اَهْلاًوَسَهْلاً

Tuesday, 14 January 2014

Rasm Al-Qur’an



Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur sudah selayaknya kami panjatkan khadirat Allah SWT. Karena atas berkat dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur Ulumul Qur’an yang bertema Rasm Al-Qur’an.

Sholawat beserta salam semoga selamanya tercurah limpahkan kepada baginda Muhammad SAW. Kepada keluarganya, sahabatnya, tabiin tabi’atnya dan semoga sampai kepada kita selaku umatnya yang senantiasa selalu taat dan patuh pada ajarannya, dan berkat beliau pula mampu mengubah dari zaman jahiliyah menjadi zaman ilmiah yang penuh dengan inovasi ilmu-ilmu baru.

Akhirnya, sesuai kata pepatah “Tiada gading yang tak retak” dan kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan, oleh sebab itu kami akan sangat berterima kasih sekiranya mendapatkan kritik dan masukan yang positif untuk kesempurnaan makalah ini, terutama kami sangat berharap sumbang saran dari Bapak Achmad Lutfi M.S.I pengampu mata kuliah Ulumul Qur’an. Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah yang maha kuasa. Kurang lebihnya kami mohon ma’af.  Bilahitopik walidayah

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Cirebon, 04 Maret 2012


Penyusun






Daftar Isi

Kata pengantar................................................................................................... 1
Daftar isi.............................................................................................................. 2
BAB I
1.      Pendahuluan.................................................................................................. 3
2.      Rumusan masalah.......................................................................................... 3
3.      Tujuan penulisan............................................................................................ 3
BAB II
1.      Pengertian Rasm Al-Qur’an.......................................................................... 4
2.      Bentuk-bentuk Rasm Al-Qur’an................................................................... 5
3.      Pendapat para ulama sekitar Rasm Al-Qur’an.............................................. 6
4.      Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qiro’at...................................................... 10
5.      Babak lanjutan Rasm Utsmani..................................................................... 11
BAB III
Kesimpulan .................................................................................................. 13
Daftar pustaka................................................................................................... 14











 

BAB I
Pendahuluan

1.      Latar belakang
Jelaslah bahwa Al-Qur’anul Karim menghadapi perselisihan  mengenai rasm (bentuk tulisan tulian). Dahulu pemeliharaan Al-Qur’an dilakukan melalui hafalan para hafizh, kaum muslimin menerima dari mereka lebih banyak dari pada melalui bacaan bencana yang mengancam para hafizh, mulailah mereka dihantui kekhawatiran, dan mulailah para sahabat berupaya untuk memelihara Al-Qur’an dengan cara yang lebih kekal, yaitu pembukuan Al-Qur’an. Selain itu permasalahan yang timbul dari pendapat para ulama yang berbeda mengenai asal-usul rasm Al-Qur’an hasil dari tauqifi ataukah ijtihad serta bentuk-bentuk rasm dan bagaimana hubungannya dengan qiro’at.
2.      Rumusan Masalah
ü  Apa yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an ?
ü  Bagaimana bentuk-bentuk Rasm Al-Qur’an ?
ü  Apa pendapat para ulama mengenai Rasm Al-Qur’an ?
ü  Bagaimana hubungan Rasm Al-Qur’an dengan qiro’at ?
ü  Bagaimana babak lanjutan Rasm Al-Qur’an ?

3.      Tujuan penulisan
ü  Untuk memahami ruang lingkup Rasm Al-Qur’an
ü  Untuk mengetahui bentuk dari Rasm Al-Qur’an
ü  Dapat menyimpulkan  perbedaan pendapat para ulama mengenai Rasm Al-Qur’an
ü  Untuk mengetahui hubungan yang terjadi antara Rasm Al-Qur’an dengan qiro’at
ü  Dapat menggambarkan perkembangan periode Rasm Al-Qur’an







BAB II
Pembahasan

1.      Pengertian Rasm Al-Qur’an
Yang dimaksud Rasm  atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menulis Al-Qur’an yang tetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Istilah yang terakhir lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf  Utsman, yaitu mushaf yang ditulis panitia empat yang terdiri Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abdurrohman bin Al-Harits. Mushaf ‘Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu.[1] Adapun yang dimaksud dengan rasm Al-Mushaf dalam bahasan ini yaitu :
“Ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman ibn Affan bersama sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan Al-Qur’an, berkaitan dengan susunan huruf-hurufnya, yang terdapat dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke berbagai daerah dan kota, serta mushaf al-Imam yang berada di tangan Utsman ibn Affan sendiri”.[2] Karena terdorong ingin mengagungkan Al-Qur’an, sebagian peneliti memisahkan antara wahyu yang turun dari Allah kepada Rosulnya, dengan huruf-huruf atau dengan kata-kata yang ditulis para penulis Rasul SAW.
Sebagaimana diketahui, kadang-kadang satu kata ditulis dengan bentuk tulisan yang berbeda, karena cara penerimaannya yang berbeda, sekalipun para penulis wahyu itu menerima dari satu orang. Namun mereka bersepakat untuk mengucapkannya dengan ucapan yang sama.
Jelaslah bahwa Al-Qur’anul Karim menghadapi perselisihan  mengenai rasm (bentuk tulisan tulian). Dahulu pemeliharaan Al-Qur’an dilakukan melalui hafalan para hafizh, kaum muslimin menerima dari mereka lebih banyak dari pada melalui bacaan bencana yang mengancam para hafizh, mulailah mereka dihantui kekhawatiran, dan mulailah para sahabat berupaya untuk memelihara Al-Qur’an dengan cara yang lebih kekal, yaitu pembukuan Al-Qur’an.[3] Kalau menurut pendapat saya (penulis) Rasm AlQur’an adalah tata cara menulis Al-Qur’an  dengan cara dan bentuk yang ditetapkan pada masa khalifah Utsman melalui peneletian dan kesepakatan dari berbeda pendapat dengan memakai kaidah-kaidah tertentu yang disesuaikan dengan huruf-huruf.
2.      Bentuk-Bentuk Rasm Al-Qur’an
Para ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
a)      Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’(يَاَيُّهَاالنَّاسُ), menghilangkan huruf alif dari ha tanbih (هَاَنْتُمْ), menghilangkan huruf alif pada lafazh jalalah (اَللهُ), menghilangkan huruf ya’ (ي) dibuang dari setiap manqush munawwan baik ber-harkat rafa’ maupun jar.
Misalnya:.....غَيْرَبَاغِ وَلاَعَادِ  dan menghilangkan huruf wawu apabila terletak bergandengan. Misalnya: لَايَسْتَوُنَ
b)      Al-Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama بَنُوْااِسْرَائِيْلَ dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu تَااللهِ تَفْتَؤُا
c)      Al-Hamzah, salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah berharkat sukun, ditulis dengan berharkat yang sebelumnya. Contoh I’dzan اِئْذَنْ) dan u’tumin (اُؤْتُمِنْ)
d)     Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan kepada kata اَلصّلَوتُ, الزَّكَوتُ, اَلْحَيَوتُ
e)      Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diiringi kata ma ditulis dengan sambung كُلَّمَا
f)       Kata yang dapat dibaca dua bunyi
Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi penulisannya disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ‘Utsmani, penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif misalnya maliki yaumiddin  مَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِayat diatas boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat yakni dibaca satu alif.[4]





Demikianlah kaidah yang ditetapkan untuk penulisan mushaf ‘Utsmani. Kaidah penulisan ini bebeda dengan yang biasa digunakan dalam penulisan bahasa Arab dikenal tiga macam metode penulisan. Yakni, pertama penulisan mushaf ‘Utsmani yang baru saja disinggung secara singkat. Kedua, penulisan Arudl yaitu ilmu untuk menimbang syair-syair. Tulisan jenis kedua ini, sebuah bunyi divisulisasikan dalam bentuk huruf. Dan ketiga, penulisan biasa, maksudnya tata cara penulis yang biasa dipakai sehari-hari.[5]

3.      Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Al-Qur’an
1.      para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasm Al-Qur’an  :
a)      Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm Utsmani itu bersifat tauqifi yakni  budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis Al-Qur’an. Mereka bahkan pada tingkat menyakralkan. Untuk pendapat ini, mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi pernah berpesan kepada Mu’awiyah, salah seorang sekertarisnya.
“Letakkanlah tinta. Pegang pena baik-baik. Luruskan huruf ba’ bedakan huruf sin. Jangan butakan huruf mim. Panjangkan (tulisan) al-rohman. Dan buat baguslah (tulisan) al-rahim. Lalu, letakanlah penamu di atas telinga kirimu, karena itu akan akan membuat lebih ingat.”
Mereka pun pernyataa Ibn Al-Mubarak,
“Sahabat juga yang lainnya, sama sekali tidak campur tangan dalam urusan rasm mushaf, sehelai rambut sekalipun. Itu adalah ketetapan Nabi. Beliaulah yang menyuruh mereka menulisnya seperti dalam bentuknya yang dikenal, dengan menambah alif dan menghilangkan lantaran rahasia yang tidak dapat dijangkau akal. Hal itu merupakan salah satu rahasia khusus yang diberikan Allah untuk kitab suci-Nya yang tidak diberikan untuk kitab samawi lainnya. Sebagaimana halnya susunan Al-Qur’an itu mukjizat, rasm tulisannya pun mukjizat pula”.
Berdasarkan sabda Nabi dan pernyataan Ibn Al-Mubarak itu, mereka memandang bahwa rasm ‘Utsmani memiliki rahasia-rahasia yang sekaligus memperlihatkan makna-makna yang tersembunyi. Misalnya adalah penambahan huruf ي pada penulisan اَيْدٍ pada ayat


وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَا هَابِاَيْدٍ وَاِنَالَمُوْ سِعُوْنَ
Artinya :
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” QS. Adz-Dzariyyat 51:47
Mengomentari pendapat di atas, Al-Qathan berpendapat bahwa tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang bisa dijadikan alasan untuk menjadikan rasm ‘Utsmani menjadi tauqifi. Rasm ‘Utsmani merupakan murni hasil kreatif panitia empat atas persetujuan ‘Utsman. Pedoman cara penulian  yang digunakan panitia adalah pesan ‘Utsman kepada tiga orang diantara panitia yang berasal dari suku Quraisy. Pesan itu adalah :
“Jika kalian berbeda pendapat (ketika menulis mushaf) dengan Zaid bin Tsabit, maka tulislah dengan lisan Quraisy, karena dengan lisan itulah Al-Qur’an turun”.
Ketika panitia empat itu berbeda pendapat tentang cara penulisan kata “at-tabut اَلتَابُوْت  Zaid menulisnya at-tabuh اَلتَابُوْه  sedangkan tiga orang lainnya at-tabut اَلتَابُوْت. Kata persoalan itu diadukan  kepada ‘Utsman ia berkata “tulislah at-tabut اَلتَابُوْت karena dengan lisan Quraisy lah, Al-Qur’an turun.
Bantahan serupa dikemukakan Subhi Salih. Ia mengatakan ketidaklogisan  rasm ‘Utsmani disebut-sebut tauqifi. Masalahnya berbeda sekali dengan huruf tahajji, seperti alif lam mim, alif lam ra, yang terdapat diawal beberapa surat. Karena huruf-huruf tahajji itu status Qur’annya mutawatir. Akan tetapi, istilah rasm ‘Utsmani baru lahir pada pemerintahan ‘Utsman.’ Utsman yang menyetujui penggunaan istilah itu, bukan Nabi.
b)      Sebagian besar ulama berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishthilahi) yang disetujui ‘Utsman diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapun yang menulis Al-Qur’an. Tidak boleh ada yang menyalahinya. Banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasm ‘Utsmani. Asyhab bercerita bahwa ketika ditanya tentang penulisan Al-Qur’an, apakah perlu menulisnya seperti yang dipakai banyak orang sekarang. Malik menjawab “Saya tidak berpendapat demikian. Seseorang hendaklah menulisnya sesuai dengan tulisan pertama”. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Haram hukumnya menyalahi khath Mushaf ‘Utsmani dalam soal wawu, alif, ya, atau huruf lainnya”.
c)      Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Qur’an yang nota bene berlainan dengan rasm ‘Utsmani. Dalam hal ini Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani berkata “Adapun tulisan, sedikit pun Allah tidak mewajibkan kepada ummat. Allah tidak mewajibkan juru tulis Al-Qur’an dan kaligrafer mushaf-mushaf suatu bentuk tertentu dan mewajibkan mereka meninggalkan jenis tulisan lainnya. Sebab keharusan untuk menerapkan bentuk tertentu harus ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an atau hadis. Padahal tidak ada dalam nash-nash Al-Qur’an, tidak juga tersirat dari suatu mafhumnya yang mengatakan bahwa rasm dan dhabitnya Al-Qur’an hanya dibenarkan dengan cara dan ketetapan tertentu yang boleh dilanggar, tidak juga dalam sunnah yang mewajibkan dan menunjukan demikian. Dan tidak pula ditunjukan qiyas syar’i. bahkan sunnah menunjukan  bolehnya menuliskannya mushaf dengan cara bagaimana saja mudah. Sebab dahulu Rosulullah menyuruh menuliskannya tanpa menjelaskan kepada mereka bentuk tulisan tertentu. Oleh karena itu, telah terjadi perbedaan khath mushaf-mushaf yang ada. Ada diantara mereka yang menulis kalimat berdasar makhroj lafazh dan ada pula yang menambah dan menguranginya berdasarkan pengetahuannya bahwa rasm ‘Utsmani hanyalah istilah semata. Jelasnya siapa saja mengatakan bahwa siapa saja yang wajib mengikuti cara penulisan tertentu ketika menulis Al-Qur’an, hendaklah ia mendukungnya dengan berbagai argumentasi dan siap membantahya.
Berkaitan dengan pendapat di atas, Al-Qathan memilih pendapat yang kedua karena lebih memungkinkan untuk memelihara Al-Qur’an dari perubahan dan pergantian hurufnya. Seandainya setiap masa diperbolehkan menulis Al-Qur’an sesuai dengan tren tulisan pada masanya, menurutnya, perubahan tulisan Al-Qur’an terbuka lebar pada setiap masa. Padahal setiap kurun dan waktu memilik tren tulisan yang berbeda-beda. Mengomentari pendapat Al-Baqilani di atas, Al-Qathan menegaskan bahwa perbedaan khath pada mushaf-mushaf yang ada merupakan suatu hal, dan cara menulis huruf merupakan hal lain.jika yang pertama berkaitan dengan bentuk huruf, sedangkan yang kedua berdasarkan bentuk huruf. Untuk memperkuat pendapatnya, Al-Qathan mengutip ucapan Al-Baihaqi di dalam kitab Syu’b Al-Iman.
“Siapa saja yang hendak menulis mushaf, hendaknya memperhatikan cara orang-orang yang pertama kali menulisnya. Janganlah berbeda dengannya. Tidak boleh mengubah sedikit pun apa-apa yang telah mereka tulis karena mereka lebih banyak pengetahuannya, ucapan dan kebenaranya lebih dipercaya, serta lebih dapat memegang amanat dari pada kita. Jangan diantara kita yang merasa dapat menyamai mereka.[6]
2.      Kedudukan Al-mushaf Al-Utsmani
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah tentang pola penulisan Al-Qur’an dalam mushaf ‘Usmani itu bersifat tauqifi berdasarkan petunjuk dari Nabi SAW., ataukah hanya merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi.
a.       Jumhur ulama berpendapat, bahwa pola penulisan al-Qur’an dalam mushaf  ‘Usmani adalah bersifat tauqifi. Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah :
1)      Penulisan Al-Qur’an dalam rasm ‘Usmani dilakukan oleh para juru tulis wahyu di hadapan Nabi SAW., dan apa yang dilakukan oleh mereka adalah di-taqrir-kan oleh beliau.
2)      Penulisan Al-Qur’an ini berlanjut pada masa Abu Bakar dan  juga pada masa Usman ibn Affan, sampai pada masa tabi’in dan tabi’ al tabi’in. Dengan demikian, penulisan Al-Qur’an menurut rasm Usmani telah merupakan ijma para sahabat. Sementara itu tidak mungkin para sahabat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan Nabi SAW. Dengan cara misalnya menambah atau megurangi huruf Al-Qur’an tanpa petunjuk beliau.
b.      Sebagian ulama berpendapat bahwa pola penulisan Al-Qur’an dalam mushaf Usmani hanya merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi, tidak bersifat tauqifi. Hal ini karena tidak ada nash baik berupa ayat Al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menunjukan adanya keharusan menulis al-Qur’an menurut rasm atau pola tertentu.[7]
Dari kedua pendapat tersebut di atas, cenderung menyimpulkan, bahwa pola penulisan Al-Qur’an dalam mushaf Utsmani hanyalah merupakan hasil kesepakatan para sahabat Nabi dengan alasan an pertimbangan berikut :
1)      Nabi SAW. Adalah seorang yang ummi, tidak bisa membaca dan menulis. Dengan demikian, Nabi SAW. Tidak mungkin memberi petunjuk kepada para juru tulis wahyu dengan pola tertentu mengenai penulisan al-Qur’an. Selain itu kalau memang Nabi SAW. Memberikan petunjuk kepada para juru tulis wahyu agar menulisnya dengan rasm Utsmani, tentu terdapat keterangan mengenai hal ini yang diriwayatkan secara mutawatir. Namun nyatanya keterangan  mengenai hal ini tidak ada.
2)      Seandainya bersifat tauqifi berdasarkan dari Nabi. Kenapa istilah yang digunakan dalam hal ini adalah rasm Utsmani bukan rasm nabawi.[8]

4.      Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf Utsmani yang tidak berharakat dan tak bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at (cara membaca Al-Qur’an). Hal itu dibuktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an walaupun setelah muncul mushaf ‘Utsmani, seperti qira’ah tujuh, qira’ah sepuluh, dan qira’ah empat belas. Kenyataan itulah yang mengilhami Ibn Al-Qur’an dengan tujuh huruf saja  Mujahid (859-935) untuk melakukan penyeragaman cara membaca Al-Qur’an dengan tujuh cara saja (qira’ah sab’ah). Tentu bukan ia saja yang amat berkepentingan dengan langkah penyeragaman teks ini, umpanya Malik ibn Anas (w. 795), ulama besar Madinah dan pendiri mazhab  maliki. Ia dengan tegas menyatakan bahwa shalat yang dilaksanakan menurut bacaan ibn  Mas’ud adalah tidak  sah.[9]






5.      Babak Lanjutan Rasm ‘Utsmani
Ketika ditulis oleh panitia empat mushaf ‘Utsman masih belum bertitik dan brsyakl atau baris. Perkembangan yang ada pada saat itu menuntut demikian. Para sahabat sudah mampu membaca mushaf tanpa harus dibimbing dengan tanda-tanda baca apapun. Dalam kondisinya yang seperti itu, mushaf Utsmani dibaca kaum muslimin seperti diungkapkan oleh Abu Ahmad al-askariy (w. 382 H) selama sekitar 40 tahun atau tepatnya sampai masa khilafah Abdu al-Malik.
Islam terus berkembang  umatnya semakin banyak banyak orang-orang bukan Arab yang telah masuk Islam. Maka sebagai akibat logisnya benturan-benturan kultular antar masyarakat Arab dengan orang-orang ‘ajami itupun tak terelakan adanya. Sejak itulah perkembangan yang dirasa menggembirakan itu ternyata membawa kekhawatiran. Yaitu terancamnya keselamatan bahasa Arab. Di kalangan masyarakat Islam sering terjadi kesalahan melafalkan Al-Qur’an. Hal itu  terutama pada kata yang memang terbuka kemungkinan dibaca dengan salah. Misalnya  قلت menurut Rasm Utsmani, kata ini ditulis tanpa alif  setelah huruf qaf, tetapi hanya cukup diberi tanda yang menunjukan huruf qaf  dibaca dua alif.
            Di masa pemerintahan Abd al-Malikbin Marwan diras perlu adanya huruf-huruf yang berbentuk sama. Misalnya hurif س (sin) dengan ش (syin), demikian juga antara huruf ف dengan hurufق  tanpa tanda pembeda memang orang  sulit mengenal secara pasti huruf-huruf ب, ت, ث pembeda ini disebut dengan i’jam
            Abu Aswad yang banyak dijagokan sebagai pelatak titik dan harakat mushaf pertama, menurut riwayat yang diturunkan al-Zarkasyi di dalam Al-Burahan-nya pernah mendengar seseorang (yang sesungguhnya sengaja, atas perinyah Ziyad) membaca surah Taubah ayat 3 yang berbunyi :اِنَ اللهَ بَرِىْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ  padahal bunyi potongan ayat itu اِنَ اللهَ بَرِىْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ  yang berarti : “Sesungguhnya Allah dan Rosul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik” bila dibaca salah seperti yang didengar Abu Al-Aswad Ad-Duali, maka artinya menjadi “Sesungguhya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rosul-Nya” mendengar hal itu Abu Al-Aswad terkejut langsung berucap : Maha besar Allah bagaimana mungkin Dia (Allah) berlepas diri dari Rosulnya ?! Setelah itu Abu Al-Aswad segera datang menemui Ziyad, gubernur Basrah. Kalau dahulu Abu Al Aswad ketika diminta gubernur itu meletakkan tanda baca pada Rasm al-mushaf menolak, maka kini ia sendiri (ahli gramatika Arab) yang datang menawarkan iri kepada Ziyad seraya berkata “Aku telah mengabulkan apa yang kau minta”
            Memang kesalahan selalu mungkin terjadi saat seorang membaca Al-Qur’an. sebab pada masa itu tulisan Al-Qur’an belum mengenal titik dan belm mengenal harakat atau baris. Sehingga kemungkinan orang membacanya titik dengan benar selalu terbuka. Kekhawatiran itulah yang melahirkan gagasan untuk mengupayakan alat bantu membaca Al-Qur’an dapat ditekan sebisa mungkin. Tersebutlah nama Ubaidillahbin Zayyad (w. 67 H). tokoh ini memerintahkan seseorang pria asal Persia meletakkan huruf alif pada kata (dalam bahasa arab disebut kalimat) yang berdasarkan Rasm Utsmani justru dibuang. Misalnya مَلاَئِكَةٌ yang dalam rasm Utsmani ditulis مَلَئِكَةٌ dengan disebut nama Ubaidillah berarti bukan Abu Al-Aswad yang disebut-sebut sebagai pemula yang berusaha mencarikan jalan kaluar guna menghindari kesalahan di dalam mebaca Al-Qur’an. Nama lainnya juga disebut adalah Al-Hallaj bin Yusuf al-Tsaqfiy (w. 95 H). Tokoh yang disebut belakangan ini merehab rasm Al-Qur’an di 11 tempat. Setelah rasm Al-Qur’an direhab Al-Hallaj menurut Abu Daud orang lebin mudah membaca dan memahami Al-Qur’an. Namun Abu Daud tidak menyebut tempat mana saja yang direhab Al-hallaj.[10]










BAB III
Kesimpulan

Istilah Rasm Utsmani lahir bersama dengan lahirnya mushaf Utsman. Yaitu mushaf yang ditulis “panitia empat” yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abd Al-Rahman bin Al-Harits. Sejak itu pula tertancap sebuah patok yang disebut Kaidah Rasm Utsmani. Cara-cara penulisan yang ditetapkan untuk menulis mushaf Utsmani inilah yang menyebar ke berbagai pelosok dunia Islam. Dan bahkan Al-Qur’an yang diterbitkan secara resmi oleh Republik Islam Iran yang bermahzab syi’ah pun mnggunakan mushaf ini. Popularitas mushaf Utsmani sampai pada tingkat yang melahirkan suatu keyakinan bahwa tata cara menulis mushaf ini sebagai tauqifi yang bukan produk budaya manusia. Tapi suatu yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah yang Nabi sendiri pun tak punya otoritas untuk menyangkalnya.






Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran




Daftar Pustaka

Al Ibyariy, Ibrahim. 1995. Pengenalan sejarah Al-Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo.
Anwar, Rosihon. 2008. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Hasanuddin. AF. 1995. Anatomi Alqur’an Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an. Jakarta:  Raja Grafindo Persada.
Marzuki, Kamaluddin. 1994. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Remaja Rosda Karya.





















Rasm Al-Qur’an
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas terstruktur
Mata Kuliah: Ulum Al-Qur’an
Dosen pengampu : Achmad Lutfi M.S.I









Disusun oleh :
Asep Jamaludin 14113450004
Mulya 14113450009

Adadin/Tafsir Hadis B/2


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
Tahun 2012


[1] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 48.
[2] Hasanuddin . AF, Anatomi Alqur’an Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 79
[3] Ibrahim Al Ibyariy, Pengenalan sejarah Al-Qur’an,( Jakarta: Raja Grafindo, 1995), hlm. 118.
[4] Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 49.
[5] Kamaluddin Marzuki, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 81-82.
[6] Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 50-53.
[7] Hasanuddin. AF, op. cit., hlm . 85-86
[8] Ibid., hlm. 87-88
[9] Rosihon Anwar, op.cit., hlm.  53-54
[10] Kamaluddin Marzuki, op. cit, hlm. 82-84

0 comments: