BAB
II
PEMBAHASAN
Kitab
Al-Kasyaf Karya Az-Zamaksyari
A.
Riwayat hidup imam Zamaksyari
Ia
adalah Abul Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi Az-Zamaksyari. Dilahirkan 27
Rajab 467 H di Zamaksyar, sebuah perkampungan besar dikawasan Khaharizm
(Turkistan). Ia mulai belajar di negeri sendiri , kemudin melanjutkan ke
Bukhara, dan belajar sastra kepada Syekh Mansur Abi Mudar. Kemudian pergi ke
Mekah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jarullah
(tetagga Allah), dan di sana pula ia menulis tafsirnya, al-Kasyaf ‘an
Haqa’iqi Gawadimit Tanzilwa Uyunil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil.[1]
Beliau pernah pergi ke Baghdad, Khurasan dan Quds. Beliau menghabiskan
waktu dalam mengarang dalam kitab al-Kasyaf masanya sama seperti lama khalifah
Abu Bakar, atau dengan kata lain selama dua tahun beberapa bulan. Imam
Zamaksyari berkata: “Allah telah memberiku taufiq dalam mengarang buku
tersebut, yang lamanya seperti lama Abu Bakar. Padahal menyempurnakan buku
seperti itu tidak kurang dari tiga puluh tahun. Tetapi Allah swt. memberikan
keberkahan, hal ini karena tidak lain karena agungnya Baitullah Al-haram ini.
Buku
ini dikarang pada akhir hayatnya, setelah beliau melakukan percobaan dalam tafsir, yang mana penelitian
ini menghasil natijah yang sukses. Yaitu dengan mencoba mengimlakan
tafsir ini kepada orang lain. Ketika Zamaksyari pindah ke kota Mekah beliau
langsung mengajarkan tafsir al-Kasyaf
yang di miliki tanpa harus melakukan percobaan lagi.[2]
Ia
meninggal dunia pada 538 H di Jurjaniah
Khawarizm setelah kembali dari Mekah sebagian mereka meratapinya dengan melantunkan
beberapa bait syair, antara lain:
“Bumi
Mekah pun menumpahkan air mata dari kelopaknya karena sedih ditinggal Mahmud
Jarullah.”[3]
B.
Keilmuan dan karyanya
Zamaksyari
adalah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ani, dan bayan. Bagi
orang-orang yang membaca kitab ilmu nahwu dan balaghah tentu sering menemukan
keterangan-keterangan yang dikutip Zamaksyari sebagai hujjah. Misalnya mereka
mengatakan: Zamaksyari telah mengatakan
dalam kitab al-kasyaf atau dalam Asâsul balaghah….” Ia adalah orang yang
mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab, bukan
tipe orang yang suka mengikuti langkah orang lain yang hanya menghimpun dan
mengutip saja, tetapi ia mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya ditiru dan
diikuti oleh orang lain. Ia mempunyai banyak karya dalam bidang hadis, tafsir,
nahwu, bahasa, ma’ani dan lain-lain. Diantaranya: Al-kasyaf tentang tafsir
quran, Al-faiq tentang tafsir hadis, Al-minhaj tentang usul, Al-Mufassal
tentang nahwu, Asasul balaghah tentang bahaa, Rausul Masailil Fiqhiyah tentang
fiqh.[4]
Lebih
lengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Bidang Bahasa dan Sastra: amîn al-’Arabiyyah,
Asâs al-Balâghah, Jawâhîr al-Lughah, al-Ajnâs, Muqadimah al-Adâb fî al-Lughah,
al-Asmâ fî al-Lughah, al-Qistâs fî al-’Arûd, Sawâ’ir al-Amsâl, al-Mustaqshî fî
al-Amsâl, A`jab al-`Ajab fî Syarh Lâmiyyah al-’Arab, Dîwân al-Adâb, Rabî
al-Abrâr fî al-Adâb wa al-Muhâd}arât, Tasliyah al-D}arî, Dîwân Khut}ab, Dîwân
al-Rasâ’il, Dîwân Syi’r;
2. Bidang Nahwu: Nukat al-‘A`râb fî
Gharîb al-I’râb fî Gharîb al-Qur’ân, al-Namûdzaj fî ‘Ilm al-’Arabiyyah,
al-Mufassal, al-Mufrad wa al-Mu’allaf fî al-Masâ’il al-Nahwiyyah, al-‘Amâli,
Hâsyiah `alâ al-Mufassal, Syarh al-Mufassal, Syarh Kitâb Sîbawaih, al-Nahajjât
wa Mutmim Mahâm Arbâb al-Hâjât fî al-Ahâji wa al-Alghâz, al-Mufrad wa
al-Murakkab;
3. Bidang Hadits: al-Fâ’iq fî Gharîb
al-Hadîts;
4. Bidang Fiqh dan Usul: al-Râ`d fî
al-Farâ’id dan al-Minhâj;
5. Lain-lain: Syaqâ’iq al-Nu`mân fî
Haqâ’iq al-Nu`mân (manâkib Imâm Hanafî), Nawâbigh al-Kalim, Atwâq al-Zahab,
Nashâ’ih al-Kubbâr, Nashâ’ih al-Sihâr, Maqâmât, al-Risâlah al-Nâshihah (tentang
nasihat dan pepatah).
Kepakarannya
dalam Bahasa, sastra, dan gramatika (di samping ilmu lain), membuat menjadi
rujukan rekan-rekan semazhabnya (afâdil al-nâjiyah al-`adiyyah), terutama dalam
penerapannya terhadap penafsiran al-Qur’an. Mereka sering dibuat kagum dengan
pelajaran al-Zamakhsyârî sehingga sepakat mengusulkan agar ia mendiktekan
al-Kasysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl.
Akan
tetapi, hal ini hanya berlangsung hingga penafsiran surat al-Baqarah, karena
saat itu ia berkeinginan untuk mengunjungi Baitullah. Di perjalanan ia
mendapatkan banyak orang yang sangat menginginkan tafsiran-tafsirannya.
Sehingga ia berketetapan untuk menyelesaikan tafsirnya di Baitullah.[5]
C.
Kitab al-Kasyaf lil Zamaksyari (Al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh al Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwîl fi
Wujûh al-Ta’wîl)
1. Mazhab Fiqih dan akidahnya
Zamaksyari
bermazhab Hanafi dn berakidah paham mu’tazilah. Ia menakwiklan ayat-ayat
al-Qur’an sesuai dengan mazhab dengan
akidahnya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli, dan
menamakan kaum mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang
selamat dan adil.[6]
Menurut pendapat Al-Mas’udi bahwa ke mu’tazilahan itu mula-mula muncul
merupakan sifat dari orang Yang berbuat dosa besar (jauh dari golongan mukmin dan kafir) yang
kemudian sifat dan nama itu diberikan kepada golongan yang berpendapat
demikian. Sedangkan menurut Ahmad Amin, sebutan mu’tazilah muncul disekitar
pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Golongan yang tidak ikut
bertikai mengatakan bahwa orang-orang yang bertikai telah menyeleweng dan harus
dijauhi (I’tazalna).[7]
Kitab
al-Kasyaf karya Zamaksyari adalah sebuah kitab tafsir paling mashur di antara
sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufasir bir-rayi yang mahir dalam bidang
bahasa. Al-Alusi, Abus Su’ud, An-Nasafi dan para mufasir lain banyak menukil
dari kitab tersebut. Tetapi tanpa menyebutkan sumbernya. Paham kemutazilahan
dalam tafsirnya itu telah diungkapkan dan diteliti oleh ‘Allamah Ahmad An-Nayyir
yang dituangkan dalam bukunya al-Intisâf. Dalam kitab ini an-Nayyir
menyerang Zamaksyari dengan mendiskusikan masalah akidah mazhab mu’tazilah yang
dikemukakannya dan mengemukakan pandangan yang berlawanan dengannya sebagaimana
ia pun mendiskusikan masalah-masalah kebahasaan. Al-Maktabah at-Tijariyah
Mesir telah menerbitkan al-Kasyaf cetakan terakhir yang diterbitkan oleh
Mustafa Husain Ahmad, dan diberi lampiran empat buah kitab al-intisaf oleh
an-Nawir.[8]
Bukan
rahasia lagi bahwa Zamaksyari adalah
penganut aliran Mu’tazilah yang sangat kuat. Demikian kuat sehingga ketika
membuka kitab tafsirnya ia sudah menggunakan pahamnya dalam muqadimahnya antara
lain ia mengemukakan. “segala puji bagi Allah yang telah menciptakan
(khalaqa) Al-Qur’an”. Dengan mengatakan hal ini, ia pada dasarnya sedang
menegaskan pandangan mu’tazilah bahwa al-qur’an itu diciptakan hadis atau baru.
Berbeda dengan pandangan sunni bahwa al-Qur’an itu qadim. Dengan demikian,
jelaslah bahwa sejak memulai tafsirnya ia sudah berani memasuki wilayah
kontroversial. [9]
Tentang
kitabnya, pada kebiasaan orang-orang menyebutnya dengan kitab al-Kasyaf lil
Zamaksyari. Ini adalah kitab yang sangat berpengaruh. Pengarangnya
memberikan dua sifat dan dia sebutkan kedua sifat itu tanpa ragu. Sifat pertama
adalah: tafsir yang beraliran mazhab Mu’tazilah. Bahkan sampai pengarangnya
juga mengatakan: “Apabila kamu ingin minta izin dengan pengarang al-Kasyaf ini
maka sebutlah namanya dengan Abul Qasim al-Muktazili.” Dia menekankan kalimat
Abul Qasim yang mu’tazilah.
Dari
kalimat pertama dari tafsir ini sudah menunjukan adanya indikasi tentang
mu’tazilah. Dari pertama sampai akhir, Imam Zamaksyari selalu berpegang mazhab
mu’tazilah dalam menfsirkannya. Beliau
menafsirkan ayat dengan dengan penafsiran yang berbeda dengan mazhab ahlusunnah
.
Padahal
al-Qur’an bukanlah sebuah kitab mazhab, Apabila Qur’an ditafsirkan dengan sebuah landasan aliran, maka nilai
kemurninnya sudah hilang. Maka dari itulah tafsir al-Kasyaf banyak
mendapat kritikan dari para ulama Ahlusunnah. Sifat kedua yang dimiliki
oleh tafsir ini adalah: keutamaan dalam
dalam nilai bahasa arab, baik dari segi I’jaz Al-Qur’an, balaghah dan
fashahah, sebagai bukti jelas
al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah swt.[10]
2.
Corak penafsiran
Seperti
telah disebutkan sebelumnya kitab al-Kasyaf bercorak kebahasaan, dan tidak
terlepas dari corak mu’tazilah, keutamaan dalam
dalam nilai bahasa arab, baik dari segi I’jaz Al-Qur’an, balaghah dan
fashahah, sebagai bukti jelas
al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah swt.
Dalam hal ini
imam Zamaksyari sangat mempersiapkan sangat matang sebelum beliau mengarang.
Ilmu lughah dan bahasa, ilmu balaghah dan bayan, ilmu uslub dan fashahah, ilmu
nahwu dan sharaf, semua itu sudah dikuasai oleh Zamaksyri sebelum mengarang
kitab Al-Kasyaf. Imam Zamaksyari sendiri sangat mengagumi karyanya tersebut.
Kekaguman itu beliau ungkapkan dalam bentuk syair sebagai berikut:
kitab-kitab tafsir di dunia ini sangat banyak
semuanya tidak
ada seumpama al-kasyaf
bila kamu ingin
petunjuk maka bacalah kitab ini
karena
kebodohan bagaikan penyakit dan al-Kasyaf penyembuhnya[11]
Al-Kasyaf
merupakan contoh karya
tafsir yang menggunakan metode penafsiran tahlili. Pembahasan dan kandungannya
dipengaruhi oleh kandungan keagamaan dan kecendrungan (keahlian) yang dianut
dan dimilikinya. Corak mu’tazilah, aliran yang dianut Zamaksyari dalam
mengungkapkan sisi keindahan bahasa sangat menonjol dalam Kasyaf ini. Oleh
kalangan mu’tazilah pada masanya
al-Kasyaf dijadikan corong yang menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya.
Menurut al-Fadhil ibnu Asyur al-Kasyaf ditulis antara lain untuk menaikan pamor Mu’tazilah sebagai
kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.[12]
Sisi
lain dari tafsir al-Kasyaf yang diakui sebagai keistimewaannya, terletak pada
pembahasan ayat-ayat dengan menggunakan bahasa dan sastra oleh penulisnya yang
dengan pendekatan kebahasaan itu ia ungkapkan segi kemukjizatan al-Qur’an.
Para
penentang al-Qu’an pada masa itu cenderung mengakui keistimewaan al-Qur’an dari
segi keindahan sastra dan bahasanya. Penafsiran kadang ditinjau dari arti
mufradat yang mungkin dengan merujuk pada ucapan-ucapan orang Arab terhadap
syair-syair atau ta’rifat yang dipakai dan popular. Kadang penafsiran juga
didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu, apabila susunan kalimat pada
ayat itu memungkinkan beberapa alternatif jabatan kata, maka ia kemukakan dalam tafsirnya.
Dan dalam hal ini mengungkapkan keindahan
bahasa dan sastra al-Qur’an. Zamaksyari diakui sebagai seorang yang ahli dalam
bidangnya, bahkan tidak sedikit ulama dari kalangan sunni mengaguminya. Ibnu
Kaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasyaf dari segi pendekatan bahasa daan sastra
(balaghah) dibanding dengan kebanyakan karya-karya tafsir muqaddimin lainnya.
Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur lebih jau menegaskan
bahwa “Sebagian besar pembahasan ulama sunni terhadap tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir Zamaksyari.
Kemampuan Zamaksyari mengenai seluk beluk
sastra dan bahasa selalu digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
tidak terlepas dari corak aliran teologinya yaitu mu’tazilah. Namun demikian,
al-kasyaf tidak selalu mencerminkan
pandangan mu’tazilah. Ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
dengan hukum, Zamaksyari sering menggunakan mazhab lain. Selain mazhab hanafi
yang dianutnya, dari sudut ini jelas kalangan sunni dapat dengan mudah
menerimanya karena mazhab-mazhab itupun diakui oleh karangan mereka.[13]
3.
pendapat ulama terhadap kitab al-Kasyaf
Syekh
Haidar al-Hiwari yang menyatakan kejujuran terhadap kitab tersebut, tidak
berlebih-lebihan dan Tidak kurang bahwa kitab tersebut memang sarat dengan ilmu
balaghah dan ilmu bayan. Kitab al-Kasyaf
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, tidak ada bandingannya pada
kitab-kitab terdahulu dan kitab yang dikarang kemudian. Karena dalam kitab
tersebut terkumpul ungkapan yang teratur dan indah. Apabila dibandingkan dengan
kitab sesudahnya tidak semanis al-kasyaf , walaupun dalam kitab itu ada
keutamaan lain, tetapi kemanisan dalam kitab al-kasyaf tidak ditemukan padanya. Karena terkadang
dalam karangan lain terdapat ungkapan yang menyatakan tidak berpengalaman
pengarang karena ada ungkapan yang salah tidak seperti imam Zamaksyari. Maka
dari itu kitab Zamaksyari sangat cermat lagi terang yang menjadikan masyhur dan
terkenal bagaikan terangnya matahari di siang hari.
Ada
beberapa kelemahan dalam kitab al-Kasyaf . antara lain sebagai berikut:
Dalam setiap tafsir ayat Qur’an tidak ada
pengaruh batin yang didapatkan oleh pengarang. Dalil-dalil ayat tersebut tidak
bisa memalingkannya pada kebenaran, bahkan Zamaksyari memalingkan makna tidak
sesuai dengan zahirnya. Ini merupakan mengada-ada kalam Allah swt. lebih baik
seandainya hanya sedikit saja, tetapi pada kenyataannya dia membahas secara
panjang lebar agar tidak dikatakan lemah dan kurang . dalam hal ini, dapt kita
lihat bahwa penafsiran dalam kitab itu bercampur dengan pengaruh aliran
mu’tazilah. Ini adalah merupakan cacat yang sangat besar. Ada pun pengunaan من itu untuk orang sedangkan kata ما untuk sifat (benda), dengan tujuan pnyesuaian
kondisi atau kondisional.
Kritikan
lain terdapat pada pencelaan imam
Zamaksyari terhadap para wali-wali Allah swt. ha ini karena dia lupa terhadap
jeleknya perbuatan ini dan karena tidak mengakui adanya hamba-hamba Allah Allah
swt. seperti itu. Alangkahnya indahnya ungkapan imam Ar-Razi berkata dalam
tafsir ayat : Allah mncintai mereka dan merekapun mencintai-Nya (al-Maidah:
54). “Dalam hal ini pengarang kitab al-Kasyaf telah menceburkan dirinya dalam
kesalahan dan bahaya karena telah mencela para kekasih Allah swt. dan telah
menulis sesuatu yang tidak layak dan sesuatu kejelekan terhadap mereka-mereka
yang dicintai oleh Allah swt. dia sangat berani melakukan hal ini, padahal
tulisan ini dia lakukan ketika menafsirkan ayat-ayat Allah yang majid.
Kritikan
lain terhadap kitab ini teradapat pada masih banyaknya penyebutan syair dan amtsal.
Padahal kedua tersbut adalah sebuah nilai canda dan humor yang tidak pantas
dengan syariat dan akal. Apalagi pada
mereka penegak keadilan dan penegak tauhid.
Kritikan
lainnya adalah penyebutan Ahlusunnah dengan
kata-kata kotor. Terkadang disebutkan dengan golongan mujabbarah (pemaksa), bahkan terkadang
dikatakan dengan kaum kafir dan kaum yang menyimpang. Padahal ucapan seperti
itu hanya pantas keluar dari golongan mereka yang bodoh, bukan dari ulama yang
pintar.[14]
Dari
hasil praktek dengan terjun langung meneliti kitab Zamaksyari
dapat
menemukan
Mengapa imam
Az-Zamaksyari lebih cenderung pada pendapat imam Syafi’I pada pembahasan
Al-Baqarah ayat 231, padahal pada keseluruhan kitab al-kasyaf mengutif madzab
Hanafi ?
Karena danya
kasus-kasus wali yang menghalangi proses rujuk laki-laki dengan perempuan, di
mana imam Syafii tidak menyetujui karena beliau menggunakan redaksi
إذ تر ضوا بينهم بالمعرف
Ketika laki-laki
yang hendak rujuk, memberikan mahar mitsil dan wanita yang tertalak menerima
(ridho) untuk rujuk, maka bagi wali tidak diperbolehkan proses rujuk tersebut.
Karena bagi as-Syafii wanita yang tertalak serupa dengan seorang janda yang
berhak membuat keputusan di pihak wali.
Kemudian
Zamaksyari menampilkan pendapat madzab Hanadi
bahwa seorang wali berhak
mengahalangi (menolak permintaan rujuk “mantan” suami anaknya ketika keduanya
minta rujuk.
Setelah
dianalasis Zamaksyari dalam menafsirkan Al-Baqarah 231-232 ditemukan
kesepadanan antara pendapat syafi-i dan Hanafi terkait dengan berhak dan
tidaknya wali menghalangi proses rujuk. Di mana Syafi’i menolak wali
menghalangi laki-laki yang minta rujuk selama ada ridho dari pihak laki-laki
dan perempuan. Sedangkan madzab Hanafi menyatakan wali berhak menghalangi
proses rujuk ketika mahar mitsil tidak sesuai. Namun apabila dengan mahar
mitsil (sama) yang ada. Maka wali tidak
berhak menghalangi proses rujuk.
BAB
III
KESIMPULAN
Ia adalah Abul Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi Az-Zamaksyari.
Dilahirkan 27 Rajab 467 H di Zamaksyar, sebuah perkampungan besar dikawasan
Khaharizm (Turkistan). Ia mulai belajar di negeri sendiri kemudian ke Mekah dan
menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jarullah (tetagga Allah),
dan di sana pula ia menulis tafsirnya, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawadimit
Tanzilwa Uyunil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil.
Ia mempunyai
banyak karya dalam bidang hadis, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain-lain.
Diantaranya: Al-kasyaf tentang tafsir quran, Al-faiq tentang tafsir
hadis,Al-minhaj tentang usul, Al-Mufassal tentang nahwu, Asasul balaghah
tentang bahaa, Rausul Masailil Fiqhiyah tentang fiqh.
Zamaksyari
bermazhab Hanafi dn berakidah paham mu’tazilah. Ia menakwiklan ayat-ayat
al-Qur’an sesuai dengan mazhab dengan
akidahnya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli, dan
menamakan kaum mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang
selamat dan adil.
Seperti telah
disebutkan sebelumnya kitab al-Kasyaf bercorak kebahasaan, dan tidak terlepas
dari corak mu’tazilah, keutamaan dalam
dalam nilai bahasa arab, baik dari segi I’jaz Al-Qur’an, balaghah dan
fashahah, sebagai bukti jelas
al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah swt.
Al-Kasyaf
merupakan contoh karya
tafsir yang menggunakan metode penafsiran tahlili. Pembahasan dan kandungannya
dipengaruhi oleh kandungan keagamaan dan kecendrungan (keahlian) yang dianut
dan dimilikinya. Corak mu’tazilah, aliran yang dianut Zamaksyari dalam
mengungkapkan sisi keindahan bahasa sangat menonjol dalam Kasyaf ini.
Syekh Haidar
al-Hiwari yang menyatakan kejujuran terhadap kitab tersebut, tidak
berlebih-lebihan dan Tidak kurang bahwa kitab tersebut memang sarat dengan ilmu
balaghah dan ilmu bayan. Kitab al-Kasyaf
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, tidak ada bandingannya pada
kitab-kitab terdahulu dan kitab yang dikarang kemudian. Karena dalam kitab
tersebut terkumpul ungkapan yang teratur dan indah.
Ada beberapa
kelemahan dalam kitab al-Kasyaf . antara lain sebagai berikut:
Dalam setiap tafsir ayat Qur’an tidak ada
pengaruh batin yang didapatkan oleh pengarang. Dalil-dalil ayat tersebut tidak
bisa memalingkannya pada kebenaran, bahkan Zamaksyari memalingkan makna tidak
sesuai dengan zahirnya. Ini merupakan mengda-ada kalam Allah swt
Kritikan lain terhadap kitab ini
teradapat pada masih banyaknya pnyebutan syair dan amtsal. Kritikan
lainnya adalah penyebutan Ahlusunnah dengan
kata-kata kotor.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
Al-Qattan, Manna Khalil. 2009.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.Jakarta:
Pustaka Litera AntarNusa
Basri, Hasan. Murif Yahya dan Tedi Priatna. 2007. Ilmu Kalam
Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran. Bandung: Azkia Pustaka Utama.
Mahmud, Mani Abd Halim. Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif
Metode Para Ahli Tafsir. Rajawali Pers.
Matsna,
Moh. 2006. Orientasi Semantik Al-Zamaksyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam.
Jakarta: Anglo Media.
http://www.tahir-ali.com/2012/05/biografi-lengkap-al-zamakhsyari-nama.html unduh 27 feb 2013 pukul 01.39
[1]Manna
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Pustaka Litera
AntarNusa, 2009, cet ke 12, hal. 530. Selanjutnya ditulis Manna Khalil
al-Qattan.
[2]Mani
Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir. (Rajawali Pers) hal. 224-225. Selanjutnya ditulis Mani Abd Halim
Mahmud
[3]
Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 530.
[4]
Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 530.
[5] http://www.tahir-ali.com/2012/05/biografi-lengkap-al-zamakhsyari-nama.html unduh 27 feb 2013 pukul 01.39
[6]
Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 531.
[7]
Hasan Basri. Murif Yahya dan Tedi Priatna. Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok
Pikiran Aliran-Aliran. (Bandung: Azkia Pustaka Utama. 2007), cet ke III,
hal. 51.
[8]
Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 531.
[9]
Moh Matsna, Orientasi Semantik Al-Zamaksyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam. (Jakarta:
Anglo Media, 2006). Cet ke I, hal. 49. Selanjutnya ditulis Moh Matsna, Orientasi
Semantik Al-Zamaksyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam.
[10]
Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir, hal. 225-226.
[11]
Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir, hal 227.
[12]
Moh Matsna, Orientasi Semantik Al-Zamaksyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam, hal.
49.
[13]
Moh Matsna, Orientasi Semantik Al-Zamaksyari Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam,
hal 50-51.
[14]
Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir, hal 227-229.
0 comments:
Post a Comment