PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tafsir Ekonomi (Dhau’i
al-Iqtishodiyyah)
Tafsir secara bahasa adalah menerangkan dan
menyatakan, sedangkan secara istilah adalah sebagai berikut:
Menurut al-Kilby dalam at-Tashiel, tafsir adalah
mensyarahkan al-Qur’an, menerangkan maknanyadan menjelaskan apa yang
dikehendakinya dengan nashnyaatau dengan isyaratnyaataupun dengan najuahnya. Sedangkan
menurut az-Zarkasyi dalam al-Burhan, tafsir ialah menerangkan makna-makna
al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.[1]
jika diperhatikan tafsir yang tersiar dikalangan
masyarakat, penafsiran para ulama memiliki berbagai jurusan, diantaranya ialah
golongan ulama yang menitik beratkan penafsirannya terhadap syarat-syarat
tasyri’ dan menistinbatkan hukum-hukum fiqih serta mentarjihnya sebagai ijtihad
atas sebagian yang lain.[2]Berarti
secara kilas pandang, tafsir ekonomi merupakan tafsir tematik yang berkenaan
dengan hukum-hukum fiqih dan lebih husus kepada ekonomi.
Ekonomi Islam sebenarnya telah muncul
sejak islam itu dilahirkan. Ekonomi Islam lahir bukanlah suatu disiplin ilmu
tersendiri melainkan integral dari agama Islam. Sebagai ajaran hidup yang lengkap,
islam memberikan petunjuk terhadap aktivitas semua manusia, termasuk ekonomi.
Sejak abad ke-8 telah muncul pemikiran-pemikiran ekonomi Islam secara parsial,
misalnya peran negara dalam ekonomi, kaidah berdagang, mekanisme pasar, dan
lain-lain, tetapi pemikiran secara komprehenshif terhadap ekonomi Islam
sesungguhnya baru muncul pada pertengahan abad ke-20 dan semakin marak sejak
dasawarsa terakhir.
Berbagai ahli ekonomi Muslim memberikan
definisi ekonomi Islam yang bervariasi, tetapi pada dasarnya mengandung makna
yang sama. Pada intinya ekonomi Islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang
berupaya memandang, menganalisis dan akhirya meyelesaikan
permasalahan-permasalahan ekonomi Islami dengan cara-cara yang Islami. Yang
dimaksud dengan cara-cara yang Islami. Yang dimaksud dengan cara-cara Islami di
sinilah adalah cara-cara Isam (yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi).[3]
B.
Tokoh-tokoh
yang Berkecimpung di dalam Tafsir Ekonomi
Muhammad Hasbi as-Shiddieqy dalam karyanya
mengatakan, golongan para ulama tafsir yang menitik beratkan penafsirannya
terhadap syarat-syarat tasyri’ dan menistibatkan hukum-hukum fiqih serta
mentarjihnya sebagai ijtihad atas sebagian yang lain. Diantara tafsir yang
menitik beratkan kapada ayat-ayat tasyri’, misalnya:
Tafsir al-Qurthubi(al-Jami’li Ahkamil Qur’an),
Abu Bakar Ibn ‘Araby (Ahkamil Qur’an), Abu Bakar al-Jashshash dan Siddiq
Hasan Khan (Nailul Maram fi Tafsiri
Ayatil Ahkam).
Terdapat suatu keterangan bahwa, orang yang
mula-mula mengelompokkan ayat-ayat hukum, ialah Muqatil, dan kemudian datang
Mundzir bin Sa’ad (335 H).[4]
Ekonomi, berarti menyangkut tentang masalah kesejahteraan
masyarakat (perekonomian). Di Indonesia terdapat organisasi pengelola zakat
atau disebut juga dengan Rumah Zakat Indonesia Dompet Amal Ummul Qura
(RZI-DSUQ).Saifuddin Zuhri, di dalam tulisannya mengangakat persoalan tentang
sejauh mana konsep al-Qur’an tentang kesejahteraan masyarakat lewat ZIS,
tentang apa yang menjadi ide dan pemikiran ulama dan umara dengan konsep
al-Qur’an tentang kesejahteraan masyarakatlewat ZIS dan sejauh mana realisasi
dalam pendayagunaan ZIS dengan kesejahteraan masyarakat.[5]
Abdurrahman Qadirmengangkat persoalan mengenai
pandangan Yusuf al-Qardhawi di dalam karyanya, Pembaharuan Hukum Islam:
Studi Pemikiran al-Qardhawi tentang Zakatdan metode yang dipakainya dalam
menentukan hukun zakat. Qadir menyimpulkan, bahwa zakat profesi menurut Qardhawi
adalah wajib. Hal ini berdasarkan nass al-Qur’an Q.S. Al-Baqarah: 267,
at-Taubat: 109, Ali Imron: 180. Sedangkan metodenya adalah qiyas.
C.
Sejarah
Perkembanagan Tafsir Ekonomi
Sejak zaman Nabi Saw, sahabat, tabi’in,
tafsir-tafsir dipindahkan atau diriwayatkan dari mulut ke mulut dan belum
dibukukan. Pada permulaaan abad hijriyah telah banyak pemeluk Islam dari bangsa
selain arab dan pada masa itu pula bahasa arab dipengaruhi oleh bahasa ajam.
Mungkin sebab itulah para ulama mulai memperhatikan untuk segera membukukan
tafsir agar mudah dipahami maknanya oleh mereka tentang bahasa arab yang asli.
Pada masa kejayaan Abbasiyah barulah ulama-ulama
mengumpulkan secara spesifik hadits-hadits tafsir yang diterima dari sahabat
dan tabi’in. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut suatu ayat beserta nukilan
ayat itu dari sahabat dan tabi’in. Tafsir pada masa tersebut belum mempunyai
bentuk yang tertentu, atau berbentuk mushaf. Bisa dikatakan tafsir pada
masa Nabi Saw sampai Abbasiyah tafsir berbentuk hadits atau mungkin tafsir
merupakan bagian dari hadits, misalnya seorang rawi meriwayatkan hadits
mengenai tafsir, terkadang juga mengenai fiqh, terkadang mengenai ghazwah, atau
mengenai urusan masyarakat (sosiol). Barulah pada masa Abbasiyah timbul usaha
para ulama untuk memisahkan dan mentertibkan babnya sesuai ojek yang sama,
sebagaimana imam Malik bin Annas di dalam kitab Muwaththa’, ia mengumpulkan
hadits-hadits mengenai hukum. Dalam usaha pengumpulan dan memisahkan para ulama
mengumpulkan hadits-hadits marfu’ dan mauquf. Diantara tokoh-tokoh
yang berusaha mengumpulkan hadits-hadita diberbagai daerah, anatara lain:
a.
Sufyan bin
‘Uyaynah
b.
Waki’ bin
Ibnul Jarrah
c.
Syu’ban Ibnul
Hajjaj
d.
Ishaq bin
Rahawaih.
Menurut Ibnun Nadim, ulama yang
menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan urutan mushaf ialah al-Farra’ atas
permintaaan Umar bin Bakir.
Diantara tafsir ayat-ayat hukum
ialah:
1.
Ahkamul
Qur’an, susunan Asy-Syafi’y yang dikumpulkan oleh
al-Baihaqy
2.
Ahkamul
Qur’an, susunan Daud ibn ‘Ali adh-Dhahiry
3.
Ahkamul
Qur’an, susunan al-Jashshash
4.
Ahkamul
Qur’an, susunan Ibnul ‘Araby
5.
Tafsir Ayatil
Ahkam, susunan Ali as-Sayis
6. Al-Jami’li AhkamilQur’an, susunan
al-Qurthuby
7.
