اَهْلاًوَسَهْلاً

Thursday, 20 February 2014

Laporan PPL



LAPORAN KEGIATAN

PRAKTEK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL I)
DI PESANTREN DAR AT-TAUHID, DAR AL-QUR’AN, DAR AL-FIKR
ARJAWINANGUN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Praktek Pengalaman Lapangan
Dosen Pengampu: Hj. Liya Aliya, MA






Disusun oleh:
Mulya
NIM: 14113450009




PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS ADADIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2014







 

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Individu ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan Pengalaman Lapangan (PPL) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati  Cirebon tahun Akademik 2014/2015.


Yang disiapkan dan disusun oleh:
Mulya (14113450009)




Cirebon, Februari 2014
Mengesahkan,

Pembimbing Lapangan                                               Dosen Pembimbing



Hj. LiyaAliyah, M.A                                                 Didi Junaedi, MA


Ketua Jurusan Tafsir Hadis



Hj. Umayah, M, Ag
NIP. 197307141998032001






KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
            Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga dengan beberapa rintangan, penulis mampu menyelesaikan penulisan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) ini.
Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada junjungan Nabi besar Agung Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan juga melimpah kepada umat Islam seluruhnya.
Untuk memenuhi amanah studi laporan ini tidak lepas bantuan dan dorongan banyak pihak, baik moril maupun materiil hingga selesainya penulisan laporan ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Bapak Dr. H. Adib, M.Ag, selaku Dekan Fakultas ADDIN IAIN Syekh Nurjati Cirebon, beserta stafnya yang telah memberi kesempatan kepada penyusun untuk  mengikuti PPL (Praktek Pengalaman Lapangan).
2.      Hj. Umayah, M.Ag, Hj. Liya Aliyah, M.Ag, Didi Junaedi, MA, Achmad Lutfi M.S.I. yang telah memberikan arahan serta bimbingannya kepada penyusun dalam melaksanakan PPM.
3.      KH. Abdurrahman Ibnu Ubaidillah Syatori (Pengasuh Pondok Pesantren Dar at-Tauhid), KH Husein Muhammad (Pengasuh Ponpes Dar Al-Fikr), Prof. Dr. KH. Akhsin Sakho Muhammad, M.A  (Pemateri PSQ Jakarta dan Pengasuh Ponpes Dar Al-Qur’an) yang telah menyediakan sarana fasilitas serta materi untuk terselenggaranya PPM Jurusan Tafsir Hadis ini.
4.      Semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan Program Pengayaan Materi.
Terima kasih atas kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan. Penulis hanya bisa berdo'a mudah-mudahan Allah SWT memberikan imbalan dan pahala yang setimpal kepada mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan laporan ini.
Walaupun dalam penyusunan laporan ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin, namun penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan laooran ini tidak dapat penulis hindari. Oleh sebab itu, penulis mengharap tegur sapa dan kritik dari para pembaca yang arif dan aris demi kebaikan laporan yang penulis susun.
Akhirnya penulis berharap semoga laporan ini dapat berguna, khususnya bagi penulis sendiri dan tentunya bagi para pembaca pada umumnya. Amin




Cirebon,  Februari 2014
Penyusun


                                                                       
MULYA
14113450009



















DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. 1
KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2
DAFTAR ISI.......................................................................................................... 4
BAB I    : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah................................................................... 5
B.     Program Kerja yang direncanakan............................................ ...... 5
C.     Tujuan Kegiatan............................................................................... 5
BAB II  : PELAKSANAAN KEGIATAN
A.    Rencana Kegiatan............................................................................ 6
B.     Agenda Kerja Harian Praktikan....................................................... 8
BAB III : PEMBAHASAN DAN EVALUASI KEGIATAN
A.    Kritik Sanad dan Matan serta Penerapannya................................. 10
B.     Hermeneutik dalam Tradisi Islam.................................................. 12
C.     Metodologi dan Kaidah-kaidah Ilmu Tafsir serta Kritik Tafsir       13
D.    AsbabAl-Wurud............................................................................. 14
E.     Orientalisme dan OksidentalismeAl-Qur’an dan Hadis........... .... 15
F.      Ilmu Qira’at.................................................................................... 16
BAB IV : PENUTUP
A.    Simpulan........................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-          Dokumentasi foto Pelaksanaan kegiatan
-          Profil Pon-Pes(Dar Al Tauhid, Dar Al Qur’an, dan Dar Al Fikr)










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Prakyek Pengayaan Lapangan(PPL) merupakan bagian dari mata kuliah yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa. Hal tersebut sebagai bentuk aplikasi dari setiap materi yang pernah diambil selama perkuliahan. Terkhusus PPL 1 kali ini mahasiswa Tafsir Hadis melaksanakan PPL di Pesantren Arjawinangun (Dar at-Tauhid, Dar al-Qur’an, dan Dar al-Fikr). Dan PPL 1 pada teknisnya merubah nama menjadi PPM (Program Pengayaan Materi). PPM merupakan bentuk peralihan dari Praktek Pengayaan Lapangan karena menyesuaikan kegiatan pada PPM ini mahasiswa cenderung mendengarkan materi belum pada tahap terjun ke lapangan secara langsung mengajar, namun mahasiswa dibekali dengan berbagai materi yang belum pernah diajarkan di kampus. Alasan mengambil tempat di Arjawinangun karena lingkungan pesantren yang sangat strategis, didukung pemateri dari tingkat nasional yang merupakan pemilik pesantren tersebut.

B.     Tujuan Kegiatan
Adapun tujuan dari PPM atau PPL 1 ini adalah:
1.      Sebagai bentuk pematangan menghadapi PPL 2, di mana mahasiswa akan terjun langung ke lapangan sekaligus membuat observasi mengenai tafsir maupun hadis.
2.      Sebagai bentuk evaluasi terhadap materi-materi yang pernah ditempuh mahasiswa sehingga menambal wawasan materi yang belum diketahui.
3.      menyelesaikan salah satu mata kuliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa tingkat III Fakultas ADDIN Jurusan Tafsir Hadis.

C.    Program Kerja yang direncanakan
Adapun program kerja yang direncanakan oleh tim PPL yaitu Pengisian materi oleh para pakar ilmu tafsir hadis. Materi-materi yang dikembangkan adalah Kritik Sanad dan Matan Hadis, Penerapan Kritik Sanad dan Matan Hadis, Hermeneutik, IstinbatAhkam, Asbab Al Wurud, Orientalisme dan Oksidentalisme Al Qur’an dan Hadis, Metodologi dan Kaidah Tafsir, Kritik Tafsir, dan Ilmu Qira’at.

BAB II
PELAKSANAAN KEGIATAN
C.     Rencana Kegiatan
Rencana Program Kegiatan
Pondok Pesantren Arjawinangun (Dar Al Tauhid, Dar Al Qur’an, Dar Al Fikr)
Hari/Tanggal
Waktu
Kegiatan
Tempat
Keterangan (Nara Sumber)
Jum'at/10 Januari 2014
07.00 - 08.00
Pemberangkatan
IAIN SNJ Cirebon
KePon-PesArjawinangun
08.00 - 09.00
Chek - in
Dar Al Tauhid
Tim PPL
09.00 - 11.00
Pembukaan&Ta'arufPeserta PPL
Mushalla
Tim PPL
11.00 - 12.45
Isoma (ShalatJum'at)
Masjid
Tim PPL
12.45 - 13.30
Pembacaansurat Al Kahfibersamasantri
Mushalla
PanitiaLokal
13.30 - 14.30
Materi I (Hadis: KritikSanad)
Madrasah
Dr. K.H. KhazinNasuha
14.30 - 16.00
Materi II (Hadis: KritikMatan)
Masing-masingtempat
Dr. K.H. KhazinNasuha
16.00 - 16.30
Shalatashar
Mushalla
Tim PPL
16.30 - 17.30
Ziarahkubur
Maqbarah
K.H. Machsun Muhammad
17.30 - 19.30
Isoma
Masing-masingtempat
Tim PPL
19.30 - 21.00
Materi III (PenerapanKritikMatandanSanad)
Mushalla
Dr. K.H. KhazinNasuha
21.00 - 22.00
Evaluasimateri
Masing-masingtempat
Tim PPL
Sabtu/11 Januari 2014
04.00 - 04.30
Jama'ahShalatSubuh
Dar Al Tauhid
Tim PPL
04.30 - 07.00
RefleksiKebugaranJasmani
LapanganKiruncum
Tim PPL
07.00 - 08.00
MakanPagi
Masing-masingtempat
Tim PPL
08.00 - 10.00
Materi IV (Hermeneutik)
Dar Al Fikr/Mushalla
K.H. Husein Muhammad
10.00 - 12.00
Materi V (IstinbatAhkam)
Dar Al Fikr/Mushalla
K.H. Husein Muhammad
12.00 - 13.30
Isoma
Masing-masingtempat
Tim PPL
13.30 - 15.00
Materi VI (Asbab Al Wurud)
Mushalla
Dr. K.H. KhazinNasuha
15.00 - 16.00
RefleksiKebugaranJasmani
Lapangan D.T
Tim PPL
16.00 - 16.30
Shalatashar
Dar Al Tauhid
Tim PPL
16.30 - 17.30
Ziarahkubur
Maqbarah
K.H. Marzuki Wahid
17.30 - 19.30
Isoma
Dar Al Fikr/Mushalla
Tim PPL
19.30 - 21.00
Materi VII (Orientalis&Oksidentalis Al Qur'an danHadis
Dar Al Fikr/Mushalla
K.H. Husein Muhammad
21.00 - 22.00
Evaluasimateri
Mushalla
Tim PPL
Ahad/12 Januari 2014
04.00 - 04.30
Jama'ahShalatSubuh
Dar Al Tauhid
Tim PPL
04.30 - 07.00
RefleksiKebugaranJasmani
LapanganKiruncum
Tim PPL
07.00 - 07.30
MakanPagi
Dar Al Tauhid
Tim PPL
07.30 - 09.30
Materi VIII (Metodologi&KaidahTafsir)
Dar Al Qur'an
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
09.30 - 11.30
Materi IX (KritikTafsir)
Dar Al Qur'an
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
11.30 - 13.00
Isoma
Dsr Al Tauhid
Tim PPL
13.00 - 15.00
Materi X (IlmuQira'at)
Dar Al Qur'an
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
15.00 - 16.00
Penutupan
Mushalla
Tim PPL &PengurusPondok




 

D.    Agenda Kerja HarianPraktikan
Hari/Tanggal
Kegiatan
Tempat
Keterangan (Nara Sumber)
Jum'at/10 Januari 2014
Pemberangkatan
IAIN SNJ Cirebon
KePon-PesArjawinangun
Chek - in
Dar Al Tauhid
Tim PPL
Pembukaan&Ta'arufPeserta PPL
Mushalla
Tim PPL
Isoma (ShalatJum'at)
Masing-masingtempat
Tim PPL
Pembacaansurat Al Kahfibersamasantri
Masing-masingtempat
PanitiaLokal
Materi I (Hadis: KritikSanad)
Perpustakaan Madrasah
Dr. K.H. KhazinNasuha
Materi II (Hadis: KritikMatan)
Perpustakaan Madrasah
Dr. K.H. KhazinNasuha
Shalatashar
Masing-masingtempat
Tim PPL
Ziarahkubur
Maqbarah
K.H. Machsun Muhammad
Isoma
Masing-masingtempat
Tim PPL
Materi III (PenerapanKritikMatandanSanad)
Mushalla
Dr. K.H. KhazinNasuha
Evaluasimateri
Masing-masingtempat
Tim PPL
Sabtu/11 Januari 2014
Jama'ahShalatSubuh
Masing-masingtempat
Tim PPL
RefleksiKebugaranJasmani
Masing-masingtempat
Tim PPL
MakanPagi
Masing-masingtempat
Tim PPL
Materi IV (Hermeneutik)
Dar Al Fikr/Mushalla
K.H. Husein Muhammad
Materi V (IstinbatAhkam)
Dar Al Fikr/Mushalla
K.H. Husein Muhammad
Isoma
Masing-masingtempat
Tim PPL
Materi VI (Asbab Al Wurud)
Mushalla
Dr. K.H. KhazinNasuha
RefleksiKebugaranJasmani
Masing-masingtempat
Tim PPL
Shalatashar
Masing-masingtempat
Tim PPL
Ziarahkubur
Maqbarah
K.H. Marzuki Wahid
Isoma
Dar Al Fikr/Mushalla
Tim PPL
Materi VII (Orientalis&Oksidentalis Al Qur'an danHadis
Dar Al Fikr/Mushalla
K.H. Husein Muhammad
Evaluasimateri
Masing-masingtempat
Tim PPL
Ahad/12 Januari 2014
Jama'ahShalatSubuh
Masing-masingtempat
Tim PPL
RefleksiKebugaranJasmani
Masing-masingtempat
Tim PPL
MakanPagi
Masing-masingtempat
Tim PPL
Materi VIII (Metodologi&KaidahTafsir)
Dar Al Qur'an
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
Materi IX (KritikTafsir)
Dar Al Qur'an
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
Isoma
Masing-masingtempat
Tim PPL
Materi X (IlmuQira'at)
Dar Al Qur'an
Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
Penutupan
Mushalla
Tim PPL &PengurusPondok

BAB III
PEMBAHASAN DAN EVALUASI KEGIATAN

A.    Kerangka Dasar Fiqh al-Hadis
Oleh: Dr. K.H Chozin Nasuha
Ilmu hadis Nabi berbeda dengan teks hadis Nabi itu sendiri. Hadis Nabi adalah semua informasi yang disandarkan kepada Rasul saw. Atau kepada sahabat Nabi dalam bentuk perkataan, perbuatan atau pengakuan atau sifat-sifat yang ada pada diri Rasul. Sedangkan ilmu hadis ialah seperangkat kaidah yang mengatur tentang isi dan struktur hadis dikaitkan dengan dengan perkembangan ilmu. Pengolahan ilmu isi (teks) hadis disebut ilmu hadis riwayah dan pengolahan struktur hadis disebut Dirayah. dua bidang ilmu itu terus berkembang sesuai dengan kebutuhan. Salah satu alat yang dipergunakan untuk mengolah matan hadis adalah sebuah karangan yang biasa disebut “Fiqh al-Hadis”
Fiqh al-Hadis secara bahasa adalah “memahami matan hadis” sedangkan secara konsepsi, fiqh al-Hadis ialah konsep pemikiran yang merespon tuntutan perkembangan zaman dan masyarakat sesuai dengan sunnah Rasul saw. Dengan fiqh al-Hadis dapat menentukan kedudukan sebuah hadis apakah termasuk tasyri atau irsyad. Tasyri ialah tuntutan Rasul yang bernilai ibadah yang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin sesuai isinya. Sedangkan irsyad ialah teks atau informasi sebuah fenomena sosial yang pernah dilakukan oleh Rasul saw yang tidak ada kaitannya dengan perintah atau larangan.
Menurut al-Dahlawi contoh hadis tasyri adalah seperti konsep akhirat dan keajaiban alam malakut. Masuk dalam hadis tasyri juga tentang syariat islam yang berkaitan dengan ibadah dan peningkatan kwalitas ibadah itu sendiri. Sedangkan hadis irsyad adalah amalan Rasul selaku manusia yang berkaitan dengan masalah sosial. Sebagai contoh seperti tradisi kedaerahan , interkasi sosial, dan semua bentuk budaya yang berkaitan dengan politik, ekonomi, teknologi, komunikasi dan sebagainya.di tengah-tengah antara dua konsep itu Fiqh al-Hadis menyimpan bagian-bagian yang baru bisa dilihat oleh ahli hadis yang berpikir.contohnya seperti Rasulullah pergi ke pasar dengan memakai jubah putih . apakah amalan Rasul itu tasyri atau irsyad ? dari segi menutup aurat Rasul menjalankan tasyri tetapi dari segi bentuk pakaian Rasul menjalan hadis irsyad. Dan penilaian terhadap matan hadis bahwa itu tasyri atau irsyad adalah ijtihadiyah.
1.      Paradigma Fiqh al-Hadis
paradigma al-hadis tebagi menjadi tiga macam. Paradigma teori konvensional adalah pemikiran sekelompok ahli hadis mutaakhirin yang kitabnya setiap saat dipelajari dan dikembangkan oleh ulama berikutnya. Paradigma secara skiptis menganggap bahwa masalah fiqhiyah (ijtihadiyah) merupakan daulat dari paradigma ini. Paradigma persfektif komunikasi adalah konsep yang berpendapat bahwa masyarakat dan ilmu pengetahuan itu berkembang terus. Perkembangan satu bidang ilmu tidak bisa dipisahkan dengan bidang lainnya, karena semua berjalan secara gradual. Dalam perkembangan sosial, tidak bisa dipisahkan antara politik, ekonomi, sosial, budaya, agama dan sebagainya. Karena fenomena sosial berkembang secara bersama-sama dalam segi kehidupan masyarakat. Atas dasar itulah Fiqh al-Hadis yang dapat dijadikan sebagai ilmu untuk menentukan tasyri atau irsyad adalah bukan merupakan suatu teori yang harga mati, tetapi harus berkembang sesuai kebutuhan ilmu.
Salah satu model paradigma yang dapat diterapkan pada fiqh al-hadis lagi adalah memasukan media komunikasi dalam menentukan mana dataran hadis yang masuk tasyri dan mana yang masuk irsyad. Pemilahan semacam itu memerlukan dasar-dasar ilmu sosial dan ilmu budaya. Sejarah telah membuktikan bahwa imam Abu Hanifah di Kufah, Imam Malik di Madinah, Imam Syafi’i di Kairo, dan imam Ahmad di Baghdad, itu semua memanfaatkan media yang ada di daerah masing-masing. Karena ijtihadpun berbeda-beda, seandainya imam-imam mujahid itu hidup sekarang, mungkin akan memanfaatkan media yang berkembang sekarang.
2.      Struktur teori
Kunci kendali memilih teori dalam fiqh al-Hadis, selain memahami konteks formal dan material, muhaddits juga dituntut memahami konteks sejarah dan konteks sosial saat teori itu dilahirkan. Sehingga apabila teori itu dipergunakan, maka muhadits dapat memahami struktur masing-masing teori itu. Suatu contoh tentang struktur teori ibadah haji misalnya, maka dalam strukturnya, yang biasa disebut grand theori adalah konsep ibadah. Sedang amalan Rasul adalah middle theory, dan amalan sahabat yang memahami amalan Rasul tadi, disebut aplication theory. Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap penerapan aplikasi teori itu selalu bervariasi. Karena itu amalan sahabat Nabi dalam menjalankan ibadah hajji bersama Rasul tadi berbeda satu sama lain. Aplikasi itulah yang oleh Rasul disambut dengan kata-kata “if al walaa haraj” (lakukanlah dan itu tidak salah) dalam studi Fiqh al-Hadis, teori mana yang akan digunakan  untuk menerapkan norma tasyri atau irsyad , seorang muhaddits disamping berangkat  dari sebuah paradigma juga memilih struktur teori yang sudah disebutkan di atas.

B.     Hermeneutik dalam Tradisi Islam
Oleh: K.H. Husein Muhammad
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein dan dalam bahasa Inggris disebut hermeneutic. Para sarjana modern menginformasikan kepada kita bahwa ia berasal dari kata “Hermes” dia adalah nabi Idris. Dalam mitologi Yunani ia adalah Dewa yang brtugas sebagai juru bicara antara manusia dan Tuhan. Secara literal ia berati memahami, menafsirkan atau menerjemahkan kata-kata atau ucapan. Pada awalnya istilah ini digunakan untuk memahami kata-kata Tuhan dalam kita suci Injil. Tetapi kemudian berkembang menjadi istilah untuk menafsirkan dan memahami berbagai teks atau tulisan. Jadi hermeneutik sesungguhnya adalah teori tentang penafsiran, dalam diskursus Islam ia adalah tafsir, takwil, bayan, syarh, dan sebutan lainnya. Dalam kajian ushul fiqh cara atau teori memahami atau menafsirkan teks-teks al-Qur’an, hadis atau sumber lainnya dikenal dengan istilah “al-istidlal bi al alfazh”
Analisis hermeneutik melangkah lebih jauh dari mentakwilan ayat-ayat mutasyabihat. Dalam buku al muwafakat karya imam al-Syatibi berpendapat bahwa untuk memahami pernyataan-pernyataan al-Qur’an tidak cukup dengan mengerti makna lahiriahnya tetapi harus juga memahami konteks yang menyertainya maupun kontek yang diluarnya yang disebut sebagai “muqtadhyat al ahwal”. Ia mengatakan: “mengetahui makna dan kejelesan al-Qur’an dan memahami maksud kalimat (uslub) bahasa Arab yang indah dengan mana al-Qur’an diturunkan tergantung pada kondisi/bentuk kata-kata dari aspek bahasa itu sendiri, situasi penyampainya dan  keadaan pembacanya atau ketiga-tiganya.



C.    Metodologi dan Kaidah-Kaidah Ilmu Tafsir Serta Kritik Atas Tafsir
Oleh: Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
Menurut Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho Ulumul Quran ada 5 icon pembahasan, yaitu sebagai berikut:
1.      Eksitensi al-Quran sebagai “kalamullah”
2.      Proses sejarah turunnya al-Qur’an
3.      Bagaimana cara membaca Kalamullah (al-Qur’an)
4.      Bagaimana cara memahami Kalamullah
5.      Pembahasan seputar problematika mengenai al-Quranul Karim

Kita selaku kaum muslimin mempunya doktrin, doktrin akan sempurna apabila mengimani semua kitab suci dan rasul, mengingkari salah satu kitab Allah itu berarti mengingkari semua kitab suci. Begitu pula terhadap pengimanan terhadap Rasul-rasul Allah, hal tersebut tidak terlepas daripada kemukjizatan al-Qur’an, karena setiap mukjizat al-Quran adalah jawaban tentang kebenaran al-Quran itu sendiri.
Keberadaan al-Qur’an tidak mudah begitu saja, banyak hambatan untuk bisa tersebar, mulai dari zaman Nabi hingga sekarangpun perlu perjuangan untuk tetap terjaga kemurnian al-Qur’an, salah satu serangan dari orang-orang atheis terhadap al-Qur’an yang berusaha ingin terus membuktikan kenabian Muhammad, lagi-lagi dengan kemukjizatan al-Qur’an dapat  membuktikannya dengan tema yang sangat luas baik itu dari segi makna ataupun lafadz.
Selain daripada itu proses terciptanya al-Qur’an seperti yang kita pegang memerlukan tahap yang sangat panjang, mulai dari tulisan yang tidak bergigi dan syakal, berubah diberi syakal, pembagian juz, penyederhanaan bentuk eksemplar, dan terus berkembang hingga terciptanya karya seni kaligrafi. Kemurnian al-Qur’an dijaga oleh ulama dan guru-guru dengan berbagai ilmu.

Dengan perkembangnya ilmu al-Qur’an muncul pula ilmu tafsir. Untuk memahami al-Qur’an dengan penafsiran dibutuhkan berbagai ilmu yang tekait dengan al-Qur’an, tidak semata hanya ro’yu, yang penting adalah system penafsirannya bukan hasil penafsirannya. Ilmu yang perlu dikuasai mufassir diantaranya, nahwu, shorof, balaghah, susuai syariat islam, tidak cukup hanya menghandalkan terjemah. Bila tidak ada alat untuk membedah tafsir tersebut sama halnya orang nekat yang dikhawatirkan keselamatannya.

Dalam penafsiran diperlukan pula manhaj dan ittijah. Manhaj adalah suatu metode untuk menafsirkan al-Qur’an, sedangkan ittijah adalah corak atau karakteristik dalam penafsiran. Sama halnya manhaj adalah gelas atau wadah dan ittijah sama dengan cairan. Jadi sebelum corak suatu tafsir perlu dibentuk metode terdahulu sehingga terwadahi segala macam corak penafsiran yang dianut seorang mufassir.

Tafsir tahlili ada 3
1.      Tahlilil al-basyt : tafsir sofwatut tafasir
2.      Tahlili al-wasyt : tafsir fakhr ar-razi
3.      Tahlili al-wajiz : tafsir jalalen
Tafsir ibnu katsir
1.      Tidak ada judul
2.      Makna keseluruhan
3.      Makna tahlili
Tafsir fi-zilalil quran
1.      Langsung ke jantung persoalan
2.      Tidak ada mufrodatnya

D.    Asbabun Wurud
Oleh: Oleh: Dr. K.H Chozin Nasuha
Turunnya al-Qur’an bukan tanpa tujuan, melainkan sebagai wacana yang mengisi ruang-ruang yang penuh dengan problematika manusia, dan al-Qur’an berkedudukan sebagai petunjuk. Begitu pula alat petunjuk diperkuat dengan adanya al-Hadis, namun suatu hadis tidak datang semata-mata melainkan ada alasan kenapa Rasul bertindak pada saat itu sehingga terciptalah hadis yang menjadi gambaran ahlak tauladan terhadap Rasul.
Ketidakmengertian kita tentang konteks (asbab al-wurud) dari pernyataan akan melahirkan kesalahpahaman dan kesulitan-kesulitan tersendiri bahkan juga bisa menimbulkan konflik. Asbabul wurud bisa menjadi suatu ilmu harus memenuhi epistemologi, aksiologi dan ontologi. Secara bahasa wurud artinya datang, secara umum asbabul wurud adalah sebab datangnya hadis, sedangkan untuk ruang lingkup lebih sempit, bisa diartikan sebab dikajinya hadis di suatu daerah.
Dalam menulusuri asbabul wurud terkadang bersifat kontekstualisasi atau dinamis. K.H. KhozinNasuha mengambil sampel ketika berwudhu, menurut imam Mallk boleh menggunakan air wudhu yang sudah digunakan, sedangkan menurut imam Syafi’I tidak boleh menggunakan air wudhu yang sudah digunakan. Setelah ditelusuri sebabnya, ternyata kedua imam berada di tempat yang berbeda. Di tempat imam Malik dikarenakan kondisi air yang sedkit, apabila dibuang masih banyak kebutuhan yang lainnya dengan menggunakan air, lain halnya di tempat imam Syafi’I tempat penuh dengan sumber mata air. Kontekstualisasi tersebut dapat diterapkan pada zaman sekarang dengan melihat asbabul wurudnya.
E.     Orientalis dan Oksidentalis al-Qur’an dan Hadis
Oleh: K.H. Husein Muhammad
Orientalis muncul sekitar abad 7 setelah perang salib,  faktor kemunculannya dipicu karena kekalahan kaum kristiani atas muslimin. Dari sana kaum Kristen terus berupaya meneliti kekuatan islam yang sangat kuat pada saat itu. Terutama sumber ilmu berada di Negara Persia (Iran). Para cendikia tidak mengamati berbagai kitab bahasa Arab yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa mereka. Tentunya ada efek dari terjadinya orientalis yaitu positif dan negative. Efek negative jelas bahwa kaum Kristen menggerogoti Islam dari dalam secara diam-diam, mencari kelemahan, pemurtadan besar-besaran karena bagi mereka tidak akan berhenti menggoda umat muslim sebelum masuk ke dalam golongan mereka. Di balik itu semua, ada juga efek positif kaum Kristen yang benar-benar memahami akan kebenaran Islam sehingga dapat masuk Islam. Salah satu orientalis yang mencoba menyatukan antara Islam dan Kristen adalah W. M. Watt.
Selain daripada itu umat muslim tidak diam begitu saja, umat islam memikirkan akan strategi kaum Kristen sehingga terbentuklah oksidentalis sebagai bentuk perlawanan terhadap kerasnya orientalis. Oksidentalis lahir sekitar pada masa dinasti Abbasiyah, yang mana pada masa itu telah melahirkan para ulama untuk membaca, mengkaji dan mendalami karya-karya Yunani, seperti Ar-Razi, Ibnu Sina, dan lainnya.
F.     Ilmu Qira’at
Oleh: Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho
Imam-imam Qira’ahyang 10 (Qira’ahAsyrah) di antaranya yaitu Nafi, Kasir, Abu Amir, Ibnu Amir, Ashim, Hamzah, Kisa’i, Abu Ja’far, Ya’kub dan Khallaf. Setiap imam memiliki dua rawi.
Yang dimaksud qira’at adalah :
1.      Lughat
2.      Qira’at
3.      Macam-macam bacaan
Pada setiap imam memiliki 2 rawi, yaitu:
1.      Imam Nafi’ : Qalun dan Warsy
2.      Imam Ibnu Kasir : Qunbul dan Al Bazzi
3.      Imam Abu Amr :  Duri dan As-Susi
4.      Imam Ibnu Amir : Hisyam dan Ibnu Zakwan
5.      Imam ‘Ashim : Syu’bah dan Hafs
6.      Imam Hamzah : Kholaf dan Kholad
7.      Imam Kisa’i : Abu Haris dan Duri
8.      Abu Ja’far : Ibnu Wardah dan Ibnu Jammaz
9.      Ya’kub : Rouf dan Ruaisy
10.  Khollaf : Ishaq dan Idris

Penerapan bacaan Qiraat pada QS. Al-Fatihah
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ   ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ   Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÌÈ   Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ  
قالون: بحذف الالف (ملك) ووافقه ابن كثير والوري وابن عامر وحمزة
عاصم : باثبات الالف (ما لك) واندرج معه الكسا ئي
االسوسي : با لادغام وحذف الالف (الرحيم ملك)

x$­ƒÎ) ßç7÷ètR y$­ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ  
لاخلاف فيه بين القراء

$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ  
قالون : باصاد (الصراط) واندرج معه ورش والبزي وابو عمرو وابن عامر وعاصم والكسائي وخلاد وجهيه
قبل : باسين (السراط)
حمزة : با شمام الصا د زايا (الصراط)

xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ  
 قالون : بسكون ميم الجمع ووافقه ورش وابو عمرو وابن عامر وعاصم والكسائي
قالون : بصلة ميم الجمع واندر ج معه البزي
خلاد : بضم الهاء في (عَلَيْهُمُ )
قنبل : باسين (سراط) وصنة الميم
با لاشمام (صراط) وبصم الهاء فى (عَلَيْهُمْ)











BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari hasil PPL ini tentunya banyak sekali pengalaman dan penemuan ilmu baru. Ilmu-ilmu yang belum pernah terungkap selama perkuliahan bisa terangkat menjadi bahan rujukan. Karena kami bisa bertanya langsung kepada fakarnya langsung tingkat nasional yang sudah mempunyaI banyak pengalaman. Mempererat hubungan antar kampus Islam dengan pesantren karena kedua tempat ini adalah gudangnya ilmu agama. Bayangkan jika tidak ada pesantren dan perguruan tinggi yang fokus terhadap al-Qur’an dan hadis maka hilanglah ruh keilmuan agama yang menjadi bibit terciptanya cendikiawan muslim. Tapi semua ilmu yang didapat akan luntur begitu saja apabila tidak diamalkan. Maka dari itu materi yang pernah kami raih akan berusaha untuk diaplikasikan sehingga manfaatnya terasa kepada orang lain. Namun daripada itu kami juga tetap membutuhkan daripada guru-guru dan pembingbing sebagai petunjuk kearah tujuan yang kami tempuh.
Akhirnya, sesuai kata pepatah “Tiada gading yang tak retak” dan kami menyadari bahwa laporan pertanggungjawaban PPL ini masih memiliki kekurangan, oleh sebab itu kami akan sangat berterima kasih sekiranya mendapatkan kritik dan masukan yang positif untuk kesempurnaan laporan ini, terutama kami sangat berharap sumbang saran dari Ibu Hj. Liya Aliyah, M.Ag sebagai dosen pembingbing kegiatan PPL ini. Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah yang maha kuasa. Kurang lebihnya kami mohon ma’af.











Lampiran-Lampiran
Lampiran 1      : Dokumentasi Foto Pelaksanaan Kegiatan
Lampiran 2      : Profil Pon-Pes (Dar Al Tauhid, Dar Al Qur’an, dan Dar Al Fikr)








Pesantren Dar at-Tauhid Arjawinangun
 
























Pembukaan Acara PPL di Mushola Pesantren Dar-at Tauhid












 






Materi I (Hadis: KritikSanad) oleh Dr. K.H. KhazinNasuha                   Ziarah Kubur


 









K.H. Husein Muhammad sedang menerangkan materi Materi IV (Hermeneutik)


 







Prof. Dr. K.H. AkhsinSakho sedang menerangkan materi Materi X (IlmuQira'at)











 








Foto bersama KH. Abdurrahman Ibnu Ubaidillah Syatori


 











 Pembimbing Lapangan
(Hj. Liya Aliyah, M.Ag) beserta suami (K.H. Marzuki Wahid)


 









Mulya (Mahasiswa Tafsir Hadis) saat menyimak materi

A.    Profil Pesantren Dar at-Tauhid
      Pendidikan tingkat tinggi dalam tradisi pendidikan pondok pesantren di kenal dengan Ma’had ’Aly. Pendidikan bagi para santri menjadi jenjang akhir yang yang paling penting setelah mereka menyelesaikan jenjang pendidikan dasar (Al-Mustawa Al-Ibtida’i) menengah pertama  (Al-Mustawa Al-Tsanawi) dan menengah atas (Al-Mustawa Al-A’ali). Sebagai sebuah lembaga pendidikan, Ma’had ’Aly memiliki keterkaitan dengan segala sistem yang berlaku di pondok pesantren, baik manajemen maupun akademik. Karena itu, latar belakang pondok pesantren Dar Al-Tauhid menjadi perlu digambarkan sebelum membuat potret Ma’had ‘Aly yang ada di dalamnya.
Sistem Pendidikan
Mengenai sistem pendidikan pesantren, biasanya dikenal ada dua istlah, yaitu Salafi (Tradisional) dan ‘Ashri (Modern). Salafi untuk merujuk pada tradisi pembelajaran yang tidak mengikatkan santri pada kelas-kelas, jenjang gradasi dan kurikulum. Pembelajaran hanya dilakukan dengan cara Sorogan ( Kyai membaca suatu kitab dan santri-santri mencacat keterangan sang Kyai ). Dan bandongan (Santri satu persatu membaca kitab di hadapan Kyai). Sedangkan ‘Ashri untuk merujuk pada sistim klasikal yang memiliki penjenjangan dan mendasarkan pada kurikulum. Kedua sistim dipraktekkan dalan aktivitas pembelajaran di pesantren Dar Al-Tauhid .
Sistem yang digunakan pada lembaga- lembaga pemdidikan yang tertulis di atas, baik yang Diniyyah, maupun bukan adalah sistim klasikal. Karena ada kurikulum dan ada penjenjangan dengan kelas-kelas pembelajaran. Setiap santri yang masuk pesantren harus mengikuti test penempatan kelas madrasah terlebih dahulu.
Sedangkan methode salafi di pesantren Dar Al-Tauhid di gunakan untuk membaca kitab-kitab yang tidak tertuang dalam kurikulim pembelajaran. Biasanya untuk kitab-Kitab Tafsir Seperti Al-Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsr Al-Qurthubi, kitab-kitab hadis seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Al-Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah, kitab-kitab sejarah, seperti Tarikh Ibnu Ishaq, serta kitab-kitab nesehat keagamaan, seperti  Nasha’ih Al-‘Ibad, Syarh Uqud Al-Lujayn, Al-Ushfuriyyah dan lain-lain
Pengajian dengan sistem salafi ini, dilakukan pada saat santri tidak memiliki jadwal belajar di kelas, seperti pagi hari setelah shubuh atau sore hari menjelang maghrib, atau dikhususkan untuk santri-santri senior yang sudah tidak memiliki kewajiban jadwal belajar di kelas. Yang ketiga ini merupakan proses awal dari tradisi pendidikan tinggi di pesantrren (Ma’had ‘Aly). Sistim salafi juga digunakan untuk pengajian kitab-kitab kuning pada setiap bulan puasa, yang dikenal dengan istilah pasaran.
Pengasuh Pesantren
Pengasuh pertama pesantren ini adalah KH. Sanawi bin Abdulah, kemudian KH. Abdullah Syathori sampai ntahun 1969. ketika KH. Abdullah Syathori wafat pada hari kamis tanggal 19 Februari 1969, umur putra beliau ( KH. Abdurrahman Ibnu Ubaidillah Syatori ) baru 20 tahun dan dalam sedang proses belajar, sehingga untuk sementara kendali pesantren dipegang bersama-sama oleh para menantu KH. Abdullah Syathori, yaitu KH. A. Baidlowi, KH. Muhammad Asyrofuddin dan KH. Mahfudz Thoha, Lc
Sejak KH. Abdurrahman Ibnu Ubaidillah Syatori pulang ke tanah air pada tahun 1981 sampai sekarang, kepimpinan pesantren dipegang beliau dengan dibantu oleh kakak- kakak dan beberapa keponakan beliau di antaranya : Prof. Dr. KH. Khozin Nasuha, Drs. KH Husein Muhanmmad, KH. A. Zaeni Dahlan, Dr. KH. Ahsin Sakho, dan KH. Mahsun Muhammad, MA Dr KH. Marzuki Wahid, MA
Saat ini, ketika beberapa pengasuh sudah pulang ke Rahmatullah dan beberapa yang lain menetap di luar daerah, seperti KH. Hasan Thuba ( Alm ) menjadi Pengasuh PP Tanggir Tuban, KH. A. Zaeni Dahlan menetap di Bandung dan Kyai Luthfillah Baidlawi menjadi pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Qur’an Batanghari Jambi, dewan Pengasuh Pesantren di pegang oleh:  Drs. KH. Husein Muhammad, Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, Prof. Dr. KH. Khozin Nasuha, KH. Mahsun Muhammad, MA, dan Dr KH Marzuki Wahid, MA dengan pimpinan (Syaikh Ma’had) tetap di pegang oleh KH. Abdurrahman Ibnu Ubaidilah Syathori.
Santri Pesantren                                                                                            
Karena pesantren Dar Al-Tauhid sangat berdekatan dengan perkampungan penduduk, maka akan ada santri yang menetap (dari luar daerah) dan ada santri yang tidak menetap (dari daerah pesantren) kedekatan ini pada awalnya sangat banyak membantu kegiatan dan kelangsungan pesantren, karena masyarakat akan dengan cepat dan mudah mengulurkan segala keperluan pesantren. Tetapi bila dilihat dari prospek masa depan, kedekatan dengan perkampungan akan menjadi penghalang kemandirian dan kreativitas dalam pengembamgan fisik saja, pesantren akan terhalang oleh bangunan-bangunan rumah penduduk. Manajemen kontrol juga menjadi tidak utuh karena harus banyak memperhatikan kepentingan masyarakat setempat yang tentu saja berbeda  dengan masyarakat pendidikan.
Santri terdiri dari putra dan putri, yang jumlahnya selalu berubah-ubah naik dan turun. Asal daerah santri beragam, hanya yang terbanyak adalah dari propinsi jawa barat terutama Indramayu Cirebon Majalengka, Kuningan, Subang, Karawang Provinsi lain juga ada, seperti DKI Jakarta , Jawa Tengah, Jawa Timur, Palembang, Bandar lampung, Riau, Jambi, Medan dan NTT. Santri pesantren terbagi menjadi dua kelompok yaitu santri dalam dan santi luar. Santri dalam adalah meraka yang hanya mengikuti pembelajaran yang sepenuhnya di selenggarakan oleh pesantren Dar Al-Tauhid, yaitu Madrasah Diniyyah dan pengajian non-klasikal pesantren. Santi luar adalah mereka yang mengikuti pelajaran pesantren dan pada waktu sama juga mengikuti pendidikan di luar pesantren, seperti, MA Nusantara, SMP Plus Dar Al Tauhid  MTsN, SMPN, SMAN dll.
Kalau di himpun, alumni  pesantren ini cukup banyak apalagi dari awal berdiri. Jenjang lanjutan pendidikan mereka juga beragam, ada yang melanjutkan ke luar negeri, ada yang ke perguruan tinggi dalam negeri, ada yang melanjutkan ke pesantren lain, ada yang tetap di dalam pesantren dan ada yang tidak melanjutkan pendidikannya. Bidang pekerjaan para alumni juga bermacam-macam, mulai dari pendiri dan pengasuh pesantren, guru, birokrat, politisi, pedagang, petani, nelayan, tentara, dan tentu saja profesi yang lainnya. Karena itu, dibentuklah sebuah wadah komunikasi para alumni yang diberi nama dengan HAMADA (Himpunan Alumni Ma’had Dar al Tauhid).
Lembaga Di Pesantren
Di pesantren ada lembaga pendidikan dan ada lembaga Non-Pendidikan (Ekonomi-Sosial). Lembaga pendidikan terdiri:
  1. Madrasah Diniyyah Dar Al-Tauhid, dari tingkat Ibtidaiyyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Ma’had ‘Aly.
  2. Madrasah Tafidz al-Qur’an.
  3. Markaz Ta’lim al –Lughah al-‘Arabiyyah.
  4. Majlis Ta’lim Kaum Ibu.
  5. Madrasah Aliyah Nusantara, dengan Kurikulum Depag.
  6. Madrasah Aliyah Keagamaan Dar Al-Tauhid kurikulum Depag.
  7. SMP Plus Dar Al Tauhid, kurikulum Kandepdikbud.
  8. Taman kakak- kanak Islam Wathoniyyah.
  9. TKA/TPA Dar Al-Tauhid.
  10. Sekolah Luar Biasa, sub A (Tuna Netra), sub B (Tuna Rungu), dan sub C
     Sedangkan lembaga non-pendidikan terdiri dari:
  1. Koperasi Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid yang begerak di bidang perdagangan dan unit simpan pinjam.
  2. Baitul Mal Wa Al-Tamwil (BMT) Dar Al-Tauhid.
  3. Pusat pengembangan ekonomi Pondok Pesantren dan masyarakat (P2EPM).
  4. LP2NU
  5. ( Panti Sosial Anak Asuh ) PSAA Wathoniyah
Lokasi Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid.
Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid berada di Desa Arjawinangun, tempatnya di Jl. Kali Baru timur (sekarang dikenal dengan Jl. KH. A.Syathori ) No.10-12 Arjawinangun Cirebon, dengan nomor telepon 0231-357163, 367 281 dan 357212. lokasi ini sangat berdekatan dengan beberapa instansi penting, seperti Rumah Sakit Umum Arjawinangun, Kantor Pos, Telkom dan Pasar Daerah Arjawinangun. Kedekatan ini, di satu sisi menguntungkan karena para santri memperoleh pelayanan-pelayanan umum dengan mudah, di sisi lain pesantren menjadi tidak memiliki kesempatan untuk bisa mengelolah segala keperluan santri secara mandiri.
Sarana, Fasilitas dan Extrakulikuler
Pesantrren Dar Al-Tauhid memiliki beberapa sarana dan fasilitas pendukung. Pertama Mushalla, gedung asrama 2 tingkat berkapasitas 600 orang. Gedung madrasah lantai 2. Perpustakaan yang memiliki sekitar 2000 judul buku. Mulai dari buku-buku rujukan, sampai buku-buku kontemporer yang hampir seluruhnya berkaitan dengan studi islam dan berbahasa Arab. Memiliki Ruang Lab Bahasa, Lab Komputer, Fasilitas Olah raga di antaranya Lapangan Futsal, Basket, Volly, Badminton, Tenis meja, Kamar mandi berjumlah 32 unit, dengan menggunakan air dari PDAM. Untuk urusan pangan dan perlengkapan santri pesantren mengelola 2 buah kantin 1 Koprasi. Sedangkan extrakulikuler di antaranya ada Group Marawis dan Rebana Dar Al Tauhid, kursus B Arab – B Inggris, kursus menjahit, dan, kursus komputer.
Asrama yang dimiliki pesantren berjumlah 6 gedung. Pada awalnya nama-nama komplek asrama menggunakan abjad latin (A, B, C, D….H), tetapi sepulang KH. Ar. Ibnu Ubaidillah Syathori dari Makkah Al-Mukaromah tahun 1981, nama-nama itu diganti dengan nama peperangan masa Nabi SAW. Untuk putra ada Badr Atas Badr Bawah, Uhud, Hudibiyyah, dan Khandaq (Hudibiyah dan Khandaq mulai 2006 sudah tidak digunakan; diratakan). Filosofinya adalah ingin membentuk santri-santri yang tangguh seperti pahlawan-pahlawan islam awal, aktif melayani urusan dunia di siang hari (Fursan Fi Al-Nahar) dan tekun menyembah tuhan di malam hari (Ruhban Fi Al-Lail). Sedangkan untuk putri ada 2 komplek gedung lama yang diberi nama Ummi Kultsum (mulai 2007 sudah mulai tidak digunakan; diratakan) Dan asrama lantai 2 dinamakan Fathimah Az-Zahra, lambang keteguhan, kepatuhan, kemandirian dan kesabaran.
            Gedung yang besar ada 2 : Badr dan Fathimah Az-Zahra. Badr berjumlah 12 kamar per-kamar bisa memuat santri sejumlah 30 orang.1 Ruang kantor pengurus Putra  Sedangkan gedung Fathimah Az-Zahra memiliki 10 kamar, kapasitas kamar 30 orang 1 ruang kantor pengurus putri, 1 Ruang markas dan sebuah Mushalla untuk menunjang aktivitas peribadatan, Jam’iyyah, Mudzakarah dan kajian ulang kitab madrasah dan perpustakaan
Untuk kebutuhan informasi dan komunikasi, pesantren tidak menyediakan TV umum atau Wartel Umum tetapi di dekat pesantren ada kantor telkom dan Pos yang menyediakan layanan komunikasi dan jasa kurir. Pesantren menyediakan papan untuk pengumuman dan majalah dinding, kadang-kadang juga ditempel Koran harian. Untuk jasa perbankan, pesantren mengelola kopontren (unit simpan pinjam) dan beberapa usaha kemitraan sedangkan BMT, sebatas layanan penyimpanan dan peminjaman jasa.
Tenaga Pengajar
No
Nama
Pendidikan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19
20
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29
30
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.

KH. Ar. Ibnu Ubadillah Syatori
Prof . Dr. KH. Khozin Nashuha
Drs KH.. Husein Muhammad.
Dr KH.Ahsin Sakho Muhammad
KH. Mahsun Muhammad, MA
Drs. KH Marzuki Wahid,M.Ag
Ny. Hj. Hannah Sy.
Ny. Hj. Durroh
Ny. Hj. Azzah Zumrud
Ny. Hj Fuaidiyyah
Ny. Hj. Lilik Nihayah
Ny. Hj. Ummu Habibah
Ny. Hj. Lia Aliyah, M.Ag
Ny. Khoirunnisa Hambali
Ust. H. Ahmad Sahir
Ust. Asyiqin An
Ust. Sirojuddin
Ust. H. Muhibullah Syatori S,PdI
Ust. Nurkholis
Ust. Ahmad Qosim
Ust. Ahmad Khozin
Ustz. Nurlela Thohir
Ust. Imaduddin
Ust. Abdul Hakam
Ust. Abdul Aziz
Ust. Hasan Saefulloh
Ust. Nasihun Siraj, S.Th
Ust. Muhibullah Khafid, S.Ag
Ust. Jaenudin, S.Pd.I
Ust. Abdul Qoyum
Ust. Wasmin A.Jaelani
Ust. Ibrahim Khumaidi, M.Ag
Ust. Mawahib
Ust. Abdul Mufid
Ust. Asep SaefulloH
Ust. Abd  Ibnu Umar, Lc
Ust. Lukman Hakim
Ust. Ahmad Muttaqin, M.Mpd
Ust. Ahmad Fadholi, Lc
Ust. Hamid
Ust. Ibnu Amir
Ust. Imam Ahmad Sibaweh
Ust. Amin Bunyamin
Ust. Hamzah Zatnika
1.P.P.Meka SyaidMohamma Al - Alawi
2. IAIN Syarif  Hidayattullah  jakarta
3. Universitas Al-Azhar Kairo
4. Universitas Madinah
5. Algarh Mos Universitas India
6. Pon Pes Dar Al Tauhid
7. Pon Pes Dar Al Tauhid
8. Pon Pes Dar Al Tauhid
9. Pon.Pes Krapyak
10. Pon Pes Dar Al Tauhid
11. Pon Pes Dar Al Tauhid & STAIC
12. Pon Pes Dar Al Tauhid PTIIQ
13. Pon.Pes Krapyak & IAIN bandung
14. Pon. Pes Dar Al Qur’an Bode
15. Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
16. Mahad Aly Dar Al-Tauhid
17. Mahad Aly Dar Al-Tauhid
18. Pon. Pes. Sarang Jatim & STAIC
19. Pon. Pes. Tanggir  & STAIC
20. Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
21. Pon. Pes Lirbiyo
22. Mahad Aly Dar Al Tauhid & STAIC
23. Pon. Pes  Dar Al Tauhid
24. Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
25. Pon. Pes Lirboyo Kediri
26. Pon. Pes Lirboyo Kediri
27. Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
28. Pon.Pes Krapyak
29. Mahd Aly Dar Al Tauhid&  STAIN
30. Mahad Aly Dar Al-Tauhid
31. Pon. Pes Dar Al Tauhid
32. Mahad aly Dar Al Tuhid
33. Pon. Pes Lirbiyo
34. Pon. Pes tanggir
35. Pon. Pes Lirboyo Kediri
36. UNIV Al Azhar Kaioro Mesir
37. Pon. Pes Lirboyo Kediri
38. Mahad Aly Dar Al Tauhid UNINUS
39. UNIV Al Azhar Kaioro Mesir
40. Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
41. Pon. Pes Lirboyo Kediri
42. Mahad Aly Dar AL- Tauhid
43. Pon. Pes. Dar Al-Tauhid
44. Pon. Pes. Dar Al-Tauhid & IAINs

Sekilas biografi KH. Abdullah Syathori
Asal-Usul dan Masa Kecil KH. A. Syathori
KH. Abdullah Syathori--selanjutnya disebut Mbah Kyai Syathori--lahir pada tahun 1905 di Dusun Lontang Jaya, Desa Panjalin, Majalengka, 3 km sebelah barat Babakan Ciwaringin Cirebon.[1] Meski tidak diketahui secara pasti tanggal dan bulan kelahirannya, beberapa sumber menyebutkan beliau dilahirkan pada hari Sabtu. Karena itulah, pada masa kecilnya, oleh Wedana Arjawinangun beliau dijuluki “Tunen” kependekan dari “metu sabtu puput senen”.[2]
            Mbah Kyai Syathori terlahir dari keluarga ulama dan bangsawan sekaligus. Darah ulama mengalir dari jalur ayahnya, KH. Sanawi bin KH. Abdullah dari Lontang Jaya. KH. Sanawi adalah seorang ulama penghulu yang merintis berdirinya Pondok Pesantren Dar al-Tauhid dengan mendirikan langgar (musholla).[3] Meski perpindahan KH. Sanawi dari Lontang Jaya ke Arjawinangun belum diketahui secara pasti, tetapi perpindahan itu tampaknya mengikuti tugas beliau sebagai penghulu.[4] Sementara KH. Abdullah bin KH. Hasanuddin (KH. Muhammad Syalabi),[5] kakek Mbah Kyai Syathori, adalah ulama dan pejuang pada zamannya. Selain sebagai kiai pendidik santri, KH. Abdullah adalah pejuang gigih yang menentang kolonialisme Belanda, sebagai bentuk perwujudan nasionalisme Indonesia. Terutama ketika terjadi ’Perang Kedongdong’[6], KH. Abdullah bersama beberapa kiai lain turut terjun ke medan laga mengusir penjajah. Meski banyak yang gugur dalam peperangan itu, KH. Abdullah terhitung tokoh ulama yang selamat.
            Dari jalur Ibu, Mbah Kyai Syathori merupakan ulama berdarah bangsawan. Ibundanya, Nyi Hj. Arbiyah, putri Kiai Abdul Azis bin Arjaen, adalah keturunan Sultan Banten dari Sura Manggala yang memerintah kesultanan Banten pada tahun 1808. Pada ujung silsilah Mbah Kyai Syathori  bertemu dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati).[7]
            Mbah Kyai Syathori hidup dalam suasana keagamaan dan disiplin pendidikan yang tinggi. Berkat kecerdasan dan didikan orang tuanya, sejak usia dini Mbah Kyai Syathori telah mampu menghafal Juz ‘Amma  dengan  fasih.[8] Selain dikenal sebagai anak yang cerdas dan rajin belajar, Mbah Kyai Syathori kecil juga dikenal sebagai anak periang dan suka berolah raga, khususnya sepak bola.[9]
Riwayat Pendidikan KH. A. Syathori
            Menginjak usia remaja, orang tuanya mengirimkan Mbah Kyai Syathori ke beberapa pesantren untuk menimba ilmu pengetahuan agama. Untuk pertama kalinya, Mbah Kyai Syathori menimba ilmu di Pesantren Babakan[10] Ciwaringin Cirebon, khususnya kepada Kiai Ismail bin Adzro’i bin Nawawi[11] dan juga kepada Kiai Dawud, murid Kiai Khalil Bangkalan.[12]
            Setelah dari Babakan, Mbah Kyai Syathori menimba ilmu di Pesantren Ciwedus yang terletak di desa Timbang Kecamatan Cilimus Kuningan, di bawah asuhan KH. Shobari (w.1916), yang juga murid Kiai Khalil Bangkalan.[13] KH. Shobari adalah ulama kharismaik pada zamannya. Banyak ulama Jawa Barat berguru kepadanya. Selain Mbah Kyai Syathori, muridnya yang lain adalah KH. Sanusi yang kemudian menjadi ulama kharismatis di Babakan Ciwaringin dan KH. Abdul Halim.[14]
            Mbah Kyai Syathori sangat mengagumi dan terpengaruh oleh KH. Shobari, terutama dalam melantunkan lagu-lagu barzanji (marhabanan) yang dilakukan secara ekspresif[15] dan juga melalui sikap mencintai serta menghormati keluarga dan keturunan Nabi Muahmmad SAW.[16]
            Merasa tidak puas hanya belajar di Pesantren Cirebon dan sekitarnya, Mbah Kyai Syathori melanjutkan belajar di Pesantren Jamsaren Solo, asuhan Kiai Idris[17] murid Kiai Sholeh  N’darat Semarang. Secara bersamaan, Mbah Kyai Syathori juga sekolah di Mambaul ‘Ulum yang  terletak di Kauman dekat Keraton Solo Jawa Tengah. Madrasah ini didirikan atas kerjasama pemerintah kolonial dengan Keraton Surakarta Hadiningrat,[18] dengan tujuan untuk meluluskan para calon ulama sekaligus juga penghulu.[19]
            Di Jamsaren Solo inilah, karakter keilmuan dan ’kealiman’ Mbah Kyai Syathori mulai terbentuk. Kiai Idris dikenal sebagai kiai spesialis bidang fiqh (Islamic Law) dan Bahasa Arab. Dari Kiai Idrislah, Mbah Kyai Syathori banyak belajar dan rajin ngaji, menghafal, serta muthala’ah berbagai kitab. Bangunan pengetahuan (epistemologi keilmuan) KH. A. Syathori terbentuk di sini.[20]
            Adapun dari Madrasah Mamba’ul Ulum Solo, Mbah Kyai Syathori sebenarnya mendapatkan ijazah formal. Namun di kemudian hari, ijazah ini sengaja beliau bakar. Ini dilakukannya dengan tujuan agar tidak mengurangi keikhlasannya dalam mencari dan mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Mbah Kyai Syathori khawatir dengan ijazah itu niat tulusnya dalam mencari dan mengembangkan ilmu menjadi goyah dan bergeser.[21]
            Selanjutnya, Mbah Kyai Syathori belajar di Pesantren Tebuireng yang waktu itu diasuh Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, murid istimewa Kiai Khalil Bangkalan. Selain dikenal sebagai pendiri NU[22], Mbah Hasyim (panggilan KH. Hasyim Asy’ari) juga dikenal sebagai tokoh pembaru pendidikan pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, Mbah Hasyim juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Meski sempat mendapat kecaman, Pesantren Tebuireng menjadi masyhur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah.[23]
            Di Pesantren Mbah Hasyim ini, Mbah Kyai Syathori memiliki kesempatan luas untuk belajar dan memperkaya kajian dan bacaan keilmuan. Kitab-kitab tafsir besar, seperti Tafsir Baidlawi dan kitab-kitab yang dikembangkan di Makkah pada waktu itu, dikenalkan dan dikaji di pesantren ini.[24] Setiap kitab yang digunakan sebagai pegangan mengaji di pesantren ini memiliki sanad[25] yang tersambung langsung (muttashil) sampai kepada penulisnya (mushanif). Dalam hal ini, Mbah Hasyim mengijazahi Mbah Kyai Syathori dengan kata-kata “Ijazah ammah wa muthlaqah tammah” yang tertulis dalam kitab al-Kifayah al-Mustafid dengan maksud menerangkan sanad kitab karya K.H. Mahfudz Termas.
            Selain belajar, mengaji, dan muthala’ah, di Pesantren Tebuireng Mbah Kyai Syathori juga dipercaya Mbah Hasyim untuk mengajar Alfiyah Ibn Malik.[26] Di antara santri yang mengaji padanya adalah KH. Mohammad Ilyas, mantan Menteri Agama pada zaman Orde Lama, dan putera gurunya sendiri yang juga mantan Menteri Agama RI, yakni KH. Wahid Hasyim bin KH. Hasyim Asy’ari.[27] Mbah Hasyim senang dan kagum dengan cara mengajar Mbah Kyai Syathori, hingga dalam suatu kesempatan Mbah Hasyim berkata di hadapan para santri: “Arek-arek Cirebon, Indramayu  lan liyan-liyane yen ora bisa belajar maring aku, cukup kae karo Syathori”.[28]
            Tidak hanya demikian, Mbah Kyai Syathori pun berniat belajar ke guru dari guru-gurunya, yaitu Kiai Khalil Bangkalan. Mbah Kyai Syathori sempat bertemu pada pengajian pasaran bulan Ramadhan di pesantren Madura. Saat itu Kiai Khalil membaca do’a, para santri termasuk Mbah Kyai Syathori serentak mengamininya.[29] Kemudian Mbah Kyai Syathori bertekad akan mengikuti pengajian Kiai Khalil pada bulan Syawal berikutnya. Namun sebelum Syawal itu tiba, Mbah Kiai Khalil Bangkalan yang dikenal sebagai wali Madura Jawa itu berpulang ke rahmatullah pada tahun 1925.[30]
            Mbah Kyai Syathori memang sangat mengagumi Kiai Khalil Bangkalan. Mbah Kyai Syathori menyatakan bahwa dalam tubuh dan perut gemuk Mbah Khalil, kalau dibedah, isinya nadham budrah dan Alfiyah.[31] Kiai Khalil memang sejak muda dikenal hafal seribu deret nadzam Alfiyah Ibn Malik dengan sangat baik. Bahkan hafal meski dibaca secara tebalik, dari nadzam akhir secara runtut ke nadzam yang pertama, atau dalam istilah jawa disebut nyungsang.[32]
            Melihat kecerdasan Mbah Kyai Syathori[33], gurunya Mbah Hasyim Asy’ari bermaksud menikahkannya dengan seorang putrinya. Namun, Mbah Kyai Syathori menghindar dengan bermain bola, suatu olah raga yang tidak disukai Mbah Hasyim. Pada saat yang sama, Mbah Kyai Syathori juga telah dijodohkan oleh orang tuanya dengan Ny. Hj. Masturoh binti Adzro’i bin Muhammad Nawawi (Ki Glembo).[34] Ny. Hj. Masturoh adalah santri puteri cerdas yang sejak kecil dipelihara dan dididik oleh ibunya sendiri, Ny. Hj. Miryati binti H. Said bersama dengan ayah tirinya, Kiai Rofi’i bin Ki Glembo Kali Tengah, karena Ny. Hj. Masturoh ditinggal ayah kandungnya, Kiai Adzro’i, sejak kecil. Kiai Adzro’i dan Kiai Rofi’i sendiri adalah kakak beradik.[35]
            Pernikahan Mbah Kyai Syathori dengan Ny. Hj. Masturoh diduga kuat berlangsung pada tahun 1927.[36] Mbah Hasyim Asy’ari hadir dalam acara akad nikah  atas undangan KH. Rofi’i. Setelah melaksanakan akad nikah, atas dorongan orang tua dan mertuanya, Mbah Kyai Syathori pergi ke baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, pesta pernikahan diselenggarakan secara meriah pada tahun 1928.[37]
         Selanjutnya untuk beberapa lama[38] Mbah Kyai Syathori menetap di Kali Tengah Plered Cirebon. Ini selain karena Mbah Kyai Syathori mengikuti keluarga istrinya di Kali Tengah, juga karena Mbah Kyai Syathori mengikuti tradisi kesantrian dan keulamaan di Cirebon. Saat itu ada asumsi kuat, bahwa siapapun yang baru menyelesaikan masa belajarnya di pesantren hendaknya jangan dulu pulang kampung dan mengamalkan ajarannya di tengah masyarakat sebelum belajar kepada Kiai Rofi’i Kali Tengah, yang secara kebetulan ayah tiri dari istrinya.[39] Kiai Rofi’i sendiri saat itu dikenal sebagai ahli hikmah,[40] yang membekali para santri dengan berbagai wirid, do’a dan zikir.
            Di samping mempelajari ilmu hikmah kepada Kiai Rofi’i, Mbah Kyai Syathori juga membuka pengajian kitab kuning untuk masyarakat Kali Tengah dan sekitarnya. Sebenarnya tradisi mengajar santri (muruk ngaji)[41] merupakan hal biasa bagi Mbah Kyai Syathori sejak beliau masih belajar di pesantren, baik di Babakan, Solo, maupun Tebuireng. Tetapi mengajar kitab kuning di Kali Tengah bermakna lain sebagai persiapannya untuk menjadi guru bagi santri dan masyarakat. Adapun di antara kitab yang dibaca Mbah Kyai Syathori kepada para santrinya dan masyarakat di antaranya adalah Kitab Shahih Bukhari.[42]
Mulai Membangun Pesantren Arjawinangun
            Setelah beberapa lama tinggal di Kali Tengah Plered Cirebon,[43] Mbah Kyai Syathori kemudian pindah ke daerah asalnya, yaitu Arjawinangun Cirebon. Ini dimungkinkan karena dua hal. Pertama, karena permintaan ayahanda, KH. Sanawi, agar beliau mengembangkan ilmu di daerah asalnya.[44] Kedua karena Kali Tengah Plered pada dasarnya adalah daerah perdagangan dan bisnis, sementara pribadi Mbah Kyai Syathori tidak terlalu cenderung pada bisnis. Karena itu, Mbah Kyai Syathori memilih Arjawinangun karena kecenderungannya pada pengembangan keilmuan.[45] Ini terjadi pada tahun 30-an.[46]
Mbah Kyai Syathori, pendiri dan pengasuh Pesantren Arjawinangun, adalah sosok kiai yang tidak terlepas dari karakter dan perilaku-perilaku khas para kiai pesantren.  Beliau bukan hanya kiai pesantren yang bergelut dengan lembaran-lembaran kitab kuning, tetapi juga aktif dalam ranah sosial dan politik, dengan terlibat aktif di NU antara tahun 50-an hingga 70-an. Mbah Kyai Syathori pernah menjadi Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Beliau juga dikenal dengan ide-ide dan langkah-langkah progresifnya. Sebut saja sikap yang diambilnya dalam menghadapi persoalan saat itu, di mana orang diharamkan menulis Al-Qur’an dengan kapur tulis, karena takut debunya diinjak-injak saat dihapus. Hampir seluruh kiai Cirebon mengharamkan menulis al-Qur’an dengan kapur tulis, namun Mbah Kyai Syathori menghalalkan dan melakukannya.
Selain itu, Mbah Kyai Syathori juga dikenal sebagai kiai kharismatis, santri kesayangan, dan santri teladan Mbah Hasyim Asy’ari. Karena itulah, Mbah Kyai Syathori sangat dihormati, disegani, dan menjadi rujukan umat dan birokrasi negara dalam hal-hal yang terkait dengan hukum syara’. Menurut para santrinya, masyarakat sangat segan dan hormat kepada beliau.
Mbah Kyai Syathori juga melakukan langkah-langkah khusus yang sekarang ini bisa disebut pemberdayaan perempuan. Ini dilakukan dengan menyelenggrakan pengajian keagamaan secara khusus bagi perempuan.[47] Mbah Kyai Syathori dikenal sangat tekun dan teliti dalam memperhatikan, memelihara dan mengembangkan pengajian dan madrasahnya. Jika memiliki jadual mengajar, beliau tidak pernah meninggalkan kelas, sampai para siswa memahami dengan baik apa yang disampaikannya.
Beliau mendedikasikan seluruh hidup dan waktunya untuk mengajar dan mengembangkan pesantren. Setiap waktu shalat, beliau selalu memimpin para santrinya berjama’ah, kecuali ada udzur. Sehabis jama’ah shalat shubuh, beliau mengajarkan al-Qur’an kepada para santrinya sampai pukul 06.30. Selanjutnya, dari 08.00-10.00 beliau mengadakan pengajian kitab dengan pola madrasah untuk santrinya dewasa. Setelah itu, beliau mengadakan pengajian kitab dengan pola yang sama untuk para santri kecil hingga pukul 12.00. Setelah istirahat sejenak, beliau memimpin shalat Dzuhur. Mulai sekitar pukul 13.30, kegiatan belajar mengajar bagi para santri dilakukan lagi sampai pukul 17.00. Setelah jama’ah maghrib, beliau kembali mengadakan pengajian kitab kuning sampai pukul 22.00. Waktu yang tersisa dipergunakan untuk istirahat, kadang untuk menerima tamu.[48]
            Di usia 50-an, Mbah Kyai Syathori semakin istiqamah hidupnya. Kegiatannya tiada lain di seputar Musholla, pesantren, dan setiap habis shalat Jum’at, beliau berziarah ke maqbarah ayahnya, Kiai Sanawi. Setelah itu, beliau mampir ke rumah-rumah penduduk, untuk sekadar berbincang-bincang ringan, menyelami masalah yang mereka hadapi.[49]
Pada Hari Wafatnya
            Tepat pada hari Kamis, tanggal 6 Februari 1969 M/19 Dzul Qa’dah,  Mbah Kyai Syathori berpulang ke Rahmatullah. Hari itu adalah hari berkabung bagi masyarakat Arjawinangun, khususnya dan masyarakat muslim Cirebon pada umumnya. Kepulangan beliau karena penyakit jantung yang dideritanya. Masyarakat sangat kehilangan atas wafatnya.[50]
            Banyak kisah menarik disebutkan seputar wafatnya Mbah Kyai Syathori. Di antaranya adalah saat menjelang pemakaman beliau. Saat itu, Arjawinangun bagai lautan manusia. Semua masyarakat mengungkapkan kesedihannya dengan menghantarkan kiai tercinta ke maqbarah. Sepanjang rumah Mbah Kyai Syathori hingga ke maqbarah Kiruncum + 1 Km dipenuhi manusia yang menghantarkan jenazah.  Lembaga pendidikan, instansi pemerintah dan swasta di Arjawinangun dan Junjang pada hari itu meliburkan diri, turut berduka atas wafatnya Mbah Kiai Syathori. Bukan hanya itu, para santri dan masyarakat mendoakan beliau dengan membaca Al-Qur’an di maqbarah selama 40 hari secara terus menerus.[51]
         Ada kesaksian unik yang diceritakan H. Sayidi –salah seorang staf pengajar pesantren saat masih dipimpin Mbah Kiai Syathori. Menurutnya, tanda-tanda Mbah Kiai Syathori hendak wafat jelas diisyaratkan oleh kiai sendiri. Dengan beberapa indikasi: (1) Setengah bulan sebelumnya, Mbah Kiai Syathori meminta orang-orang dari desa Gintung untuk datang dan melakukan bersih-bersih di pesantren dan kompleks rumah pengasuh. (2) Ini dilakukan dengan alasan bahwa beliau akan kedatangan tamu, manusia yang sangat banyak jumlahnya. (3) Tiga hari sebelum wafat, Mbah Kiai Syathori menyatakan bahwa beliau akan membangun pesantren yang tidak ada di dunia ini. (4) Pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.00 WIB pada hari wafatnya, Mbah Kiai Syathori menyatakan bahwa dirinya akan tidur untuk selama-lamanya. Sekitar pukul 11.00 WIB kemudian, beliau berpulang ke Rahmatullah.
         H. Sayidi juga menceritakan bahwa banyak kiai-kiai Cirebon dan luar Cirebon datang untuk berta’ziyah, mensholatkan, dan mengantarkan ke maqbarah. KH. Sanusi dari Pesantren Babakan Ciwaringin datang dengan para santrinya dengan jalan kaki. Rombongan ta’ziyah dari Pesantren Buntet dipimpin KH. Hawi.
            Setelah selesai melaksanakan sholat  jenazah untuk Almaghfurlah Mbah Kiai Syathori, KH. Hawi berbicara di hadapan santri dan para hadirin semua. Beliau menyatakan bahwa: “Kiai Syathori ini kelihatannya saja meninggal, tetapi sesungguhnya masih hidup “bal ahya’un ‘inda rabbikum”. Buktinya apa?  Lah, wong aku salam kok kiai Syathori malah menjawabnya. Mayit mana yang bisa jawab salam? Al-Marhum ini sungguh bukan manusia biasa seperti kita-kita ini.


BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran


[1] Ini yang ditulis dalam Dzikrayat Tahun 2006. Dzikrayat sendiri adalah buku Memori Tahunan Santri Dar Al-Tauhid yang diterbitkan hampir setiap tahun sejak kurang lebih 1993. Sampai sekarang Dzikrayat selalu mengalami terbit dan revisi ulang tiap tahunnya. Data lahir tersebut dibenarkan juga oleh KH. Husein Muhammad, KH. Ahsin Muhammad dalam suatu wawancara dengan penulis dan dalam diskusi guru serta ustadz PP. Dar Al-Tauhid.
[2]  Ini menurut H. Rais, seorang santri KH. A. Syathori yang tinggal di desa Guwa, kecamatan Kaliwedi Cirebon. Ini dibenarkan oleh KH. Chozin Nashuha. Karena yang memberi julukan ’Tunen’ adalah Wedana Arjawinangun, KH. Chozin sempat meragukan lahirnya KH. A. Syathori di Lontang Jaya. Keraguan KH. Chozin ini dibantah oleh fakta bahwa meski dilahirkan di Lontang Jaya, masa kecil dan sekolahnya dihabiskan di daerah Arjawinangun. Baru ketika saat khitan tiba, beliau dikhitan di Lontang Jaya, dalam suatu perayaan yang sangat meriah di zamannya. Ini menurut data dari Lontang Jaya yang diberikan Rosyid, Sirojudin bin Rosyid dan Khozinatul Asrar. Ini sejalan dengan data yang disebutkan oleh Zikroyah th. 1993, yang menyebutkan bahwa masa kecil KH. A. Syathori tidak dihabiskan di Lontang Jaya, tetapi di Kaliwedi di bawah asuhan kerabatnya KH. Amin.
[3]  Wawancara dengan KH. Chozin Nashuha dan salah seorang santri PP. Dar Al-Tauhid bernama Ahmad.
[4] Dalam Dzikrayat Tahun 2006 disebutkan bahwa tugas KH. Sanawi menjadi penghulu adalah di Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan. Sementara itu data dari Lontang Jaya menyebutkan bahwa beliau menjabat menjadi penghulu di Kaliwedi. Data lain menyebutkan bahwa beliau menjadi penghulu di Arjawinangun. Ny. Hj. Hunnah salah satu putri tertua KH. A. Syathori menceritakan bahwa kakeknya KH. Sanawi memang pernah tinggal di Kaliwedi, beliau di sana bertani. Menurut KH. Chozin Nashuha, di akhir hayatnya, KH. Sanawi diduga beristri lebih dari satu, istri keduanya bertempat di Kaliwedi. Ini juga dibenarkan oleh Ny. Hj. Hannah, putri sulung KH. A. Syathori
[5] KH. Hasanudin adalah nama aslinya, adapun menjadi KH. Muhammad Syalabi karena menghormati istrinya Ny. Salbiyah. Itu satu versi, versi yang lain menyebutkan berbeda. Dan sesungguhnya data tentang silsilah KH. Sanawi terlihat jelas hanya sampai pada ayah dan kakeknya, tetapi di atas kakek memang banyak versi menyebutkan secara berbeda-beda. Satu versi menyebutkan bahwa kakek KH. Sanawi, KH. Hasanudin (KH. Muhammad Salabi) adalah masih berdarah keraton Cirebon dan merupakan keturunan ke 17 dari Syarief Hidayatullah dari jalur Sultan Zainul Arifin (Pangeran Adipati Cirebon). Versi kedua menyebutkan bahwa KH. Muhammad Salabi adalah putra dari Pangeran Jatiraga (Ki Jatira) yang bertempat di Babakan Ciwaringin. Bahkan dikatakan menurut versi Babakan yang dirumuskan oleh KH. Mudzakir - cucu KH.Sanusi Babakan - menyebutkan keberadaan pesantren di Lontang Jaya sendiri merupakan perpindahan dari Babakan Ciwaringin, karena saat itu pesantren Babakan sedang di serang Belanda. Bila benar KH. Muhmaad Salabi adalah putra Ki Jatira Babakan Ciwaringin maka ia juga bisa dikatakan keturunan Syarif Hidayatullah ke  18 melalui jalur Pangeran Welang I. Versi ketiga, tetapi ini dianggap lemah oleh beberpa pihak, adalah yang diungkapkan Khozinatul Asrar dari Lontang Jaya, bahwa KH. Abdullah adalah putra Ki Arjaen. Menurut Sirojuddin bin Rasyid, dengan banyaknya versi tersebut generasi Lontang Jaya nampaknya memilih silsilah sampai hanya KH. Hasanuddin (KH. Muhammad Syalabi). ”Kami mencoba melakukan fatrah (pengosongan) mengenai siapa ayah dan kakek serta buyut KH. Muhammad Syalabi, dari pada menimbulkan fitnah”, kata Sirojuddin. Ini juga dilakukan untuk menghindari kebiasaan selama ini yang membuat silsilah sekedar mencari legitimasi kebesaran masa lalu, tambahnya kepada penulis. Menurut Sirojudin bin Rasyid, bahwa pada umumnya pesantren-pesantren di Jawa mencari legitimasi silsilah dengan menyandarkan pada Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau Syeikh Muhyi Pamijahan. Sementara pesantren-pesantren di Cirebon biasanya menyandarkan silsilahnya dengan berujng pada Syarif Hidayatullah. Sedangkan pihak keraton di Jawa biasanya menyandarkan silsilahnya pada tokoh-tokoh pewayangan, seperti Arjuna dan Abimanyu.  
[6] Dalam sejarah Cirebon, perang Kedongdong dikenal juga dengan Perang Santri, karena memang dilakukan oleh ulama bersama para santrinya. Selain itu juga dikenal dengan nama ’Perang Puputan’, karena perang dilakukan sampai titik darah penghabisan. KH. Syarief Utsman Yahya menuturkan bahwa perang tersebut dipimpin Pangeran Matangaji dari keraton Cirebon. Tidak banyak catatan dan data sejarah mengenai perang ini di tanah air, kecuali memang ada di perpustakaan Belanda. Kolonial Belanda sendiri menyebut perang ini sebagai ’Pemberontakan Matangaji’.
[7] Lihat Dzikrayat Tahun 2006. Dari silsilahnya dapat dikatakan Ny. Hj. Arbiah adalah keturunan ke-16 Syarif Hidayatullah. Dalam silsilah bisa diuurtkan sebagai berikut.  
[8] Lihat Dzikrayat Tahun 2006 (ibid). Pada Dzikrayat Tahun 1993 disebutkan bahwa karena kepandaiannya dalam belajar dan menghafal, oleh salah seorang kerabat KH. A. Syathori dari Kalwedi, KH. Amin, meminta mengajarinya agama secara khusus.  
[9] Dzikrayat Tahun 1993, hlm. 27. Kegemarannya main bola di masa kecil inilah kemungkinan yang membuat KH. A. Syathori memperbolehkan para santrinya bermain bola. Tentu bila itu untuk sekedar hiburan penhilang penat karena kesibukan mengaji dan belajar di pesantren.  
[10] Wawancara dengan Ny. Hj. Hannah binti KH. A. Syathori menyebutkan bahwa ada ’asumsi’ masyarakat luas bahwa bagi orang Cirebon sebaiknya mmenimba ilmu di pesantren itu di Babakan Ciwaringin terlebih dahulu, karena berarti mbabak, melakukan langkah awal sebagai persiapan ke jenjang yang lebih tinggi.   
[11] Ini yang dikatakan dalam Dzikrayat Tahun 2006. KH. Chozin Nashuha terkait hal ini menyatakan bahwa, ” Yang mendirikan pesantren Babakan itu bukan Kiai Jatira, beliau kan hanya sebagai tokoh legendaris saja. Terus diterusuan Kiai Adzrai. Kemudian dilanjutkan oleh Kiai Ismail dan baru Kiai Amin Sepuh. Nah, Kiai Syathori itu dalam thabaqat Kiai Amin ini”.  
[12] Kiai Khalil Bangkalan adalah Kiai asal Bangkalan Madura yang dikenal sebagai wali Madura-Jawa. Nama aslinya adalah Muhammad Khalil, ia lahir di Bangkalan Madura. Beliau dikenal sebagai guru yang unik dan sekaligus juga guru dari KH. Hasyim Asyari dan ulama-ulama besar lainnya. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006) hlm. 183-205. Lihat juga Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren; Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LkiS, 2004) hlm. 157-174.  
[13] Dari hasil awawancara dengan KH. Shobir bin KH. Asy’ari bin KH. Shobari di Ciwedus diketahui bahwa KH.Shobari baru selesai belajar di Kiai Khalil Bangkalan setelah usia KH.Shobari 40 tahun. Artinya bahwa keilmuan yang ditimbanya cukup matang. Pesantren yang didirikannya awalnya cukup menarik santri dari berbagai daerah. Tetapi setelah KH. Shobari wafat pada 1916, kejayaan pesantren berangsur surut. Ini karena generasi selanjutnya, para santri bahkan pengikut KH. Shobari dikejar-kejar Belanda, sehingga mereka berpindah keluar Ciwedus. Yang tetap tinggal adalah salah seorang putra KH. Shobari, yaitu KH. Asy’ari yang kemudian ditangkap dan ’dihilangkan’ oleh Belanda. Sekarang ini yang ada adalah Yayasan PUI yang membawahi lembaga-lembaga pendidikan yang diasuh oleh generasi penerus, termasuk KH. Shobir bin KH. Asy’ari
[14] Ini artinya bahwa KH. Abdul Halim yang pendiri PUI satu guru dengan KH. A. Syathori dan KH. Sanusi yang sangat NU. Ini dimungkinkan mengingat bahwa KH. Abdul Halim melanjutkan belajarnya ke Timur Tengah, sementara KH. A. Syathori melanjutkan belajar ke pesantren-pesantren NU di Jawa.  
[15] Yang dimaksud ekspresif di sini adalah dengan khusyu, lantunan yang merdu dan gerakan ritmis yang syahdu, sehingga sangat berkesan bagi jiwa. Dari hasil wawanvcara dengan KH. Chozin dan lihat juga di  Zikroyah th. 2006.
[16] H. Jauhar- yang merupakan santri ’kalong’ KH. A. Syathori- dalam suatu wawancara dengan penulis, menyebutkan bahwa KH. A. Syathori adalah sosok yang sangat menghrmati keluarga Nabi dari kalangan habaib.   
[17] Kiai Idris adalah ulama kharisrmatik pada zamannya yang memiliki ribuan santri. Ketika beliau meninggal, para santrinya membaca Al-Quran siang-malam tanpa henti selama empat bulan. Ini dari wawancara dengan Ny. Hj. Hunnah binti KH. A. Syathori.
[18] Dzikrayat Tahun 2006
[19] Berbagai sumber di internet, cari di www.google.com.
[20] Wawancara dengan KH. Chozin Nashuha, dan dibenarkan oleh para alumni dan guru serta ustadz Pesantren Dar Al-Tauhid dalam suatu pertemuan diskusi
[21] Wawancara dengan Ny. Hj. Hannah binti KH. A. Syathori.
[22] Tgl 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh KH. Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan KH. Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa. Dari berbagai sumber. Lihat juga dalam www.tokohindonesia.com.
[23] Sumber: dari berbagai sumber yang diracik oleh www.tokohindonesia.com
[24] Dzikrayat Tahun 2006
[25] Sanad adalah ciri khas dan hanya ada dalam tradisi keilmuan Islam, khususnya ilmu hadits. Sanad sendiri berarti runtutan periwayat. Dalam konteks mengaji yang dimaksud sanad adalah deretan guru-guru yang runtut dan saling bertemu serta terangkai. Dengan sistem sanad ini, keilmuan pesantren bukan hanya bersifat keilmuan semata yang profan, tetapi juga keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara sakral, karena ia sampai pada sumber yang mempertanggungjawabkan sumber keilmuan yang ada. Ini karena ada kaidah yang menyatakan; ”Jika tidak ada sanad, maka siapa pun bisa berbicara apa pun”. Karena itu pula karakter keilmuan pesantren adalah bukan ilmu untuk ilmu tetapi ilmu untuk diyakini dan diamalkan. KH. Husein Muhammmad dalam berbagai kesempatan sering menyatakan, ”Al-’Ilmu ma Yu’rafu wa Yutqan”.   
[26] Wawancara dengan KH. Chozin Nashuha. Inilah indikasi kenapa lalu KH. Chozin menyimpulkan bahwa KH. A. Syathori sudah ’alim sejak belajar di Kiai Idris Solo. Kitab Al-Fiyah Ibn Malik sendiri adalah kitab untuk para santri yang sudah dianggap tingkat tinggi dalam belajar grammer bahasa Arab. Adapun kelas dasar biasanya menggunakan Kitab Jurumiyah, tingkat menengah menggunakan kitab nadzam ’Imrithi, sedangkan kitab Alfiyah ibn Malik, yang berisi 1000 nadzam biasanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah bisa dan memahami nahwu dasar Bahasa Arab.
[27] Diceritakan oleh H. Sayaidi. Dia menuturkan bahwa KH. A. Syathori ketika sakit ia pernah menceritakan bahwa dirinya waktu di Tebu Ireng mengajar KH. Wahid Hasyim. Beliau menceritakan bahwa Wahid Hasyim adalah anak dan murid yang cerdas dan cepat menghafal.
[28] Dzikrayat Tahun 2006. Ini dibenarkan juga oleh KH. Chozin Nashuha, beliau menyatakan kepada penulis bahwa,  Ada teman saya dari Sukaperna Bangodua Indramayu, dia diceritai oleh ayahnya yang belajar di pesantren di Kiai Hasyim Jombang. Bahwa KH. Hasyim Asy’ari berkata: “Arek-arek Cirebon, arek-arek Dermayu, yen ora iso mondok karo aku, cukup kae kana Kiai Syathori”. Teman saya itu namanya Sya’roni ibn Abdullah. Sehingga kemudian banyak masyarakat Cirebon dan Indramayu mondok ke Kiai Syathori”.  
[29] Diceritakan bahwa, sebagai seorang ulama yang dianggap juga waliyullah, Kiai Khalil Bangkalan dianggab sebagai orang doanya diijabah oleh Allah swt. Karenanya setiap beliau berdo’a siapa pun akan mengamininya. Ini hasil wawancara dengan KH. Chozin Nashuha, dan berbagai sumber lainnya.  
[30] Dzikrayat Tahun 2006. Dalam berbagai buku tertulis bahwa Kiai Khalil Bangkalan wafat pada 1925.
[31] Dinyatakan secara jelas oleh Chozin Nashuha dalam suatu wawancara dengan penulis
[32] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, op.cit hlm. 184. Lihat juga Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren; Perhelatan Agama dan Tradisi, op.cit.,  hlm. 158.
[33] Kekaguman itu sebenarnya bukan hanya pada kecerdasan KH. A. Syathori tetapi terhadap kepribadian dan bberapa kelebihan lainnya. Diceritakan bahwa waktu menjadi santri di Tebu Ireng KH. A. Syathori berhasil menaklukan kerbau yang mengamuk hanya dengan memegang tanduknya dan memberinya minum air kelapa. Ini diceritakan oleh Ahmad santri pesantren Dar Al-Tauhid dari berbagai sumber.  
[34] Dzikrayat Tahun 2006. Disebutkan juga dalam Dzikrayat Tahun 1993 tentang bagaimana halusnya KH. A. Syathori menolak tawaran guru yang sangat dihormatinya, yaitu dengan hanya diam. Sementara KH. Hasyim menanggapi sikap diam muridnya itu, ia langsung mencari informasi ke Cirebon, sehingga beliau tahu sendiri bahwa Sang murid telah memiliki calon istri di Cirebon.
[35] Dzikrayat Tahun 1993, dan dibenarkan juga oleh KH. Chozin Nashuha.
[36] Di Dzikrayat Tahun 2006 dituliskan sekitar tahun 1927, sedangkan di Dzikrayat Tahun 1993 dituliskan tepatnya 1927. Dalam hal ini penulis menuliskan diduga, karena dalam Dzikrayat Tahun  1993 disebutkan bahwa usia KH. A. Syathori saat menikah adalah 25 tahun. Sementara jika beliau terlahir 1905, berarti barus berusia 22 tahun ketika menikahnya tahun 1027 H. Data yang berbeda disebutkan oleh H. Ainin yang merupakan murid awal-awal dan juga sahabat KH. A. Syathori, ia menyatakan bahwa KH. A. Syathori menikah pada tahun 1928. Ini kemungkinan yang dimaksud adalah pesta pernikahan KH. A. Syathori yang memang diselenggarakan setelah beliau menyelenggarakan haji, yaitu di tahun 1928.  
[37] Dzikrayat Tahun 1993
[38] Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa lama KH. Syatori menetap di Kali Tengah Plered Cirebon. Ada data yang kurang meyakinkan disebutkan oleh KH. Chozin Nahsuha, bahwa KH. A. Syathori menetap di Kali Tenhag selama 12 tahun, karena dalam kesempatan lain beliau menyebutkan sejak th. 1954 sampai dengan th. 1963.  
[39] Wawancara dengan KH. Chozin Nashuha, dibenarkan pula oleh KH. Syarief Utsman Yahya.
[40] Isltilah ahli hikmah ini digunakan untuk menunjuk seseorang yang menekuni bidang kebathinan Islam, terutama dalam hal pengobatan dan do’a-do’a mujarab untuk mengatasi berbagai persoalan kehidupan.
[41] Di masyarakat Cirebon dikenal beragam istilah untuk yang bermakna sama-sama mengajarkan ilmu pengetahuan. Pertama, dikenal dengan istilah mengajar, ini digunakan untuk Bapak atau Ibu guru yang memang pekerjaannya mengajar di sekolah.. Kedua, istilah muruk, biasanya hanya dignakan untuk makna mengajari santri mengaji, sering dikatakan sebagai muruk ngaji. Ketiga istilah mulang, ini digunakan dalam makna mengajar di sekolah dan mengajar ngaji.  
[42] Wawancara dengan KH. Chozin Nashuha.
[43] Terjadi simpang siur data mengenai berapa lama KH. A. Syathori tinggal di Kali Tengah. Dzikrayat Tahun 1993, menyebutkan bahwa beliau tinggal di Kali Tengah selama 3 tahun, sumber yang lain disebutkan oleh KH. Chozin Nashuha bahwa KH. A. Syathori tinggal di Kali Tengah selama 12 tahun. Dalam rapat dan diskusi alumni, guru dan ustadz Pesantren Dar Al-Tauhid diketahui bahwa KH. A. Syathori mulai mengaji di Arjawinangun sejak th. 50-an.
[44] Dzikrayat Tahun 1993.
[45] Dinyatakan oleh KH. Ahsin dalam suatu wawancara dengan penulis.  
[46] Dzikrayat Tahun 1993, ini dibenarkan oleh KH. Chozin. Dalam Dzikrayat Tahun 2006 disebutkan kembalinya KH. A. Syathori ke Arjawinangun adalah tepat 1932.  
[47] Wawancara dengan KH. Ahsin Muhammad, ia menyatakan bahwa: ” Dalam hal ini, beliau menyelenggarakan pengajian khusus bagi kaum perempuan. Ini dilakukan tiap habis Jum’atan. Waktu itu pengajian perempuannya masih menggunakan tabir. Kursi kyai tinggi dan menghadap ke tembok agar jangan kelihatan perempuan. Orang dari mana-mana datang dan ikut pengajiannya. Kyai sudah menggunakan mikrofon. Diawali dengan apa dan diakhiri dengan ya rabbi bil mushthofa balligh maqashidana…”.
[48] Dzikrayat Tahun 2006.
[49] Wawancara dengan KH. Ahsin Muhammad dan Ny Hj. Hunnah.
[50] Dzikrayat Tahun 2006. Beberapa sumber lain menyebutkan tanggal meningalnya dan penyakit KH. A. Syathori secara berbeda-beda. Dalam Dzikrayat Tahun  1993, disebutkan bahwa KH. A. Syathori meninggal pada tanggal 13 Februari 1969 dengan disebabkan penyakit kencing manis dan rematik. Ny Hj. Hannah menyebutkan bahwa penyakit beliau sampai meninggalnya adalah darah tinggi. KH. Chozin Nashuha menyatakan bahwa sampai meninggalnya, KH. A. Syathori mengidap penyakit jantung. Ini, menurut Chozin, karena beliau pernah diculik dan interograsi secara keras oleh pihak yang yang diduga kuat kelompok komunis yang saat itu menguasai pemerintahan RI. Sementara itu menurut H. Sayidi, beliau meninggal pada 19 bulan ketujuh dalam penanggalan Jawa (Kapit) yang bertepatan dengan 19 April 1969. Adapun penyakit yang dideritanya adalah komplikasi.

[51] Ini diceritakan oleh Ny. Hj. Hannah binti KH. A. Syathori. Katanya ini berbeda dengan KH. Idris Solo yang dibacakan Al-Qur’an di maqbarahnya oleh para santri sampai 4 bulan lamanya.

0 comments: