ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Orientalisme
Dosen pengampu
: Moh. Maimun
M.S.I, MA
Oleh: Mulya 14113450009
Adadin/Tafsir
Hadis B/4
A. Abstrak
1. Orientalisme
Mulanya Orientalisme sekadar sebutan
bagi kinerja para orientalis: pengulik hal-hal terkait Asia dan Afrika yang
secara sederhana disebut sebagai Timur. Di abad ke-18 istilah ini digunakan
kalangan penjajah Inggris yang mau tidak mau mesti mengkaji Islam dan Hindu
untuk mengetahui aturan sosial masyarakat India yang dijajah. Orientalisme
selanjutnya berkembang di periode dekolonisasi (1939-1945) sebagai penanda bagi
institusi kolonial-imperial yang berkepentingan tidak sekadar mengetahui
melainkan menguasai Timur.
2. Oksidentalisme
Oksidentalisme merupakan antitesis Orientalisme. Para
oksidentalis mengkritik orientalisme sekaligus mengkaji ulang Barat. Ibarat
permainan bola, Oksidentalisme melakukan serangan balik terhadap Orientalisme.
B.
Pembahasan
1.
Dari Orientalisme ke Oksidentalisme
Oksidentalisme
adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Apabila Orientalisme melihat ego (timur) melalui the other maka Oksidentalisme
bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dan the
other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas (murakah
al-naqish) pada ego dan kompleksitas superioritas (murakah al-uzhma)
pada phak the other. Orientalisme klasik
lahir dan mencapai kematangannya dalam kekuatannya ekspansi imprealime
Eropa yang mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang rakyat yang
dijajah. Sejak itu, Barat mengambil peran sebagai ego yang menjadi subyek dan
menggap non Barat sebagai the other yang mejadi obyek. Jadi, Orientalisme
adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji
muncullah kompleksitas superioritas dalam ego Eropa, sedangkan akibat posisinya
sebagai obyek yang dikaji mengakibatkan munculnya kompleksitas inferioritas
dalam diri the other non Eropa.[1]
Sedang
dalam Oksidentalisme pertimbangan peran telah berubah. Ego Eropa yang kemarin
berperan sebagai pengkaji, kini menjadi obyek
yang dikaji sedang the other non Eropa yang kemarin menjadi obyek yang
dikaji, kini berperan sebagai subyek pengkaji. Dengan sendirinya dialektika ego
dan the other berubah dari dialektika Barat dan non Barat menjadi
dialektika non Barat dan Barat tugas Oksidentalisme adalah mengurai
inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas
the other Barat dengan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan inferioritas
kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Dengan kata lain
menghilangkan rasa tak percaya diri di hadapan Barat dalam soal bahasa,
kebudayaan, ilmu pengetahuan, madzhab, teori dan pendapat. Sebab, hal di atas
dapat menciptakan rasa rendah diri yang terkadang secara ilusif berubah menjadi
rasa super.[2]
Perbedaan
antara orentalisme klasik dengan Oksidentalisme sekarang adalah perbedaan
momen sejarah peradaban Eropa yang menjadi tempat lahirnya Orientalisme klasik
dan momen sejarah berikutnya yang merupakan tempat lahirnya Oksidentalisme
sekarang. Hal di atas digambarkan sebagai berikut:
a.
Orientalisme
lama muncul di tengan ekspansi imprealisme Eropa. Bangsa Eropa pada masa itu
sedang mengalami masa kemenangannya setelah berhasil menaklukan Grenade (dulu
ibu kota Umawiyah di Andalusia) dan penemuan geografis. Sementara oksidentalis
lahir pada masa kemunduran pasca pergerakan Arab. Bangsa Arab pada masa itu
sedang mengalami kekalahan pada masa defensif. Karena Oksidentalisme lahir sebagai
pembelaan diri, dan sebaik-baik cara bertahan adalah menyerang, membebaskan
diri dari rasa takut pada orang lain, dan mengubah perimbangan kekuatan 180
derajat, serta “membalik meja ke hadapan lawan”
b.
Orientalisme muncul dengan membawa revolusi
paradigma riset ilmiah atau aliran politik yang menjadi kecenderungan utama di
abad ke-19 terutama positivisme, historisme, saintisme, rasialisme dan
nasionalisme. Sementara Oksidentalisme lahir di tengah paradigma penelitian
yang sama sekali berbeda dengan kondisi di mana Oksidentalisme lahir seperti
metode linguistik, metode analisis eksperimentasi subsisten dan ideologi
pembebasan tanah air.
c.
Orientalisme sekarang sudah berubah bentuknya
dan dilanjutkan oleh ilmu-ilmu kmanusiaan terutama antropologi peradaban dan
sosiologi kebudayaan. Sementara Oksidentalisme masih terlalu dini dan belum
mengembangkan bentuk apapun. Jika Orientalisme dimulai pada abad 17 dan Oksidentalisme
pada akhir abad ke 20, berarti Orientalisme empat abad lebih tua dibandingkan dengan
Oksidentalisme. Dangan jangka waktu empat abad sam dengan masa kebangkitan
Eropa modern.
d.
Orientalisme klasik tidak mengambil posisi
nertral tetapi banyak didominasi paradigma yang merefleksikan struktur
kesadaran Eropa yang terbentuk oleh peradaban modernnya. Paradigma tersebut
antara lain historis, analitis, proyektif dan pengaruh dan keterpengaruhan.
Sementara kesadaran peneliti Oksidentalisme sekarang lebih dekat kepada posisi
netral. Sebab, Oksidentalisme tidak memburu kekuasaan dan hak kontrol. Ia hanya
menghendaki pembebasan diri dari pengaruh pihak lain agar ego dapat
disejajarkan dengan the other dalam tingkat kedermawan dan kesetaraan.[3]
Jika Orientalime adalah kajian tentang
peradaban Islam oleh peneliti dari peradaban lain yang memiliki struktur emosi
yang berbeda dengan struktur peradaban yang dikajinya., maka Oksidentalisme
adalah ilmu yang berseberangan bahkan berlawanan dengannya. Agenda kedua, sikap
kita terhadap tradisi Barat, merupakan pernyataan mengenai kesadaran kita
tentang Oksiedentalisme dan materi pokoknya. Dengan demikian bahaya yang
ditimbulkan oleh anggapan bahwa peradaban Eropa merupakan sumber segala ilmu
pengetahuan, menjadi tempat bergantung peradaban lain, menjadi tempat bersandar
bagi eksistensi madzhab dan teori, dapat disingkirkan. Sikap semacam ini telah
mengakibatkan penyelewengan peradaban-peradaban non Eropa, kebergeseran dari
posisi realistisnya, ketercemburuan dari akarnya, keterikatan dengan peradaban
Eropa, dan masuk ke dalam atmosfernya dengan anggapan bahwa peradaban Eropa adalah
produk terakhirnya dari eksperimentasi manusia.[4]
Tugas
ilmu baru ini adalah mengembalikan emosi non Eropa ke tempat asalnya, menghilangkan
keterasingannya, mengaitkan kembali dengan akar lamanya menempatkannya ke
posisi realistisnya untuk kemudian menganalisanya secara langsung dan mengambil
satu sikap terhadap peradaban Eropa yang dianggap semua orang sebagai sumber
ilmu pengetahuan.
Jika
orientalisme secara sengaja mengambil posisi keberpihakan sampai pada niat
buruk yang terpendam, maka Oksidentalisme mengutarakan kemampuan ego sebagai
emosi yang netral dalam memandang the other, mengkajinya dan mengubahnya
menjadi obyek. Ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif dan netral
dibandingkan dengan ego orientalisme.
Bahkan kadang-kadang tampak bahwa ego Barat dan syarat objektivitas dan
netralitas yang digembor-gemborkannya sejak abad lalu hanya dimanfaatkan untuk menyembunyikan
egosentrisme dan keberpihakan Barat seperti terlihat dalam orientalisme.[5]
Hal
yang sangat berguna bagi tradisi Barat bahwa peneliti non Barat melakukan
kajian terhadapnya. Hal ini dapat memberikan sudut pandang baru bagi tradisi
Barat. Sebab, pengkaji Eropa begitu kenyang dengan tradisinya, dan disamping
itu juga memiliki struktur emosi yang sama dengan struktur tradisi Barat.
Akibatnya sulit bagi pengkaji Eropa untuk melihat obyek kajiannya yang berupa
tradisi Barat, karena tidak adanya jarak antara pengkaji dengan obyek
kajiannya. Lain halnya pengkaji bukan orang Eropa. Ia memiliki struktur emosi
yang berbeda dengan struktur tradisi Eropa. Sehingga tercipta jarak cukup lebar yang
memungkinkan pengkaji melihat obyek kajiannya.
Memang
benar, pengkajian tradisi Barat oleh non Barat menyimpan potensi proyektif dari
pengkaji terhadap obyek kajiannya. Malah tidak menutup kemungkinan pengkaji
lebih banyak melihat apa yang ada di dalam dirinya daripada aya yang ada di
dalam kenyataan. Benar juga bahwa pengkaji bias saja tergelincir ke dalam
premis-premis retorik atau fanatisme dan menyerang peradaban lain yang menjadi
obyek kajiannya hal itu dapat terjadi terutama jika pengkaji pernah mengalami
penderitaan akibat penjajahan langsung atau penjajahan cultural yang dilakukan
oleh bangsa-bangsa Eropa. Dalam keadaan seperti ini pengkajian terhadap tradisi
Barat akan dimanfaatkan untuk melakukan alas dendam. Tetapi kesasadaran dan
orisinalitas pengkaji akan dapat menjaganya dari ketergelinciran ke dalam
bahaya-bahaya di atas.
Justru yang menjadi bahaya besar adalah
repetisi pengkaji Barat terhadap banyak hal dan akuransi penelitian mereka
sampai pada paling kecil, tanpa mampu menemukan obyek satu kesatuan. Hal itu
terjadi karena pengkaji Eropa setelah lama terbiasa melakukan kajian dan
menemukan kelemahan perspektif universalisme dan meyakini partikularitas, serta
ingin membentuk sebuah kesatuan dimulai dari bagian-bagianya yang dapat dicapai
dengan cara tertentu dan dengan metodologi empiris.[6]
Oksidentalisme
mempunyai tugas membebaskan revolusi modern dari kesalahan-kesalahan
menyempurnakan kemerdekaan serta beralih dari kemerdekaan militer ke
kemerdekaan ekonomi, politik, kebudayaan dan yang paling utama kemerdekaan
peradaban. Selama Barat masih bercokol dalam hati kita sebagai ssumber
pengetahuan dan kerangka rujukan yang diandalkan dalam melakukan evaluasi dan
pemahaman, maka kita akan tetap menjadi golongan bawah yang membutuhkan
pelindung.
Bangsa
non Eropa mampu menyuguhkan eksperimentasi
langka dalam sejarah manusia, yaitu eksprerimentasi pembebasan tanah air
dari penjajahan dan sekaligus mengubah perimbangan kekuatan dunia.
Bangsa-bangsa yang baru merdeka ini muncul sebagai pusat kekuatan baru yang
memelihara dunia dari buntut peperangan, dan menyerukan dibangunnya kemanusiaan
baru dan prinsip kerja sama internasional yang memberikan keadilan kepada
bangsa non Eropa.
Hasil
lain eksperimentasinya adalah mengakhiri kontrol Eropa
terhadap bangsa non Eropa dan memulai babak sejarah baru bagi umat manusia. Oksidentalisme
telah memulai semua itu dan meningkatkan kualitasnya dari sekedar keinginan dan
niat baik mnjadi sebuah ilmu pengetahuan yang akurat dan tingkat retorika
politik ke tingkat retorika ilmiah. Tugas ini membutuhkan beberapa generasi.
Saat ini kita masih mengalami pada dua masa, yaitu generasi kebangkitan Arab
yang mengalami transisi dari era lama ke era baru. Kita masih berada pada
kerangka filsafat sejarah yang merefleksikan gerakan kesadaran yang
terpenjarakan. Kita masih membutuhkan beberapa generasi lagi untuk menjadikan
filsafat sejrah sebagai sosiologi yang akurat.[7]
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
0 comments:
Post a Comment