Nailul Maram
fi Tafsiri Ayatil Ahkam, susunan Siddiq Hasan Khan.
Tafsir terus berkembang hingga
abad kemunduran ilmu pengetahuan. Diantara tafsir mutaakhirin yang terkenal
ialah tafsir Jalalain, yang dikarang oleh Jalalul Mahally dan Jalalul
Syuyuthi. Tafsir tersebut mendapat perhatian sampai saat ini.Tafsir Sirajul
Munir, karangan Ahmad Muhammad as-Syarbany, al-FawatihulIlahiyah,
karangan an-Nakhjawany dan tafsir Ruhul Bayan, karangan Ismail Haqqy.
Pada masa sekarang, selain
mengkaji kitab-kitab tafsir para ulama dan tokoh-tokoh pemikir pembaharu Islam
juga mencoba mengaplikasikan tafsir-tafsir hukum Islam, setidaknya seperti
zakat dan pajak. Meskipun sebenarnya hal itu sudah ada pada masa Khulafa
ar-Rasyidin. Zakat dikenakan kepada penduduk yang beragama Islam, sedangkan
pajak dikenakan kepada penduduk yang non-muslim.
Kewajiban zakat merupakan hablun
minallah dan Hamlun minnas. Di
indonesia potensi zakat sangat besar, strategis, dan potensial. Akan
tetapi potensi zakat masih belum dapat digali dan diberdayakan secara optimal.
Hal ini dikarenakan, pertama, tingkat kesadaran masyarakat muslim terhadap penunaian
zakat masih rendah. Kedua, kurangnya pengertian masyarakat tentang cara
menghitung zakat yang seringkali terkait dengan tingkat kejujuran mereka dalam
memperhitungkan zakat. Ketiga, informasi tentang ihwal zakat sampai kepada
masyrakat masih terbatas. Keempat, kurang kepercayaan pada diri masyarakat
terhadap pengelola zakat, karena dianggap kurang profesional. Mereka lebih
cenderung langsung memberikan zakat kepada para mustahiq.[6]
Qadry al-Azizy dalam redaksinya mencoba
mendobrak keterkungkungan pemikiran yang terjadi dalam hukum Islam, setidaknya
ada langkah-langkah yang cukup radikal. Hukum Islam yang sudah “baku” harus
dibongkar kembali, setidaknya menurutnya, hukum Islam mengikuti irama dinamika
perkembangan zaman. Meneurutnya, terjadinya kebakuan, kegagapan diskursus
pemiukiran hukum Islam, dikarenakan kekeliruan metodologis sehingga perlu upaya
melahirkan metodologi baru. Dengan cara inilah kemungkinan dapat meminimalisir
taqlidisme yang selama ini mewarnai kehidupan pemikiran Islam, demikian
menurutnya.[7]
Ekonomi Islam pada dasarnya muncul
pertama kali bersamaan dengan lahirnya ajaran Islam pada abad ke-7 karena
ajaran Islam tidak hanya memberikan panduan ritual, namun juga dalam
berkhehidupan masyarakat. Ekonomi Islam pada dasarnya bersumber dari ide dan
praktek ekonomiyang dilakukan Nabi Muhammad saw. Dan para sahabatnya serta
pengikut-pengikutnya sepanjang jalan. Diversifikasi praktek ekonomi yang
dilakukan masayarakat Muslim setelah masa Muhammad saw. Bisa dianggap sebagai
acuan sejarah ekonomi Islam selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Periode sejarah pemikiran ekonomi Islam
dalam dikategorikan menjadi periode pertama (masa awal Islam-450 H/1058 M), periode
kedua (450-850 H/1058-1446 M), periode
ketiga (850-1350 H/1446-1932 M) dan periode kontemporer (1350 H-sekarang/1932
M-sekarang). Kronologi ini masih didasarakan pada kronogikal (urutan waktu) semata, bukan berdasarkan
kesamaan atau kesamaan ide pemikiran.
Great gap
selam lebih dari 500-an tahun dalam sejarah pemikiran ekonomi pada dark age di
Barat sebagaimana disinyalir oleh Schumpeter pada dasarnya bisa terungkap
dengan memperhatikan kejadan di dunia Islam. Pada masa tersebut dunia Islam
mencapai masa kegemilangan di mana banyak terdapat pemikiran ekonomi yang
cemerlang.
Dimungkinkan terjadinya transfermasi
pemikiran ekonomi dari Islam ke Barat pada abad pertengahan, sebagaimana juga
terjadi pada ilmu pengetahuan secara umum. Banyaknya kesamaan kemiripan antara
pemikiran sarjana Muslim dengan Barat, praktik ekonomi dan sejarah trensfermasi
ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat memunculkan beberapa dugaan, yaitu
(a) terjadi kebetulan yang sama antara sarjana Muslim dan Barat; (b) Sarjana
Barat dipengaruhi oleh pemikiran sarjana Muslim; dan (c) sarjana Barat
melakukan plagiasi atas karya sarjana Muslim.[8]
D.
Sumber-sumber
Tafsir Ekonomi
Pengambilan atau sumber-sumber tafsir di ambil dari
riwayat dan dirayat, yakni ilmu lughat, nahwu, tashrif, ilmu balaghah, ilmu
fiqh, ilmu asbab an-Nuzul, nasikh mansukh dan lain-lain. Sedangkan pokok
pegangan dalam menafsirkan al-Qur’an ialah Hadits, atsar, Qaidah-qaidah bahasa
arab dan uslub-uslubnya.[9]
Pada dasasrnya
informasi dapat diperoleh dari fenomena kehidupan masa lalu, namun kebenaran
informasi ini sangat dibatasi oleh ruang dan waktu serta kemampuan pelaku dalam
menginterpretasikan fenomena tersebut. Islam mengajarkan bahwa Allahtelah
melengkapi kelemahan manusia dengan memberikan informasi dan petunjuk yang
dapat digunakan sepanjang masa. Informasi ini dituangkan dalam bentuk kitab
suci Al-Qur’an yang berisikan firman Allah serta sunnah Nabi saw. Informasi ini
meliputi makna, tujuan maupun proses bagaimana pelaku meningkatkan mashlahah
yang diterimanya. Kedua sumber ini dianggap valid dan tidak dibantahkan.
Pelaku ini hanya diperlukan untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikannya
dalam kegiatan ekonomi.
Dalam pandangan Islam
kebenaran dan kebaikan mutlak hanya berasal dari Allah, baik yang terbentuk
ayat qauliyah ataupun kauniyah. Sebagian dari ayat qauliyah dapat
secara langsung dipahami sebagai kebenaran, namun sebagian ayat lainnya masih
memerlukan penafsiran untuk memahaminya. Di sisi lain, kebenaran dapat
bersumber dari fenomena alam semesta atau ayat kauniyah. Ayat kauniyah
ini berfungsi sebagai pendukung dan penguat kebenaran yang disampaikan
melalui ayat-ayat qauliyah. Dalam al-Qur’an Allah memerintahkan manusia
intuk membaca kejadian di alam semesta untuk menemukan kebenaran dengan
petunjuk kebenaran Al-Qur’an. Oleh karena itu, kebenaran ayat kauniyah masih dipengaruhi penafsiran manusia terhadap
fenomena sosial dan alam karena kebenaran empiris tidaklah bersifat mutlak.[10]
E.
Metode
yang Digunakan Dalam Tafsir Ekonomi
Salah satu tafsir fi Dhu’i al-Iqtishodiyah dan lebih
umumnya adalah tafisr ayat-ayat hukum adalah tafsir al-Qurthuby. Metode yang
digunakan dalam tafsir ini ialahtahlily.metodologi ekonomi
Islam bersifat induktif dan deduktif dari mengamati fenomena yang terjadi atau
dari ajaran-ajaran Islam tentang bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan,
kemudian dari permasalahan-permasalahan tersebut dilakukan observasi dan
pengumpulan data kemudian data tersebut dianalisa dengan teori-teori yang sudah
mapan khususnya dengan menggunakan alat analisa syariah yang berupa Tafsir,
Usulfiqh, hadis dan lai-lain, selanjutnya ditarik hipotesis atau asumsi
sementara dari data yang diperoleh dan akhirnya hipotesis atau asumsi,
kegitan tersebut diuji untuk kemudian ditarik sebuah konlusi, prediksi,
deskripsi dan solusi[11].
Selain itu penambahan aksioma pokok dalam pengembangan ekonomi adalah pertama
perpaduan antara positifis dan normative dalam analisa yang selama ini
ditolak oleh ekonomi konvensional, kedua motifasi manusia dalam
melakukan kegiatan akan bermotifkan agama (transcendental motive) ketiga
metode penyelidikan dalam ekonomi bersifat deduktif dan induktif
F.
Karekteristik
Tafsir Ekonomi
Tujuan ekonomi Islam adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah)
melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah thayyibah).
Dalam konteks ekonomi, tujuan falah dijabarkan ke beberapa tujuan antara,
yaitu: (1) mewujudkan kemaslahatan umat; (2) mewujudkan keadilan dan pemerataan
pendapatan; (3) membangun peradaban yang luhur dan (4) menciptakan kehidupan
yang seimbang dan harmonis.
Pilar ekonomi Islam adalah molral.
Hanya dengan moral Islam inilah bangunan ekonomi Islam dapa tegak dan hanya
dengan ekonomi Islamlah falah dapat tercapai. Morlitas Islam terdiri
atas postulat keimanan dan postulat ibadah. Esensi dari moral Islam adalah
tauhid. Implikasi dari tauhid, yaitu bahwa ekonomi Islam memiliki sifat
transedental (bukan sekular), dimana peranan Allah dalam seluruh aspek ekonomi
menjadi mutlak.
Moral Islam sebagai pilar ekonomi Islam
dapat dijabarkan lebih lanjut menjadi sebeuah aksioma atau yang kemudian dapat
berlaku sebagai suatu titik mula pembuat kesimpulan logis mengenai kaidah-kaidah
sosial dan perilaku ekonomi yang secara islami absah. Nilai-nilai tersebut
adalah Adl (adil), Khilafah (tanggung jawab), Takaful (jaminan).
Moralitas dapat membawa pada perwujudan
falah hanya jika terdapat basis kebijakan yang mendukung, yaitu: (1)
penghapusan riba, (2) pelembagaan zakat, (3) pengahapusan yang haram, dan (4) gharar.
Sistem ekonomi Islam adalah
perekonomian dengan tiga sektor, yaitu sektor pasar, masyarakat, dan negara. Tiap
sektor memiliki hak dan kewajiban tertentu dalam menggerakan kegiatan ekonomi
untuk mewujudkan kesejahteraan umat.Islm menolak konsep pasar dalam bentuk
persaingan bebas tanpa batas sehingga mengabaikan norma dan etika. Dalam pasar
yang Islami, para pelaku pasar didorong oleh semangat persaingan untuk meraih
kebaikan (fastabikul khairat) sekaligus kerja sama dan tolong menolong
dalam bingkai nilai dan moralitas Islam. Aktvitas pasar juga harus
mencerrminkan persaingan yang sehat, kejujuran, keterbukaan, dan keadilan
sehingga harga yang tercipta adalah harga yang adil.
Eksistensi peran pemerintah bukan
semata karena adanya kegagalan pasar dan ketidaksempurnaan pasar, tetapi
merupakan derivasi dari kekhalifahan dan konsekunsi adanya kewajiban-kewajiban
kolektif untuk merealisasikan falah. Secara umum, peranan pemerintah ini
akan berkait dengan (1) upaya mewujudkan konsep pasar yang Islami serta (2)
upaya mwujudkan tujuan ekonomi Islam secara keseluruhan.
Kewajiban merealisasikan falah
pada dasarnya merupakan tugas seluruh economic pelaku ekonomis, termasuk
masyarakat. Terdapat banyak aktivitas ekonomi yang tidak dapat diselanggarakan
dengan baik oleh oleh mekanisme pasar maupun oleh peran pemerintah sehingga
masyarakat harus berperan langsung. Pasar pemeritah, dan masyarakat harus
bergerak untuk mencapai kesejahteraan umat.[12]
BAB
III
KESIMPULAN
Berbagai ahli
ekonomi Muslim memberikan definisi ekonomi Islam yang bervariasi, tetapi pada
dasarnya mengandung makna yang sama. Pada intinya ekonomi Islam adalah suatu
cabang ilmu pengetahuan yang berupaya memandang, menganalisis dan akhirya
meyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi Islami dengan cara-cara yang
Islami. Yang dimaksud dengan cara-cara yang Islami. Yang dimaksud dengan
cara-cara Islami di sinilah adalah cara-cara Isam (yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi).
Ekonomi Islam pada dasarnya muncul pertama
kali bersamaan dengan lahirnya ajaran Islam pada abad ke-7 karena ajaran Islam
tidak hanya memberikan panduan ritual, namun juga dalam berkhehidupan
masyarakat. Ekonomi Islam pada dasarnya bersumber dari ide dan praktek
ekonomiyang dilakukan Nabi Muhammad saw. Dan para sahabatnya serta
pengikut-pengikutnya sepanjang jalan. Diversifikasi praktek ekonomi yang
dilakukan masayarakat Muslim setelah masa Muhammad saw. Bisa dianggap sebagai
acuan sejarah ekonomi Islam selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Periode sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam
dikategorikan menjadi periode pertama (masa awal Islam-450 H/1058 M), periode
kedua (450-850 H/1058-1446 M), periode
ketiga (850-1350 H/1446-1932 M) dan periode kontemporer (1350 H-sekarang/1932
M-sekarang). Kronologi ini masih didasarakan pada kronogikal (urutan waktu) semata, bukan berdasarkan
kesamaan atau kesamaan ide pemikiran.
Great gap selam
lebih dari 500-an tahun dalam sejarah pemikiran ekonomi pada dark age di
Barat sebagaimana disinyalir oleh Schumpeter pada dasarnya bisa terungkap
dengan memperhatikan kejadan di dunia Islam. Pada masa tersebut dunia Islam
mencapai masa kegemilangan di mana banyak terdapat pemikiran ekonomi yang
cemerlang.
Dimungkinkan terjadinya transfermasi
pemikiran ekonomi dari Islam ke Barat pada abad pertengahan, sebagaimana juga
terjadi pada ilmu pengetahuan secara umum. Banyaknya kesamaan kemiripan antara
pemikiran sarjana Muslim dengan Barat, praktik ekonomi dan sejarah trensfermasi
ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat memunculkan beberapa dugaan, yaitu
(a) terjadi kebetulan yang sama antara sarjana Muslim dan Barat; (b) Sarjana
Barat dipengaruhi oleh pemikiran sarjana Muslim; dan (c) sarjana Barat
melakukan plagiasi atas karya sarjana Muslim.
Salah satu
tafsir fi Dhu’i al-Iqtishodiyah dan lebih umumnya adalah tafisr ayat-ayat hukum
adalah tafsir al-Qurthuby. Metode yang digunakan dalam tafsir ini ialah tahlily.
metodologi ekonomi Islam bersifat induktif dan deduktif dari
mengamati fenomena yang terjadi atau dari ajaran-ajaran Islam tentang bagaimana
pelaksanaannya dalam kehidupan, kemudian dari permasalahan-permasalahan
tersebut dilakukan observasi dan pengumpulan data kemudian data tersebut
dianalisa dengan teori-teori yang sudah mapan khususnya dengan menggunakan alat
analisa syariah yang berupa Tafsir, Usulfiqh, hadis dan lai-lain, selanjutnya
ditarik hipotesis atau asumsi sementara dari data yang diperoleh dan akhirnya
hipotesis atau asumsi, kegitan tersebut diuji untuk kemudian ditarik
sebuah konlusi, prediksi, deskripsi dan solusi. Selain itu penambahan aksioma
pokok dalam pengembangan ekonomi adalah pertama perpaduan antara
positifis dan normative dalam analisa yang selama ini ditolak oleh ekonomi
konvensional, kedua motifasi manusia dalam melakukan kegiatan akan
bermotifkan agama (transcendental motive) ketiga metode
penyelidikan dalam ekonomi bersifat deduktif dan induktif.
Pada dasasrnya informasi
dapat diperoleh dari fenomena kehidupan masa lalu, namun kebenaran informasi
ini sangat dibatasi oleh ruang dan waktu serta kemampuan pelaku dalam
menginterpretasikan fenomena tersebut. Islam mengajarkan bahwa Allahtelah
melengkapi kelemahan manusia dengan memberikan informasi dan petunjuk yang
dapat digunakan sepanjang masa. Informasi ini dituangkan dalam bentuk kitab
suci Al-Qur’an yang berisikan firman Allah serta sunnah Nabi saw. Informasi ini
meliputi makna, tujuan maupun proses bagaimana pelaku meningkatkan mashlahah
yang diterimanya. Kedua sumber ini dianggap valid dan tidak dibantahkan.
Pelaku ini hanya diperlukan untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikannya
dalam kegiatan ekonomi.
Moral Islam sebagai pilar ekonomi Islam dapat
dijabarkan lebih lanjut menjadi sebeuah aksioma atau yang kemudian dapat
berlaku sebagai suatu titik mula pembuat kesimpulan logis mengenai
kaidah-kaidah sosial dan perilaku ekonomi yang secara islami absah. Nilai-nilai
tersebut adalah Adl (adil), Khilafah (tanggung jawab), Takaful
(jaminan).
Moralitas dapat membawa pada perwujudan falah
hanya jika terdapat basis kebijakan yang mendukung, yaitu: (1) penghapusan
riba, (2) pelembagaan zakat, (3) pengahapusan yang haram, dan (4) gharar.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasby, Sejarah & Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,
P.T Pustaka Riski Putra, 1999, Semarang
Baidy, Yasin, Madzhab Jogja ke-2, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam.
Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, cet. 1, 2006, Yogyakarta
Pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi
Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta:
Rajagrafindo Persada
Shireen T. Hunter
(ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana University
Press, 1988, h. 182-183.dalam Quraish shihab “Sejarah perkembangan Tafsir”
from http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/index.html
[1] Teungku Muhammad Hasby ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu
al-Qur’an dan Tafsir,(Semarang: P.T Pustaka Riski Putra, 1999), cet ke-2,
hal. 170.
[2] Ibid, hal 240.
[3] Pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi
Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Ekonomi Islam. (Jakarta:
Rajagrafindo Persada. 2008), hal. 16-17.
[4] Ibid, hal. 238
[5]Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijogo, hal. 48
[7] Yasin Baidy, M.Ag, hal. 87
[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy. Op.cit., hal. 171.
[11]Shireen T. Hunter
(ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana University
Press, 1988, h. 182-183.dalam Quraish shihab Sejarah perkembangan Tafsir” from http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/index.html
[12]Pusat
pengkajian dan pengembangan ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, Ekonomi Islam. (Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2008), hal.90-91.
0 comments:
Post a Comment