اَهْلاًوَسَهْلاً

Thursday, 9 January 2014

Tafsir Ekonomi (Dhau’i al-Iqtishodiyyah)



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Ekonomi (Dhau’i al-Iqtishodiyyah)
Tafsir secara bahasa adalah menerangkan dan menyatakan, sedangkan secara istilah adalah sebagai berikut:
Menurut al-Kilby dalam at-Tashiel, tafsir adalah mensyarahkan al-Qur’an, menerangkan maknanyadan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnyaatau dengan isyaratnyaataupun dengan najuahnya. Sedangkan menurut az-Zarkasyi dalam al-Burhan, tafsir ialah menerangkan makna-makna al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.[1]
jika diperhatikan tafsir yang tersiar dikalangan masyarakat, penafsiran para ulama memiliki berbagai jurusan, diantaranya ialah golongan ulama yang menitik beratkan penafsirannya terhadap syarat-syarat tasyri’ dan menistinbatkan hukum-hukum fiqih serta mentarjihnya sebagai ijtihad atas sebagian yang lain.[2]Berarti secara kilas pandang, tafsir ekonomi merupakan tafsir tematik yang berkenaan dengan hukum-hukum fiqih dan lebih husus kepada ekonomi.
Ekonomi Islam sebenarnya telah muncul sejak islam itu dilahirkan. Ekonomi Islam lahir bukanlah suatu disiplin ilmu tersendiri melainkan integral dari agama Islam. Sebagai ajaran hidup yang lengkap, islam memberikan petunjuk terhadap aktivitas semua manusia, termasuk ekonomi. Sejak abad ke-8 telah muncul pemikiran-pemikiran ekonomi Islam secara parsial, misalnya peran negara dalam ekonomi, kaidah berdagang, mekanisme pasar, dan lain-lain, tetapi pemikiran secara komprehenshif terhadap ekonomi Islam sesungguhnya baru muncul pada pertengahan abad ke-20 dan semakin marak sejak dasawarsa terakhir.
Berbagai ahli ekonomi Muslim memberikan definisi ekonomi Islam yang bervariasi, tetapi pada dasarnya mengandung makna yang sama. Pada intinya ekonomi Islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya memandang, menganalisis dan akhirya meyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi Islami dengan cara-cara yang Islami. Yang dimaksud dengan cara-cara yang Islami. Yang dimaksud dengan cara-cara Islami di sinilah adalah cara-cara Isam (yaitu  Al-Qur’an dan Sunnah Nabi).[3]

B.     Tokoh-tokoh yang Berkecimpung di dalam Tafsir Ekonomi
Muhammad Hasbi as-Shiddieqy dalam karyanya mengatakan, golongan para ulama tafsir yang menitik beratkan penafsirannya terhadap syarat-syarat tasyri’ dan menistibatkan hukum-hukum fiqih serta mentarjihnya sebagai ijtihad atas sebagian yang lain. Diantara tafsir yang menitik beratkan kapada ayat-ayat tasyri’, misalnya:
Tafsir al-Qurthubi(al-Jami’li Ahkamil Qur’an), Abu Bakar Ibn ‘Araby (Ahkamil Qur’an), Abu Bakar al-Jashshash dan Siddiq Hasan Khan (Nailul Maram fi  Tafsiri Ayatil Ahkam).
Terdapat suatu keterangan bahwa, orang yang mula-mula mengelompokkan ayat-ayat hukum, ialah Muqatil, dan kemudian datang Mundzir bin Sa’ad (335 H).[4]
Ekonomi, berarti menyangkut tentang masalah kesejahteraan masyarakat (perekonomian). Di Indonesia terdapat organisasi pengelola zakat atau disebut juga dengan Rumah Zakat Indonesia Dompet Amal Ummul Qura (RZI-DSUQ).Saifuddin Zuhri, di dalam tulisannya mengangakat persoalan tentang sejauh mana konsep al-Qur’an tentang kesejahteraan masyarakat lewat ZIS, tentang apa yang menjadi ide dan pemikiran ulama dan umara dengan konsep al-Qur’an tentang kesejahteraan masyarakatlewat ZIS dan sejauh mana realisasi dalam pendayagunaan ZIS dengan kesejahteraan masyarakat.[5]
Abdurrahman Qadirmengangkat persoalan mengenai pandangan Yusuf al-Qardhawi di dalam karyanya, Pembaharuan Hukum Islam: Studi Pemikiran al-Qardhawi tentang Zakatdan metode yang dipakainya dalam menentukan hukun zakat. Qadir menyimpulkan, bahwa zakat profesi menurut Qardhawi adalah wajib. Hal ini berdasarkan nass al-Qur’an Q.S. Al-Baqarah: 267, at-Taubat: 109, Ali Imron: 180. Sedangkan metodenya adalah qiyas.
C.    Sejarah Perkembanagan Tafsir Ekonomi
Sejak zaman Nabi Saw, sahabat, tabi’in, tafsir-tafsir dipindahkan atau diriwayatkan dari mulut ke mulut dan belum dibukukan. Pada permulaaan abad hijriyah telah banyak pemeluk Islam dari bangsa selain arab dan pada masa itu pula bahasa arab dipengaruhi oleh bahasa ajam. Mungkin sebab itulah para ulama mulai memperhatikan untuk segera membukukan tafsir agar mudah dipahami maknanya oleh mereka tentang bahasa arab yang asli.
Pada masa kejayaan Abbasiyah barulah ulama-ulama mengumpulkan secara spesifik hadits-hadits tafsir yang diterima dari sahabat dan tabi’in. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut suatu ayat beserta nukilan ayat itu dari sahabat dan tabi’in. Tafsir pada masa tersebut belum mempunyai bentuk yang tertentu, atau berbentuk mushaf. Bisa dikatakan tafsir pada masa Nabi Saw sampai Abbasiyah tafsir berbentuk hadits atau mungkin tafsir merupakan bagian dari hadits, misalnya seorang rawi meriwayatkan hadits mengenai tafsir, terkadang juga mengenai fiqh, terkadang mengenai ghazwah, atau mengenai urusan masyarakat (sosiol). Barulah pada masa Abbasiyah timbul usaha para ulama untuk memisahkan dan mentertibkan babnya sesuai ojek yang sama, sebagaimana imam Malik bin Annas di dalam kitab Muwaththa’, ia mengumpulkan hadits-hadits mengenai hukum. Dalam usaha pengumpulan dan memisahkan para ulama mengumpulkan hadits-hadits marfu’ dan mauquf. Diantara tokoh-tokoh yang berusaha mengumpulkan hadits-hadita diberbagai daerah, anatara lain:
a.       Sufyan bin ‘Uyaynah
b.      Waki’ bin Ibnul Jarrah
c.       Syu’ban Ibnul Hajjaj
d.      Ishaq bin Rahawaih.
Menurut Ibnun Nadim, ulama yang menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan urutan mushaf ialah al-Farra’ atas permintaaan Umar bin  Bakir.
Diantara tafsir ayat-ayat hukum ialah:
1.      Ahkamul Qur’an, susunan Asy-Syafi’y yang dikumpulkan oleh al-Baihaqy
2.      Ahkamul Qur’an, susunan Daud ibn ‘Ali adh-Dhahiry
3.      Ahkamul Qur’an, susunan al-Jashshash
4.      Ahkamul Qur’an, susunan Ibnul ‘Araby
5.      Tafsir Ayatil Ahkam, susunan Ali as-Sayis
6.      Al-Jami’li AhkamilQur’an, susunan al-Qurthuby
7.      Nailul Maram fi Tafsiri Ayatil Ahkam, susunan Siddiq Hasan Khan.
Tafsir terus berkembang hingga abad kemunduran ilmu pengetahuan. Diantara tafsir mutaakhirin yang terkenal ialah tafsir Jalalain, yang dikarang oleh Jalalul Mahally dan Jalalul Syuyuthi. Tafsir tersebut mendapat perhatian sampai saat ini.Tafsir Sirajul Munir, karangan Ahmad Muhammad as-Syarbany, al-FawatihulIlahiyah, karangan an-Nakhjawany dan tafsir Ruhul Bayan, karangan Ismail Haqqy.
Pada masa sekarang, selain mengkaji kitab-kitab tafsir para ulama dan tokoh-tokoh pemikir pembaharu Islam juga mencoba mengaplikasikan tafsir-tafsir hukum Islam, setidaknya seperti zakat dan pajak. Meskipun sebenarnya hal itu sudah ada pada masa Khulafa ar-Rasyidin. Zakat dikenakan kepada penduduk yang beragama Islam, sedangkan pajak dikenakan kepada penduduk yang non-muslim.
Kewajiban zakat merupakan hablun minallah dan Hamlun minnas. Di  indonesia potensi zakat sangat besar, strategis, dan potensial. Akan tetapi potensi zakat masih belum dapat digali dan diberdayakan secara optimal. Hal ini dikarenakan, pertama, tingkat kesadaran masyarakat muslim terhadap penunaian zakat masih rendah. Kedua, kurangnya pengertian masyarakat tentang cara menghitung zakat yang seringkali terkait dengan tingkat kejujuran mereka dalam memperhitungkan zakat. Ketiga, informasi tentang ihwal zakat sampai kepada masyrakat masih terbatas. Keempat, kurang kepercayaan pada diri masyarakat terhadap pengelola zakat, karena dianggap kurang profesional. Mereka lebih cenderung langsung memberikan zakat kepada para mustahiq.[6]
Qadry al-Azizy dalam redaksinya mencoba mendobrak keterkungkungan pemikiran yang terjadi dalam hukum Islam, setidaknya ada langkah-langkah yang cukup radikal. Hukum Islam yang sudah “baku” harus dibongkar kembali, setidaknya menurutnya, hukum Islam mengikuti irama dinamika perkembangan zaman. Meneurutnya, terjadinya kebakuan, kegagapan diskursus pemiukiran hukum Islam, dikarenakan kekeliruan metodologis sehingga perlu upaya melahirkan metodologi baru. Dengan cara inilah kemungkinan dapat meminimalisir taqlidisme yang selama ini mewarnai kehidupan pemikiran Islam, demikian menurutnya.[7]
Ekonomi Islam pada dasarnya muncul pertama kali bersamaan dengan lahirnya ajaran Islam pada abad ke-7 karena ajaran Islam tidak hanya memberikan panduan ritual, namun juga dalam berkhehidupan masyarakat. Ekonomi Islam pada dasarnya bersumber dari ide dan praktek ekonomiyang dilakukan Nabi Muhammad saw. Dan para sahabatnya serta pengikut-pengikutnya sepanjang jalan. Diversifikasi praktek ekonomi yang dilakukan masayarakat Muslim setelah masa Muhammad saw. Bisa dianggap sebagai acuan sejarah ekonomi Islam selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Periode sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam dikategorikan menjadi periode pertama (masa awal Islam-450 H/1058 M), periode kedua  (450-850 H/1058-1446 M), periode ketiga (850-1350 H/1446-1932 M) dan periode kontemporer (1350 H-sekarang/1932 M-sekarang). Kronologi ini masih didasarakan pada kronogikal  (urutan waktu) semata, bukan berdasarkan kesamaan atau kesamaan ide pemikiran.
Great gap selam lebih dari 500-an tahun dalam sejarah pemikiran ekonomi pada dark age di Barat sebagaimana disinyalir oleh Schumpeter pada dasarnya bisa terungkap dengan memperhatikan kejadan di dunia Islam. Pada masa tersebut dunia Islam mencapai masa kegemilangan di mana banyak terdapat pemikiran ekonomi yang cemerlang.
Dimungkinkan terjadinya transfermasi pemikiran ekonomi dari Islam ke Barat pada abad pertengahan, sebagaimana juga terjadi pada ilmu pengetahuan secara umum. Banyaknya kesamaan kemiripan antara pemikiran sarjana Muslim dengan Barat, praktik ekonomi dan sejarah trensfermasi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat memunculkan beberapa dugaan, yaitu (a) terjadi kebetulan yang sama antara sarjana Muslim dan Barat; (b) Sarjana Barat dipengaruhi oleh pemikiran sarjana Muslim; dan (c) sarjana Barat melakukan plagiasi atas karya sarjana Muslim.[8]

D.    Sumber-sumber Tafsir Ekonomi
Pengambilan atau sumber-sumber tafsir di ambil dari riwayat dan dirayat, yakni ilmu lughat, nahwu, tashrif, ilmu balaghah, ilmu fiqh, ilmu asbab an-Nuzul, nasikh mansukh dan lain-lain. Sedangkan pokok pegangan dalam menafsirkan al-Qur’an ialah Hadits, atsar, Qaidah-qaidah bahasa arab dan uslub-uslubnya.[9]
Pada dasasrnya informasi dapat diperoleh dari fenomena kehidupan masa lalu, namun kebenaran informasi ini sangat dibatasi oleh ruang dan waktu serta kemampuan pelaku dalam menginterpretasikan fenomena tersebut. Islam mengajarkan bahwa Allahtelah melengkapi kelemahan manusia dengan memberikan informasi dan petunjuk yang dapat digunakan sepanjang masa. Informasi ini dituangkan dalam bentuk kitab suci Al-Qur’an yang berisikan firman Allah serta sunnah Nabi saw. Informasi ini meliputi makna, tujuan maupun proses bagaimana pelaku meningkatkan mashlahah yang diterimanya. Kedua sumber ini dianggap valid dan tidak dibantahkan. Pelaku ini hanya diperlukan untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikannya dalam kegiatan ekonomi.
Dalam pandangan Islam kebenaran dan kebaikan mutlak hanya berasal dari Allah, baik yang terbentuk ayat qauliyah ataupun kauniyah. Sebagian dari ayat qauliyah dapat secara langsung dipahami sebagai kebenaran, namun sebagian ayat lainnya masih memerlukan penafsiran untuk memahaminya. Di sisi lain, kebenaran dapat bersumber dari fenomena alam semesta atau ayat kauniyah. Ayat kauniyah ini berfungsi sebagai pendukung dan penguat kebenaran yang disampaikan melalui ayat-ayat qauliyah. Dalam al-Qur’an Allah memerintahkan manusia intuk membaca kejadian di alam semesta untuk menemukan kebenaran dengan petunjuk kebenaran Al-Qur’an. Oleh karena itu, kebenaran ayat kauniyah  masih dipengaruhi penafsiran manusia terhadap fenomena sosial dan alam karena kebenaran empiris tidaklah bersifat mutlak.[10]
E.     Metode yang Digunakan Dalam Tafsir Ekonomi
Salah satu tafsir fi Dhu’i al-Iqtishodiyah dan lebih umumnya adalah tafisr ayat-ayat hukum adalah tafsir al-Qurthuby. Metode yang digunakan dalam tafsir ini ialahtahlily.metodologi ekonomi Islam bersifat induktif dan deduktif dari mengamati fenomena yang terjadi atau dari ajaran-ajaran Islam tentang bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan, kemudian dari permasalahan-permasalahan tersebut dilakukan observasi dan pengumpulan data kemudian data tersebut dianalisa dengan teori-teori yang sudah mapan khususnya dengan menggunakan alat analisa syariah yang berupa Tafsir, Usulfiqh, hadis dan lai-lain, selanjutnya ditarik hipotesis atau asumsi sementara dari data yang diperoleh dan akhirnya hipotesis atau asumsi, kegitan  tersebut diuji untuk kemudian ditarik sebuah konlusi, prediksi, deskripsi dan solusi[11]. Selain itu penambahan aksioma pokok dalam pengembangan ekonomi adalah pertama perpaduan antara positifis dan normative dalam analisa yang selama ini ditolak oleh ekonomi konvensional, kedua motifasi manusia  dalam melakukan kegiatan akan bermotifkan agama (transcendental motive) ketiga metode penyelidikan dalam ekonomi bersifat deduktif dan induktif

F.     Karekteristik Tafsir Ekonomi
Tujuan ekonomi Islam adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah thayyibah). Dalam konteks ekonomi, tujuan falah dijabarkan ke beberapa tujuan antara, yaitu: (1) mewujudkan kemaslahatan umat; (2) mewujudkan keadilan dan pemerataan pendapatan; (3) membangun peradaban yang luhur dan (4) menciptakan kehidupan yang seimbang dan harmonis.
Pilar ekonomi Islam adalah molral. Hanya dengan moral Islam inilah bangunan ekonomi Islam dapa tegak dan hanya dengan ekonomi Islamlah falah dapat tercapai. Morlitas Islam terdiri atas postulat keimanan dan postulat ibadah. Esensi dari moral Islam adalah tauhid. Implikasi dari tauhid, yaitu bahwa ekonomi Islam memiliki sifat transedental (bukan sekular), dimana peranan Allah dalam seluruh aspek ekonomi menjadi mutlak.
Moral Islam sebagai pilar ekonomi Islam dapat dijabarkan lebih lanjut menjadi sebeuah aksioma atau yang kemudian dapat berlaku sebagai suatu titik mula pembuat kesimpulan logis mengenai kaidah-kaidah sosial dan perilaku ekonomi yang secara islami absah. Nilai-nilai tersebut adalah Adl (adil), Khilafah (tanggung jawab), Takaful (jaminan).
Moralitas dapat membawa pada perwujudan falah hanya jika terdapat basis kebijakan yang mendukung, yaitu: (1) penghapusan riba, (2) pelembagaan zakat, (3) pengahapusan yang haram, dan (4) gharar.
Sistem ekonomi Islam adalah perekonomian dengan tiga sektor, yaitu sektor pasar, masyarakat, dan negara. Tiap sektor memiliki hak dan kewajiban tertentu dalam menggerakan kegiatan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan umat.Islm menolak konsep pasar dalam bentuk persaingan bebas tanpa batas sehingga mengabaikan norma dan etika. Dalam pasar yang Islami, para pelaku pasar didorong oleh semangat persaingan untuk meraih kebaikan (fastabikul khairat) sekaligus kerja sama dan tolong menolong dalam bingkai nilai dan moralitas Islam. Aktvitas pasar juga harus mencerrminkan persaingan yang sehat, kejujuran, keterbukaan, dan keadilan sehingga harga yang tercipta adalah harga yang adil.
Eksistensi peran pemerintah bukan semata karena adanya kegagalan pasar dan ketidaksempurnaan pasar, tetapi merupakan derivasi dari kekhalifahan dan konsekunsi adanya kewajiban-kewajiban kolektif untuk merealisasikan falah. Secara umum, peranan pemerintah ini akan berkait dengan (1) upaya mewujudkan konsep pasar yang Islami serta (2) upaya mwujudkan tujuan ekonomi Islam secara keseluruhan.
Kewajiban merealisasikan falah pada dasarnya merupakan tugas seluruh economic pelaku ekonomis, termasuk masyarakat. Terdapat banyak aktivitas ekonomi yang tidak dapat diselanggarakan dengan baik oleh oleh mekanisme pasar maupun oleh peran pemerintah sehingga masyarakat harus berperan langsung. Pasar pemeritah, dan masyarakat harus bergerak untuk mencapai kesejahteraan umat.[12]












