Kata Pengantar
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji dan syukur sudah selayaknya
kami panjatkan khadirat Allah SWT. Karena atas berkat dan rahmatnya kami dapat
menyelesaikan sebuah makalah yang diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Ulumul Qur’an yang bertema Rasm Al-Qur’an.
Sholawat beserta salam semoga
selamanya tercurah limpahkan kepada baginda Muhammad SAW. Kepada keluarganya,
sahabatnya, tabiin tabi’atnya dan semoga sampai kepada kita selaku umatnya yang
senantiasa selalu taat dan patuh pada ajarannya, dan berkat beliau pula mampu
mengubah dari zaman jahiliyah menjadi zaman ilmiah yang penuh dengan inovasi
ilmu-ilmu baru.
Akhirnya, sesuai kata pepatah
“Tiada gading yang tak retak” dan kami menyadari bahwa makalah ini masih
memiliki kekurangan, oleh sebab itu kami akan sangat berterima kasih sekiranya
mendapatkan kritik dan masukan yang positif untuk kesempurnaan makalah ini,
terutama kami sangat berharap sumbang saran dari Bapak Achmad Lutfi M.S.I pengampu mata kuliah Ulumul Qur’an.
Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah yang maha kuasa. Kurang
lebihnya kami mohon ma’af. Bilahitopik
walidayah
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Cirebon, 04 Maret 2012
Penyusun
Daftar Isi
Kata pengantar................................................................................................... 1
Daftar isi.............................................................................................................. 2
BAB I
1. Pendahuluan.................................................................................................. 3
2. Rumusan
masalah.......................................................................................... 3
3. Tujuan
penulisan............................................................................................ 3
BAB II
1. Pengertian
Rasm Al-Qur’an.......................................................................... 4
2. Bentuk-bentuk
Rasm Al-Qur’an................................................................... 5
3.
Pendapat para ulama sekitar Rasm Al-Qur’an.............................................. 6
4.
Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qiro’at...................................................... 10
5.
Babak lanjutan Rasm Utsmani..................................................................... 11
BAB III
Kesimpulan .................................................................................................. 13
Daftar pustaka................................................................................................... 14
BAB
I
Pendahuluan
1.
Latar
belakang
Jelaslah bahwa Al-Qur’anul Karim menghadapi
perselisihan mengenai rasm (bentuk
tulisan tulian). Dahulu pemeliharaan Al-Qur’an dilakukan melalui hafalan para
hafizh, kaum muslimin menerima dari mereka lebih banyak dari pada melalui
bacaan bencana yang mengancam para hafizh, mulailah mereka dihantui
kekhawatiran, dan mulailah para sahabat berupaya untuk memelihara Al-Qur’an
dengan cara yang lebih kekal, yaitu pembukuan Al-Qur’an. Selain itu
permasalahan yang timbul dari pendapat para ulama yang berbeda mengenai
asal-usul rasm Al-Qur’an hasil dari tauqifi ataukah ijtihad serta bentuk-bentuk
rasm dan bagaimana hubungannya dengan qiro’at.
2. Rumusan Masalah
ü Apa
yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an ?
ü Bagaimana
bentuk-bentuk Rasm Al-Qur’an ?
ü Apa
pendapat para ulama mengenai Rasm Al-Qur’an ?
ü Bagaimana
hubungan Rasm Al-Qur’an dengan qiro’at ?
ü Bagaimana
babak lanjutan Rasm Al-Qur’an ?
3. Tujuan penulisan
ü Untuk
memahami ruang lingkup Rasm Al-Qur’an
ü Untuk
mengetahui bentuk dari Rasm Al-Qur’an
ü Dapat
menyimpulkan perbedaan pendapat para
ulama mengenai Rasm Al-Qur’an
ü Untuk
mengetahui hubungan yang terjadi antara Rasm Al-Qur’an dengan qiro’at
ü Dapat
menggambarkan perkembangan periode Rasm Al-Qur’an
BAB
II
Pembahasan
1.
Pengertian
Rasm Al-Qur’an
Yang dimaksud Rasm atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah
tata cara menulis Al-Qur’an yang tetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan.
Istilah yang terakhir lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf Utsman, yaitu mushaf yang ditulis panitia
empat yang terdiri Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan
Abdurrohman bin Al-Harits. Mushaf ‘Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu.[1] Adapun
yang dimaksud dengan rasm Al-Mushaf
dalam bahasan ini yaitu :
“Ketentuan atau pola yang digunakan
oleh Utsman ibn Affan bersama sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan Al-Qur’an,
berkaitan dengan susunan huruf-hurufnya, yang terdapat dalam mushaf-mushaf yang
dikirim ke berbagai daerah dan kota, serta mushaf al-Imam yang berada di tangan
Utsman ibn Affan sendiri”.[2] Karena
terdorong ingin mengagungkan Al-Qur’an, sebagian peneliti memisahkan antara
wahyu yang turun dari Allah kepada Rosulnya, dengan huruf-huruf atau dengan
kata-kata yang ditulis para penulis Rasul SAW.
Sebagaimana diketahui,
kadang-kadang satu kata ditulis dengan bentuk tulisan yang berbeda, karena cara
penerimaannya yang berbeda, sekalipun para penulis wahyu itu menerima dari satu
orang. Namun mereka bersepakat untuk mengucapkannya dengan ucapan yang sama.
Jelaslah bahwa Al-Qur’anul Karim menghadapi
perselisihan mengenai rasm (bentuk
tulisan tulian). Dahulu pemeliharaan Al-Qur’an dilakukan melalui hafalan para
hafizh, kaum muslimin menerima dari mereka lebih banyak dari pada melalui
bacaan bencana yang mengancam para hafizh, mulailah mereka dihantui
kekhawatiran, dan mulailah para sahabat berupaya untuk memelihara Al-Qur’an
dengan cara yang lebih kekal, yaitu pembukuan Al-Qur’an.[3] Kalau
menurut pendapat saya (penulis) Rasm AlQur’an adalah tata cara menulis
Al-Qur’an dengan cara dan bentuk yang
ditetapkan pada masa khalifah Utsman melalui peneletian dan kesepakatan dari
berbeda pendapat dengan memakai kaidah-kaidah tertentu yang disesuaikan dengan
huruf-huruf.
2.
Bentuk-Bentuk
Rasm Al-Qur’an
Para
ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
a)
Al-Hadzf
(membuang, menghilangkan, meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf
alif pada ya’ nida’(يَاَيُّهَاالنَّاسُ), menghilangkan huruf
alif dari ha tanbih (هَاَنْتُمْ), menghilangkan
huruf alif pada lafazh jalalah (اَللهُ),
menghilangkan huruf ya’
(ي) dibuang
dari setiap manqush munawwan baik ber-harkat rafa’ maupun jar.
Misalnya:.....غَيْرَبَاغِ
وَلاَعَادِ dan menghilangkan huruf
wawu apabila terletak bergandengan. Misalnya: لَايَسْتَوُنَ
b)
Al-Jiyadah
(penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai
hukum jama بَنُوْااِسْرَائِيْلَ
dan
menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas tulisan
wawu تَااللهِ
تَفْتَؤُا
c)
Al-Hamzah, salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah berharkat sukun,
ditulis dengan berharkat yang sebelumnya. Contoh I’dzan (ِاِئْذَنْ) dan u’tumin (اُؤْتُمِنْ)
d)
Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai
penghormatan kepada kata اَلصّلَوتُ, الزَّكَوتُ,
اَلْحَيَوتُ
e)
Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diiringi
kata ma ditulis dengan sambung كُلَّمَا
f)
Kata yang dapat dibaca dua bunyi
Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi penulisannya
disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ‘Utsmani, penulisan
kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif misalnya maliki
yaumiddin مَلِكِ يَوْمِ
الدِّيْنِayat diatas boleh dibaca dengan menetapkan alif
(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat yakni
dibaca satu alif.[4]
Demikianlah kaidah yang
ditetapkan untuk penulisan mushaf ‘Utsmani. Kaidah penulisan ini bebeda dengan
yang biasa digunakan dalam penulisan bahasa Arab dikenal tiga macam metode
penulisan. Yakni, pertama penulisan mushaf ‘Utsmani yang baru saja
disinggung secara singkat. Kedua, penulisan Arudl yaitu ilmu
untuk menimbang syair-syair. Tulisan jenis kedua ini, sebuah bunyi
divisulisasikan dalam bentuk huruf. Dan ketiga, penulisan biasa, maksudnya tata
cara penulis yang biasa dipakai sehari-hari.[5]
3. Pendapat Para
Ulama Sekitar Rasm Al-Qur’an
1. para
ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasm Al-Qur’an :
a)
Sebagian dari
mereka berpendapat bahwa rasm Utsmani itu bersifat tauqifi yakni budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja
ketika menulis Al-Qur’an. Mereka bahkan pada tingkat menyakralkan. Untuk
pendapat ini, mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa
Nabi pernah berpesan kepada Mu’awiyah, salah seorang sekertarisnya.
“Letakkanlah tinta. Pegang pena
baik-baik. Luruskan huruf ba’ bedakan huruf sin. Jangan butakan huruf mim.
Panjangkan (tulisan) al-rohman. Dan buat baguslah (tulisan) al-rahim. Lalu,
letakanlah penamu di atas telinga kirimu, karena itu akan akan membuat lebih
ingat.”
Mereka pun pernyataa Ibn Al-Mubarak,
“Sahabat juga yang lainnya, sama
sekali tidak campur tangan dalam urusan rasm mushaf, sehelai rambut sekalipun.
Itu adalah ketetapan Nabi. Beliaulah yang menyuruh mereka menulisnya seperti
dalam bentuknya yang dikenal, dengan menambah alif dan menghilangkan lantaran
rahasia yang tidak dapat dijangkau akal. Hal itu merupakan salah satu rahasia
khusus yang diberikan Allah untuk kitab suci-Nya yang tidak diberikan untuk
kitab samawi lainnya. Sebagaimana halnya susunan Al-Qur’an itu mukjizat, rasm
tulisannya pun mukjizat pula”.
Berdasarkan sabda Nabi
dan pernyataan Ibn Al-Mubarak itu, mereka memandang bahwa rasm ‘Utsmani
memiliki rahasia-rahasia yang sekaligus memperlihatkan makna-makna yang
tersembunyi. Misalnya adalah penambahan huruf ي pada penulisan اَيْدٍ pada ayat
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَا هَابِاَيْدٍ وَاِنَالَمُوْ سِعُوْنَ
Artinya :
“Dan langit itu Kami bangun dengan
kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” QS. Adz-Dzariyyat 51:47
Mengomentari pendapat di
atas, Al-Qathan berpendapat bahwa tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang
bisa dijadikan alasan untuk menjadikan rasm ‘Utsmani menjadi tauqifi. Rasm
‘Utsmani merupakan murni hasil kreatif panitia empat atas persetujuan ‘Utsman.
Pedoman cara penulian yang digunakan
panitia adalah pesan ‘Utsman kepada tiga orang diantara panitia yang berasal
dari suku Quraisy. Pesan itu adalah :
“Jika kalian berbeda pendapat
(ketika menulis mushaf) dengan Zaid bin Tsabit, maka tulislah dengan lisan
Quraisy, karena dengan lisan itulah Al-Qur’an turun”.
Ketika panitia empat itu berbeda pendapat tentang
cara penulisan kata “at-tabut اَلتَابُوْت Zaid menulisnya at-tabuh اَلتَابُوْه sedangkan tiga orang lainnya at-tabut
اَلتَابُوْت. Kata persoalan itu diadukan kepada ‘Utsman ia berkata “tulislah at-tabut اَلتَابُوْت karena dengan lisan Quraisy lah, Al-Qur’an turun.
Bantahan serupa
dikemukakan Subhi Salih. Ia mengatakan ketidaklogisan rasm ‘Utsmani disebut-sebut tauqifi.
Masalahnya berbeda sekali dengan huruf tahajji,
seperti alif
lam mim, alif lam ra, yang
terdapat diawal beberapa surat. Karena huruf-huruf tahajji itu status Qur’annya
mutawatir. Akan tetapi, istilah rasm ‘Utsmani baru lahir pada
pemerintahan ‘Utsman.’ Utsman yang menyetujui penggunaan istilah itu, bukan
Nabi.
b)
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukan tauqifi,
tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishthilahi) yang disetujui ‘Utsman
diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapun yang menulis
Al-Qur’an. Tidak boleh ada yang menyalahinya. Banyak ulama terkemuka yang
menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasm ‘Utsmani. Asyhab bercerita
bahwa ketika ditanya tentang penulisan Al-Qur’an, apakah perlu menulisnya
seperti yang dipakai banyak orang sekarang. Malik menjawab “Saya tidak berpendapat demikian.
Seseorang hendaklah menulisnya sesuai dengan tulisan pertama”. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Haram hukumnya menyalahi khath
Mushaf ‘Utsmani dalam soal wawu, alif, ya, atau huruf lainnya”.
c)
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukanlah tauqifi.
Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat
menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Qur’an yang nota bene berlainan dengan rasm ‘Utsmani. Dalam hal ini
Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani berkata “Adapun tulisan, sedikit pun Allah tidak
mewajibkan kepada ummat. Allah tidak mewajibkan juru tulis Al-Qur’an dan
kaligrafer mushaf-mushaf suatu bentuk tertentu dan mewajibkan mereka
meninggalkan jenis tulisan lainnya. Sebab keharusan untuk menerapkan bentuk
tertentu harus ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an atau hadis. Padahal tidak ada
dalam nash-nash Al-Qur’an, tidak juga tersirat dari suatu mafhumnya yang
mengatakan bahwa rasm dan dhabitnya Al-Qur’an hanya dibenarkan dengan cara dan
ketetapan tertentu yang boleh dilanggar, tidak juga dalam sunnah yang
mewajibkan dan menunjukan demikian. Dan tidak pula ditunjukan qiyas syar’i.
bahkan sunnah menunjukan bolehnya menuliskannya
mushaf dengan cara bagaimana saja mudah. Sebab dahulu Rosulullah menyuruh
menuliskannya tanpa menjelaskan kepada mereka bentuk tulisan tertentu. Oleh
karena itu, telah terjadi perbedaan khath mushaf-mushaf yang ada. Ada diantara
mereka yang menulis kalimat berdasar
makhroj lafazh dan ada pula
yang menambah dan menguranginya berdasarkan pengetahuannya bahwa rasm ‘Utsmani
hanyalah istilah semata. Jelasnya siapa saja mengatakan bahwa siapa saja yang
wajib mengikuti cara penulisan tertentu ketika menulis Al-Qur’an, hendaklah ia
mendukungnya dengan berbagai argumentasi dan siap membantahya.
Berkaitan dengan pendapat
di atas, Al-Qathan memilih pendapat yang kedua karena lebih memungkinkan untuk
memelihara Al-Qur’an dari perubahan dan pergantian hurufnya. Seandainya setiap
masa diperbolehkan menulis Al-Qur’an sesuai dengan tren tulisan pada masanya,
menurutnya, perubahan tulisan Al-Qur’an terbuka lebar pada setiap masa. Padahal
setiap kurun dan waktu memilik tren tulisan yang berbeda-beda. Mengomentari
pendapat Al-Baqilani di atas, Al-Qathan menegaskan bahwa perbedaan khath pada
mushaf-mushaf yang ada merupakan suatu hal, dan cara menulis huruf merupakan
hal lain.jika yang pertama berkaitan dengan bentuk huruf, sedangkan yang kedua
berdasarkan bentuk huruf. Untuk memperkuat pendapatnya, Al-Qathan mengutip
ucapan Al-Baihaqi di dalam kitab Syu’b
Al-Iman.
“Siapa saja yang hendak menulis
mushaf, hendaknya memperhatikan cara orang-orang yang pertama kali menulisnya.
Janganlah berbeda dengannya. Tidak boleh mengubah sedikit pun apa-apa yang
telah mereka tulis karena mereka lebih banyak pengetahuannya, ucapan dan
kebenaranya lebih dipercaya, serta lebih dapat memegang amanat dari pada kita.
Jangan diantara kita yang merasa dapat menyamai mereka.[6]
2. Kedudukan
Al-mushaf Al-Utsmani
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah tentang
pola penulisan Al-Qur’an dalam mushaf ‘Usmani itu bersifat tauqifi berdasarkan
petunjuk dari Nabi SAW., ataukah hanya merupakan hasil ijtihad para sahabat
Nabi.
a.
Jumhur ulama
berpendapat, bahwa pola penulisan al-Qur’an dalam mushaf ‘Usmani adalah bersifat tauqifi. Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah :
1) Penulisan
Al-Qur’an dalam rasm ‘Usmani dilakukan oleh para juru tulis wahyu di hadapan
Nabi SAW., dan apa yang dilakukan oleh mereka adalah di-taqrir-kan oleh beliau.
2) Penulisan
Al-Qur’an ini berlanjut pada masa Abu Bakar dan
juga pada masa Usman ibn Affan, sampai pada masa tabi’in dan tabi’ al tabi’in.
Dengan demikian, penulisan Al-Qur’an menurut rasm Usmani telah merupakan ijma
para sahabat. Sementara itu tidak mungkin para sahabat melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan ketentuan Nabi SAW. Dengan cara misalnya menambah atau
megurangi huruf Al-Qur’an tanpa petunjuk beliau.
b. Sebagian
ulama berpendapat bahwa pola penulisan Al-Qur’an dalam mushaf Usmani hanya
merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi, tidak bersifat tauqifi. Hal ini
karena tidak ada nash baik berupa ayat Al-Qur’an maupun as-Sunnah yang
menunjukan adanya keharusan menulis al-Qur’an menurut rasm atau pola tertentu.[7]
Dari kedua pendapat tersebut di
atas, cenderung menyimpulkan, bahwa pola penulisan Al-Qur’an dalam mushaf Utsmani
hanyalah merupakan hasil kesepakatan para sahabat Nabi dengan alasan an
pertimbangan berikut :
1) Nabi
SAW. Adalah seorang yang ummi, tidak bisa membaca dan menulis. Dengan demikian,
Nabi SAW. Tidak mungkin memberi petunjuk kepada para juru tulis wahyu dengan
pola tertentu mengenai penulisan al-Qur’an. Selain itu kalau memang Nabi SAW.
Memberikan petunjuk kepada para juru tulis wahyu agar menulisnya dengan rasm Utsmani,
tentu terdapat keterangan mengenai hal ini yang diriwayatkan secara mutawatir.
Namun nyatanya keterangan mengenai hal
ini tidak ada.
2)
Seandainya
bersifat tauqifi berdasarkan dari Nabi. Kenapa istilah yang digunakan dalam hal
ini adalah rasm Utsmani bukan rasm nabawi.[8]
4. Kaitan Rasm
Al-Qur’an dengan Qira’at
Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa keberadaan mushaf Utsmani yang tidak berharakat dan tak
bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai
qira’at (cara membaca Al-Qur’an). Hal itu dibuktikan dengan masih terdapatnya
keragaman cara membaca Al-Qur’an walaupun setelah muncul mushaf ‘Utsmani,
seperti qira’ah tujuh, qira’ah sepuluh, dan qira’ah empat belas. Kenyataan
itulah yang mengilhami Ibn Al-Qur’an dengan tujuh huruf saja Mujahid (859-935) untuk melakukan
penyeragaman cara membaca Al-Qur’an dengan tujuh cara saja (qira’ah sab’ah).
Tentu bukan ia saja yang amat berkepentingan dengan langkah penyeragaman teks
ini, umpanya Malik ibn Anas (w. 795), ulama besar Madinah dan pendiri
mazhab maliki. Ia dengan tegas
menyatakan bahwa shalat yang dilaksanakan menurut bacaan ibn Mas’ud adalah tidak sah.[9]
5. Babak Lanjutan Rasm ‘Utsmani
Ketika ditulis oleh
panitia empat mushaf ‘Utsman masih belum bertitik dan brsyakl atau baris.
Perkembangan yang ada pada saat itu menuntut demikian. Para sahabat sudah mampu
membaca mushaf tanpa harus dibimbing dengan tanda-tanda baca apapun. Dalam
kondisinya yang seperti itu, mushaf Utsmani dibaca kaum muslimin seperti
diungkapkan oleh Abu Ahmad al-askariy (w. 382 H) selama sekitar 40 tahun atau
tepatnya sampai masa khilafah Abdu al-Malik.
Islam terus
berkembang umatnya semakin banyak banyak
orang-orang bukan Arab yang telah masuk Islam. Maka sebagai akibat logisnya
benturan-benturan kultular antar masyarakat Arab dengan orang-orang ‘ajami
itupun tak terelakan adanya. Sejak itulah perkembangan yang dirasa
menggembirakan itu ternyata membawa kekhawatiran. Yaitu terancamnya keselamatan
bahasa Arab. Di kalangan masyarakat Islam sering terjadi kesalahan melafalkan
Al-Qur’an. Hal itu terutama pada kata
yang memang terbuka kemungkinan dibaca dengan salah. Misalnya قلت menurut
Rasm Utsmani, kata ini ditulis tanpa alif setelah huruf qaf, tetapi hanya cukup
diberi tanda yang menunjukan huruf qaf dibaca dua alif.
Di
masa pemerintahan Abd al-Malikbin Marwan diras perlu adanya huruf-huruf yang
berbentuk sama. Misalnya hurif س (sin) dengan ش (syin), demikian juga antara huruf
ف dengan hurufق tanpa tanda pembeda
memang orang sulit mengenal secara pasti
huruf-huruf ب, ت, ث pembeda ini disebut
dengan i’jam
Abu
Aswad yang banyak dijagokan sebagai pelatak titik dan harakat mushaf pertama, menurut
riwayat yang diturunkan al-Zarkasyi di dalam Al-Burahan-nya pernah
mendengar seseorang (yang sesungguhnya sengaja, atas perinyah Ziyad) membaca
surah Taubah ayat 3 yang berbunyi :اِنَ
اللهَ بَرِىْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ padahal
bunyi potongan ayat itu اِنَ اللهَ بَرِىْءٌ
مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ yang
berarti : “Sesungguhnya Allah dan Rosul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrik” bila dibaca salah seperti yang didengar Abu Al-Aswad Ad-Duali,
maka artinya menjadi “Sesungguhya Allah berlepas diri dari orang-orang
musyrik dan Rosul-Nya” mendengar hal itu Abu Al-Aswad terkejut langsung
berucap : Maha besar Allah bagaimana mungkin Dia (Allah) berlepas diri dari
Rosulnya ?! Setelah itu Abu Al-Aswad segera datang menemui Ziyad, gubernur
Basrah. Kalau dahulu Abu Al Aswad ketika diminta gubernur itu meletakkan tanda
baca pada Rasm al-mushaf menolak, maka kini ia sendiri (ahli gramatika Arab)
yang datang menawarkan iri kepada Ziyad seraya berkata “Aku telah
mengabulkan apa yang kau minta”
Memang
kesalahan selalu mungkin terjadi saat seorang membaca Al-Qur’an. sebab pada masa
itu tulisan Al-Qur’an belum mengenal titik dan belm mengenal harakat atau
baris. Sehingga kemungkinan orang membacanya titik dengan benar selalu terbuka.
Kekhawatiran itulah yang melahirkan gagasan untuk mengupayakan alat bantu
membaca Al-Qur’an dapat ditekan sebisa mungkin. Tersebutlah nama Ubaidillahbin
Zayyad (w. 67 H). tokoh ini memerintahkan seseorang pria asal Persia meletakkan
huruf alif pada kata (dalam bahasa arab disebut kalimat) yang berdasarkan Rasm
Utsmani justru dibuang. Misalnya مَلاَئِكَةٌ yang
dalam rasm Utsmani ditulis مَلَئِكَةٌ dengan
disebut nama Ubaidillah berarti bukan Abu Al-Aswad yang disebut-sebut sebagai
pemula yang berusaha mencarikan jalan kaluar guna menghindari kesalahan di
dalam mebaca Al-Qur’an. Nama lainnya juga disebut adalah Al-Hallaj bin Yusuf
al-Tsaqfiy (w. 95 H). Tokoh yang disebut belakangan ini merehab rasm Al-Qur’an
di 11 tempat. Setelah rasm Al-Qur’an direhab Al-Hallaj menurut Abu Daud orang
lebin mudah membaca dan memahami Al-Qur’an. Namun Abu Daud tidak menyebut
tempat mana saja yang direhab Al-hallaj.[10]
BAB
III
Kesimpulan
Istilah Rasm Utsmani lahir bersama dengan lahirnya mushaf Utsman. Yaitu
mushaf yang ditulis “panitia empat” yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah
bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abd Al-Rahman bin Al-Harits. Sejak itu pula
tertancap sebuah patok yang disebut Kaidah
Rasm Utsmani. Cara-cara
penulisan yang ditetapkan untuk menulis mushaf Utsmani inilah yang menyebar ke
berbagai pelosok dunia Islam. Dan bahkan Al-Qur’an yang diterbitkan secara
resmi oleh Republik Islam Iran yang bermahzab syi’ah pun mnggunakan mushaf ini.
Popularitas mushaf Utsmani sampai pada tingkat yang melahirkan suatu keyakinan
bahwa tata cara menulis mushaf ini sebagai tauqifi yang bukan produk budaya manusia. Tapi suatu yang
ditetapkan berdasarkan wahyu Allah yang Nabi sendiri pun tak punya otoritas
untuk menyangkalnya.
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
Al Ibyariy, Ibrahim. 1995. Pengenalan
sejarah Al-Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo.
Anwar, Rosihon. 2008. Ulum
Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Hasanuddin. AF. 1995. Anatomi
Alqur’an Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam
Al-Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Marzuki, Kamaluddin. 1994. Ulum
Al-Qur’an. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Rasm
Al-Qur’an
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas terstruktur
Mata Kuliah: Ulum Al-Qur’an
Dosen pengampu : Achmad Lutfi M.S.I
Disusun oleh :
Asep Jamaludin 14113450004
Mulya 14113450009
Adadin/Tafsir
Hadis B/2
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
Tahun 2012
[1] Rosihon
Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 48.
[2] Hasanuddin
. AF, Anatomi Alqur’an Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya Terhadap
Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an,( Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), hlm. 79
[3] Ibrahim Al
Ibyariy, Pengenalan sejarah Al-Qur’an,( Jakarta: Raja Grafindo, 1995),
hlm. 118.
[4] Rosihon
Anwar, op.cit., hlm. 49.
[5] Kamaluddin
Marzuki, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm.
81-82.
[6] Rosihon
Anwar, op.cit., hlm. 50-53.
[7] Hasanuddin.
AF, op. cit., hlm . 85-86
[8] Ibid.,
hlm. 87-88
[10] Kamaluddin
Marzuki, op. cit, hlm. 82-84
0 comments:
Post a Comment