اَهْلاًوَسَهْلاً

Sunday 5 January 2014

Kitab Al-Kasyaf Karya Az-Zamaksyari



BAB II
PEMBAHASAN
Kitab Al-Kasyaf Karya Az-Zamaksyari
A.    Riwayat hidup imam Zamaksyari
Ia adalah Abul Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi Az-Zamaksyari. Dilahirkan 27 Rajab 467 H di Zamaksyar, sebuah perkampungan besar dikawasan Khaharizm (Turkistan). Ia mulai belajar di negeri sendiri , kemudin melanjutkan ke Bukhara, dan belajar sastra kepada Syekh Mansur Abi Mudar. Kemudian pergi ke Mekah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jarullah (tetagga Allah), dan di sana pula ia menulis tafsirnya, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawadimit Tanzilwa Uyunil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil.[1] Beliau pernah pergi ke Baghdad, Khurasan dan Quds. Beliau menghabiskan waktu dalam mengarang dalam kitab al-Kasyaf masanya sama seperti lama khalifah Abu Bakar, atau dengan kata lain selama dua tahun beberapa bulan. Imam Zamaksyari berkata: “Allah telah memberiku taufiq dalam mengarang buku tersebut, yang lamanya seperti lama Abu Bakar. Padahal menyempurnakan buku seperti itu tidak kurang dari tiga puluh tahun. Tetapi Allah swt. memberikan keberkahan, hal ini karena tidak lain karena agungnya Baitullah Al-haram ini.
Buku ini dikarang pada akhir hayatnya, setelah beliau melakukan  percobaan dalam tafsir, yang mana penelitian ini menghasil natijah yang sukses. Yaitu dengan mencoba mengimlakan tafsir ini kepada orang lain. Ketika Zamaksyari pindah ke kota Mekah beliau langsung mengajarkan tafsir al-Kasyaf  yang di miliki tanpa harus melakukan percobaan lagi.[2]
Ia meninggal dunia pada 538 H  di Jurjaniah Khawarizm setelah kembali dari Mekah sebagian mereka meratapinya dengan melantunkan beberapa bait syair, antara lain:
“Bumi Mekah pun menumpahkan air mata dari kelopaknya karena sedih ditinggal Mahmud Jarullah.”[3]

B.     Keilmuan dan karyanya
Zamaksyari adalah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ani, dan bayan. Bagi orang-orang yang membaca kitab ilmu nahwu dan balaghah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip Zamaksyari sebagai hujjah. Misalnya mereka mengatakan:  Zamaksyari telah mengatakan dalam kitab al-kasyaf atau dalam Asâsul balaghah….” Ia adalah orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti langkah orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi ia mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya ditiru dan diikuti oleh orang lain. Ia mempunyai banyak karya dalam bidang hadis, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain-lain. Diantaranya: Al-kasyaf tentang tafsir quran, Al-faiq tentang tafsir hadis, Al-minhaj tentang usul, Al-Mufassal tentang nahwu, Asasul balaghah tentang bahaa, Rausul Masailil Fiqhiyah tentang fiqh.[4]
Lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:

1.      Bidang Bahasa dan Sastra: amîn al-’Arabiyyah, Asâs al-Balâghah, Jawâhîr al-Lughah, al-Ajnâs, Muqadimah al-Adâb fî al-Lughah, al-Asmâ fî al-Lughah, al-Qistâs fî al-’Arûd, Sawâ’ir al-Amsâl, al-Mustaqshî fî al-Amsâl, A`jab al-`Ajab fî Syarh Lâmiyyah al-’Arab, Dîwân al-Adâb, Rabî al-Abrâr fî al-Adâb wa al-Muhâd}arât, Tasliyah al-D}arî, Dîwân Khut}ab, Dîwân al-Rasâ’il, Dîwân Syi’r;
2.      Bidang Nahwu: Nukat al-‘A`râb fî Gharîb al-I’râb fî Gharîb al-Qur’ân, al-Namûdzaj fî ‘Ilm al-’Arabiyyah, al-Mufassal, al-Mufrad wa al-Mu’allaf fî al-Masâ’il al-Nahwiyyah, al-‘Amâli, Hâsyiah `alâ al-Mufassal, Syarh al-Mufassal, Syarh Kitâb Sîbawaih, al-Nahajjât wa Mutmim Mahâm Arbâb al-Hâjât fî al-Ahâji wa al-Alghâz, al-Mufrad wa al-Murakkab;
3.      Bidang Hadits: al-Fâ’iq fî Gharîb al-Hadîts; 
4.      Bidang Fiqh dan Usul: al-Râ`d fî al-Farâ’id dan al-Minhâj; 
5.      Lain-lain: Syaqâ’iq al-Nu`mân fî Haqâ’iq al-Nu`mân (manâkib Imâm Hanafî), Nawâbigh al-Kalim, Atwâq al-Zahab, Nashâ’ih al-Kubbâr, Nashâ’ih al-Sihâr, Maqâmât, al-Risâlah al-Nâshihah (tentang nasihat dan pepatah).
Kepakarannya dalam Bahasa, sastra, dan gramatika (di samping ilmu lain), membuat menjadi rujukan rekan-rekan semazhabnya (afâdil al-nâjiyah al-`adiyyah), terutama dalam penerapannya terhadap penafsiran al-Qur’an. Mereka sering dibuat kagum dengan pelajaran al-Zamakhsyârî sehingga sepakat mengusulkan agar ia mendiktekan al-Kasysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl.
Akan tetapi, hal ini hanya berlangsung hingga penafsiran surat al-Baqarah, karena saat itu ia berkeinginan untuk mengunjungi Baitullah. Di perjalanan ia mendapatkan banyak orang yang sangat menginginkan tafsiran-tafsirannya. Sehingga ia berketetapan untuk menyelesaikan tafsirnya di Baitullah.[5]
C.     Kitab al-Kasyaf lil Zamaksyari (Al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh al Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwîl fi Wujûh al-Ta’wîl)
1.      Mazhab Fiqih dan akidahnya
Zamaksyari bermazhab Hanafi dn berakidah paham mu’tazilah. Ia menakwiklan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan mazhab dengan  akidahnya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli, dan menamakan kaum mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil.[6] Menurut pendapat Al-Mas’udi bahwa ke mu’tazilahan itu mula-mula muncul merupakan sifat dari orang Yang berbuat dosa besar  (jauh dari golongan mukmin dan kafir) yang kemudian sifat dan nama itu diberikan kepada golongan yang berpendapat demikian. Sedangkan menurut Ahmad Amin, sebutan mu’tazilah muncul disekitar pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Golongan yang tidak ikut bertikai mengatakan bahwa orang-orang yang bertikai telah menyeleweng dan harus dijauhi (I’tazalna).[7]
Kitab al-Kasyaf karya Zamaksyari adalah sebuah kitab tafsir paling mashur di antara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufasir bir-rayi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-Alusi, Abus Su’ud, An-Nasafi dan para mufasir lain banyak menukil dari kitab tersebut. Tetapi tanpa menyebutkan sumbernya. Paham kemutazilahan dalam tafsirnya itu telah diungkapkan dan diteliti oleh ‘Allamah Ahmad An-Nayyir yang dituangkan dalam bukunya al-Intisâf. Dalam kitab ini an-Nayyir menyerang Zamaksyari dengan mendiskusikan masalah akidah mazhab mu’tazilah yang dikemukakannya dan mengemukakan pandangan yang berlawanan dengannya sebagaimana ia pun mendiskusikan masalah-masalah kebahasaan. Al-Maktabah at-Tijariyah Mesir telah menerbitkan al-Kasyaf cetakan terakhir yang diterbitkan oleh Mustafa Husain Ahmad, dan diberi lampiran empat buah kitab al-intisaf oleh an-Nawir.[8]
Bukan rahasia lagi bahwa Zamaksyari  adalah penganut aliran Mu’tazilah yang sangat kuat. Demikian kuat sehingga ketika membuka kitab tafsirnya ia sudah menggunakan pahamnya dalam muqadimahnya antara lain ia mengemukakan. “segala puji bagi Allah yang telah menciptakan (khalaqa) Al-Qur’an”. Dengan mengatakan hal ini, ia pada dasarnya sedang menegaskan pandangan mu’tazilah bahwa al-qur’an itu diciptakan hadis atau baru. Berbeda dengan pandangan sunni bahwa al-Qur’an itu qadim. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak memulai tafsirnya ia sudah berani memasuki wilayah kontroversial. [9]
Tentang kitabnya, pada kebiasaan orang-orang menyebutnya dengan kitab al-Kasyaf lil Zamaksyari. Ini adalah kitab yang sangat berpengaruh. Pengarangnya memberikan dua sifat dan dia sebutkan kedua sifat itu tanpa ragu. Sifat pertama adalah: tafsir yang beraliran mazhab Mu’tazilah. Bahkan sampai pengarangnya juga mengatakan: “Apabila kamu ingin minta izin dengan pengarang al-Kasyaf ini maka sebutlah namanya dengan Abul Qasim al-Muktazili.” Dia menekankan kalimat Abul Qasim yang mu’tazilah.
Dari kalimat pertama dari tafsir ini sudah menunjukan adanya indikasi tentang mu’tazilah. Dari pertama sampai akhir, Imam Zamaksyari selalu berpegang mazhab mu’tazilah  dalam menfsirkannya. Beliau menafsirkan ayat dengan dengan penafsiran yang berbeda dengan mazhab ahlusunnah .
Padahal al-Qur’an bukanlah sebuah kitab mazhab, Apabila Qur’an ditafsirkan  dengan sebuah landasan aliran, maka nilai kemurninnya sudah hilang. Maka dari itulah tafsir al-Kasyaf banyak mendapat kritikan dari para ulama Ahlusunnah. Sifat kedua yang dimiliki oleh tafsir ini adalah: keutamaan dalam  dalam nilai bahasa arab, baik dari segi I’jaz Al-Qur’an, balaghah dan fashahah,  sebagai bukti jelas al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah swt.[10]
2.      Corak penafsiran
Seperti telah disebutkan sebelumnya kitab al-Kasyaf bercorak kebahasaan, dan tidak terlepas dari corak mu’tazilah, keutamaan dalam  dalam nilai bahasa arab, baik dari segi I’jaz Al-Qur’an, balaghah dan fashahah,  sebagai bukti jelas al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah swt.
Dalam hal ini imam Zamaksyari sangat mempersiapkan sangat matang sebelum beliau mengarang. Ilmu lughah dan bahasa, ilmu balaghah dan bayan, ilmu uslub dan fashahah, ilmu nahwu dan sharaf, semua itu sudah dikuasai oleh Zamaksyri sebelum mengarang kitab Al-Kasyaf. Imam Zamaksyari sendiri sangat mengagumi karyanya tersebut. Kekaguman itu beliau ungkapkan dalam bentuk syair sebagai berikut:
 kitab-kitab tafsir di dunia ini sangat banyak
semuanya tidak ada seumpama al-kasyaf
bila kamu ingin petunjuk maka bacalah kitab ini
karena kebodohan bagaikan penyakit dan al-Kasyaf penyembuhnya[11]
Al-Kasyaf  merupakan contoh karya tafsir yang menggunakan metode penafsiran tahlili. Pembahasan dan kandungannya dipengaruhi oleh kandungan keagamaan dan kecendrungan (keahlian) yang dianut dan dimilikinya. Corak mu’tazilah, aliran yang dianut Zamaksyari dalam mengungkapkan sisi keindahan bahasa sangat menonjol dalam Kasyaf ini. Oleh kalangan mu’tazilah pada masanya  al-Kasyaf dijadikan corong yang menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Menurut al-Fadhil ibnu Asyur al-Kasyaf ditulis antara lain  untuk menaikan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.[12]
Sisi lain dari tafsir al-Kasyaf yang diakui sebagai keistimewaannya, terletak pada pembahasan ayat-ayat dengan menggunakan bahasa dan sastra oleh penulisnya yang dengan pendekatan kebahasaan itu ia ungkapkan segi kemukjizatan  al-Qur’an.
Para penentang al-Qu’an pada masa itu cenderung mengakui keistimewaan al-Qur’an dari segi keindahan sastra dan bahasanya. Penafsiran kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin dengan merujuk pada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syair atau ta’rifat yang dipakai dan popular. Kadang penafsiran juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu, apabila susunan kalimat pada ayat itu memungkinkan beberapa alternatif jabatan kata, maka ia kemukakan dalam tafsirnya.
Dan dalam hal ini mengungkapkan keindahan bahasa dan sastra al-Qur’an. Zamaksyari diakui sebagai seorang yang ahli dalam bidangnya, bahkan tidak sedikit ulama dari kalangan sunni mengaguminya. Ibnu Kaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasyaf  dari segi pendekatan bahasa daan sastra (balaghah) dibanding dengan kebanyakan karya-karya tafsir muqaddimin lainnya.
Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur lebih jau menegaskan bahwa “Sebagian besar pembahasan ulama sunni terhadap tafsir al-Qur’an  didasarkan pada  tafsir Zamaksyari.
Kemampuan Zamaksyari mengenai seluk beluk sastra dan bahasa selalu digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak terlepas dari corak aliran teologinya yaitu mu’tazilah. Namun demikian, al-kasyaf  tidak selalu mencerminkan pandangan mu’tazilah. Ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum, Zamaksyari sering menggunakan mazhab lain. Selain mazhab hanafi yang dianutnya, dari sudut ini jelas kalangan sunni dapat dengan mudah menerimanya karena mazhab-mazhab itupun diakui oleh karangan mereka.[13]
3.      pendapat ulama terhadap kitab al-Kasyaf
Syekh Haidar al-Hiwari yang menyatakan kejujuran terhadap kitab tersebut, tidak berlebih-lebihan dan Tidak kurang bahwa kitab tersebut memang sarat dengan ilmu balaghah  dan ilmu bayan. Kitab al-Kasyaf mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, tidak ada bandingannya pada kitab-kitab terdahulu dan kitab yang dikarang kemudian. Karena dalam kitab tersebut terkumpul ungkapan yang teratur dan indah. Apabila dibandingkan dengan kitab sesudahnya tidak semanis al-kasyaf , walaupun dalam kitab itu ada keutamaan lain, tetapi kemanisan dalam kitab al-kasyaf  tidak ditemukan padanya. Karena terkadang dalam karangan lain terdapat ungkapan yang menyatakan tidak berpengalaman pengarang karena ada ungkapan yang salah tidak seperti imam Zamaksyari. Maka dari itu kitab Zamaksyari sangat cermat lagi terang yang menjadikan masyhur dan terkenal bagaikan terangnya matahari di siang hari.
Ada beberapa kelemahan dalam kitab al-Kasyaf . antara lain sebagai berikut:
   Dalam setiap tafsir ayat Qur’an tidak ada pengaruh batin yang didapatkan oleh pengarang. Dalil-dalil ayat tersebut tidak bisa memalingkannya pada kebenaran, bahkan Zamaksyari memalingkan makna tidak sesuai dengan zahirnya. Ini merupakan mengada-ada kalam Allah swt. lebih baik seandainya hanya sedikit saja, tetapi pada kenyataannya dia membahas secara panjang lebar agar tidak dikatakan lemah dan kurang . dalam hal ini, dapt kita lihat bahwa penafsiran dalam kitab itu bercampur dengan pengaruh aliran mu’tazilah. Ini adalah merupakan cacat yang sangat besar. Ada pun pengunaan من  itu untuk orang sedangkan kata ما  untuk sifat (benda), dengan tujuan pnyesuaian kondisi atau kondisional.
Kritikan lain terdapat  pada pencelaan imam Zamaksyari terhadap para wali-wali Allah swt. ha ini karena dia lupa terhadap jeleknya perbuatan ini dan karena tidak mengakui adanya hamba-hamba Allah Allah swt. seperti itu. Alangkahnya indahnya ungkapan imam Ar-Razi berkata dalam tafsir ayat : Allah mncintai mereka dan merekapun mencintai-Nya (al-Maidah: 54). “Dalam hal ini pengarang kitab al-Kasyaf telah menceburkan dirinya dalam kesalahan dan bahaya karena telah mencela para kekasih Allah swt. dan telah menulis sesuatu yang tidak layak dan sesuatu kejelekan terhadap mereka-mereka yang dicintai oleh Allah swt. dia sangat berani melakukan hal ini, padahal tulisan ini dia lakukan ketika menafsirkan ayat-ayat Allah yang majid.
Kritikan lain terhadap kitab ini teradapat pada masih banyaknya penyebutan syair dan amtsal. Padahal kedua tersbut adalah sebuah nilai canda dan humor yang tidak pantas dengan syariat dan  akal. Apalagi pada mereka penegak keadilan dan penegak tauhid.
Kritikan lainnya adalah penyebutan Ahlusunnah  dengan kata-kata kotor. Terkadang disebutkan dengan golongan  mujabbarah (pemaksa), bahkan terkadang dikatakan dengan kaum kafir dan kaum yang menyimpang. Padahal ucapan seperti itu hanya pantas keluar dari golongan mereka yang bodoh, bukan dari ulama yang pintar.[14]
Dari hasil praktek dengan terjun langung meneliti kitab Zamaksyari
dapat menemukan
Mengapa imam Az-Zamaksyari lebih cenderung pada pendapat imam Syafi’I pada pembahasan Al-Baqarah ayat 231, padahal pada keseluruhan kitab al-kasyaf mengutif madzab Hanafi ?
Karena danya kasus-kasus wali yang menghalangi proses rujuk laki-laki dengan perempuan, di mana imam Syafii tidak menyetujui karena beliau menggunakan redaksi
إذ تر ضوا بينهم بالمعرف
Ketika laki-laki yang hendak rujuk, memberikan mahar mitsil dan wanita yang tertalak menerima (ridho) untuk rujuk, maka bagi wali tidak diperbolehkan proses rujuk tersebut. Karena bagi as-Syafii wanita yang tertalak serupa dengan seorang janda yang berhak membuat keputusan di pihak wali.
Kemudian Zamaksyari menampilkan pendapat madzab Hanadi  bahwa seorang wali  berhak mengahalangi (menolak permintaan rujuk “mantan” suami anaknya ketika keduanya minta rujuk.
Setelah dianalasis Zamaksyari dalam menafsirkan Al-Baqarah 231-232 ditemukan kesepadanan antara pendapat syafi-i dan Hanafi terkait dengan berhak dan tidaknya wali menghalangi proses rujuk. Di mana Syafi’i menolak wali menghalangi laki-laki yang minta rujuk selama ada ridho dari pihak laki-laki dan perempuan. Sedangkan madzab Hanafi menyatakan wali berhak menghalangi proses rujuk ketika mahar mitsil tidak sesuai. Namun apabila dengan mahar mitsil (sama)  yang ada. Maka wali tidak berhak menghalangi proses rujuk.














BAB III
KESIMPULAN

Ia adalah Abul Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi Az-Zamaksyari. Dilahirkan 27 Rajab 467 H di Zamaksyar, sebuah perkampungan besar dikawasan Khaharizm (Turkistan). Ia mulai belajar di negeri sendiri kemudian ke Mekah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jarullah (tetagga Allah), dan di sana pula ia menulis tafsirnya, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawadimit Tanzilwa Uyunil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil.
Ia mempunyai banyak karya dalam bidang hadis, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain-lain. Diantaranya: Al-kasyaf tentang tafsir quran, Al-faiq tentang tafsir hadis,Al-minhaj tentang usul, Al-Mufassal tentang nahwu, Asasul balaghah tentang bahaa, Rausul Masailil Fiqhiyah tentang fiqh.
Zamaksyari bermazhab Hanafi dn berakidah paham mu’tazilah. Ia menakwiklan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan mazhab dengan  akidahnya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli, dan menamakan kaum mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil.
Seperti telah disebutkan sebelumnya kitab al-Kasyaf bercorak kebahasaan, dan tidak terlepas dari corak mu’tazilah, keutamaan dalam  dalam nilai bahasa arab, baik dari segi I’jaz Al-Qur’an, balaghah dan fashahah,  sebagai bukti jelas al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah swt.
Al-Kasyaf  merupakan contoh karya tafsir yang menggunakan metode penafsiran tahlili. Pembahasan dan kandungannya dipengaruhi oleh kandungan keagamaan dan kecendrungan (keahlian) yang dianut dan dimilikinya. Corak mu’tazilah, aliran yang dianut Zamaksyari dalam mengungkapkan sisi keindahan bahasa sangat menonjol dalam Kasyaf ini.
Syekh Haidar al-Hiwari yang menyatakan kejujuran terhadap kitab tersebut, tidak berlebih-lebihan dan Tidak kurang bahwa kitab tersebut memang sarat dengan ilmu balaghah  dan ilmu bayan. Kitab al-Kasyaf mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, tidak ada bandingannya pada kitab-kitab terdahulu dan kitab yang dikarang kemudian. Karena dalam kitab tersebut terkumpul ungkapan yang teratur dan indah.
Ada beberapa kelemahan dalam kitab al-Kasyaf . antara lain sebagai berikut:
   Dalam setiap tafsir ayat Qur’an tidak ada pengaruh batin yang didapatkan oleh pengarang. Dalil-dalil ayat tersebut tidak bisa memalingkannya pada kebenaran, bahkan Zamaksyari memalingkan makna tidak sesuai dengan zahirnya. Ini merupakan mengda-ada kalam Allah swt
Kritikan lain terhadap kitab ini teradapat pada masih banyaknya pnyebutan syair dan amtsal. Kritikan lainnya adalah penyebutan Ahlusunnah  dengan kata-kata kotor.










BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran



Daftar Pustaka
Al-Qattan, Manna Khalil. 2009.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa
Basri, Hasan. Murif Yahya dan Tedi Priatna. 2007. Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran. Bandung: Azkia Pustaka Utama.
Mahmud, Mani Abd Halim. Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Rajawali Pers.
Matsna, Moh. 2006. Orientasi Semantik Al-Zamaksyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam. Jakarta: Anglo Media.




[1]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2009, cet ke 12, hal. 530. Selanjutnya ditulis Manna Khalil al-Qattan.
[2]Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. (Rajawali Pers) hal. 224-225. Selanjutnya ditulis Mani Abd Halim Mahmud
[3] Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 530.

[4] Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 530.
[6] Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 531.
[7] Hasan Basri. Murif Yahya dan Tedi Priatna. Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran. (Bandung: Azkia Pustaka Utama. 2007), cet ke III, hal. 51.
[8] Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 531.
[9] Moh Matsna, Orientasi Semantik Al-Zamaksyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam. (Jakarta: Anglo Media, 2006). Cet ke I, hal. 49. Selanjutnya ditulis Moh Matsna, Orientasi Semantik Al-Zamaksyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam.
[10] Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, hal. 225-226.
[11] Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, hal 227.
[12] Moh Matsna, Orientasi Semantik Al-Zamaksyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam, hal. 49.

[13] Moh Matsna, Orientasi Semantik Al-Zamaksyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam, hal 50-51.

[14] Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, hal 227-229.

0 comments: