LAPORAN
KEGIATAN
PRAKTEK
PENGALAMAN LAPANGAN (PPL I)
DI
PESANTREN DAR AT-TAUHID, DAR AL-QUR’AN, DAR AL-FIKR
ARJAWINANGUN
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
Kuliah: Praktek Pengalaman Lapangan
Dosen
Pengampu: Hj. Liya Aliya, MA
Disusun
oleh:
Mulya
NIM:
14113450009
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS ADADIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYEKH NURJATI CIREBON
2014
LEMBAR
PENGESAHAN
Laporan Individu ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan
Pengalaman Lapangan (PPL) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon tahun Akademik 2014/2015.
Yang
disiapkan dan disusun oleh:
Mulya
(14113450009)
Cirebon,
Februari 2014
Mengesahkan,
Pembimbing Lapangan Dosen
Pembimbing
Hj. LiyaAliyah, M.A Didi Junaedi, MA
Ketua Jurusan Tafsir Hadis
Hj. Umayah, M, Ag
NIP. 197307141998032001
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala
puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga dengan beberapa rintangan, penulis
mampu menyelesaikan penulisan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) ini.
Shalawat serta salam
semoga terlimpahkan kepada junjungan Nabi besar Agung Muhammad SAW, keluarga,
sahabat dan juga melimpah kepada umat Islam seluruhnya.
Untuk memenuhi amanah
studi laporan ini tidak lepas bantuan dan dorongan banyak pihak, baik moril
maupun materiil hingga selesainya penulisan laporan ini. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Bapak
Dr. H. Adib, M.Ag, selaku Dekan Fakultas ADDIN IAIN Syekh Nurjati Cirebon,
beserta stafnya yang telah memberi kesempatan kepada penyusun untuk mengikuti PPL (Praktek Pengalaman Lapangan).
2.
Hj.
Umayah, M.Ag, Hj. Liya Aliyah, M.Ag, Didi Junaedi, MA, Achmad Lutfi M.S.I. yang
telah memberikan arahan serta bimbingannya kepada penyusun dalam melaksanakan
PPM.
3.
KH.
Abdurrahman Ibnu Ubaidillah Syatori (Pengasuh Pondok Pesantren
Dar at-Tauhid), KH Husein Muhammad (Pengasuh Ponpes Dar
Al-Fikr), Prof. Dr. KH. Akhsin Sakho Muhammad, M.A (Pemateri PSQ Jakarta dan Pengasuh Ponpes Dar
Al-Qur’an) yang telah menyediakan sarana fasilitas serta materi untuk terselenggaranya PPM Jurusan Tafsir
Hadis ini.
4.
Semua
pihak yang telah membantu kelancaran dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan Program Pengayaan Materi.
Terima kasih atas
kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan. Penulis hanya bisa berdo'a
mudah-mudahan Allah SWT memberikan imbalan dan pahala yang setimpal kepada
mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan laporan ini.
Walaupun dalam
penyusunan laporan ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin, namun penulis
sadar bahwa masih banyak kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan laooran ini
tidak dapat penulis hindari. Oleh sebab itu, penulis mengharap tegur sapa dan
kritik dari para pembaca yang arif dan aris demi kebaikan laporan yang penulis
susun.
Akhirnya penulis berharap semoga laporan ini dapat
berguna, khususnya bagi penulis sendiri dan tentunya bagi para pembaca pada
umumnya. Amin
Cirebon, Februari 2014
Penyusun
MULYA
14113450009
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. 1
KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2
DAFTAR ISI.......................................................................................................... 4
BAB
I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................... 5
B. Program Kerja yang direncanakan............................................ ...... 5
C. Tujuan Kegiatan............................................................................... 5
BAB
II : PELAKSANAAN KEGIATAN
A.
Rencana Kegiatan............................................................................ 6
B.
Agenda Kerja Harian
Praktikan....................................................... 8
BAB III
: PEMBAHASAN DAN EVALUASI KEGIATAN
A.
Kritik Sanad dan
Matan serta Penerapannya................................. 10
B.
Hermeneutik dalam
Tradisi Islam.................................................. 12
C.
Metodologi dan Kaidah-kaidah Ilmu Tafsir serta
Kritik Tafsir 13
D.
AsbabAl-Wurud............................................................................. 14
E.
Orientalisme dan
OksidentalismeAl-Qur’an dan Hadis........... .... 15
F.
Ilmu Qira’at.................................................................................... 16
BAB IV :
PENUTUP
A.
Simpulan........................................................................................ 18
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
Dokumentasi foto
Pelaksanaan kegiatan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Prakyek
Pengayaan Lapangan(PPL) merupakan bagian dari mata kuliah yang harus ditempuh
oleh setiap mahasiswa. Hal tersebut sebagai bentuk aplikasi dari setiap materi
yang pernah diambil selama perkuliahan. Terkhusus PPL 1 kali ini mahasiswa
Tafsir Hadis melaksanakan PPL di Pesantren Arjawinangun (Dar at-Tauhid, Dar
al-Qur’an, dan Dar al-Fikr). Dan PPL 1 pada teknisnya merubah nama menjadi PPM
(Program Pengayaan Materi). PPM merupakan bentuk peralihan dari Praktek
Pengayaan Lapangan karena menyesuaikan kegiatan pada PPM ini mahasiswa
cenderung mendengarkan materi belum pada tahap terjun ke lapangan secara
langsung mengajar, namun mahasiswa dibekali dengan berbagai materi yang belum
pernah diajarkan di kampus. Alasan mengambil tempat di Arjawinangun karena
lingkungan pesantren yang sangat strategis, didukung pemateri dari tingkat
nasional yang merupakan pemilik pesantren tersebut.
B.
Tujuan
Kegiatan
Adapun tujuan dari PPM atau PPL 1 ini adalah:
1.
Sebagai
bentuk pematangan menghadapi PPL 2, di mana mahasiswa akan terjun langung ke
lapangan sekaligus membuat observasi mengenai tafsir maupun hadis.
2.
Sebagai
bentuk evaluasi terhadap materi-materi yang pernah ditempuh mahasiswa sehingga
menambal wawasan materi yang belum diketahui.
3.
menyelesaikan salah satu mata
kuliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa tingkat III Fakultas ADDIN Jurusan
Tafsir Hadis.
C.
Program Kerja yang
direncanakan
Adapun program kerja yang
direncanakan oleh tim PPL yaitu Pengisian materi oleh para pakar ilmu tafsir
hadis. Materi-materi yang dikembangkan adalah Kritik Sanad dan Matan Hadis,
Penerapan Kritik Sanad dan Matan Hadis, Hermeneutik, IstinbatAhkam, Asbab Al
Wurud, Orientalisme dan Oksidentalisme Al Qur’an dan Hadis, Metodologi dan
Kaidah Tafsir, Kritik Tafsir, dan Ilmu Qira’at.
BAB II
PELAKSANAAN KEGIATAN
C.
Rencana Kegiatan
Rencana
Program Kegiatan
Pondok Pesantren
Arjawinangun (Dar Al Tauhid, Dar Al Qur’an, Dar Al Fikr)
Hari/Tanggal
|
Waktu
|
Kegiatan
|
Tempat
|
Keterangan (Nara Sumber)
|
Jum'at/10 Januari 2014
|
07.00 - 08.00
|
Pemberangkatan
|
IAIN SNJ Cirebon
|
KePon-PesArjawinangun
|
08.00 - 09.00
|
Chek - in
|
Dar Al Tauhid
|
Tim PPL
|
|
09.00 - 11.00
|
Pembukaan&Ta'arufPeserta PPL
|
Mushalla
|
Tim PPL
|
|
11.00 - 12.45
|
Isoma (ShalatJum'at)
|
Masjid
|
Tim PPL
|
|
12.45 - 13.30
|
Pembacaansurat Al Kahfibersamasantri
|
Mushalla
|
PanitiaLokal
|
|
13.30 - 14.30
|
Materi I (Hadis: KritikSanad)
|
Madrasah
|
Dr. K.H. KhazinNasuha
|
|
14.30 - 16.00
|
Materi II (Hadis: KritikMatan)
|
Masing-masingtempat
|
Dr. K.H. KhazinNasuha
|
|
16.00 - 16.30
|
Shalatashar
|
Mushalla
|
Tim PPL
|
|
16.30 - 17.30
|
Ziarahkubur
|
Maqbarah
|
K.H. Machsun Muhammad
|
|
17.30 - 19.30
|
Isoma
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
19.30 - 21.00
|
Materi III (PenerapanKritikMatandanSanad)
|
Mushalla
|
Dr. K.H. KhazinNasuha
|
|
21.00 - 22.00
|
Evaluasimateri
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Sabtu/11 Januari 2014
|
04.00 - 04.30
|
Jama'ahShalatSubuh
|
Dar Al Tauhid
|
Tim PPL
|
04.30 - 07.00
|
RefleksiKebugaranJasmani
|
LapanganKiruncum
|
Tim PPL
|
|
07.00 - 08.00
|
MakanPagi
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
08.00 - 10.00
|
Materi IV (Hermeneutik)
|
Dar Al Fikr/Mushalla
|
K.H. Husein Muhammad
|
|
10.00 - 12.00
|
Materi V (IstinbatAhkam)
|
Dar Al Fikr/Mushalla
|
K.H. Husein Muhammad
|
|
12.00 - 13.30
|
Isoma
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
13.30 - 15.00
|
Materi VI (Asbab Al Wurud)
|
Mushalla
|
Dr. K.H. KhazinNasuha
|
|
15.00 - 16.00
|
RefleksiKebugaranJasmani
|
Lapangan D.T
|
Tim PPL
|
|
16.00 - 16.30
|
Shalatashar
|
Dar Al Tauhid
|
Tim PPL
|
|
16.30 - 17.30
|
Ziarahkubur
|
Maqbarah
|
K.H. Marzuki Wahid
|
|
17.30 - 19.30
|
Isoma
|
Dar Al Fikr/Mushalla
|
Tim PPL
|
|
19.30 - 21.00
|
Materi VII (Orientalis&Oksidentalis Al Qur'an danHadis
|
Dar Al Fikr/Mushalla
|
K.H. Husein Muhammad
|
|
21.00 - 22.00
|
Evaluasimateri
|
Mushalla
|
Tim PPL
|
|
Ahad/12 Januari 2014
|
04.00 - 04.30
|
Jama'ahShalatSubuh
|
Dar Al Tauhid
|
Tim PPL
|
04.30 - 07.00
|
RefleksiKebugaranJasmani
|
LapanganKiruncum
|
Tim PPL
|
|
07.00 - 07.30
|
MakanPagi
|
Dar Al Tauhid
|
Tim PPL
|
|
07.30 - 09.30
|
Materi VIII (Metodologi&KaidahTafsir)
|
Dar Al Qur'an
|
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
|
|
09.30 - 11.30
|
Materi IX (KritikTafsir)
|
Dar Al Qur'an
|
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
|
|
11.30 - 13.00
|
Isoma
|
Dsr Al Tauhid
|
Tim PPL
|
|
13.00 - 15.00
|
Materi X (IlmuQira'at)
|
Dar Al Qur'an
|
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
|
|
15.00 - 16.00
|
Penutupan
|
Mushalla
|
Tim PPL &PengurusPondok
|
D.
Agenda Kerja
HarianPraktikan
Hari/Tanggal
|
Kegiatan
|
Tempat
|
Keterangan (Nara Sumber)
|
Jum'at/10 Januari 2014
|
Pemberangkatan
|
IAIN SNJ Cirebon
|
KePon-PesArjawinangun
|
Chek - in
|
Dar Al Tauhid
|
Tim PPL
|
|
Pembukaan&Ta'arufPeserta PPL
|
Mushalla
|
Tim PPL
|
|
Isoma (ShalatJum'at)
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Pembacaansurat Al Kahfibersamasantri
|
Masing-masingtempat
|
PanitiaLokal
|
|
Materi I (Hadis: KritikSanad)
|
Perpustakaan Madrasah
|
Dr. K.H. KhazinNasuha
|
|
Materi II (Hadis: KritikMatan)
|
Perpustakaan Madrasah
|
Dr. K.H. KhazinNasuha
|
|
Shalatashar
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Ziarahkubur
|
Maqbarah
|
K.H. Machsun Muhammad
|
|
Isoma
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Materi III (PenerapanKritikMatandanSanad)
|
Mushalla
|
Dr. K.H. KhazinNasuha
|
|
Evaluasimateri
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Sabtu/11 Januari 2014
|
Jama'ahShalatSubuh
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
RefleksiKebugaranJasmani
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
MakanPagi
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Materi IV (Hermeneutik)
|
Dar Al Fikr/Mushalla
|
K.H. Husein Muhammad
|
|
Materi V (IstinbatAhkam)
|
Dar Al Fikr/Mushalla
|
K.H. Husein Muhammad
|
|
Isoma
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Materi VI (Asbab Al Wurud)
|
Mushalla
|
Dr. K.H. KhazinNasuha
|
|
RefleksiKebugaranJasmani
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Shalatashar
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Ziarahkubur
|
Maqbarah
|
K.H. Marzuki Wahid
|
|
Isoma
|
Dar Al Fikr/Mushalla
|
Tim PPL
|
|
Materi VII (Orientalis&Oksidentalis Al Qur'an danHadis
|
Dar Al Fikr/Mushalla
|
K.H. Husein Muhammad
|
|
Evaluasimateri
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Ahad/12 Januari 2014
|
Jama'ahShalatSubuh
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
RefleksiKebugaranJasmani
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
MakanPagi
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Materi VIII (Metodologi&KaidahTafsir)
|
Dar Al Qur'an
|
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
|
|
Materi IX (KritikTafsir)
|
Dar Al Qur'an
|
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
|
|
Isoma
|
Masing-masingtempat
|
Tim PPL
|
|
Materi X (IlmuQira'at)
|
Dar Al Qur'an
|
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
|
|
Penutupan
|
Mushalla
|
Tim PPL &PengurusPondok
|
BAB III
PEMBAHASAN
DAN EVALUASI KEGIATAN
A. Kerangka Dasar Fiqh al-Hadis
Oleh: Dr. K.H Chozin Nasuha
Ilmu hadis Nabi berbeda dengan teks hadis Nabi itu
sendiri. Hadis Nabi adalah semua informasi yang disandarkan kepada Rasul saw.
Atau kepada sahabat Nabi dalam bentuk perkataan, perbuatan atau pengakuan atau
sifat-sifat yang ada pada diri Rasul. Sedangkan ilmu hadis ialah seperangkat
kaidah yang mengatur tentang isi dan struktur hadis dikaitkan dengan dengan
perkembangan ilmu. Pengolahan ilmu isi (teks) hadis disebut ilmu hadis
riwayah dan pengolahan struktur hadis disebut Dirayah. dua bidang
ilmu itu terus berkembang sesuai dengan kebutuhan. Salah satu alat yang
dipergunakan untuk mengolah matan hadis adalah sebuah karangan yang biasa
disebut “Fiqh al-Hadis”
Fiqh al-Hadis secara bahasa adalah “memahami matan hadis”
sedangkan secara konsepsi, fiqh al-Hadis ialah konsep pemikiran yang merespon
tuntutan perkembangan zaman dan masyarakat sesuai dengan sunnah Rasul saw.
Dengan fiqh al-Hadis dapat menentukan kedudukan sebuah hadis apakah termasuk tasyri
atau irsyad. Tasyri ialah tuntutan Rasul yang bernilai ibadah yang harus
dilaksanakan oleh kaum muslimin sesuai isinya. Sedangkan irsyad ialah
teks atau informasi sebuah fenomena sosial yang pernah dilakukan oleh Rasul saw
yang tidak ada kaitannya dengan perintah atau larangan.
Menurut al-Dahlawi contoh hadis tasyri adalah
seperti konsep akhirat dan keajaiban alam malakut. Masuk dalam hadis tasyri
juga tentang syariat islam yang berkaitan dengan ibadah dan peningkatan
kwalitas ibadah itu sendiri. Sedangkan hadis irsyad adalah amalan Rasul
selaku manusia yang berkaitan dengan masalah sosial. Sebagai contoh seperti
tradisi kedaerahan , interkasi sosial, dan semua bentuk budaya yang berkaitan
dengan politik, ekonomi, teknologi, komunikasi dan sebagainya.di tengah-tengah
antara dua konsep itu Fiqh al-Hadis menyimpan bagian-bagian yang baru bisa
dilihat oleh ahli hadis yang berpikir.contohnya seperti Rasulullah pergi ke
pasar dengan memakai jubah putih . apakah amalan Rasul itu tasyri atau irsyad ?
dari segi menutup aurat Rasul menjalankan tasyri tetapi dari segi bentuk
pakaian Rasul menjalan hadis irsyad. Dan penilaian terhadap matan hadis bahwa
itu tasyri atau irsyad adalah ijtihadiyah.
1.
Paradigma Fiqh al-Hadis
paradigma al-hadis tebagi menjadi tiga macam. Paradigma
teori konvensional adalah pemikiran sekelompok ahli hadis mutaakhirin yang
kitabnya setiap saat dipelajari dan dikembangkan oleh ulama berikutnya.
Paradigma secara skiptis menganggap bahwa masalah fiqhiyah (ijtihadiyah)
merupakan daulat dari paradigma ini. Paradigma persfektif komunikasi adalah
konsep yang berpendapat bahwa masyarakat dan ilmu pengetahuan itu berkembang
terus. Perkembangan satu bidang ilmu tidak bisa dipisahkan dengan bidang
lainnya, karena semua berjalan secara gradual. Dalam perkembangan sosial, tidak
bisa dipisahkan antara politik, ekonomi, sosial, budaya, agama dan sebagainya.
Karena fenomena sosial berkembang secara bersama-sama dalam segi kehidupan
masyarakat. Atas dasar itulah Fiqh al-Hadis yang dapat dijadikan sebagai
ilmu untuk menentukan tasyri atau irsyad adalah bukan merupakan suatu teori
yang harga mati, tetapi harus berkembang sesuai kebutuhan ilmu.
Salah satu model paradigma yang dapat diterapkan pada
fiqh al-hadis lagi adalah memasukan media komunikasi dalam menentukan mana
dataran hadis yang masuk tasyri dan mana yang masuk irsyad. Pemilahan semacam
itu memerlukan dasar-dasar ilmu sosial dan ilmu budaya. Sejarah telah
membuktikan bahwa imam Abu Hanifah di Kufah, Imam Malik di Madinah, Imam
Syafi’i di Kairo, dan imam Ahmad di Baghdad, itu semua memanfaatkan media yang
ada di daerah masing-masing. Karena ijtihadpun berbeda-beda, seandainya
imam-imam mujahid itu hidup sekarang, mungkin akan memanfaatkan media yang
berkembang sekarang.
2.
Struktur teori
Kunci kendali memilih teori dalam fiqh al-Hadis, selain
memahami konteks formal dan material, muhaddits juga dituntut memahami konteks
sejarah dan konteks sosial saat teori itu dilahirkan. Sehingga apabila teori
itu dipergunakan, maka muhadits dapat memahami struktur masing-masing teori
itu. Suatu contoh tentang struktur teori ibadah haji misalnya, maka dalam
strukturnya, yang biasa disebut grand theori adalah konsep ibadah.
Sedang amalan Rasul adalah middle theory, dan amalan sahabat yang
memahami amalan Rasul tadi, disebut aplication theory. Sudah
menjadi kebiasaan bahwa setiap penerapan aplikasi teori itu selalu bervariasi.
Karena itu amalan sahabat Nabi dalam menjalankan ibadah hajji bersama Rasul
tadi berbeda satu sama lain. Aplikasi itulah yang oleh Rasul disambut dengan
kata-kata “if al walaa haraj” (lakukanlah dan itu tidak salah) dalam
studi Fiqh al-Hadis, teori mana yang akan digunakan untuk menerapkan norma tasyri atau irsyad
, seorang muhaddits disamping berangkat
dari sebuah paradigma juga memilih struktur teori yang sudah disebutkan
di atas.
B. Hermeneutik
dalam Tradisi Islam
Oleh: K.H. Husein Muhammad
Hermeneutika berasal dari bahasa
Yunani yaitu hermeneuein dan dalam bahasa Inggris disebut hermeneutic.
Para sarjana modern menginformasikan kepada kita bahwa ia berasal dari kata
“Hermes” dia adalah nabi Idris. Dalam mitologi Yunani ia adalah Dewa yang
brtugas sebagai juru bicara antara manusia dan Tuhan. Secara literal ia berati
memahami, menafsirkan atau menerjemahkan kata-kata atau ucapan. Pada awalnya
istilah ini digunakan untuk memahami kata-kata Tuhan dalam kita suci Injil.
Tetapi kemudian berkembang menjadi istilah untuk menafsirkan dan memahami
berbagai teks atau tulisan. Jadi hermeneutik sesungguhnya adalah teori tentang
penafsiran, dalam diskursus Islam ia adalah tafsir, takwil, bayan, syarh, dan
sebutan lainnya. Dalam kajian ushul fiqh cara atau teori memahami atau
menafsirkan teks-teks al-Qur’an, hadis atau sumber lainnya dikenal dengan
istilah “al-istidlal bi al alfazh”
Analisis hermeneutik melangkah lebih jauh dari
mentakwilan ayat-ayat mutasyabihat. Dalam buku al muwafakat karya imam
al-Syatibi berpendapat bahwa untuk memahami pernyataan-pernyataan al-Qur’an
tidak cukup dengan mengerti makna lahiriahnya tetapi harus juga memahami
konteks yang menyertainya maupun kontek yang diluarnya yang disebut sebagai “muqtadhyat
al ahwal”. Ia mengatakan: “mengetahui makna dan kejelesan al-Qur’an dan
memahami maksud kalimat (uslub) bahasa Arab yang indah dengan mana al-Qur’an
diturunkan tergantung pada kondisi/bentuk kata-kata dari aspek bahasa itu
sendiri, situasi penyampainya dan
keadaan pembacanya atau ketiga-tiganya.
C. Metodologi
dan Kaidah-Kaidah
Ilmu Tafsir Serta
Kritik Atas Tafsir
Oleh: Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
Menurut Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho Ulumul Quran
ada 5 icon pembahasan, yaitu sebagai berikut:
1.
Eksitensi
al-Quran sebagai “kalamullah”
2.
Proses
sejarah turunnya al-Qur’an
3.
Bagaimana
cara membaca Kalamullah (al-Qur’an)
4.
Bagaimana
cara memahami Kalamullah
5.
Pembahasan
seputar problematika mengenai al-Quranul Karim
Kita
selaku kaum muslimin mempunya doktrin, doktrin akan sempurna apabila mengimani
semua kitab suci dan rasul, mengingkari salah satu kitab Allah itu berarti
mengingkari semua kitab suci. Begitu pula terhadap pengimanan terhadap
Rasul-rasul Allah, hal tersebut tidak terlepas daripada kemukjizatan al-Qur’an,
karena setiap mukjizat al-Quran adalah jawaban tentang kebenaran al-Quran itu
sendiri.
Keberadaan
al-Qur’an tidak mudah begitu saja, banyak hambatan untuk bisa tersebar, mulai
dari zaman Nabi hingga sekarangpun perlu perjuangan untuk tetap terjaga
kemurnian al-Qur’an, salah satu serangan dari orang-orang atheis terhadap
al-Qur’an yang berusaha ingin terus membuktikan kenabian Muhammad, lagi-lagi
dengan kemukjizatan al-Qur’an dapat
membuktikannya dengan tema yang sangat luas baik itu dari segi makna
ataupun lafadz.
Selain
daripada itu proses terciptanya al-Qur’an seperti yang kita pegang memerlukan
tahap yang sangat panjang, mulai dari tulisan yang tidak bergigi dan syakal,
berubah diberi syakal, pembagian juz, penyederhanaan bentuk eksemplar, dan
terus berkembang hingga terciptanya karya seni kaligrafi. Kemurnian al-Qur’an
dijaga oleh ulama dan guru-guru dengan berbagai ilmu.
Dengan
perkembangnya ilmu al-Qur’an muncul pula ilmu tafsir. Untuk memahami al-Qur’an
dengan penafsiran dibutuhkan berbagai ilmu yang tekait dengan al-Qur’an, tidak
semata hanya ro’yu, yang penting adalah system penafsirannya bukan hasil
penafsirannya. Ilmu yang perlu dikuasai mufassir diantaranya, nahwu, shorof,
balaghah, susuai syariat islam, tidak cukup hanya menghandalkan terjemah. Bila
tidak ada alat untuk membedah tafsir tersebut sama halnya orang nekat yang
dikhawatirkan keselamatannya.
Dalam
penafsiran diperlukan pula manhaj dan ittijah. Manhaj adalah suatu metode untuk
menafsirkan al-Qur’an, sedangkan ittijah adalah corak atau karakteristik dalam
penafsiran. Sama halnya manhaj adalah gelas atau wadah dan ittijah sama dengan
cairan. Jadi sebelum corak suatu tafsir perlu dibentuk metode terdahulu
sehingga terwadahi segala macam corak penafsiran yang dianut seorang mufassir.
Tafsir tahlili ada 3
1.
Tahlilil
al-basyt : tafsir sofwatut tafasir
2.
Tahlili
al-wasyt : tafsir fakhr ar-razi
3.
Tahlili
al-wajiz : tafsir jalalen
Tafsir ibnu katsir
1.
Tidak
ada judul
2.
Makna
keseluruhan
3.
Makna
tahlili
Tafsir fi-zilalil quran
1.
Langsung
ke jantung persoalan
2.
Tidak
ada mufrodatnya
D.
Asbabun
Wurud
Oleh: Oleh: Dr. K.H Chozin
Nasuha
Turunnya al-Qur’an bukan
tanpa tujuan, melainkan sebagai wacana yang mengisi ruang-ruang yang penuh
dengan problematika manusia, dan al-Qur’an berkedudukan sebagai petunjuk. Begitu
pula alat petunjuk diperkuat dengan adanya al-Hadis, namun suatu hadis tidak
datang semata-mata melainkan ada alasan kenapa Rasul bertindak pada saat itu
sehingga terciptalah hadis yang menjadi gambaran ahlak tauladan terhadap Rasul.
Ketidakmengertian kita tentang konteks (asbab al-wurud) dari pernyataan
akan melahirkan kesalahpahaman dan kesulitan-kesulitan tersendiri bahkan juga
bisa menimbulkan konflik. Asbabul wurud bisa menjadi suatu ilmu harus memenuhi
epistemologi, aksiologi dan ontologi. Secara bahasa wurud artinya datang,
secara umum asbabul wurud adalah sebab datangnya hadis, sedangkan untuk ruang
lingkup lebih sempit, bisa diartikan sebab dikajinya hadis di suatu daerah.
Dalam
menulusuri asbabul wurud terkadang bersifat kontekstualisasi atau dinamis. K.H. KhozinNasuha mengambil sampel ketika
berwudhu, menurut imam Mallk boleh menggunakan air wudhu yang sudah digunakan,
sedangkan menurut imam Syafi’I tidak boleh menggunakan air wudhu yang sudah
digunakan. Setelah ditelusuri sebabnya, ternyata kedua imam berada di tempat
yang berbeda. Di tempat imam Malik dikarenakan kondisi air yang sedkit, apabila
dibuang masih banyak kebutuhan yang lainnya dengan menggunakan air, lain halnya
di tempat imam Syafi’I tempat penuh dengan sumber mata air. Kontekstualisasi
tersebut dapat diterapkan pada zaman sekarang dengan melihat asbabul wurudnya.
E. Orientalis
dan Oksidentalis al-Qur’an dan Hadis
Oleh: K.H. Husein Muhammad
Orientalis muncul sekitar abad 7 setelah perang
salib, faktor kemunculannya dipicu
karena kekalahan kaum kristiani atas muslimin. Dari sana kaum Kristen terus
berupaya meneliti kekuatan islam yang sangat kuat pada saat itu. Terutama
sumber ilmu berada di Negara Persia (Iran). Para cendikia tidak mengamati
berbagai kitab bahasa Arab yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
Tentunya ada efek dari terjadinya orientalis yaitu positif dan negative. Efek
negative jelas bahwa kaum Kristen menggerogoti Islam dari dalam secara
diam-diam, mencari kelemahan, pemurtadan besar-besaran karena bagi mereka tidak
akan berhenti menggoda umat muslim sebelum masuk ke dalam golongan mereka. Di
balik itu semua, ada juga efek positif kaum Kristen yang benar-benar memahami
akan kebenaran Islam sehingga dapat masuk Islam. Salah satu orientalis yang mencoba menyatukan antara Islam dan Kristen
adalah W. M. Watt.
Selain daripada itu
umat muslim tidak diam begitu saja, umat islam memikirkan akan strategi kaum
Kristen sehingga terbentuklah oksidentalis sebagai bentuk perlawanan terhadap
kerasnya orientalis. Oksidentalis lahir sekitar pada masa dinasti Abbasiyah,
yang mana pada masa itu telah melahirkan para ulama untuk membaca, mengkaji dan
mendalami karya-karya Yunani, seperti Ar-Razi, Ibnu Sina, dan lainnya.
F. Ilmu
Qira’at
Oleh: Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
Imam-imam Qira’ahyang
10 (Qira’ahAsyrah) di antaranya yaitu Nafi, Kasir, Abu Amir, Ibnu Amir, Ashim,
Hamzah, Kisa’i, Abu Ja’far, Ya’kub dan Khallaf. Setiap imam memiliki dua rawi.
Yang dimaksud qira’at adalah :
1. Lughat
2. Qira’at
3. Macam-macam bacaan
Pada setiap imam memiliki 2 rawi, yaitu:
1. Imam Nafi’ : Qalun
dan Warsy
2. Imam Ibnu Kasir :
Qunbul dan Al Bazzi
3. Imam Abu Amr : Duri dan As-Susi
4. Imam Ibnu Amir :
Hisyam dan Ibnu Zakwan
5. Imam ‘Ashim : Syu’bah
dan Hafs
6. Imam Hamzah : Kholaf
dan Kholad
7. Imam Kisa’i : Abu
Haris dan Duri
8. Abu Ja’far : Ibnu
Wardah dan Ibnu Jammaz
9. Ya’kub : Rouf dan
Ruaisy
10. Khollaf : Ishaq dan
Idris
Penerapan
bacaan Qiraat pada QS. Al-Fatihah
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÊÈ ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÌÈ Å7Î=»tB ÏQöqt ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ
قالون: بحذف
الالف (ملك) ووافقه ابن كثير والوري وابن عامر وحمزة
عاصم : باثبات
الالف (ما لك) واندرج معه الكسا ئي
االسوسي : با
لادغام وحذف الالف (الرحيم ملك)
x$Î) ßç7÷ètR y$Î)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ
لاخلاف فيه
بين القراء
$tRÏ÷d$# xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ
قالون : باصاد
(الصراط) واندرج معه ورش والبزي وابو عمرو وابن عامر وعاصم والكسائي وخلاد وجهيه
قبل : باسين
(السراط)
حمزة : با
شمام الصا د زايا (الصراط)
xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã Îöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ wur tûüÏj9!$Ò9$# ÇÐÈ
قالون : بسكون
ميم الجمع ووافقه ورش وابو عمرو وابن عامر وعاصم والكسائي
قالون : بصلة
ميم الجمع واندر ج معه البزي
خلاد : بضم
الهاء في (عَلَيْهُمُ )
قنبل : باسين
(سراط) وصنة الميم
با لاشمام
(صراط) وبصم الهاء فى (عَلَيْهُمْ)
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dari
hasil PPL ini tentunya banyak sekali pengalaman dan penemuan ilmu baru.
Ilmu-ilmu yang belum pernah terungkap selama perkuliahan bisa terangkat menjadi
bahan rujukan. Karena kami bisa bertanya langsung kepada fakarnya langsung
tingkat nasional yang sudah mempunyaI banyak pengalaman. Mempererat hubungan
antar kampus Islam dengan pesantren karena kedua tempat ini adalah gudangnya
ilmu agama. Bayangkan jika tidak ada pesantren dan perguruan tinggi yang fokus
terhadap al-Qur’an dan hadis maka hilanglah ruh keilmuan agama yang menjadi
bibit terciptanya cendikiawan muslim. Tapi semua ilmu yang didapat akan luntur
begitu saja apabila tidak diamalkan. Maka dari itu materi yang pernah kami raih
akan berusaha untuk diaplikasikan sehingga manfaatnya terasa kepada orang lain.
Namun daripada itu kami juga tetap membutuhkan daripada guru-guru dan pembingbing
sebagai petunjuk kearah tujuan yang kami tempuh.
Akhirnya,
sesuai kata pepatah “Tiada gading yang tak retak” dan kami menyadari bahwa
laporan pertanggungjawaban PPL ini masih memiliki kekurangan, oleh sebab itu
kami akan sangat berterima kasih sekiranya mendapatkan kritik dan masukan yang
positif untuk kesempurnaan laporan ini, terutama kami sangat berharap sumbang
saran dari Ibu Hj. Liya Aliyah, M.Ag sebagai dosen pembingbing kegiatan
PPL ini. Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah yang maha kuasa.
Kurang lebihnya kami mohon ma’af.
Lampiran-Lampiran
Lampiran
1 : Dokumentasi Foto Pelaksanaan
Kegiatan
Lampiran
2 : Profil Pon-Pes (Dar Al Tauhid,
Dar Al Qur’an, dan Dar Al Fikr)
Pembukaan
Acara PPL di Mushola Pesantren Dar-at Tauhid
Materi I (Hadis: KritikSanad) oleh Dr. K.H. KhazinNasuha Ziarah Kubur
K.H. Husein Muhammad sedang
menerangkan materi Materi IV (Hermeneutik)
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho sedang
menerangkan materi Materi X (IlmuQira'at)
Foto
bersama KH. Abdurrahman Ibnu Ubaidillah Syatori
Pembimbing Lapangan
(Hj. Liya
Aliyah, M.Ag) beserta suami (K.H. Marzuki Wahid)
Mulya
(Mahasiswa Tafsir Hadis) saat menyimak materi
A.
Profil
Pesantren Dar at-Tauhid
Pendidikan
tingkat tinggi dalam tradisi pendidikan pondok pesantren di kenal dengan Ma’had
’Aly. Pendidikan bagi para santri menjadi jenjang akhir yang yang paling
penting setelah mereka menyelesaikan jenjang pendidikan dasar (Al-Mustawa
Al-Ibtida’i) menengah pertama
(Al-Mustawa Al-Tsanawi) dan menengah atas (Al-Mustawa Al-A’ali). Sebagai
sebuah lembaga pendidikan, Ma’had ’Aly memiliki keterkaitan dengan segala
sistem yang berlaku di pondok pesantren, baik manajemen maupun akademik. Karena
itu, latar belakang pondok pesantren Dar Al-Tauhid menjadi perlu digambarkan
sebelum membuat potret Ma’had ‘Aly yang ada di dalamnya.
Sistem Pendidikan
Mengenai sistem pendidikan pesantren, biasanya
dikenal ada dua istlah, yaitu Salafi (Tradisional) dan ‘Ashri (Modern). Salafi
untuk merujuk pada tradisi pembelajaran yang tidak mengikatkan santri pada
kelas-kelas, jenjang gradasi dan kurikulum. Pembelajaran hanya dilakukan dengan
cara Sorogan ( Kyai membaca suatu kitab dan santri-santri mencacat keterangan
sang Kyai ). Dan bandongan (Santri satu persatu membaca kitab di hadapan Kyai).
Sedangkan ‘Ashri untuk merujuk pada sistim klasikal yang memiliki penjenjangan
dan mendasarkan pada kurikulum. Kedua sistim dipraktekkan dalan aktivitas
pembelajaran di pesantren Dar Al-Tauhid .
Sistem yang digunakan pada lembaga- lembaga
pemdidikan yang tertulis di atas, baik yang Diniyyah, maupun bukan adalah
sistim klasikal. Karena ada kurikulum dan ada penjenjangan dengan kelas-kelas
pembelajaran. Setiap santri yang masuk pesantren harus mengikuti test
penempatan kelas madrasah terlebih dahulu.
Sedangkan methode salafi di pesantren Dar
Al-Tauhid di gunakan untuk membaca kitab-kitab yang tidak tertuang dalam
kurikulim pembelajaran. Biasanya untuk kitab-Kitab Tafsir Seperti Al-Jalalain,
Tafsir Ibnu Katsir, Tafsr Al-Qurthubi, kitab-kitab hadis seperti Shahih
Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Al-Tirmidzi dan Sunan Ibnu
Majah, kitab-kitab sejarah, seperti Tarikh Ibnu Ishaq, serta kitab-kitab
nesehat keagamaan, seperti Nasha’ih
Al-‘Ibad, Syarh Uqud Al-Lujayn, Al-Ushfuriyyah dan lain-lain
Pengajian dengan sistem salafi ini, dilakukan
pada saat santri tidak memiliki jadwal belajar di kelas, seperti pagi hari
setelah shubuh atau sore hari menjelang maghrib, atau dikhususkan untuk
santri-santri senior yang sudah tidak memiliki kewajiban jadwal belajar di
kelas. Yang ketiga ini merupakan proses awal dari tradisi pendidikan tinggi di
pesantrren (Ma’had ‘Aly). Sistim salafi juga digunakan untuk pengajian
kitab-kitab kuning pada setiap bulan puasa, yang dikenal dengan istilah
pasaran.
Pengasuh Pesantren
Pengasuh pertama pesantren ini adalah KH.
Sanawi bin Abdulah, kemudian KH. Abdullah Syathori sampai ntahun 1969. ketika
KH. Abdullah Syathori wafat pada hari kamis tanggal 19 Februari 1969, umur
putra beliau ( KH. Abdurrahman Ibnu Ubaidillah Syatori ) baru 20 tahun dan
dalam sedang proses belajar, sehingga untuk sementara kendali pesantren
dipegang bersama-sama oleh para menantu KH. Abdullah Syathori, yaitu KH. A.
Baidlowi, KH. Muhammad Asyrofuddin dan KH. Mahfudz Thoha, Lc
Sejak KH. Abdurrahman Ibnu Ubaidillah Syatori
pulang ke tanah air pada tahun 1981 sampai sekarang, kepimpinan pesantren
dipegang beliau dengan dibantu oleh kakak- kakak dan beberapa keponakan beliau
di antaranya : Prof. Dr. KH. Khozin Nasuha, Drs. KH Husein Muhanmmad, KH. A.
Zaeni Dahlan, Dr. KH. Ahsin Sakho, dan KH. Mahsun Muhammad, MA Dr KH. Marzuki
Wahid, MA
Saat ini, ketika beberapa pengasuh sudah pulang
ke Rahmatullah dan beberapa yang lain menetap di luar daerah, seperti KH. Hasan
Thuba ( Alm ) menjadi Pengasuh PP Tanggir Tuban, KH. A. Zaeni Dahlan menetap di
Bandung dan Kyai Luthfillah Baidlawi menjadi pengasuh Pondok Pesantren Dar
Al-Qur’an Batanghari Jambi, dewan Pengasuh Pesantren di pegang oleh: Drs. KH. Husein Muhammad, Dr. KH. Ahsin Sakho
Muhammad, Prof. Dr. KH. Khozin Nasuha, KH. Mahsun Muhammad, MA, dan Dr KH
Marzuki Wahid, MA dengan pimpinan (Syaikh Ma’had) tetap di pegang oleh KH.
Abdurrahman Ibnu Ubaidilah Syathori.
Santri Pesantren
Karena pesantren Dar Al-Tauhid sangat
berdekatan dengan perkampungan penduduk, maka akan ada santri yang menetap
(dari luar daerah) dan ada santri yang tidak menetap (dari daerah pesantren)
kedekatan ini pada awalnya sangat banyak membantu kegiatan dan kelangsungan
pesantren, karena masyarakat akan dengan cepat dan mudah mengulurkan segala
keperluan pesantren. Tetapi bila dilihat dari prospek masa depan, kedekatan
dengan perkampungan akan menjadi penghalang kemandirian dan kreativitas dalam
pengembamgan fisik saja, pesantren akan terhalang oleh bangunan-bangunan rumah
penduduk. Manajemen kontrol juga menjadi tidak utuh karena harus banyak
memperhatikan kepentingan masyarakat setempat yang tentu saja berbeda dengan masyarakat pendidikan.
Santri terdiri dari putra dan putri, yang
jumlahnya selalu berubah-ubah naik dan turun. Asal daerah santri beragam, hanya
yang terbanyak adalah dari propinsi jawa barat terutama Indramayu Cirebon
Majalengka, Kuningan, Subang, Karawang Provinsi lain juga ada, seperti DKI
Jakarta , Jawa Tengah, Jawa Timur, Palembang, Bandar lampung, Riau, Jambi,
Medan dan NTT. Santri pesantren terbagi menjadi dua kelompok yaitu santri dalam
dan santi luar. Santri dalam adalah meraka yang hanya mengikuti pembelajaran
yang sepenuhnya di selenggarakan oleh pesantren Dar Al-Tauhid, yaitu Madrasah
Diniyyah dan pengajian non-klasikal pesantren. Santi luar adalah mereka yang
mengikuti pelajaran pesantren dan pada waktu sama juga mengikuti pendidikan di
luar pesantren, seperti, MA Nusantara, SMP Plus Dar Al Tauhid MTsN, SMPN, SMAN dll.
Kalau di himpun, alumni pesantren ini cukup banyak apalagi dari awal
berdiri. Jenjang lanjutan pendidikan mereka juga beragam, ada yang melanjutkan
ke luar negeri, ada yang ke perguruan tinggi dalam negeri, ada yang melanjutkan
ke pesantren lain, ada yang tetap di dalam pesantren dan ada yang tidak
melanjutkan pendidikannya. Bidang pekerjaan para alumni juga bermacam-macam,
mulai dari pendiri dan pengasuh pesantren, guru, birokrat, politisi, pedagang,
petani, nelayan, tentara, dan tentu saja profesi yang lainnya. Karena itu,
dibentuklah sebuah wadah komunikasi para alumni yang diberi nama dengan HAMADA
(Himpunan Alumni Ma’had Dar al Tauhid).
Lembaga Di Pesantren
Di pesantren ada lembaga pendidikan dan ada
lembaga Non-Pendidikan (Ekonomi-Sosial). Lembaga pendidikan terdiri:
- Madrasah Diniyyah Dar Al-Tauhid, dari tingkat Ibtidaiyyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Ma’had ‘Aly.
- Madrasah Tafidz al-Qur’an.
- Markaz Ta’lim al –Lughah al-‘Arabiyyah.
- Majlis Ta’lim Kaum Ibu.
- Madrasah Aliyah Nusantara, dengan Kurikulum Depag.
- Madrasah Aliyah Keagamaan Dar Al-Tauhid kurikulum Depag.
- SMP Plus Dar Al Tauhid, kurikulum Kandepdikbud.
- Taman kakak- kanak Islam Wathoniyyah.
- TKA/TPA Dar Al-Tauhid.
- Sekolah Luar Biasa, sub A (Tuna Netra), sub B (Tuna Rungu), dan sub C
Sedangkan lembaga non-pendidikan terdiri dari:
- Koperasi Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid yang begerak di bidang perdagangan dan unit simpan pinjam.
- Baitul Mal Wa Al-Tamwil (BMT) Dar Al-Tauhid.
- Pusat pengembangan ekonomi Pondok Pesantren dan masyarakat (P2EPM).
- LP2NU
- ( Panti Sosial Anak Asuh ) PSAA Wathoniyah
Lokasi Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid.
Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid berada di Desa
Arjawinangun, tempatnya di Jl. Kali Baru timur (sekarang dikenal dengan Jl. KH.
A.Syathori ) No.10-12 Arjawinangun Cirebon, dengan nomor telepon 0231-357163,
367 281 dan 357212. lokasi ini sangat berdekatan dengan beberapa instansi
penting, seperti Rumah Sakit Umum Arjawinangun, Kantor Pos, Telkom dan Pasar
Daerah Arjawinangun. Kedekatan ini, di satu sisi menguntungkan karena para
santri memperoleh pelayanan-pelayanan umum dengan mudah, di sisi lain pesantren
menjadi tidak memiliki kesempatan untuk bisa mengelolah segala keperluan santri
secara mandiri.
Sarana, Fasilitas dan Extrakulikuler
Pesantrren Dar Al-Tauhid memiliki beberapa
sarana dan fasilitas pendukung. Pertama Mushalla, gedung asrama 2 tingkat
berkapasitas 600 orang. Gedung madrasah lantai 2. Perpustakaan yang memiliki
sekitar 2000 judul buku. Mulai dari buku-buku rujukan, sampai buku-buku
kontemporer yang hampir seluruhnya berkaitan dengan studi islam dan berbahasa
Arab. Memiliki Ruang Lab Bahasa, Lab Komputer, Fasilitas Olah raga di antaranya
Lapangan Futsal, Basket, Volly, Badminton, Tenis meja, Kamar mandi berjumlah 32
unit, dengan menggunakan air dari PDAM. Untuk urusan pangan dan perlengkapan
santri pesantren mengelola 2 buah kantin 1 Koprasi. Sedangkan extrakulikuler di
antaranya ada Group Marawis dan Rebana Dar Al Tauhid, kursus B Arab – B
Inggris, kursus menjahit, dan, kursus komputer.
Asrama yang dimiliki pesantren berjumlah 6
gedung. Pada awalnya nama-nama komplek asrama menggunakan abjad latin (A, B, C,
D….H), tetapi sepulang KH. Ar. Ibnu Ubaidillah Syathori dari Makkah
Al-Mukaromah tahun 1981, nama-nama itu diganti dengan nama peperangan masa Nabi
SAW. Untuk putra ada Badr Atas Badr Bawah, Uhud, Hudibiyyah, dan Khandaq
(Hudibiyah dan Khandaq mulai 2006 sudah tidak digunakan; diratakan).
Filosofinya adalah ingin membentuk santri-santri yang tangguh seperti
pahlawan-pahlawan islam awal, aktif melayani urusan dunia di siang hari (Fursan
Fi Al-Nahar) dan tekun menyembah tuhan di malam hari (Ruhban Fi Al-Lail).
Sedangkan untuk putri ada 2 komplek gedung lama yang diberi nama Ummi Kultsum
(mulai 2007 sudah mulai tidak digunakan; diratakan) Dan asrama lantai 2
dinamakan Fathimah Az-Zahra, lambang keteguhan, kepatuhan, kemandirian dan
kesabaran.
Gedung
yang besar ada 2 : Badr dan Fathimah Az-Zahra. Badr berjumlah 12 kamar
per-kamar bisa memuat santri sejumlah 30 orang.1 Ruang kantor pengurus
Putra Sedangkan gedung Fathimah Az-Zahra
memiliki 10 kamar, kapasitas kamar 30 orang 1 ruang kantor pengurus putri, 1
Ruang markas dan sebuah Mushalla untuk menunjang aktivitas peribadatan,
Jam’iyyah, Mudzakarah dan kajian ulang kitab madrasah dan perpustakaan
Untuk kebutuhan informasi dan komunikasi,
pesantren tidak menyediakan TV umum atau Wartel Umum tetapi di dekat pesantren
ada kantor telkom dan Pos yang menyediakan layanan komunikasi dan jasa kurir.
Pesantren menyediakan papan untuk pengumuman dan majalah dinding, kadang-kadang
juga ditempel Koran harian. Untuk jasa perbankan, pesantren mengelola kopontren
(unit simpan pinjam) dan beberapa usaha kemitraan sedangkan BMT, sebatas
layanan penyimpanan dan peminjaman jasa.
Tenaga Pengajar
No
|
Nama
|
Pendidikan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19
20
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29
30
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
|
KH. Ar. Ibnu Ubadillah Syatori
Prof . Dr. KH. Khozin Nashuha
Drs KH.. Husein Muhammad.
Dr KH.Ahsin Sakho Muhammad
KH. Mahsun Muhammad, MA
Drs. KH Marzuki Wahid,M.Ag
Ny.
Hj. Hannah Sy.
Ny.
Hj. Durroh
Ny.
Hj. Azzah Zumrud
Ny. Hj
Fuaidiyyah
Ny.
Hj. Lilik Nihayah
Ny.
Hj. Ummu Habibah
Ny.
Hj. Lia Aliyah, M.Ag
Ny.
Khoirunnisa Hambali
Ust. H. Ahmad Sahir
Ust. Asyiqin An
Ust.
Sirojuddin
Ust.
H. Muhibullah Syatori S,PdI
Ust.
Nurkholis
Ust. Ahmad Qosim
Ust. Ahmad Khozin
Ustz. Nurlela Thohir
Ust. Imaduddin
Ust. Abdul Hakam
Ust. Abdul Aziz
Ust. Hasan Saefulloh
Ust. Nasihun Siraj, S.Th
Ust. Muhibullah Khafid, S.Ag
Ust. Jaenudin, S.Pd.I
Ust. Abdul Qoyum
Ust. Wasmin A.Jaelani
Ust. Ibrahim Khumaidi, M.Ag
Ust. Mawahib
Ust. Abdul Mufid
Ust. Asep SaefulloH
Ust. Abd Ibnu Umar, Lc
Ust. Lukman Hakim
Ust. Ahmad Muttaqin, M.Mpd
Ust. Ahmad Fadholi, Lc
Ust. Hamid
Ust. Ibnu Amir
Ust. Imam Ahmad Sibaweh
Ust. Amin Bunyamin
Ust. Hamzah Zatnika
|
1.P.P.Meka
SyaidMohamma Al - Alawi
2.
IAIN Syarif Hidayattullah jakarta
3.
Universitas Al-Azhar Kairo
4.
Universitas Madinah
5.
Algarh Mos Universitas India
6. Pon
Pes Dar Al Tauhid
7. Pon
Pes Dar Al Tauhid
8. Pon
Pes Dar Al Tauhid
9.
Pon.Pes Krapyak
10.
Pon Pes Dar Al Tauhid
11.
Pon Pes Dar Al Tauhid & STAIC
12.
Pon Pes Dar Al Tauhid PTIIQ
13.
Pon.Pes Krapyak & IAIN bandung
14.
Pon. Pes Dar Al Qur’an Bode
15.
Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
16.
Mahad Aly Dar Al-Tauhid
17.
Mahad Aly Dar Al-Tauhid
18.
Pon. Pes. Sarang Jatim & STAIC
19.
Pon. Pes. Tanggir & STAIC
20.
Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
21.
Pon. Pes Lirbiyo
22.
Mahad Aly Dar Al Tauhid & STAIC
23.
Pon. Pes Dar Al Tauhid
24.
Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
25.
Pon. Pes Lirboyo Kediri
26.
Pon. Pes Lirboyo Kediri
27.
Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
28.
Pon.Pes Krapyak
29.
Mahd Aly Dar Al Tauhid& STAIN
30.
Mahad Aly Dar Al-Tauhid
31.
Pon. Pes Dar Al Tauhid
32.
Mahad aly Dar Al Tuhid
33.
Pon. Pes Lirbiyo
34.
Pon. Pes tanggir
35.
Pon. Pes Lirboyo Kediri
36.
UNIV Al Azhar Kaioro Mesir
37.
Pon. Pes Lirboyo Kediri
38.
Mahad Aly Dar Al Tauhid UNINUS
39. UNIV
Al Azhar Kaioro Mesir
40.
Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
41.
Pon. Pes Lirboyo Kediri
42.
Mahad Aly Dar AL- Tauhid
43.
Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
44.
Pon. Pes. Dar Al-Tauhid & IAINs
|
Sekilas biografi KH. Abdullah Syathori
Asal-Usul dan Masa Kecil KH. A. Syathori
KH.
Abdullah Syathori--selanjutnya disebut Mbah Kyai Syathori--lahir pada tahun
1905 di Dusun Lontang Jaya, Desa Panjalin, Majalengka, 3 km sebelah barat
Babakan Ciwaringin Cirebon.[1]
Meski tidak diketahui secara pasti tanggal dan bulan kelahirannya, beberapa
sumber menyebutkan beliau dilahirkan pada hari Sabtu.
Karena itulah, pada
masa kecilnya, oleh Wedana Arjawinangun beliau dijuluki “Tunen” kependekan dari “metu
sabtu puput
senen”.[2]
Mbah Kyai Syathori terlahir dari keluarga ulama
dan bangsawan sekaligus. Darah ulama mengalir dari
jalur ayahnya, KH. Sanawi bin KH. Abdullah dari Lontang Jaya. KH. Sanawi adalah
seorang ulama penghulu yang merintis berdirinya Pondok Pesantren
Dar al-Tauhid dengan mendirikan
langgar (musholla).[3]
Meski perpindahan KH. Sanawi dari Lontang Jaya ke Arjawinangun belum diketahui
secara pasti, tetapi perpindahan itu tampaknya mengikuti tugas beliau sebagai
penghulu.[4]
Sementara KH. Abdullah bin KH. Hasanuddin
(KH. Muhammad
Syalabi),[5] kakek Mbah Kyai Syathori, adalah
ulama dan pejuang pada zamannya. Selain
sebagai kiai pendidik santri, KH. Abdullah adalah pejuang gigih yang menentang
kolonialisme Belanda, sebagai bentuk
perwujudan nasionalisme Indonesia.
Terutama ketika terjadi ’Perang Kedongdong’[6],
KH. Abdullah
bersama beberapa kiai lain turut terjun ke medan laga mengusir penjajah. Meski
banyak yang gugur dalam peperangan itu, KH. Abdullah terhitung tokoh ulama yang
selamat.
Dari jalur Ibu, Mbah Kyai Syathori
merupakan ulama berdarah bangsawan.
Ibundanya, Nyi Hj. Arbiyah, putri Kiai Abdul Azis bin Arjaen, adalah keturunan Sultan Banten dari Sura
Manggala yang memerintah kesultanan Banten pada tahun 1808. Pada ujung silsilah Mbah Kyai Syathori bertemu dengan
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati).[7]
Mbah Kyai Syathori hidup
dalam suasana keagamaan dan disiplin pendidikan yang tinggi. Berkat kecerdasan
dan didikan orang tuanya, sejak usia dini Mbah Kyai Syathori telah mampu menghafal Juz ‘Amma dengan fasih.[8]
Selain dikenal sebagai anak yang cerdas dan rajin belajar, Mbah Kyai Syathori kecil juga dikenal
sebagai anak periang dan suka berolah raga, khususnya sepak bola.[9]
Riwayat Pendidikan KH. A. Syathori
Menginjak usia remaja, orang tuanya mengirimkan Mbah Kyai Syathori ke beberapa pesantren untuk
menimba ilmu pengetahuan agama. Untuk pertama kalinya, Mbah Kyai Syathori menimba ilmu di Pesantren
Babakan[10]
Ciwaringin Cirebon, khususnya kepada Kiai Ismail bin Adzro’i bin Nawawi[11]
dan juga kepada Kiai Dawud, murid Kiai Khalil Bangkalan.[12]
Setelah dari Babakan, Mbah Kyai Syathori menimba ilmu di Pesantren Ciwedus yang terletak
di desa Timbang Kecamatan Cilimus Kuningan, di bawah asuhan KH. Shobari
(w.1916), yang juga murid Kiai Khalil Bangkalan.[13] KH. Shobari adalah ulama kharismaik pada zamannya. Banyak ulama Jawa Barat berguru kepadanya. Selain Mbah Kyai Syathori, muridnya yang lain adalah KH. Sanusi yang kemudian
menjadi ulama kharismatis di Babakan Ciwaringin dan KH. Abdul Halim.[14]
Mbah Kyai Syathori sangat mengagumi dan terpengaruh oleh KH. Shobari,
terutama dalam melantunkan lagu-lagu barzanji (marhabanan) yang dilakukan secara ekspresif[15]
dan juga melalui sikap mencintai serta menghormati keluarga dan keturunan Nabi
Muahmmad SAW.[16]
Merasa tidak puas hanya belajar di Pesantren Cirebon dan sekitarnya, Mbah Kyai Syathori melanjutkan belajar di Pesantren Jamsaren Solo, asuhan Kiai Idris[17]
murid Kiai Sholeh N’darat Semarang.
Secara bersamaan, Mbah Kyai Syathori juga sekolah di Mambaul ‘Ulum yang terletak di Kauman dekat Keraton Solo Jawa Tengah. Madrasah
ini didirikan atas kerjasama pemerintah kolonial dengan Keraton Surakarta Hadiningrat,[18]
dengan tujuan untuk meluluskan para calon ulama sekaligus juga penghulu.[19]
Di Jamsaren
Solo inilah, karakter keilmuan dan ’kealiman’ Mbah Kyai Syathori mulai terbentuk. Kiai Idris
dikenal sebagai kiai spesialis bidang fiqh
(Islamic Law) dan Bahasa Arab.
Dari Kiai Idrislah, Mbah Kyai Syathori
banyak belajar dan rajin ngaji, menghafal,
serta muthala’ah berbagai kitab.
Bangunan pengetahuan (epistemologi
keilmuan) KH. A. Syathori terbentuk di sini.[20]
Adapun dari Madrasah Mamba’ul Ulum Solo, Mbah Kyai Syathori sebenarnya mendapatkan ijazah formal. Namun di kemudian
hari, ijazah ini sengaja beliau bakar. Ini dilakukannya dengan tujuan agar
tidak mengurangi keikhlasannya dalam mencari dan mengembangkan ilmu-ilmu
keislaman. Mbah Kyai Syathori khawatir dengan ijazah itu niat tulusnya dalam mencari
dan mengembangkan ilmu menjadi goyah dan bergeser.[21]
Selanjutnya, Mbah
Kyai Syathori belajar di Pesantren Tebuireng yang waktu itu diasuh Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, murid istimewa Kiai Khalil Bangkalan. Selain dikenal
sebagai pendiri NU[22],
Mbah Hasyim (panggilan KH. Hasyim Asy’ari) juga
dikenal sebagai tokoh pembaru pendidikan pesantren. Selain mengajarkan agama dalam
pesantren, Mbah Hasyim juga mengajar para santri
membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Meski sempat
mendapat kecaman, Pesantren Tebuireng menjadi
masyhur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren
di berbagai daerah.[23]
Di Pesantren Mbah Hasyim ini, Mbah Kyai Syathori memiliki kesempatan luas untuk belajar dan memperkaya
kajian dan bacaan keilmuan. Kitab-kitab tafsir besar, seperti Tafsir Baidlawi dan kitab-kitab yang
dikembangkan di Makkah pada waktu itu, dikenalkan dan dikaji di pesantren ini.[24]
Setiap kitab yang digunakan sebagai pegangan mengaji di pesantren ini memiliki sanad[25]
yang tersambung langsung (muttashil) sampai kepada penulisnya
(mushanif). Dalam hal ini, Mbah
Hasyim mengijazahi Mbah Kyai Syathori
dengan kata-kata “Ijazah ammah wa muthlaqah tammah” yang tertulis dalam
kitab al-Kifayah al-Mustafid dengan maksud menerangkan sanad kitab karya
K.H. Mahfudz
Termas.
Selain belajar, mengaji, dan muthala’ah, di Pesantren Tebuireng Mbah Kyai Syathori juga dipercaya Mbah Hasyim untuk mengajar Alfiyah Ibn Malik.[26]
Di antara santri yang mengaji padanya adalah KH.
Mohammad Ilyas, mantan Menteri Agama pada zaman Orde Lama, dan putera gurunya sendiri yang
juga mantan Menteri Agama RI, yakni KH. Wahid Hasyim bin KH. Hasyim Asy’ari.[27]
Mbah Hasyim senang dan kagum dengan cara mengajar Mbah Kyai Syathori, hingga dalam suatu kesempatan Mbah Hasyim
berkata di hadapan para santri: “Arek-arek Cirebon, Indramayu lan liyan-liyane yen ora bisa belajar maring
aku, cukup kae karo Syathori”.[28]
Tidak
hanya demikian, Mbah
Kyai Syathori
pun berniat belajar ke guru dari guru-gurunya, yaitu Kiai Khalil Bangkalan. Mbah Kyai Syathori sempat bertemu pada pengajian
pasaran bulan Ramadhan di pesantren Madura. Saat itu Kiai Khalil membaca do’a,
para santri termasuk Mbah Kyai Syathori serentak mengamininya.[29]
Kemudian Mbah Kyai Syathori bertekad akan mengikuti
pengajian Kiai Khalil pada bulan Syawal berikutnya. Namun sebelum Syawal itu
tiba, Mbah Kiai Khalil Bangkalan yang dikenal sebagai wali Madura Jawa itu
berpulang ke rahmatullah pada tahun 1925.[30]
Mbah Kyai Syathori memang
sangat mengagumi Kiai Khalil Bangkalan. Mbah
Kyai Syathori menyatakan bahwa dalam tubuh dan perut gemuk Mbah Khalil,
kalau dibedah, isinya nadham budrah dan Alfiyah.[31]
Kiai Khalil memang sejak muda dikenal hafal seribu deret nadzam Alfiyah Ibn Malik dengan sangat baik. Bahkan hafal meski dibaca
secara tebalik, dari nadzam akhir
secara runtut ke nadzam yang pertama,
atau dalam istilah jawa disebut nyungsang.[32]
Melihat kecerdasan Mbah Kyai Syathori[33],
gurunya Mbah Hasyim Asy’ari bermaksud
menikahkannya dengan seorang putrinya. Namun, Mbah
Kyai Syathori menghindar dengan bermain bola, suatu olah raga yang tidak
disukai Mbah Hasyim. Pada saat yang sama, Mbah Kyai Syathori
juga telah
dijodohkan oleh orang tuanya dengan Ny. Hj. Masturoh binti Adzro’i bin Muhammad
Nawawi (Ki Glembo).[34]
Ny. Hj. Masturoh adalah santri puteri
cerdas yang sejak kecil dipelihara
dan dididik oleh ibunya sendiri, Ny. Hj. Miryati binti H. Said
bersama dengan ayah tirinya, Kiai Rofi’i bin Ki Glembo Kali Tengah, karena Ny. Hj. Masturoh ditinggal ayah kandungnya,
Kiai Adzro’i, sejak kecil. Kiai Adzro’i dan Kiai Rofi’i
sendiri adalah kakak beradik.[35]
Pernikahan Mbah Kyai Syathori dengan
Ny. Hj. Masturoh diduga kuat berlangsung pada tahun 1927.[36]
Mbah
Hasyim Asy’ari hadir dalam acara akad nikah atas undangan KH. Rofi’i. Setelah melaksanakan
akad nikah, atas dorongan orang tua dan mertuanya, Mbah Kyai Syathori pergi ke
baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulangnya dari menunaikan ibadah
haji, pesta pernikahan diselenggarakan secara meriah pada tahun 1928.[37]
Selanjutnya untuk beberapa lama[38]
Mbah Kyai Syathori menetap di Kali Tengah Plered
Cirebon. Ini selain karena Mbah Kyai Syathori mengikuti keluarga istrinya di
Kali Tengah, juga karena Mbah Kyai Syathori mengikuti tradisi kesantrian dan keulamaan
di Cirebon. Saat itu ada asumsi kuat, bahwa siapapun yang baru menyelesaikan
masa belajarnya di pesantren hendaknya jangan dulu pulang kampung dan
mengamalkan ajarannya di tengah masyarakat sebelum belajar kepada Kiai Rofi’i
Kali Tengah, yang secara kebetulan ayah tiri dari istrinya.[39]
Kiai Rofi’i sendiri saat itu dikenal sebagai ahli hikmah,[40]
yang membekali para santri dengan berbagai wirid, do’a dan zikir.
Di samping mempelajari ilmu
hikmah kepada Kiai Rofi’i, Mbah Kyai Syathori juga membuka pengajian kitab
kuning untuk masyarakat Kali Tengah dan sekitarnya. Sebenarnya tradisi mengajar
santri (muruk ngaji)[41]
merupakan
hal biasa bagi Mbah Kyai Syathori sejak beliau masih belajar di pesantren, baik
di Babakan, Solo, maupun Tebuireng. Tetapi mengajar kitab
kuning di Kali Tengah bermakna lain
sebagai persiapannya untuk menjadi guru bagi santri
dan masyarakat. Adapun di antara kitab yang dibaca Mbah Kyai Syathori kepada para santrinya dan
masyarakat di antaranya adalah Kitab Shahih Bukhari.[42]
Mulai Membangun Pesantren
Arjawinangun
Setelah beberapa lama tinggal
di Kali Tengah Plered Cirebon,[43] Mbah Kyai Syathori kemudian
pindah ke daerah asalnya, yaitu Arjawinangun Cirebon. Ini dimungkinkan karena dua
hal. Pertama, karena permintaan
ayahanda, KH. Sanawi, agar beliau mengembangkan ilmu di daerah asalnya.[44]
Kedua karena Kali Tengah Plered pada
dasarnya adalah daerah perdagangan dan bisnis, sementara pribadi Mbah Kyai
Syathori tidak terlalu cenderung pada bisnis. Karena itu, Mbah Kyai Syathori memilih
Arjawinangun karena kecenderungannya pada pengembangan keilmuan.[45]
Ini terjadi pada tahun 30-an.[46]
Mbah
Kyai Syathori, pendiri dan pengasuh
Pesantren Arjawinangun, adalah sosok kiai yang tidak terlepas dari karakter dan
perilaku-perilaku khas para kiai
pesantren. Beliau bukan hanya kiai
pesantren yang bergelut dengan lembaran-lembaran kitab kuning, tetapi juga
aktif dalam ranah sosial dan politik, dengan terlibat aktif di NU antara tahun
50-an hingga 70-an. Mbah Kyai Syathori
pernah menjadi Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Beliau juga dikenal dengan
ide-ide dan langkah-langkah progresifnya. Sebut saja
sikap yang diambilnya dalam menghadapi persoalan saat itu, di mana orang
diharamkan menulis Al-Qur’an dengan kapur tulis, karena takut debunya
diinjak-injak saat dihapus. Hampir seluruh kiai Cirebon
mengharamkan menulis al-Qur’an dengan kapur
tulis, namun Mbah
Kyai Syathori menghalalkan dan
melakukannya.
Selain itu, Mbah Kyai Syathori juga dikenal sebagai kiai kharismatis,
santri kesayangan, dan santri teladan Mbah Hasyim Asy’ari. Karena itulah, Mbah Kyai Syathori sangat dihormati, disegani, dan menjadi rujukan umat dan birokrasi negara dalam
hal-hal yang terkait dengan hukum syara’.
Menurut para santrinya, masyarakat sangat segan dan hormat kepada beliau.
Mbah Kyai Syathori juga melakukan langkah-langkah khusus yang sekarang ini
bisa disebut pemberdayaan perempuan. Ini dilakukan dengan
menyelenggrakan pengajian keagamaan secara khusus bagi perempuan.[47] Mbah Kyai Syathori dikenal sangat tekun dan teliti dalam memperhatikan, memelihara dan mengembangkan
pengajian dan madrasahnya. Jika memiliki jadual mengajar, beliau tidak pernah meninggalkan kelas, sampai para siswa memahami dengan
baik apa yang disampaikannya.
Beliau mendedikasikan
seluruh hidup dan waktunya untuk mengajar dan mengembangkan pesantren. Setiap
waktu shalat, beliau selalu memimpin
para santrinya berjama’ah, kecuali ada udzur.
Sehabis jama’ah shalat shubuh, beliau mengajarkan
al-Qur’an kepada para santrinya sampai pukul 06.30. Selanjutnya, dari 08.00-10.00 beliau mengadakan pengajian kitab
dengan pola madrasah untuk santrinya dewasa. Setelah itu, beliau mengadakan
pengajian kitab dengan pola yang sama untuk para santri kecil hingga pukul
12.00. Setelah istirahat sejenak,
beliau memimpin shalat Dzuhur. Mulai sekitar pukul 13.30, kegiatan belajar mengajar
bagi para santri dilakukan lagi sampai pukul 17.00. Setelah jama’ah maghrib, beliau kembali mengadakan pengajian kitab kuning sampai
pukul 22.00. Waktu yang tersisa dipergunakan
untuk istirahat, kadang untuk menerima tamu.[48]
Di usia 50-an, Mbah Kyai Syathori semakin istiqamah hidupnya. Kegiatannya tiada
lain di seputar Musholla, pesantren, dan setiap habis shalat Jum’at, beliau berziarah ke maqbarah ayahnya, Kiai Sanawi. Setelah itu, beliau mampir ke rumah-rumah penduduk, untuk sekadar berbincang-bincang ringan,
menyelami masalah yang mereka hadapi.[49]
Pada
Hari Wafatnya
Tepat pada hari Kamis, tanggal 6 Februari 1969 M/19 Dzul Qa’dah, Mbah Kyai Syathori berpulang ke Rahmatullah. Hari itu adalah hari berkabung
bagi masyarakat Arjawinangun, khususnya dan masyarakat
muslim Cirebon pada umumnya. Kepulangan beliau karena penyakit jantung yang
dideritanya. Masyarakat sangat
kehilangan atas wafatnya.[50]
Banyak kisah menarik disebutkan seputar wafatnya Mbah Kyai Syathori. Di antaranya adalah saat menjelang pemakaman beliau. Saat
itu, Arjawinangun bagai lautan
manusia. Semua masyarakat mengungkapkan kesedihannya dengan menghantarkan kiai
tercinta ke maqbarah. Sepanjang rumah Mbah Kyai Syathori hingga ke maqbarah Kiruncum + 1 Km
dipenuhi manusia yang menghantarkan jenazah.
Lembaga pendidikan, instansi pemerintah dan swasta di Arjawinangun dan
Junjang pada hari itu meliburkan diri, turut berduka atas wafatnya
Mbah Kiai Syathori. Bukan hanya itu, para santri dan masyarakat mendoakan
beliau dengan membaca Al-Qur’an di maqbarah selama 40 hari secara terus
menerus.[51]
Ada kesaksian unik yang diceritakan H. Sayidi –salah seorang staf pengajar pesantren saat
masih dipimpin Mbah Kiai Syathori. Menurutnya, tanda-tanda Mbah Kiai Syathori hendak wafat jelas diisyaratkan oleh kiai sendiri.
Dengan beberapa indikasi: (1) Setengah bulan sebelumnya, Mbah Kiai Syathori meminta orang-orang dari desa Gintung untuk datang dan
melakukan bersih-bersih di pesantren dan kompleks rumah pengasuh. (2) Ini dilakukan
dengan alasan bahwa beliau akan kedatangan tamu, manusia
yang sangat banyak jumlahnya. (3) Tiga hari sebelum wafat, Mbah Kiai Syathori menyatakan bahwa beliau akan membangun pesantren yang
tidak ada di dunia ini. (4) Pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.00 WIB pada hari wafatnya,
Mbah Kiai Syathori menyatakan bahwa dirinya akan tidur untuk selama-lamanya.
Sekitar pukul 11.00 WIB kemudian, beliau berpulang ke Rahmatullah.
H. Sayidi juga
menceritakan bahwa banyak kiai-kiai Cirebon dan luar Cirebon datang untuk
berta’ziyah, mensholatkan, dan mengantarkan ke maqbarah. KH. Sanusi dari Pesantren Babakan Ciwaringin datang
dengan para santrinya dengan jalan kaki. Rombongan ta’ziyah dari
Pesantren Buntet dipimpin KH. Hawi.
Setelah selesai melaksanakan sholat jenazah untuk Almaghfurlah Mbah
Kiai Syathori, KH. Hawi berbicara di hadapan
santri dan para hadirin semua. Beliau menyatakan bahwa: “Kiai Syathori ini
kelihatannya saja meninggal, tetapi sesungguhnya masih hidup “bal ahya’un ‘inda
rabbikum”. Buktinya apa? Lah, wong aku salam kok kiai Syathori malah menjawabnya. Mayit mana yang bisa jawab salam? Al-Marhum ini sungguh
bukan manusia biasa seperti kita-kita ini”.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
[1] Ini yang ditulis dalam Dzikrayat Tahun 2006. Dzikrayat sendiri adalah buku Memori Tahunan Santri Dar Al-Tauhid
yang diterbitkan hampir setiap tahun sejak kurang lebih 1993. Sampai sekarang Dzikrayat selalu mengalami terbit dan revisi ulang tiap tahunnya.
Data lahir tersebut dibenarkan juga oleh KH. Husein Muhammad, KH. Ahsin
Muhammad dalam suatu wawancara dengan penulis dan dalam diskusi guru serta
ustadz PP. Dar Al-Tauhid.
[2] Ini menurut H. Rais, seorang santri KH. A. Syathori yang
tinggal di desa Guwa, kecamatan Kaliwedi Cirebon. Ini dibenarkan oleh KH.
Chozin Nashuha. Karena yang memberi julukan ’Tunen’ adalah Wedana Arjawinangun,
KH. Chozin sempat meragukan lahirnya KH. A. Syathori di Lontang Jaya. Keraguan
KH. Chozin ini dibantah oleh fakta bahwa meski dilahirkan di Lontang Jaya, masa
kecil dan sekolahnya dihabiskan di daerah Arjawinangun. Baru ketika saat khitan
tiba, beliau dikhitan di Lontang Jaya, dalam suatu perayaan yang sangat meriah
di zamannya. Ini menurut data dari Lontang Jaya yang diberikan Rosyid,
Sirojudin bin Rosyid dan Khozinatul Asrar. Ini sejalan dengan data yang
disebutkan oleh Zikroyah th. 1993,
yang menyebutkan bahwa masa kecil KH. A. Syathori tidak dihabiskan di Lontang
Jaya, tetapi di Kaliwedi di bawah asuhan kerabatnya KH. Amin.
[4] Dalam Dzikrayat Tahun 2006 disebutkan bahwa tugas KH. Sanawi menjadi penghulu
adalah di Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan. Sementara itu data dari
Lontang Jaya menyebutkan bahwa beliau menjabat menjadi penghulu di Kaliwedi.
Data lain menyebutkan bahwa beliau menjadi penghulu di Arjawinangun. Ny. Hj.
Hunnah salah satu putri tertua KH. A. Syathori menceritakan bahwa kakeknya KH.
Sanawi memang pernah tinggal di Kaliwedi, beliau di sana bertani. Menurut KH.
Chozin Nashuha, di akhir hayatnya, KH. Sanawi diduga beristri lebih dari satu,
istri keduanya bertempat di Kaliwedi. Ini juga dibenarkan oleh Ny. Hj. Hannah, putri sulung KH. A.
Syathori
[5] KH. Hasanudin adalah nama
aslinya, adapun menjadi KH. Muhammad Syalabi karena menghormati istrinya Ny. Salbiyah. Itu satu
versi, versi yang lain menyebutkan berbeda. Dan sesungguhnya data tentang
silsilah KH. Sanawi terlihat jelas hanya sampai pada ayah dan kakeknya, tetapi
di atas kakek memang banyak versi menyebutkan secara berbeda-beda. Satu versi
menyebutkan bahwa kakek KH. Sanawi, KH. Hasanudin (KH. Muhammad Salabi) adalah
masih berdarah keraton Cirebon dan merupakan keturunan ke 17 dari Syarief
Hidayatullah dari jalur Sultan Zainul Arifin (Pangeran Adipati Cirebon). Versi
kedua menyebutkan bahwa KH. Muhammad Salabi adalah putra dari Pangeran Jatiraga
(Ki Jatira) yang bertempat di Babakan Ciwaringin. Bahkan dikatakan menurut
versi Babakan yang dirumuskan oleh KH. Mudzakir - cucu KH.Sanusi Babakan -
menyebutkan keberadaan pesantren di Lontang Jaya sendiri merupakan perpindahan
dari Babakan Ciwaringin, karena saat itu pesantren Babakan sedang di serang
Belanda. Bila benar KH. Muhmaad Salabi adalah putra Ki Jatira Babakan
Ciwaringin maka ia juga bisa dikatakan keturunan Syarif Hidayatullah ke 18 melalui jalur Pangeran Welang I. Versi
ketiga, tetapi ini dianggap lemah oleh beberpa pihak, adalah yang diungkapkan
Khozinatul Asrar dari Lontang Jaya, bahwa KH. Abdullah adalah putra Ki Arjaen.
Menurut Sirojuddin bin Rasyid, dengan banyaknya versi tersebut generasi Lontang
Jaya nampaknya memilih silsilah sampai hanya KH. Hasanuddin (KH. Muhammad Syalabi). ”Kami mencoba melakukan fatrah (pengosongan)
mengenai siapa ayah dan kakek serta buyut KH. Muhammad Syalabi, dari pada
menimbulkan fitnah”, kata Sirojuddin. Ini juga dilakukan untuk menghindari
kebiasaan selama ini yang membuat silsilah sekedar mencari legitimasi kebesaran
masa lalu, tambahnya kepada penulis. Menurut Sirojudin bin Rasyid, bahwa pada
umumnya pesantren-pesantren di Jawa mencari legitimasi silsilah dengan
menyandarkan pada Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau Syeikh Muhyi Pamijahan.
Sementara pesantren-pesantren di Cirebon biasanya menyandarkan silsilahnya
dengan berujng pada Syarif Hidayatullah. Sedangkan pihak keraton di Jawa
biasanya menyandarkan silsilahnya pada tokoh-tokoh pewayangan, seperti Arjuna
dan Abimanyu.
[6] Dalam sejarah Cirebon,
perang Kedongdong dikenal juga dengan Perang Santri, karena memang dilakukan
oleh ulama bersama para santrinya. Selain itu juga dikenal dengan nama ’Perang
Puputan’, karena perang dilakukan sampai titik darah penghabisan. KH. Syarief
Utsman Yahya menuturkan bahwa perang tersebut dipimpin Pangeran Matangaji dari
keraton Cirebon. Tidak banyak catatan dan data sejarah mengenai perang ini di
tanah air, kecuali memang ada di perpustakaan Belanda. Kolonial Belanda sendiri
menyebut perang ini sebagai ’Pemberontakan Matangaji’.
[7] Lihat Dzikrayat Tahun 2006. Dari silsilahnya dapat
dikatakan Ny. Hj. Arbiah adalah keturunan ke-16 Syarif Hidayatullah. Dalam
silsilah bisa diuurtkan sebagai berikut.
[8] Lihat Dzikrayat Tahun 2006 (ibid). Pada Dzikrayat Tahun 1993 disebutkan bahwa karena kepandaiannya dalam belajar
dan menghafal, oleh salah seorang kerabat KH. A. Syathori dari Kalwedi, KH.
Amin, meminta mengajarinya agama secara khusus.
[9] Dzikrayat Tahun 1993, hlm. 27. Kegemarannya main bola di masa kecil inilah
kemungkinan yang membuat KH. A. Syathori memperbolehkan para santrinya bermain
bola. Tentu bila itu untuk sekedar hiburan penhilang penat karena kesibukan
mengaji dan belajar di pesantren.
[10] Wawancara dengan Ny. Hj. Hannah binti KH. A. Syathori
menyebutkan bahwa ada ’asumsi’ masyarakat luas bahwa bagi orang Cirebon
sebaiknya mmenimba ilmu di pesantren itu di Babakan Ciwaringin terlebih dahulu,
karena berarti mbabak, melakukan
langkah awal sebagai persiapan ke jenjang yang lebih tinggi.
[11] Ini yang dikatakan dalam Dzikrayat Tahun 2006. KH. Chozin Nashuha terkait hal ini menyatakan bahwa, ” Yang mendirikan pesantren Babakan itu bukan Kiai Jatira,
beliau kan hanya sebagai tokoh legendaris saja. Terus diterusuan Kiai Adzrai.
Kemudian dilanjutkan oleh Kiai Ismail dan baru Kiai Amin Sepuh. Nah, Kiai
Syathori itu dalam thabaqat Kiai
Amin ini”.
[12] Kiai Khalil Bangkalan
adalah Kiai asal Bangkalan Madura yang dikenal sebagai wali Madura-Jawa. Nama aslinya adalah Muhammad Khalil, ia lahir di
Bangkalan Madura. Beliau dikenal sebagai guru yang unik dan sekaligus juga guru
dari KH. Hasyim Asyari dan ulama-ulama besar lainnya. Lihat Abdurrahman Mas’ud,
Dari Haramain ke Nusantara; Jejak
Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)
hlm. 183-205. Lihat juga Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren; Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta:
LkiS, 2004) hlm. 157-174.
[13] Dari hasil awawancara
dengan KH. Shobir bin KH. Asy’ari bin KH. Shobari di Ciwedus diketahui bahwa
KH.Shobari baru selesai belajar di Kiai Khalil Bangkalan setelah usia
KH.Shobari 40 tahun. Artinya bahwa keilmuan yang ditimbanya cukup matang.
Pesantren yang didirikannya awalnya cukup menarik santri dari berbagai daerah.
Tetapi setelah KH. Shobari wafat pada 1916, kejayaan pesantren berangsur surut.
Ini karena generasi selanjutnya, para santri bahkan pengikut KH. Shobari
dikejar-kejar Belanda, sehingga mereka berpindah keluar Ciwedus. Yang tetap
tinggal adalah salah seorang putra KH. Shobari, yaitu KH. Asy’ari yang kemudian
ditangkap dan ’dihilangkan’ oleh Belanda. Sekarang ini yang ada adalah Yayasan
PUI yang membawahi lembaga-lembaga pendidikan yang diasuh oleh generasi
penerus, termasuk KH. Shobir bin KH. Asy’ari
[14] Ini artinya bahwa KH.
Abdul Halim yang pendiri PUI satu guru dengan KH. A. Syathori dan KH. Sanusi
yang sangat NU. Ini dimungkinkan mengingat bahwa KH. Abdul Halim melanjutkan
belajarnya ke Timur Tengah, sementara KH. A. Syathori melanjutkan belajar ke
pesantren-pesantren NU di Jawa.
[15] Yang dimaksud ekspresif di
sini adalah dengan khusyu, lantunan yang merdu dan gerakan ritmis yang syahdu,
sehingga sangat berkesan bagi jiwa. Dari hasil wawanvcara dengan KH. Chozin dan
lihat juga di Zikroyah th. 2006.
[16] H. Jauhar- yang merupakan
santri ’kalong’ KH. A. Syathori- dalam suatu wawancara dengan penulis,
menyebutkan bahwa KH. A. Syathori adalah sosok yang sangat menghrmati keluarga
Nabi dari kalangan habaib.
[17] Kiai Idris adalah ulama
kharisrmatik pada zamannya yang memiliki ribuan santri. Ketika beliau
meninggal, para santrinya membaca Al-Quran siang-malam tanpa henti selama empat
bulan. Ini dari wawancara dengan Ny. Hj. Hunnah binti KH. A. Syathori.
[20] Wawancara dengan KH.
Chozin Nashuha, dan dibenarkan oleh para alumni dan guru serta ustadz Pesantren
Dar Al-Tauhid dalam suatu pertemuan diskusi
[22] Tgl 31 Januari 1926, bersama
dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul
Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak
anggotanya. Pengaruh KH. Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan
organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari
ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan KH.
Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi
penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa. Dari
berbagai sumber. Lihat juga dalam www.tokohindonesia.com.
[25] Sanad adalah
ciri khas dan hanya ada dalam tradisi keilmuan Islam, khususnya ilmu hadits. Sanad sendiri berarti runtutan periwayat. Dalam konteks
mengaji yang dimaksud sanad adalah deretan guru-guru yang runtut dan saling
bertemu serta terangkai. Dengan sistem sanad ini, keilmuan pesantren bukan
hanya bersifat keilmuan semata yang profan, tetapi juga keilmuan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sakral, karena ia sampai pada sumber yang
mempertanggungjawabkan sumber keilmuan yang ada. Ini karena ada kaidah yang
menyatakan; ”Jika tidak ada sanad, maka
siapa pun bisa berbicara apa pun”. Karena itu pula karakter keilmuan
pesantren adalah bukan ilmu untuk ilmu tetapi ilmu untuk diyakini dan
diamalkan. KH. Husein Muhammmad dalam berbagai kesempatan sering menyatakan, ”Al-’Ilmu ma Yu’rafu wa Yutqan”.
[26] Wawancara dengan KH.
Chozin Nashuha. Inilah indikasi kenapa lalu KH. Chozin menyimpulkan bahwa KH.
A. Syathori sudah ’alim sejak belajar di Kiai Idris Solo. Kitab Al-Fiyah Ibn Malik sendiri adalah kitab
untuk para santri yang sudah dianggap tingkat tinggi dalam belajar grammer
bahasa Arab. Adapun kelas dasar biasanya menggunakan Kitab Jurumiyah, tingkat menengah menggunakan kitab nadzam ’Imrithi, sedangkan kitab Alfiyah ibn Malik, yang berisi 1000 nadzam biasanya diperuntukkan bagi
mereka yang sudah bisa dan memahami nahwu dasar Bahasa Arab.
[27] Diceritakan oleh H.
Sayaidi. Dia menuturkan bahwa KH. A. Syathori ketika sakit ia pernah
menceritakan bahwa dirinya waktu di Tebu Ireng mengajar KH. Wahid Hasyim.
Beliau menceritakan bahwa Wahid Hasyim adalah anak dan murid yang cerdas dan
cepat menghafal.
[28] Dzikrayat Tahun 2006. Ini dibenarkan juga oleh KH. Chozin Nashuha, beliau
menyatakan kepada penulis bahwa, ”Ada teman saya dari
Sukaperna Bangodua Indramayu, dia diceritai oleh ayahnya yang belajar di
pesantren di Kiai Hasyim Jombang. Bahwa KH. Hasyim Asy’ari berkata: “Arek-arek Cirebon, arek-arek Dermayu, yen
ora iso mondok karo aku, cukup kae kana Kiai Syathori”. Teman saya itu
namanya Sya’roni ibn Abdullah. Sehingga kemudian banyak masyarakat Cirebon dan
Indramayu mondok ke Kiai Syathori”.
[29] Diceritakan bahwa, sebagai
seorang ulama yang dianggap juga waliyullah, Kiai Khalil Bangkalan dianggab
sebagai orang doanya diijabah oleh
Allah swt. Karenanya setiap beliau
berdo’a siapa pun akan mengamininya. Ini hasil wawancara dengan KH. Chozin
Nashuha, dan berbagai sumber lainnya.
[30] Dzikrayat Tahun 2006. Dalam berbagai buku
tertulis bahwa Kiai Khalil Bangkalan wafat pada 1925.
[32] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak
Intelektual Arsitek Pesantren, op.cit hlm. 184. Lihat juga Abdurrahman
Mas’ud, Intelektual Pesantren; Perhelatan
Agama dan Tradisi, op.cit., hlm.
158.
[33] Kekaguman itu sebenarnya
bukan hanya pada kecerdasan KH. A. Syathori tetapi terhadap kepribadian dan
bberapa kelebihan lainnya. Diceritakan bahwa waktu menjadi santri di Tebu Ireng
KH. A. Syathori berhasil menaklukan kerbau yang mengamuk hanya dengan memegang
tanduknya dan memberinya minum air kelapa. Ini diceritakan oleh Ahmad santri
pesantren Dar Al-Tauhid dari berbagai sumber.
[34] Dzikrayat Tahun 2006. Disebutkan juga dalam Dzikrayat Tahun 1993 tentang bagaimana halusnya KH. A. Syathori menolak
tawaran guru yang sangat dihormatinya, yaitu dengan hanya diam. Sementara KH.
Hasyim menanggapi sikap diam muridnya itu, ia langsung mencari informasi ke
Cirebon, sehingga beliau tahu sendiri bahwa Sang murid telah memiliki calon
istri di Cirebon.
[36] Di Dzikrayat Tahun 2006 dituliskan sekitar tahun 1927, sedangkan di Dzikrayat Tahun 1993 dituliskan tepatnya 1927. Dalam hal ini penulis menuliskan
diduga, karena dalam Dzikrayat Tahun 1993 disebutkan bahwa usia KH. A. Syathori
saat menikah adalah 25 tahun. Sementara jika beliau terlahir 1905, berarti barus
berusia 22 tahun ketika menikahnya tahun 1027 H. Data yang berbeda disebutkan oleh H. Ainin yang
merupakan murid awal-awal dan juga sahabat KH. A. Syathori, ia menyatakan bahwa
KH. A. Syathori menikah pada tahun 1928. Ini kemungkinan yang dimaksud adalah
pesta pernikahan KH. A. Syathori yang memang diselenggarakan setelah beliau
menyelenggarakan haji, yaitu di tahun 1928.
[38] Tidak ada data pasti yang
menyebutkan berapa lama KH. Syatori menetap di Kali Tengah Plered Cirebon. Ada
data yang kurang meyakinkan disebutkan oleh KH. Chozin Nahsuha, bahwa KH. A.
Syathori menetap di Kali Tenhag selama 12 tahun, karena dalam kesempatan lain
beliau menyebutkan sejak th. 1954 sampai dengan th. 1963.
[40] Isltilah ahli hikmah ini
digunakan untuk menunjuk seseorang yang menekuni bidang kebathinan Islam,
terutama dalam hal pengobatan dan do’a-do’a mujarab untuk mengatasi berbagai
persoalan kehidupan.
[41] Di masyarakat Cirebon
dikenal beragam istilah untuk yang bermakna sama-sama mengajarkan ilmu
pengetahuan. Pertama, dikenal dengan istilah mengajar, ini digunakan untuk Bapak atau Ibu guru yang memang
pekerjaannya mengajar di sekolah.. Kedua, istilah muruk, biasanya hanya dignakan untuk makna mengajari santri
mengaji, sering dikatakan sebagai muruk
ngaji. Ketiga istilah mulang, ini
digunakan dalam makna mengajar di sekolah dan mengajar ngaji.
[43] Terjadi simpang siur data
mengenai berapa lama KH. A. Syathori tinggal di Kali Tengah. Dzikrayat Tahun 1993, menyebutkan bahwa beliau tinggal di Kali Tengah selama 3
tahun, sumber yang lain disebutkan oleh KH. Chozin Nashuha bahwa KH. A.
Syathori tinggal di Kali Tengah selama 12 tahun. Dalam rapat dan diskusi
alumni, guru dan ustadz Pesantren Dar Al-Tauhid diketahui bahwa KH. A. Syathori
mulai mengaji di Arjawinangun sejak th. 50-an.
[46] Dzikrayat Tahun 1993, ini dibenarkan oleh
KH. Chozin. Dalam Dzikrayat Tahun 2006 disebutkan kembalinya KH.
A. Syathori ke Arjawinangun adalah tepat 1932.
[47] Wawancara dengan KH. Ahsin
Muhammad, ia menyatakan bahwa: ” Dalam
hal ini, beliau menyelenggarakan pengajian khusus bagi kaum perempuan. Ini
dilakukan tiap habis Jum’atan. Waktu itu pengajian perempuannya masih
menggunakan tabir. Kursi kyai tinggi dan menghadap ke tembok agar jangan
kelihatan perempuan. Orang dari mana-mana datang dan ikut pengajiannya. Kyai
sudah menggunakan mikrofon. Diawali dengan apa dan diakhiri dengan ya rabbi bil mushthofa balligh
maqashidana…”.
[50] Dzikrayat Tahun 2006. Beberapa sumber lain menyebutkan tanggal
meningalnya dan penyakit KH. A. Syathori secara berbeda-beda. Dalam Dzikrayat Tahun 1993, disebutkan bahwa KH. A. Syathori
meninggal pada tanggal 13 Februari 1969 dengan disebabkan penyakit kencing
manis dan rematik. Ny Hj. Hannah
menyebutkan bahwa penyakit beliau sampai meninggalnya adalah darah tinggi. KH.
Chozin Nashuha menyatakan bahwa sampai meninggalnya, KH. A. Syathori mengidap
penyakit jantung. Ini, menurut Chozin, karena beliau pernah diculik dan
interograsi secara keras oleh pihak yang yang diduga kuat kelompok komunis yang
saat itu menguasai pemerintahan RI. Sementara itu menurut H. Sayidi, beliau
meninggal pada 19 bulan ketujuh dalam penanggalan Jawa (Kapit) yang bertepatan
dengan 19 April 1969. Adapun penyakit yang dideritanya adalah komplikasi.
[51] Ini diceritakan oleh
Ny. Hj. Hannah binti KH. A. Syathori. Katanya ini berbeda dengan KH. Idris Solo yang dibacakan
Al-Qur’an di maqbarahnya oleh para
santri sampai 4 bulan lamanya.
0 comments:
Post a Comment