegunaan dari penelitian ini:
1.      Secara teoritis adalah untuk memberikan pemahaman hadis tentang ruyatul hilal dalam penentuan awal puasa ramadhan dan hari raya idul fitri
2.      Secara praktik penelitian diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pembahasan tentang ruyatul hilal menurut perspektif hadis dan konteks sains.

C.    Penelitian Terdahulu dan Batasan Masalah
Penelitian wilayah kajian hadis terkait dengan ruyatul hilal dalam penentuan awal puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri sejauh ini belum penulis temukan, adapun pembahasan mengenai ru’yatul hilal kebanyakan berbentuk artikel. Maka dari itu dengan belum banyak adanya pembahasan terkait dengan ruyatul hilal dalam perspektif hadis dan konteks sains, sehingga penulis tergugah untuk meneliti pemahaman hadis tentang ruyatul hilal hilal dalam penentuan awal puasa ramadhan dan hari raya dalam konteks sains.
Dengan begitu banyak sudut pandang yang perlu dibahas, penulis mengambil dari sisi hadis dan konteks sains dalam menentukan ru’yatul hilal. Dan lebih spesifik lagi dari dua belas bulan yang ada pada tahun hijriah, penulis meneliti hanya bulan Ramadhn dan Syawal. Hal itu pula dalam rangka menentukan awal puasa Ramadhan kemudian dilanjut dengan penentuan jari raya Idul Fitri.
D.    Telaah Pustaka
Pembahasahan yang membicarakan tentang ru’yatul hilal kurang banyak dibahas dalam berbagai buku secara utuh hanya saja terdapat dalam bab tertentu.
Dalam pengumpulan bahan penelitian yang diperlukan penulis mengambil beberapa, diantaranya: dalam menemukan hadis terkait dengan hadis yang diperlukan menggunakan CD maktabah syamilah, Maktabah Syamilah adalah versi Digital dari kitab-kitab kuning yang ada sekarang, seperti masalah Fiqih, Ushul Fiqih, Hadits, Matan Hadits, dan lain sebagainya.
Pembahasan ru’yatul hilal terdapat pada buku Aplikasi Penelitian Hadis yang disusun oleh M. Alfatih Suryadilaga, dalam pembahasannya tentang ruyah pengarang menelaah tentang ru’yatul hilal menjadi sampel penelitian yang menyertakan hadis dan melihat dari konteks sains.[4] Sumber berikutnya mengambil dari buku Ilmu Falak karya A. Jamil, dalam pembahasannya mengenai ru’yah hilal atau hisab awal bulan diserai dengan data astronomis, langkah-langkah hisab awal bulan dan tekniknya dalam menentukan awal bulan.[5] Berikutnya didukung pula dari buku Al-Qur’an dan sains karya Harun Yahya yang membahas al-Qur’an yang diterapkan terhadap sains.[6]
E.     Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka. Artinya, bahan atau objek materiil penelitian data data tertulis, lebih spesifik lagi data yang berkenaan dengan tema penelitian ini, pemahaman hadis tentang ru’yatul hilal dalam penentuan awal puasa ramadhan, hari raya idul fitri dalam konteks sains.

Selain itu berpijak dari perlu adanya dalil yang kuat dalam hal ini, maka di bawah ini adalah hadis-hadis yang dijadikan pedoman dalam melakukan penetapan awal ramadhan dan hari raya. Hadis-hadis yang terhimpun di bawah diperoleh melalui penelusuran dengan CD masuat al-Hadis al-Syarif, dan CD Maktabah Syamilah.
Penelusuran hadis dilakukan melalui metode bi alfaz dengan menggunakan kata صُومُوا لِرُؤْيَتِهِز. Setelah melakukan penelusuran melaui CD mausu’at al-hadis al-syarif ditemukan dalam 16 tempat, sebagaimana terlihat di bawah ini:
No.
Nama Kitab
Jumlah
1
Shahih Bukhari
1
2
Shahih Muslim
3
3
Sunan Tirmizi
1
4
Sunan Nasa’i
1
5
Sunan Ibnu Majah
1
6
Musnad Ahmad
7
7
Sunan al-darimi
2
Jumlah
16

Adapun jika dilihat dalam CD Maktabah Syamilah diproleh 91 hadis dari 48 kitab hadis ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin. Untuk menjelaskan teks tentang ruyatul hilah dapat dilihat salah bebarapa hadis di bawah ini.[7]
Bukhori, 1909
حَدَّثَنَا آدَمُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ، أَوْ قَالَ : قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Rassululah saw bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berbukalah berhari raya karena melihatnya (hilal bulan syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah sya’ban 30 hari
Tirmizi, 684
حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة : قال قال النبي صلى الله عليه و سلم لا تقدموا الشهر بيوم ولا بيومين إلا أن يوافق ذلك صوما كان يصومه أحدكم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فعدوا ثلاثين ثم أفطروا
Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah tiga puluh hari kemudian berbukalah (idul fitri) dan satu bulan itu 29 hari.”[8]

F.     Landasan Teori
1.      Pemahaman hadis
Dari redaksi di atas dapat dikatakan bahwa hadis tentang ruyatul hilal diriwayatkan secara makna terbukti dengan beragamnya isi teks hadis yang menjelaskan persoalan tersebut. Di dalam sahih bukhari hanya dijelaskan perintah puasa dan berhari raya karena ruyatul hilal dan jika terhalang maka disempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari, sebagaimana teks,
وسلم صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Istilah gubbiya diartika dengan الشيء او عنه: جهله to be ignorant, have no knowledge of atau غبي الشيء عليه to be unknown to.maka dapat diartikan bahwa jika upaya ru’yatul hilal tidak dapat dilakukan karena tidak dapat diketahui maka perlu menggenapkan bilangan sya’ban dan Ramadhan 30 hari.
Rasululah mewanti-wanti agar tidak mendahului bulan dua atau tiga hari kecuali dengan melakukan ru’yatul hilal, jika terhalang awan atau mendung maka sempurnakan bilangan bulan tersebut menjadi 30 hari.[9]
2.      Pola perhitungan awal bulan
Pola pemahaman hadis di atas dapat digolongkan dua kelompok, yaitu pertama hisab. Secara harifiyah bermakna perhitungan. Di dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap  bumi dalam rangka penentuan dimulainya awal bulan  pada kalender hijriah. Pentingnya penentuan posisi matahari karen umat Islam untuk ibadah shalatnya menggunakan posisi matahari sebagai patokannya. Sedangkan penentuan posisi bulan untuk mengetahui posisi hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriah. Ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat orang mulai berpuasa, awal syawal saat mengakhiri puasa dan merayakan Idul Fitri, serta awal dzulhijah saat orang akan wukuf haji di Arafah (9 Dzulhijah) dan beridul Adha (10 Dzulhijah).[10]
Cara hisab ini didukung Q.S Yunus ayat 5, bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat penghitung tahun dan perhitungan lainnya. Q.S Ar-Rahman ayat 5 matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Banyak ibadah dalam Islam yang terkait langsung denga posisi benda-benda astronomis (khususnya matahari dan bulan), maka umat Islm sudah sejak awal mula muncul peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap ilmu astronomi yang dikenal dengan ilmu falak. Di antara astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, al-Khwarizmi, al-Batani dan Habash.
Kedua, rukyat adalah aktivitas mengamati vasibilitas hilal, yakni menampakkan bulan sabit yang nampak pertama kali setalah terjadinya ijtimak atau bulan baru. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop yang dilengkapi CCD imaging. Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang mahgrib waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib esoknya.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat dengan jelas. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan cahaya langit sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hila dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara bulan-matahari sebesar 8 dertajat.
Sebagai sebuah bentuk kegiatan dalam mencari kapan dimulainya awal bulan (kalender) Hijriah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) idak terlihat (atau gagal terlihat, maka bulan kalender berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Criteria ini berpegang pada Hadis Nabi Muhammad SAW:
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal).[11]
Rukyah hilal (melihat bulan baru) untuk mengetahui pergantian bulan dan khususnya untuk mengetahui awal Ramadhan dan Syawal dalam rangka pelaksanaan ibadah puasa dan hari raya Idul fitri, dapat dilakukan denganmenggunakan teropong  atau menggunakan gawang lokasi.
Rukyah umumnya dilakukan di tepi pantai atau di atas dataran tinggi seperti gunung atau bukit, karena kedua tempat tersebut merupakan lokasi bebas halangan untuk melihat hilal di ufuk bagian barat. Misalnya di daerah Pelabuhan Ratu di Kabupaten Ciamis, Tugu Monas Jakarta, Pantai Kuta Bali dan tempat-tempat lainnya.[12]
3.      Sains
Allah memerintahkan umat manusia untuk menyelidiki dan merenungkan ciptaan langit, bumi dan gunung-gunung, bintang-bintang dan tumbuh-tumbuhan, benih, binatang, pergantian siang dan malam, manusia, hujan dan pelbagai ciptaan lainnya. Dengan mencermati semua ini, manusia akan semakin menyadari cita seni ciptaan Allah di dunia sekelilingnya, dan akhirnya dapat mengenali penciptannya, yang telah menciptakan seluruh alm semesta beserta segala isinya dari ketiadaan.

“sains” menawarkan cita rasa seni ciptaan Allah, yaitu dengan mengamati alam semesta beserta seluruh mahluk di dalamnya, dan menyampaikan hasilnya kepada umat manusia. Agama, oleh karena itu, mendorong sains, menjadikan alat untuk mempelajari keagungan ciptaan Allah.
Agama tidak hanya mendorong studi ilmiah konklusif dan tepat guna, karena didukung oleh kebenaran yang diungkapkan melalui agama. Alasannya, agama merupakn sumber tunggal yang menyediakan jawaban pasti dan akurat, misalnya untuk pertanyaan bagaimana kehidupan dan alm semesta tercipta. Dengan demikian, jika dimulai pada landasan yang tepat, riset akan mengungkapkan kebenaran mengenai asal-usul alam semesta  dan pengaturan kehidupan dalam waktu tersingkat serta dengan upaya dan energy minimum. Seperti dinyatakan oleh Abert Einstein, yang dianggap sebagai salah seorang ilmuwan terbesar pada abad ke-20 “sains tanpa agama adalah pincang” dengan perkataan lain, ilmu pengetahuan tanpa panduan agama tidak dapat berjalan dengan benar, tetapi justru membuang banyak waktu dalam mencapai hasil tertentu atau lebih buruk lagi, seringkali tidak memperoleh bukti yan meyakinkan .
Sains yang diikuti oleh para ilmuwan materialis yang tidak mampu melihat kebenaran, terutama dalam dua ratus terakhir , ternyata telah menimbulkan pemborosan waktu, kesia-sian banyak riset, dan penghamburan jutaan dolar tanpa hasil apapun.
Ada satu fakta yang harus disadari benar: sains dapat mencapai hasil yang dapat diandalkan hanya jika tujuan utamanya adalah penyelidikan tanda-tanda penciptaan di alam semesta, dan bekerja keras semata-mata untuk mencapai tujuan ini. Sains dapat mencapai tujuan akhirnya dalam waktu sesingkat mungkin hanya bila ia ditunjukkan ke arah yang benar, dengan kata lain jika dipandu dengan benar.[13]
G.    Sistematika Penelitian
penelitian ini memuat 7 bagian, yaitu diantaranya:
1.      membahas tentang latar belakang artinya alasan penulis untuk mengangkat dalam penelitian pemahaman hadis tentang ruyatul hilal dalam konteks sains.
2.      Rumusan masalah, adalah suatu pokok masalah yang diangkat dalam meneliti ruyatul hilal.
3.      Penelitian terdahulu dan batasan masalah, pada bagian ini penulis melihat penelitian sebelumnya mengenai ru’yatul hilal dan membatasi pembahasan tersebut pada bulan ramadhan dan syawal, sehingga pembahasan tidak terlalu melebar.
4.      Telaah pustaka, pada bagian ini penulis menentukan sumber-sumber yang diambil mengenai ru’yatul hilal. Baik itu berupa buku maupun aplikasi software sebagai pendukung penelitian sehingga memudahkan dalam proses penelitian.
5.      Metode penelitan, hal ini adalah bagian bagaimana penulis menggunakan metode yang diambil mengenai pembahasan ruyatul hilal.
6.      Landasan teori, bagian ini sebagai penjelasan materi dasar dalam penelitian sehingga terbaca gambaran umum mengenai penelitian tersebut.
7.      Sistematika penelitian, pada bagian ini menjelaskan urutan penelitian secara umum.














BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran



Daftar Pustaka
Abd al-Rahman al-Suyutiy, Jalal Al-din. t,th. al-Asbahwa al-Nazair fi al-Furu. Indonesia: Maktabah Dar ihyaal-kutub al-Arabiyah.
Jamil,A. 2011. Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi). Jakarta: Amzah.
Maktabah Syamilah
Suryadilaga, M. Alfatih. 2009.  Aplikasi Penelitian Hadis. Yogyakarta: Teras.
Yahya, Harun.2002. Al-Qur’an dan Sains. Bandung: Dzikra.




[1] Jalal Al-din Abd al-Rahman al-Suyutiy, al-Asbahwa al-Nazair fi al-Furu, (Indonesia: Maktabah Dar ihyaal-kutub al-Arabiyah, t.th.), hal 43.
[2] Pola tersebut merupakan perkembangan dari pemahaman atas ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi tentang persoalan penetapan dan polanya selalu berkembang sesuai dengan perkembangan iptek.
[3] M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009), cet pertama, hal. 149
[4] Ibid.,
[5] A. Jamil, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi), (Jakarta: Amzah, 2011), cet. Ke-2
[6] Harun Yahya, Al-Qur’an dan Sains, (Bandung: Dzikra, 2002)
[7] M. Alfatih Suryadilaga, loc.it., hal. 150.
[8] Ibid.,
[9] Ibid., hal. 157.
[10] Ibid., hal. 158
[11] Ibid., hal 159-161.
[12] A. Jamil, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi), (Jakarta: Amzah, 2011), cet. Ke-2, hal. 153.
[13] Harun Yahya, Al-Qur’an dan Sains, (Bandung: Dzikra, 2002), hal. 1-2

0 comments: