RIBA
DAN BUNGA BANK DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AL-AZHAR
A.
Latar belakang
Kitab suci al-Qur’an sebenarnya tidak pernah membisu bila diminta
pertimbangan oleh siapa saja untuk mejawab setiap permasalahan hidupnya. Namun
pertimbangan dan petunjuk al-Qur’an itu baru bisa ditangkap jika secara bijak
dan cermat dapat dikenali sifat-sifat dan kandungannya. Kemudian menggunakan
metode yang tepat untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya.[1]
Agama Islam sering disimpulkan ke dalam tiga bagian, yaitu: akidah,
syariah, dan ahklak. Akidah digolongkan sebagai ushûl al-dîn, syariah
langsung diasosiasikan dengan fiqh yang dianggap sebagai furû al-dîn, dan
akhlak pada kategori ketiga. Kategori tersebut memberi kesan bahwa masalah
akidah adalah primer. Bahkan Abî ‘Adillah ‘Amir Abdullah Fâlih menyebutkan
sebagai ilmu yang termulia. Sementara syariah atau fiqh menyangkut segi-segi
hukum hukum agama adalah sekunder, sedangkan akhlah dengan sendirinya menempati
peringkat ketiga atau tersier.[2]
Melakukan
kegiatan ekonomi adalah merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan
kegiatan itu ia memperoleh rizki, dengan rizki ia dapat melangsungkan
kehidupannya. Bagi orang Islam, al-Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang berkebanaran absolute. Kegiatan ekonomi termasuk di
dalamnya dan mencela bagi orang menjadi pemalas. Tetapi tidak setiap kegiatan
ekonomi dibenarkan oleh al-Qur’an. Apabila kegiatan itu punya watak yang
merugikan banyak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang, seperti monopoli
dagang, calo, perjudian dan riba pasti akan ditolak.[3]
Larangan
riba sebenarnya sudah tegas dan jelas dalam al-Qur’an dan hadis Nabi saw, cukup
banyak mengutarakannya dan mencela para pelakunya, sehingga pada prinsipnya
disepakati pengharaman riba.[4]
Akan tetapi dalam perkembangan zaman, umat Islam mulai dihadapkan dengan kontak
peradaban dunia barat. Perbankan yang mensyaratkan adanya bunga merupakan
bagian dari peradaban mereka dalam aspek ekonomi, maka konsep riba yang
dianggap final status hukumnya mulai menjalani peninjauan kembali oleh tokoh
para pembaharu Islam. Kehadiran institusi perbankan dalam dunia Islam bukanlah
hal yang asing, karena istilah perbankan sudah dikenal sejak zaman pertengahan
Islam dahulu. Namun ketika dikaitkan dengan sistem perbankan modern saat ini,
maka kegiatan perbankan menjadi persoalan baru dalam kajian keislaman[5].
Karena itu, bila ditinjau dalam hukum Islam, hukum lembaga ini termasuk
ijtihadiyah. Sebagai masalah ijtihadiyah perbedaan pendapat tidak akan terlepas
dari padanya.[6]
Perbedaan pendapat para ulama mengenai riba dan bunga bank secara garis besar
terbagi menjadi dua golongan.
Pendapat
pertama, adalah golongan neo-revivalis yang pemahamannya secara tekstulis dan
lebih mengedepankan aspek legal-formal dari ayat riba yang ada dalam al-Qur’an.
Di antaranya menurut Maududi dan Sayyid Qutb yang menyatakan kelebihan dari
uang pokok yang diambil itu adalah riba apapun alasannya. Kemudian pendapatnya
Muhammad Mutawali al-Sya’rawi yang dikutip oleh Yusuf al-Qandawi yang menyatakan bagaimanpun bank
itu adalah
haram, karena memang itu adalah riba.[7]
Begitu juga dengan pendapatnya Jaddual Haq[8]
dan Muhammad Sayyid at-Tantawi.[9]
Dalam
pandangan mereka kaum neo- revivalis
itu, keberadaan ketidakadilan tidak terlalu penting. Oleh karena itu, semua
bentuk bunga diharamkan. Sedangkan pendapat kedua, adalah golongan
modernis yang pemahamannya secara kontekstual dan lebih mengedepankan aspek
moralitas dalam memahami riba sesuai dengan statemen al-Qur’an “latazlimûna
wa la tuzlamûn, maka riba di sini dibedakan dengan bunga. Pendapatnya ini
misalnya adalah menurut Fazlur Rahman (1964), Muhammad Assad (1984), Said
an-Najjar (1989) dan Mun’im an-Namir (1989). Sejalan dengan pikiran mereka,
adalah pendapatnya Mustafa az-Zarqa yang dikutip oleh Azhar Basyir, beliau
menyatakan bahwa system perbankan yang berlaku sekarang ini diterima sebagai
realitas yang tidak
dapat kita hindari, oleh karena umat islam boleh bermuamalat dengan bank-bank
atas dasar keadaan darurat.[10]
Begitu juga pendapat yang dikatakan oleh cendikian muslim A. Chotib. adapun
pendapat modernis tapi juga sangat liberal adalah pendapat Muhammad
Hatta, Syfruddin Prawiranegara, A Hassan, Kasman Singodenojo dan Munawwir
Sadzali. Bahwa bunga bank tidak bisa begitu saja disamakan dengan riba yang
diharamkan oleh Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.
Keberadaan
perbankan Islam dirancang untuk terbinanya hubungan kebersamaan dalam
menanggung resiko usaha dan berbagi hasil antara pemilik modal yang menyimpan
uangnya di bank selaku pengelola dana dari masyarakat yang membutuhkan dana
yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha. Oleh karena itu dari
dahulu hingga sekarang belum ada kata final dalam penyelesaian status hukum riba
dan bunga bank yang disepakati oleh seluruh pihak. Secara kategoris silang
pendapat ini dapat dipetakan secara simplistik pada tiga pendapat tanpa menafikan
sejumlah pendapat lain yang tidak tertulis, selain berpendapat halal, haram,
dan adapula yang berpendapat syubhat.
Terlepas
dari perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para ulama dan kaum cendikia
mengenai status bunga bank dan riba serta eksistnsi intitusi perbankan saat
ini. Penyusun di sini tidak bermaksud panjangnya perdebatan, baik terhadap yang
pro atau kontra. Melainkan penyusun hanya ingin mendeskripsikan secara analitis
terhadap pemikiran Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar.
Oleh
Karena itu, penyusun tergugah untuk lebih lanjut bagaimana pandangan Hamka
tentang status hukum riba dan bunga bank ini.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, untuk mempermudah kajian dan agar
penelitian yang dilakukan terarah pada satu objek sehingga menghasilkan hasil
akhir yang komprehensif, integral dan menyeluruh sehingga relative mudah
dipahami dan dapat merepresentasikan. Maka dirumuskan beberapa masalah pokok
sebagai berikut:
1.
Bagaimana
metode penalaran hukum Hamka dalam menentukan status riba dan bunga bank ?
2.
Apa
kontribusi pandangan Hamka terhadap praktik perbankan Indonesia ?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah dalam penelitian, penulis memiliki
maksud dan tujuan baik bersifat ilmiah maupun akademis.
1.
Menjelaskan
metode penalaran hukum Hamka dalam menentukan status hukum riba dan bunga bank
2.
Menjelaskan
eksplorasi, pengembangan, serta evaluasi Hamka terhadap praktik perbankan
Indonesia.
Adapun kegunaan dari penelitian ini:
1.
Secara
teoritis adalah untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam hukum Islam secara
umum dalam persoalan riba dan bunga bank.
2.
Secara
praktik penelitian diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pembahasan tentang
riba dan bunga bank dalam pandangan Hamka.
D.
Metode Penelitian
1. Jenis dan sifat penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka. Artinya, bahan atau objek
materiil penelitian data data tertulis, lebih spesifik lagi data yang berkenaan
dengan tema penelitian ini, riba dan bunga bank pandangan Hamka.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Maksudnya, penyusun
berupaya untuk mendeskripsikan pandangan Hamka tentang riba dan bunga bank
kemudian menelusuri landasan argument yang menjadi pemikirannya. Selain itu,
penyusun berupaya menelaah metode yang beliau gunakan dalam memutuskan sebuah
persoalan riba dan bunga bank ini.
2. Pengumpulan Data
Langkah-langkah yang digunakan dalam
pengumpulan data adalah:
Menghimpun keseluruhan data yang
bersinggungan dengan pemikiran Hamka, menyangkut corak, karakteristik, dan
landasannya, melaui sumber primer yaitu tafsir Al-Azhar dan ditunjang sumber
sekunder meliputi berbagai buku.
3. Metode Analisi Data
Untuk analis data, penyusun
menggunakan metode induktif. Metode induktif adalah kegiatan generalisasi dari
penelitian terhadap beberapa kasus.[11]
Tahapan yang ditempuh dalam analisis menggunakan metode induktif adalah: dari beberapa
pendapat Hamka mengenai riba dan bunga bank, penyusun berusaha melakukan
generalisasi sampai pada tahapan tertentu untuk menemukan benang merahnya,
terutama yang terkait dengan rujukan, landasan pemikirannya dan teknik
penggalian hukumnya.
4. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normative-ushul fiqh, pendekatan di sini adalah pendekatan yang menekankan pada
latar belakang kehidupan pemikiran sang tokoh, dalam hal ini Hamka dan
penekanan pada penggunaan prinsip syariah yang teterkandung
dalam al-Quran dan hadis serta kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh.
E.
Telaah Pustaka
Pembahasahan yang membicarakan tentang riba
telah banyak dilakukan dan tercatat dalam berbagai buku. Baik itu buku secara
utuh maupun dalam bab tertentu. Selain itu diterangkaan khusus dalam sebuah
kitab tafsir yang mengangkat ayat-ayat al-Quran berkaitan dengan pembahasan
riba, namun penyusun hanya menemukan beberapa buku, seperti yang menjadi
rujukan utama dalam kitab tafsir Al-Azhar karya Hamka.
Tafsir al-Azhar
merupakan karya monumental Hamka yang ditulis dengan bahasa sederhana agar
mudah dipahami dan tidak menjemukan dalam rangka memenuhi kebutuhan umat Islam
Indonesia yang ingin mendalami isi kandungan Al-Qur’an di zaman modern sekarang
ini. Tentang riba itu sendiri beliau memberikan warna dalam penafsirannya
dengan kecenderungan-kecenderungan yang sesuai dengan konteks ayat. Demikian
pula dalam menggabungkan antara pendapat-pendapat ulama dengan pendapat dan
pengalamannya sendiri.[12]
Selain itu, pembahasan
riba terdapat dalam sebuah buku Riba
dalam Al-Qur’an dan masalah perbankan
(sebuah tilikan antisipatif) oleh Muh.Zuhri mencoba menuluri karakter riba yang
sebenarnya seperti yang termaktub dalam al-Qur’an, mencari sebab musabab
turunnya ayat tenang riba secara kronologis. Bahkan lebih jauh lagi dari itu dia pun
mengemukakan praktek-praktek riba yang dilakukan orang di zaman Rasul sebagai
pembanding.[13]
Selanjutnya, di dalam buku yang membahas riba
yaitu buku berjudul hukum Islam tentang riba, utang piutang dan gadai,
karya Ahmad Azhar Basyir, yang memberikan pemaparan yang cukup jelas mengenai
riba dan bunga bank.[14]
Sedangkan A Chatib dalam bukunya yang berjudul Bank dalam Islam, juga
menjelaskan secara mendalam tentang pendapat ulama dan pemikir, baik dari kalangan
muslim maupun kalangan non muslim sekitar lembaga perbankan dan problematikanya
dalam hukum Islam termasuk bunga di dalamnya.[15]
F.
Landasan Teori
1.
Tinjauan tentang Riba
Riba menurut pengertian lugawi atau
etimologi adalah bertambah. Di dalam pengertian teknik hukum syariah berarti
akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya
menurut aturan syara atau terlambat menerimanya. Di dalam praktik di masa
permulaan Islam, riba ada tiga bagian yaitu riba fadhl, riba yadh, dan riba
nasi’ah.[16]
Menurut Prof DR Rachmat Syafe’I M.A riba
diharamkan karena 2 hal yakni pertama, adanya kedzaliman; kedua, adanya
eksploitasi dalam kebutuhan pokok atau adanya garar, ketidakpastian dan
spekulasi yang tinggi. Oleh karena itu, tidak diharamkan selama tidak
bertentangan dengan dua hal di atas.[17]
Dalam hukum mu’amalah Islam mempunyai
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.
Pada dasarnya semua bentuk mu’amalah adalah
mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan sunnah Rasul.
b.
Mu’amalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa
mengandung unsur paksaan.
c.
Mu’amalah dilakukan atas dasar pertimbangan
mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat
dalam hidup masyarakat.
d.
Mu’amalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,
menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam
kesempatan.[18]
Adapun para ulama yang mengharamkan riba,
antara lain:
a.
Pendapat yang menegaskan bahwa riba itu haram
dalam segala bentuknya, pendapat ini dikemukakan oleh DR. Muhammad Darraz, seorang
ahli hukum dari Saudi Arabia. Ia mengatakan baik secara formal maupun sosiologis,
riba itu sangat merusak.
b.
Yang menegaskan keharaman riba, seperti yang
disebut dalam al-Qur’an berkaitan dengan kondisi ekonomi (kondisi sosial) oleh
karena itu, hukum riba adalah karena kondisi ekonomi sekarang yang jauh berbeda
dengan kondisi masa lampau. Pendapat ini dilakukan oleh Dr Ma’ruf Dawalibi ahli
hukum di Mesir membedakan antara riba produktif diharamkan, sedangkan riba
konsumtif tidak akan tetapi sulit dibedakan.
Menurut Ahmad Mustafa Az-Zarka, guru besar
hukum Islam dan hukum perdata Universitas Syiria bahwa system perbankan yang
kita terima sekarang ini merupakan realitas yang tak dapat dihindari, oleh
karena itu umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional atas
pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Karena itu umat
Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem tanpa bunga untuk menyelamatkan umat
Islam dari cengkraman bank bunga.
Dari segi ekonomi, cara usaha yang tidak sehat. Keuntungan yang diperoleh
bukan berasal bukan dari pekerjaan produktif yang dapat menambah kekayaan
bangsa. Namun keuntungan itu hanya untuk dirinya sendiri tanpa imbalan ekonomis
apapun. Keuntungan ini hanya diperoleh dari sejumlah harta yang diambil dari harta
si peminjam yang sebenarnya tidak menambah harta orang yang melaksanakan riba.
Jadi, penambahan
yang Nampak pada orang jelas riba, sebenarnya bukan merupakan penambahan yang
sesungguhnya.
Praktik usaha dengan cara riba merupakan
penyebab kemalasan dan terciptanya sekelompok orang yang memperoleh harta tanpa
bunga melakukan usaha ataupun pekerjaan itu bertentangan
dengan nilai-nilai Islam yang mengajak manusia untuk giat bekerja.
Dari segi sosial, masyarakat tidak dapat
mengambil keuntungan sedikitpun dari praktik-praktik riba. Bahkan praktik riba
ini membawa bencana sosial yang besar sebab menambah beban bagi orang yang
tidak berkecukupan, dan menyebabkan perusakan nilai-nilai luhur yang dibawa
oleh Islam, yang menganjurkan persaudaraan, tolong menolong, dan bergotong-royong
diantara sesama manusia. Adanya riba ini menyebabkan munculnya sekelompok
manusia yang hanya ingin memperoleh harta dengan jalan mengekpotasi hajat
manusia.
Hal ini menimbulkan akses-akses sosial buruk,
yang membuka pintu lebar-lebar bagi bermacam-macam fitnah dan pertikaian di
antara berbagai kelompok bangsa.[19]
2.
Tinjauan tentang bunga bank
Pengertian bunga dalam praktik perbankan adalah
harga atau konpensasi atau ganti rugi yang dibayarkan untuk penggunaan uang
selama jangka waktu tertentu, yang dinyatakan dalam suatu prosentasi dari
jumlah uang yang disetujui bersama. Dalam penertian ini, dapat mencatat
beberapa hal pokok:
a.
Bunga adalah harga atau konpensasi atau ganti
rugi terhadap pemakaian uang orang lain, yang kemudian diprgunakan di dalam
proses perusahaan sendiri, sehingga debitur mendapat keuntungan dari kredit
tersebut. tau bunga itu dapat dikatakan sebagai sewa dari uang yang dipinjam
seorang debitur. Sebaliknya debitur yang meminjamkan uang tidak dapat
menguasainya dan terkandung pula beberapa resiko.
b.
Debitur berhak mempergunakan uang tersebut untuk suatu jangka tertentu. Dengan
menggunakan tersebut dia mendapat keuntungan. Keuntungan tersebut adalah di
atas kewajiban bunga yang harus dibayarnya.
c.
Jumlah dari harga atau konpenasi, atau bunga
tersebut ditentukan berdasarkan prosentasi tertentu dari jumlah yang dipinjam.[20]
3.
Tinjauan tentang tafsir Al-Azhar
Dalam kaitannya dengan penafsiran terhadap ayat
Al-Qur’an, terlebih dahulu Hamka menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang akan
ditafsirkan sesuai dengan urutan surat dan ayatnya sebagaimana yang terdapat
dalam mushaf. Setelah itu, beliau menuliskan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, baru kemudian menafsirkannya juga dalam bahasa Indonesia ayat demi
ayat dan tidak kata per kata.
Dalam menafsirkan
Al-Qur’an, Hamka terlebih dahulu menafsirkannya dengan Al-Qur’an itu sendiri,
karena penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an lebih utama daripada yang lainnya.
Selanjutnya, bila beliau tidak menemukan
tafsirannya di dalam Al-Qur’an, Hamka akan berpindah kepada sunah. Seorang mufasir
tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an berlawanan dengan sunah, bahkan sunah
wajib menyoroti tiap-tiap tafsir yang hendak ditafsirkan. Oleh karena itu,
betapapun keahlian dalam memahamkan arti dari tiap-tiap kalimat Al-Qur’an,
seorang mufassir harus memperhatikan sunah Nabi, pendapat para sahabat, tabiin,
serta ulama-ulama terdahulu, terutama dalam menafsirkan ayat-ayat yang
berkenaan dengan hukum.[21]
G.
Sistematika
Penelitian
Penelitian ini memuat enam bab termasuk
pendahuluan yang masing-masing saling berkaitan:
Bab pertama yaitu pendahuluan yang berisi latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode
penelitian, telaah pustaka dan landasan teori sistematika
pembahasan.
Bab kedua merupakan tinjauan mengenai riba dan
bungan bank, yang meliputi pengertian riba dan bunga bank, macam-macam riba,
riba dalam al-Quran, seputar bunga bank.
Bab bunga berupaya untuk
mengkaji sosok Hamka, mengenai jati dirinya, kehidupannya, pendidikan,
aktivitasnya dan beragam karya tulisnya. Kemudian para pemikir yang
mempengaruhi pandangan Hamka.
Bab keempat penyusun
berusaha untuk memaparkan deskripsi Hamka tentang riba dan bunga bank serta
dalil dalil yang menjadi dasar hukum yang digunakannya dalam menentukan status
hukum riba dan bunga bank.
Bab kelima adalah analisis terhadap pandangan
Hamka tentang riba dan bunga bank. Dengan mencurahkan sumber/landasan
pemikirannya dalam menyikapi masalah riba.
Bab keenam yaitu penutup yang berisi kesimpulan
dan saran-saran.
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
A. Chatib. 1962. Bank dalam
Islam. Bulan Bintang.
Axhar Basyir, Ahmad. 1975. Hukum Islam Tentang Riba, utang Oiutang dan
Gadai. al-Ma’arif.
Azhar Basyîr, Ahmad. 1983.Hukum Islam tentang Riba, Hutang-Piutang dan
Gadai. Bandung: Al-Ma’arif.
Efendy, Muchtar.1996. Ekonomi Islam Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Qur’an dan Hadis.
Palembang: Yayasan Pendidikan dan Ilmu Islam al-Mukhtar.
Hamka. 1994. Tafsir
al-Azhar, Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Harahap, Syahrir. 2000. Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu
Ushuluddin. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muhadzir, Noeng. 1996. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Rake Sarasin
Zuhri, Muh. 1996. Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada,
[1] Syahrir
Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000), cet pertama, hal. 11.
[2] Nurcholis
Madjid, Konsep-Konsep Tentang Ushul Al-Din da Furu al-Din serta Berbagai
Kontroversi yang Terkait (KKA Seri ke-6/tahun VI/1992), hal 4.
[3] Muh
Zuhri, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan Sebuah Tilikan Antisipatif
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), cet pertama, hal. 1.
[4] Ibid.,
[5] Ibid.,
hal. 142.
[6] Ahmad
Sukarja, Riba Bunga Bank dan Kredit Perumahan, dan ChuxaimahT. Yanggo dan Hafiz
Anshari (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka
Firdaus 1995), hal. 49.
[7]
Yusuf al-Qaradâwi, dkk, Haruskah
Hidup dengan Riba, alih bahasa Salim Basyarabil, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1944), hal. 61.
[10]
Ahmad Azhar Basyîr,
Hukum Islam tentang Riba, Hutang-Piutang dan Gadai (Bandung: Al-Ma’arif,
1983) cet ke-2, hal. 9
[11] Noeng
Muhadzir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,
1996) hal. 5-6.
[13] Muh.
Zuhri, Op.cit.
[14] Ahmad
Axhar Basyir, Hukum Islam Tentang Rib, utang Oiutang dan Gadai (al-Ma’arif,
1975).
[15] A.
Chatib, Bank dalam Islam, (Bulan Bintang, 1962).
[16]
Muchtar Efendy, Ekonomi Islam
Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran
Qur’an dan Hadis,(Palembang: Yayasan Pendidikan dan Ilmu Islam al-Mukhtar,
1996), hal. 17.
[17]
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah
untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal.
276.
[18]
Ahmad Azhar Basyîr, Asas-Asas
Muamalat (Hukum Islam Perdata), (Yogyakarta UII Press, 2000), hal 15-16.
[19]
Ahmad Muhammad Al-‘Assal da Fathi
Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), hal 89-90.
[20]
Mochtar Efendy, Loc.it., hal. 173.
[21]
Hamka, loc.it
0 comments:
Post a Comment