BAB III
KESIMPULAN
Berbagai ahli ekonomi Muslim memberikan definisi ekonomi Islam yang bervariasi, tetapi pada dasarnya mengandung makna yang sama. Pada intinya ekonomi Islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya memandang, menganalisis dan akhirya meyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi Islami dengan cara-cara yang Islami. Yang dimaksud dengan cara-cara yang Islami. Yang dimaksud dengan cara-cara Islami di sinilah adalah cara-cara Isam (yaitu  Al-Qur’an dan Sunnah Nabi).
Ekonomi Islam pada dasarnya muncul pertama kali bersamaan dengan lahirnya ajaran Islam pada abad ke-7 karena ajaran Islam tidak hanya memberikan panduan ritual, namun juga dalam berkhehidupan masyarakat. Ekonomi Islam pada dasarnya bersumber dari ide dan praktek ekonomiyang dilakukan Nabi Muhammad saw. Dan para sahabatnya serta pengikut-pengikutnya sepanjang jalan. Diversifikasi praktek ekonomi yang dilakukan masayarakat Muslim setelah masa Muhammad saw. Bisa dianggap sebagai acuan sejarah ekonomi Islam selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Periode sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam dikategorikan menjadi periode pertama (masa awal Islam-450 H/1058 M), periode kedua  (450-850 H/1058-1446 M), periode ketiga (850-1350 H/1446-1932 M) dan periode kontemporer (1350 H-sekarang/1932 M-sekarang). Kronologi ini masih didasarakan pada kronogikal  (urutan waktu) semata, bukan berdasarkan kesamaan atau kesamaan ide pemikiran.
Great gap selam lebih dari 500-an tahun dalam sejarah pemikiran ekonomi pada dark age di Barat sebagaimana disinyalir oleh Schumpeter pada dasarnya bisa terungkap dengan memperhatikan kejadan di dunia Islam. Pada masa tersebut dunia Islam mencapai masa kegemilangan di mana banyak terdapat pemikiran ekonomi yang cemerlang.
Dimungkinkan terjadinya transfermasi pemikiran ekonomi dari Islam ke Barat pada abad pertengahan, sebagaimana juga terjadi pada ilmu pengetahuan secara umum. Banyaknya kesamaan kemiripan antara pemikiran sarjana Muslim dengan Barat, praktik ekonomi dan sejarah trensfermasi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat memunculkan beberapa dugaan, yaitu (a) terjadi kebetulan yang sama antara sarjana Muslim dan Barat; (b) Sarjana Barat dipengaruhi oleh pemikiran sarjana Muslim; dan (c) sarjana Barat melakukan plagiasi atas karya sarjana Muslim.
Salah satu tafsir fi Dhu’i al-Iqtishodiyah dan lebih umumnya adalah tafisr ayat-ayat hukum adalah tafsir al-Qurthuby. Metode yang digunakan dalam tafsir ini ialah tahlily. metodologi ekonomi Islam bersifat induktif dan deduktif dari mengamati fenomena yang terjadi atau dari ajaran-ajaran Islam tentang bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan, kemudian dari permasalahan-permasalahan tersebut dilakukan observasi dan pengumpulan data kemudian data tersebut dianalisa dengan teori-teori yang sudah mapan khususnya dengan menggunakan alat analisa syariah yang berupa Tafsir, Usulfiqh, hadis dan lai-lain, selanjutnya ditarik hipotesis atau asumsi sementara dari data yang diperoleh dan akhirnya hipotesis atau asumsi, kegitan  tersebut diuji untuk kemudian ditarik sebuah konlusi, prediksi, deskripsi dan solusi. Selain itu penambahan aksioma pokok dalam pengembangan ekonomi adalah pertama perpaduan antara positifis dan normative dalam analisa yang selama ini ditolak oleh ekonomi konvensional, kedua motifasi manusia  dalam melakukan kegiatan akan bermotifkan agama (transcendental motive) ketiga metode penyelidikan dalam ekonomi bersifat deduktif dan induktif.
Pada dasasrnya informasi dapat diperoleh dari fenomena kehidupan masa lalu, namun kebenaran informasi ini sangat dibatasi oleh ruang dan waktu serta kemampuan pelaku dalam menginterpretasikan fenomena tersebut. Islam mengajarkan bahwa Allahtelah melengkapi kelemahan manusia dengan memberikan informasi dan petunjuk yang dapat digunakan sepanjang masa. Informasi ini dituangkan dalam bentuk kitab suci Al-Qur’an yang berisikan firman Allah serta sunnah Nabi saw. Informasi ini meliputi makna, tujuan maupun proses bagaimana pelaku meningkatkan mashlahah yang diterimanya. Kedua sumber ini dianggap valid dan tidak dibantahkan. Pelaku ini hanya diperlukan untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikannya dalam kegiatan ekonomi.
Moral Islam sebagai pilar ekonomi Islam dapat dijabarkan lebih lanjut menjadi sebeuah aksioma atau yang kemudian dapat berlaku sebagai suatu titik mula pembuat kesimpulan logis mengenai kaidah-kaidah sosial dan perilaku ekonomi yang secara islami absah. Nilai-nilai tersebut adalah Adl (adil), Khilafah (tanggung jawab), Takaful (jaminan).
Moralitas dapat membawa pada perwujudan falah hanya jika terdapat basis kebijakan yang mendukung, yaitu: (1) penghapusan riba, (2) pelembagaan zakat, (3) pengahapusan yang haram, dan (4) gharar.




BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran


DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby, Sejarah & Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, P.T Pustaka Riski Putra, 1999, Semarang
Baidy, Yasin, Madzhab Jogja ke-2, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam. Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, cet. 1, 2006, Yogyakarta
Pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada
Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana University Press, 1988, h. 182-183.dalam Quraish shihab “Sejarah perkembangan Tafsir” from http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/index.html



[1] Teungku Muhammad Hasby ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,(Semarang: P.T Pustaka Riski Putra, 1999), cet ke-2, hal. 170.
[2] Ibid, hal 240.
[3] Pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Ekonomi Islam. (Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2008), hal. 16-17.

[4] Ibid, hal. 238
[5]Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijogo, hal. 48
[6]Ibid, hal.44
[7] Yasin Baidy, M.Ag, hal. 87
[8]Ibid., hal.123-124.
[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy. Op.cit., hal. 171.
[10]Ibid., hal.9.
[11]Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana University Press, 1988, h. 182-183.dalam Quraish shihab Sejarah perkembangan Tafsir” from http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/index.html

[12]Pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Ekonomi Islam. (Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2008), hal.90-91.

0 comments: