اَÙ‡ْلاًÙˆَسَÙ‡ْلاً

Sunday, 5 January 2014

Hermeneutika Paul Ricoeur



BAB II
PEMBAHASAN
Hermeneutika Paul Ricoeur

A.    Riwayat hidup dan karyanya
Paul Ricoeur dilahirkan di Valebce, Prancis selatan tahun 1913. Ia ditinggal meninggal oleh kedua orang tuanya di usia dua tahun. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang taat dan dianggap sebagai salah seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prencis. Ia dibesarkan di Rennes. Ia pertama kali berkenalan dengan filsafat melalui R Dalbiez di Lycee. R Dalbiez adalah seorang filsuf  berhaluan Thomistis yang terkenal karena dia merupakan salah seorang kristen pertama yang mengadakan suatu study besar tentang Psikoanalsa Freud (1936).
Paul Ricoeur memperoleh licence de philosophie pada tahun 1933, lalu mendaftar pada universitas Sorbonne di Paris untuk mempersiapkan diri untuk agregation de philosophie yang diperoleh tahun 1935. Di Paris ia antara lain berkenalan dengan Gabriel Marcel yang akan mempengaruhi pemikirannya secara mendalam. Setelah mengajar setahun di Colmar, ia di panggil untuk memenuhi wajib militer pada tahun 1937-1939. Pada waktu mobilisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang sampai akhir perang pada tahun 1945. Dalam tahanan di Jerman itu ia mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan Jaspers. Bersama dengan sahabatnya, ia menulis buku Karl Jaspers et la philoshopie de l’existence (1947). Pada tahun yang sama diterbitkan pula bukunya Gabriel Marcel et Karl Jaspers. Dari dua karya tersebut Ricoeur dianggap sebagai seorang ahli terkemuka di bidang fenomenologi. Pada waktu itu Ricoeur mempunyai kebiasaan setiap tahun membaca karya-karya lengkap salah seorang filsuf besar seperti Plato, Aristoteles, Kant, Hegel dan Nietche. Dari situlah ia tidak pernah terjebak dalam suatu mode filosofis yang sempit.[1]
B.     Latar belakang pemikiran tentang hermeneutik
Paul Ricoeur adalah filsuf yang menekankan pandangan Katolik. dalam karya-karyanya tampaknya ia memiliki persfektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial kemudian ke analisis eidetik (pegamatan yang semakin mendetail) fenomenalogis, historis, hermeneuttik, hingga pada akhirnya semantik. Namun ada dugaan bahwa keseluruhan filsafat Ricour akhirnya mengarah kepada hermeneutik, terutama pada interpretasi. Ia sendiri mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap interpretasi. Dengan mengutip  Nietzsche, ia mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi.[2] Bilamana ada pluralitas makna, maka interpretasi di situ dibutuhkan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi penting, sebab di sini terdapat terdapat makna yang mempunya multi lapisan. Dia juga menegaskan bahwa “filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutik, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna.[3] Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna yang masih yang terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan makna yang terkandung dalam makna kesustraan.
Kata-kata adalah simbol-simbol juga, karena menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu penting serta figuratif (kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simol tersebut. Jadi simbol-simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang mempnyai pluralitas makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau kata-kata.
Tampaknya, yang hendak dikatakan oleh Ricoeur adalah bahwa terdapat kebutuhan dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep-konsep melalui kata-kata. Kebutuhan laten tersebut adalah kebutuhan akan hermeneutik. Namun  Ricoeur kiranya berpikir lebih jauh lagi. Setiap kata adalah sebuah simbol. oleh karenanya, maka kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi.  tidaklah mengherankan kalau Ricour menyatakan  bahwa hermeneutik bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut.[4]
Jika kemudian Ricour memberikan kesan bahwa berbicara dengan menggunakan suatu bahasa adalah masalah jaket dan belati yang tersembunyi di baliknya, maka hal ini tidak perlu dibesar-besarkan. Adanya simbol, mengundang kita untuk berpikir sehingga simbol itu sendiri menjadi kaya akan makna dan kembali kepada maknya yang asli. Hermeneutik membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaan makna  dari simbol-simbol.[5]
C.    Hermeneutik dalam persfektif Paul Ricoeur
Sebagai salah seorang tokoh filsafat yang memusatkan perhatiannya pada hermeneutika, Paul Ricoeur berpandangan bahwa hermeneutika merupakan suatu teori mengenai aturan-aturan penafsiran terhadap suatu teks atau sekumpulan tanda maupun simbol yang dipandangnya atau dikelompokkan sebagai teks juga. Ricoeur menganggap bahwa tidak ada pengetahuan langsung tentang diri sendiri, oleh sebab itu pengetahuan tentang diri sesungguhnya hanya diperoleh melalui kegiatan penafsiran. Melalui kegiatan ini, setiap hal yang melekat pada diri (yang bisa dianggap sebagai teks) harus dicari makna yang sesungguhnya/objektif agar dapat diperoleh suatu kebenaran (pengetahuan) yang hakiki tentang diri tersebut.
Hermeneutika bertujuan untuk menggali makna yang terdapat pada teks dan simbol dengan cara menggali tanpa henti makna-makna yang tersembunyi ataupun yang belum diketahui dalam suatu teks. Penggalian tanpa henti harus dilakukan mengingat interpretasi dalam teks bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat mutlak dan tunggal, melainkan temporer dan multi interpretasi. Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dan tunggal dalam masalah interpretasi atas teks karena interpretasi harus selalu kontekstual dan tidak selalu harus tunggal. Dalam pengertian kontekstual, seorang interpreter dituntut untuk menerapkan her-meneutika yang kritis agar selalu kontekstual. Dalam konteks ini, barangkali inter-preter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis. Sementara itu, dalam pengertian bahwa makna hasil dari interpretasi tidak selalu tunggal mengandung pengertian bahwa suatu teks akan memiliki makna yang berbeda ketika dihubungkan dengan konteks yang lainnya, sehingga akan membuat pengkayaan interpretasi dan makna.
Hermeneutika tidak dimaksudkan untuk mencari kesamaan antara maksud pembuat pesan dan penafsir. Melainkan menginterpretasi makna dan pesan se-objektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks yang dikaitan dengan konteks. Seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Suatu interpretasi harus selalu berpijak pada teks. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir.
Objektivitas interpretasi dapat dicapai melalui empat kategori metodologis yang meliputi objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan, distansiasi melalui dunia teks, dan apropriasi. Dua yang pertama sangat penting sebagai prasyarat agar teks bisa “mengatakan” sesuatu. Objektivasi melalui struktur adalah suatu upaya yang menunjukkan relasi-relasi intern dalam struktur atau teks, hermeneutika berkaitan erat dengan analisis struktural. Analisis struktural adalah sarana logis untuk menafsirkan teks.
Namun begitu, analisis hermeneutik kemudian melampaui kajian struktural, karena hermeneutika melibatkan berbagai disiplin yang relevan sehingga memungkinkan tafsir menjadi lebih luas dan dalam. Bagaimanapun juga berbagai elemen struktur yang bersifat simbolik tidak bisa dibongkar dengan hanya melihat relasi antar elemen. Oleh sebab itu, penafsiran dalam perspektif hermeneutika juga mencakup semua ilmu yang dimungkinkan ikut membentuknya seperti sejarah psikologi, sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Apabila teks (objek) dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya (struktural), maka bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan. Fenomena tersebut dalam hermeneutika disebut dengan distansi.
Posisi Ricoeur dalam hermeneutika dapat dikategorikan sebagai salah seorang tokoh hermeneutika fenomenologi, seperti halnya Heidegger dan Gadamer. Hermeneutika fenomenologi merupakan suatu teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologi. Hermeneutika fenomenologi mempertanyakan hubungan subjek-objek, dari pertanyaan tersebut dapat diamati bahwa ide dari objektivitas merupakan sebuah hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Ricoeur menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan teks yang diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks. Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan refleksi diri dari inter-preter. Oleh karena itu, setiap teks selalu terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Meskipun demikian, proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan sesuatu hal yang bersifat rekreatif dan produktif. Oleh karena itu, peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna, maka subjek sebagai interpreter harus dapat menampilkan keaktualitasan/kekinian kehidupannya sendiri berdasar-kan pesan yang dimunculkan oleh objek yang ditafsirkannya.
Kedudukan subjek yang sangat menentukan dalam pemberi makna (interpreter) menurut Ricoeur nampak juga dalam bidang ilmu budaya. Apa yang dikatakan Ricoeur ternyata nampak pula pada materi kuliah Prof. Bachtiar Alam Phd yang memberikan kuliah perdana Teori Kebudayaan pada program S3 FIB UI, pada kesempatan tersebut Prof. Bachtiar Alam Phd menerangkan mengenai berbagai pengertian kebudayaan, salah satunya adalah mengenai kebudayaan sebagai sesuatu yang diperoleh manusia melalui proses belajar. Proses tersebut seringkali diartikan sebagai “nilai-nilai budaya” yang digunakan manusia untuk menafsirkan pengalaman dan mengarahkan tindakan.
Pengertian kebudayaan yang dimaksud mengacu pada pendekatan simbolik atau interpretatif yang dipelopori oleh Clifford Geertz. Pada tahun 1970-an pendekatan tersebut kemudian dikembangkan oleh para antropolog di Amerika Serikat. Pendekatan interpretatif melihat kebudayaan sebagai sistem konsepsi yang digunakan manusia untuk menafsirkan hidup dan menentukan sikap terhadapnya.
Namun sejak pertengahan dekade 1980-an, pendekatan interpretatif banyak dikritik oleh para antropolog lainnya, atau dalam istilah Ricoeur mengalami interpretasi kembali. Salah satu pengkritik teori interpretatif adalah Talal Asad, seorang antropolog Inggris yang menyatakan bahwa konsep kebudayaan interpre-tatif menggambarkan hubungan antara simbol-simbol budaya dan kehidupan sosial sebagai suatu “hubungan satu arah”. Simbol-simbol budaya menginformasikan, mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Dalam konsep tersebut, sama se-kali tidak ditunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman manusia sehari-hari, simbol-simbol budaya dilihat sebagai sesuatu yang sesuai generis (terbentuk dengan sendirinya atau the given).
Salah satu teori yang dinilai dapat mengisi kelemahan seperti itu adalah teori “praktek” (practice) yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, seorang antropolog. Teori praktek, muncul pada tahun 1980-an, menekankan “keterlibatan si subyek” dalam proses konstruksi budaya. Seperti diungkapkan oleh Asad, pendekatan interpretatif memiliki kelemahan karena tidak dijelaskannya posisi manusia sebagai “subyek” yang dapat ikut membentuk nilai-nilai budaya. Hal tersebut kemudian dijelaskan oleh Bourdieu yang mengatakan bahwa di antara manusia dan kebudayaannya terdapat suatu proses interaksi terus-menerus. Manusia mencoba mengolah dan mengkonstruksi simbol-simbol budaya demi “kepentingan”-nya dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik tertentu. Usaha-usaha manusia untuk mengkonstruksi simbol atau nilai budaya tersebut oleh Bourdieu praktek.
Hampir sama dengan interpretasi teks menurut Ricoeur, simbol-simbol maupun nilai-nilai yang terkandung dalam suatu kebudayaan menurut teori praktek selalu bersifat cair, dinamis, dan sementara, karena keberadaannya tergantung pada praktek para pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu, yang sudah barang tentu mempunyai kepentingan tertentu.
Implikasi lain dari pendekatan praktek seperti ini ialah, bahwa suatu kebudayaan hanya dapat terwujud dalam kaitannya dengan “subyek,” yaitu melalui prakteknya. Salah satu praktek yang sangat unik, karena secara langsung meng-konstruksi kebudayaan, adalah “wacana” (discourse). Wacana dalam pengertian Bourdieu adalah bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan kepentingan si penutur, berbeda dari “teks” yang merupakan penuturan verbal yang harus dilepas-kan dari posisi si penutur seperti dalam pengertian Ricoeur.
Eksplorasi atau interpretasi tiada henti dalam hermeneutika dan kebudayaan nampak pula dalam ilmu pengetahuan. Siklus ilmu pengetahuan yang digambarkan oleh Walter Wallace memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan juga bersifat temporal dalam hal kebenarannya. Selalu ada penyempurnaan bahkan penggalian teori baru dalam ilmu pengetahuan. Selalu ada dialektika dalam ilmu pengetahuan. Dalam hal ini penggalian teori-teori baru dihasilkan oleh manusia sebagai subjek ilmu pengetahuan.
Dengan demikian manusia sebagai subjek berada dalam sistem budaya dan manusia pula yang membentuk budaya tersebut melalui eksplorasi interpretasi yang tidak pernah selesai. Selalu ada interpretasi dan teori-teori baru dalam ilmu pengetahuan, terlepas dari penemuan teori-teori baru itu berjalan cepat atau lambat, formal atau informal, ditemukan oleh sekelompok komunitas ilmuwan atau individual, bahkan kadang-kadang dalam kenyataan sebenarnya atau hanya dalam imajinasi seorang ilmuwan saja.[6]
Menurut Ricour, ada tiga langkah pemahaman, yaitu berlangsung dari pemghayatan atas simbol-simbol. Langkah pertama ialah langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta “penggalian” yang cermat atas makna. Yang ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis yang berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.[7]




















BAB III
KESIMPULAN
Setiap hermeneut membuat perbedaan dan penekanan yang tegas atas pemahaman, penjelasan dan interpretasi. Namun setiap hermeneut juga berbicara tentang sirkularitas ketiga hal tersebut sedemikian rupa sehingga seakan-akan ketiga saling menyusupi satu sama lain. Tentang sirkularitas tersebut, Ricoeur mengatakan: “engkau harus memahami untuk percaya dn percaya untuk memahami.” Namun ia juga menyatakan bahwa lingkaran tersebut hanya semu saja, sebab tidak ada satupun hermeneut yang pada kenyataannya mau mendekatkan diri apa yang dikatakan oleh teks jika ia tidak menghayati sendiri suasana  makna yang ia cari. Hermeneut harus menggumuli interpretasinya sendiri, ia harus mulai dengan pengertian yang seakan-akan ‘masih mentah’ sebab jika tidak dmikian ia tidak akan mulai melakukan intepretasi.
Menurut Ricour, ada tiga langkah pemahaman, yaitu berlangsung dari pemghayatan atas simbol-simbol. Langkah pertama ialah langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta “penggalian” yang cermat atas makna. Yang ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis yang berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa yaitu: semntik, reflektif serta eksistensial ayau ontologism. Lngkah semantic adalah pemahaman pada tingkat ilmu bahasa yang murni, pemahaman reflektif adalah pemahaman yang lebih tinggi yaitu yang mendekati tingkat ontology, sedang langkah pemahaman eksistensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau keberadan itu sendiri. Atas dasar langkah-langkah ini, Ricoeur bahwa pemahaman itu pada dasarnya adalah “cara berada” atau “cara menjadi” pernyataan ini tampaknya sulit dimengerti. Pemahaman dapat terjadi pada tingkat pengetahuan yaitu pada teori tentang pengetahuan. Kita tidak dapat dengan sewenang-wenang mengetengahkan pengertian tentang pemahaman pada tingkat ontologis, sebab cara pemahaman kita selalu mendapatkan “bantuan” dari sketsa-sketsa, contoh-contoh, peninggalan-peninggalan purbakala, salinan atau photocopy dan lain sebagainya. Bahkan Ricoeur menyatakan bahwa hubungan hidup dan pengalaman-pengalaman boleh dikatakan merupakan akar dari hubungan dua arah antara manusia dengan alam dan sejarah.[8]

BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran




DAFTAR PUSTAKA
K Bertens. 2001.  Filsafat Barat Kontemporer Francis. Jakarta: Gramedia Pustaka Islam.
D. Sumaryono. 1999 Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.














[1] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Islam, 2001), jiloid II, hal. 254
[2] Riceour, 1947: 12
[3] Ibid., 22
[4]  Montefiore 198: 192
[5] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), Hal. 105.
[7] E. Sumaryono. Loc.it, hal 111
[8] Ibid., hal. 110-111

0 comments: