TAFSIR
JENDER
(Analisis
Terhadap Persaksian dan Kepemimpinan Perempuan)
Diajukan Untuk Memenuhi
Tugas UTS
Mata Kuliah: Sejarah
Perkembangan Tafsir
Dosen Pengampu:
Hj. Liya Aliyah, M.Ag
Disusun oleh:
Mulya
NIM: 14113450009
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS ADADIN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2013
PEMBAHASAN
A.
Persaksian
Hal
yang menjadi isu kesetaraan jender dalam al-Qur’an adalah kesaksian perempuan
setengah dari kesaksian laki-laki. Perdebatan masalah ini berangkat dari
penafsiran Q.S al-Baqarah/2: 282.
Artinya:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
Q.S al-Baqarah/2: 282.
1.
Penafsiran
Ayat menurut Mufasir
Dalam ayat
tersebut disebutkan bahwa persaksian perempuan setangah dari kesaksian
laki-laki, hikmah perbandingan 2:1dalam QS al-Baqarah/2:282 khusus untuk jual
beli karena kondisi perempuan yang tidak banyak aktif dalam dunia jual beli
seperti keaktifannya dalam rumah tangga sehingga mereka dianggap kurang cakap dalam
hal tersebut. Bahkan saat ini kondisi perempuan masih sepert itu, meskipun
sebagian mereka tidak demikian. Hal ini sesuai dengan fitrahnya. Dengan
demikian, perbndingan di atas bukanlah karena faktor kurangnya akal bagi
perempuan dan bukan bentuk deskriminasi.[1]
Sebab
perbedaan kuantitas persaksian antara laki-laki dan perempuan (2:1) yang
trermaktub dalam ayat tersebut dijelaskan langsung oleh lanjutan ayat tersebut
bahwa kemungkinan saksi perempuan itu salah sehingga yang lainnya bisa
mengingatkannya. Alasan ini dapat ditemukan dalam sejumah tafsir tradisional
seperti al-Wahidi. Kondisi ini erat kaitannya dengan petunjuk Islam yang
menganjurkan para perempuan untuk lebih banyak bertanggungjawab dalam rumah
tangganya sehingga hal-hal yang bersifat muamalah kurang diketahuinya sehingga
kemungkinan untuk lupa atau salah lebih besar. Perlu diingat bahwa kesaksian
perempuan dapat diterima pada hal-hal yang berhubungan dengan perempuan seperti
halnya laki-laki.[2]
Quraish
Shihab memahami bahwa ayat ini khusus berbicara tentang persaksian yang
berhubungan dengan masalah keuangan. Pandangan ini berdasarkan redaksi ayat
yang berbicara tentang utang piutang. Quraish Shihab melihat illat di balik
ketentuan ayat tersebut. Menurutnya secara umum dapat dikatakan bahwa ketika
ayat ini turun keterlibatan perempuan dalam persoalan perdagangan belum sepesat
dewasa ini, lebih-lebih kalau dikatakan bahwa ayat ini turun menyangkut
tuntunan dalam perjalanan sebagai terbaca pada lanjutan ayat. Keterlibatan yang
kurang ini menjadi perhatian mereka berkurang. Oleh karena itu, kemungkinan
untuk lupa mejadi lebih besar dibandingkan dengan laki-laki terlibat dan
bergelut dengan perdagangan dan keuangan. Dengan demikian, jika pesan ini
merupakan bagian dari lapangan ijtihad dan paparan di atas sebagai illat, maka
bisa saja untuk masa kini, kesaksian perempuan yang terlibat langsung dalam
bidang keuangan, dinilai sama dengan kesaksian laki-laki, yakni kesaksian
perempuan yang telah terlibat banyak dalam persoalan keuangan sama dengan
kesaksian laki-laki.[3]
Perhatian
perempuan terhadap rumah tangga mengakibatkan ingatannya terhadap rumah tangga
menjadi kuat, sebaliknya perhatian laki-laki (suami) terhadap pencarian rezki
mengakibatkan ingatannya terhadap upaya terssebut menjadi kuat. Atas dasar
besar kecilnya perhatian itulah, tuntunan di atas ditetapkan. Pandangan bahwa
perempuan kodratnya adalah pelupa, jelas tidak sensitif jender. Persoalan lupa
tidak boleh disimbolkan kepada perempuan. Sebab, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki potensi yang sama untuk lupa baik yang berhubungan dengan perdagangan maupun kerumahtanggaan.[4]
Quraish
Shihab menegaskan bahwa kemungkinan lupa dalam ayat tersebut tidak bermaksud
untuk melecehkan perempun dan menunjukkan bahwa kecerdasan perempuan di bawah
kecerdasan laki-laki. Perbedaan di sini adalah perbedaan yang disebabkan
kurangnya perhatian, bukan pada potensi mengingat. Kenyataan menunjukkan sekian
banyak perempuan yang mengungguli laki-laki dalam pengetahuandan kecerdasannya,
sebagaimana kenyataan juga berbicara bahwa kemampuan mengingat berkaitan erat
dengan perhatian yang diarahkan kepada objek ingatan.[5]
Menurut
Muhammad ‘Imarah dalam memahami Q.S al-Baqarah ayat 282 adalah anjuran yang bersifat
khusus bagi mereka yang sedang melakukan jual beli dengan alasan agar jika
salah satu perempun itu lupa, maka yang lainnya dapat mengingatkannya
mengindikasikan bahwa keintelektualanlah yang menjadi dasar perbedaannya. Oleh
karena itu, dapat saja ketentuan itu berubah dari waktu ke waktu. Ayat ini
berbicara tentang petunjuk dan anjuran yang ideal bagi pihak yang memberi
piutang agar mempersaksikannya dalam bentuk seperti ini.[6]
Persaksian
perempuan yang termaktub dalam QS al-Baqarah: 282 menunjukkan realitas sejarah
masyarakat terutama perempuan yang tidak mendapatkan hak persaksian. Al-Quran
datang dengan memberinya hak setengah yang dapat menguatkan persaksian
perempuan lain. Realitas tersebut telah berubah karena perempuan saat ini sudah
banyak yang berpendidikan tinggi dan pengalaman yang luas yang dapat
mengalahkan kualitas persaksiannya dengan laki-laki yang tidak berpendidikan
dan tidak berpengalaman. Dengan demikian, hak mereka harus disamakan dengan
laki-laki dalam persaksian.[7]
2.
Pendapat Penyusun
”Dari pembahasan para mufasir tentang persaksian perempuan bahwa
mereka lebih condong untuk mengangkat kesetaraan jender. Begitu pula dengan
argumen penyusun bahwa persaksian perempuan sesuai dengan perkembangan zaman.
Hal itu melihat dari sejarahnya pada zaman jahiliah hak asasi perempuan tidak
diakui dalam persaksian muamalat, datanglah al-Qur’an sebagai petunjuk manusia
diangkatlah hak persaksian perempuan walaupun kuantitasnya setengah dari
laki-laki. Karena kaum perempuan kurang begitu paham dalam bidang muamalat.
Al-Quran yang bersifat dinamis yaitu menyesuaikan dengan perkembangan zaman
hingga saat ini lahir ilmu-ilmu yang dapat mendukung perempuan ikut
berpartisipasi dalam bidang muamalat sehingga tidak ada salahnya persaksian
perempuan sebanding dengan laki-laki.”
B. Kepemimpinan
Isu lain yang menjadi kesetaraan jender adalah mengenai
kepemimpinan yang tercantum dalam Q.S an-Nisa/4: 34 bunyinya sebagai berikut:
Dalam kitab al-Jawahiru fi Tafsiril Qur’anil Karim
(Kaum lelaki menjadi pemimpin) artinya mempunyai
kekuasaan (terhadap kaum wanita) dan berkewajiban mendidik dan
membimbing mereka (oleh karena Allah telah melebihkan sebagian kamu atas
lainnya) yaitu kekuasaan dan sebagainya (dan juga karena mereka telah
menafkahkan) atas mereka (harta mereka. Maka wanita-wanita yang saleh
ialah yang taat) kepada suami mereka (lagi memelihara diri di balik
belakang)) artinya menjaga kehormatan mereka dan lain-lain sepeninggal
suami (karena Allah telah memelihara mereka) sebagaimana dipesankan-Nya
kepada pihak suami itu. (Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyus)
artinya pembangkangan mereka terhadap kamu misalnya dengan adanya ciri-ciri
atau gejala-gejalanya (maka nasihatilah mereka itu) dan ingatkan supaya
mereka takut kepada Allah (dan berpisahlah dengan mereka di atas tempat
tidur) maksudnya memisahkan kamu tidur ke ranjang lain jika mereka
memperlihatkan pembangkangan (dan pukullah mereka) yakni pukullah yang
tidak melukai jika mereka masih belum sadar (kemudian jika mereka telah
menaatimu) mengenai apa yang kamu kehendaki (maka janganlah kamu mencari
gara-gara atas mereka) maksudnya mencari-cari jalan untuk memukul mereka
secara aniaya. (Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar) karena
itu takutlah kamu akan hukuman-Nya jika kamu menganiaya mereka.[8]
1.
Asbabun
Nuzul
Dalam suatu
riwayat dikemukakan bahwa seseorang wanita mengadu kepada Nabi karena telah
ditampar suaminya. Rasul saw. Bersabda : “Dia mesti dikisas (dibalas).” Maka
turunlah ayat tersebut di atas, sebagai ketentuan dalam mendidik istri yang
menyeleweng. Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut, pulanglah ia serta
tidak melaksanakan kisas. (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim yang bersumber dari
al-Hasan)
Dalam riwayat lain
dikemukakan bahwa ada seorang istri yang mengadu kepada Rasul karena ditampar
suaminya (orang Ansar) dan menuntut kisas (balas). Nabi saw mengabulkan
tuntutan itu. Maka turunlah ayat wa la taj al bil qur ani ming qabli ay
yuqdla ilaika wahyuh ..(dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an
sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu)(QS Thaha:114) sebagai teguran
kepadanya, dan ayat tersebut di atas QS an-Nisa :34 sebagai ketentuan hak suami
dalam mendidik istrinya. (diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari beberapa jalan yang
bersumber dari al-Hasan. Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis seperti ini, yang
bersumber dari ibnu Juraij dan as-Suddi).
Dalam riwayat lain
dikemukakan bahwa seorang Ansar menghadap Rasul bersama istrinya. Istrinya
berkata: Ya Rosul ia telah memukul saya hingga berbekas di mukaku.” Maka
bersabdalah Rasul,: “ia tidak berhak berbuat demikian”.maka turunlah ayat Qs.
An-Nisa:34 dalam ketentuan mendidik istri. (diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih
yang bersumber dari Ali). Riwayat tersebut saling menguatkan.[9]
2.
Penafsiran ayat menurut Mufasir
Secara jelasnya bahwa Tantowi
Jauhari menafsirkan ayat di atas tentang kepemimpinan dalam ruang lingkup
keluarga. Pada dasarnya yang menjadi pemimpin dalam sebuah keluarga adalah
suami yang sering dikatakan sebagai kepala keluarga. Kepemimpinan laki-laki atas
perempuan sejatinya bukan merupakan keagungan atau kelebihan laki-laki atas
perempuan.[10]
Kepemimpinan tersebut harus dipahami sebagai bentuk tanggung jawab laki-laki
terhadap perempuan. Keutamaan laki-laki yang tersurat dalam Q.S an-Nisa ayat 34 harus dipahami
bahwa Allah telah melebihkan sesuatu kepada laki-laki atas perempuan
sebagaimana Allah telah melebihkan sesuatu kepada perempuan atas laki-laki. Jadi,
laki-laki mendapat kelebihan pada hal-hal tertentu demikian pula sebalikanya. Kepemimpinan laki-laki tidak dapat dipahami sebagai kepemimpinan otoriter
dan penindasan akan tetapi hanya terbatas pada tanggungjawabnya dalam rumah
tangga keluarga sebagai sebuah keniscahyaan dalam masyarakat.[11] Sederhananya
bahwa antara laki-laki dengan perempuan punya kelebihan masing-masing dalam
memimpin. Laki-laki sebagai suami memenuhi kebutuhan keluarganya dalam bentuk
memberikan nafkah, sedangkan perempuan sebagai ibu juga membina anak-anaknya
dengan kasih sayangnya yang tidak dimiliki suami. Jelaslah tidak setiap mahluk
mampu melakukan semuanya, maka dari itu laki dan perempuan mempunyai peran
masing-masing sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Alasan seorang suami yang wajib
memberikan nafkan, karena suami lebih aktif dalam bekerja yang diberikan akal
pikiran dan kekuatan yang lebih dibandingkan perempuan. Walaupun kenyataan membuktikan bahwa banyak perempuan
telah bekerja secara produktif seperti
laki-laki, namun kenyataan lain membuktikan bahwa saat ini laki-laki tetap
memgang kendali kepemimpinan atas perempuan. ini membuktikan gagalnya konsep
feminis yang mengatakan bahwa financial perempuan dapat menjadikan kendali
kepemimpinan berpindah kepada laki-laki. Dalam
hal ini, kepemimpinan yang dimaksud bukanlah bersifat otoriter dan zalim akan
tetapi tujuan kepemimpinan ini adalah konsistensi untuk menegakkan ajaran
Allah. Hal ini juga dapat dipahami dari redaksi Q.S an-Nisa ayat 34 yang tidak
berbunyi al-rijal sâdah
li an-nisa lebih-lebih
lagi, suami tidak dapat ororiter memaksa istrinya meninggalkan agamanya sesuai
QS. Al-Baqarah ayat 256.[12]
Kekuatan laki-laki atas perempuan
merupakan hukum dasar yang bersifat alami. Perasaan perempuan yang tinggi dan
sensitif pada hal-hal yang bersifat psikologis sangat sesuai dengan tugasnya
sebagai pendamping anak-anaknya. Setiap perkembangan anak sejak lahir hingga
dewasa membutuhkan sosok ibu yang dapat mengerti dan memahami kondisinya. Sifat
yang dimiliki seorang perempuan sebagai ibu lebih sesuai dibanding laki-laki
sebagai bapak untuk selalu berada di sisi anaknya.[13]
Sejarah mencatat bahwa kehidupan
sehari-hari dalam keluarga Nabi yang bersifat kerumahtanggaan diserahkan
sepenuhnya kepada istrinya. Setiap pagi Nabi bertanya kepada Aisyah bahwa
adakah makanan pagi ini ? Aisyah menjawab : “tidak ada wahai Rasulullah”. Nabi
lalu berniat untuk puasa. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi tidak mengetahui
persoalan kebutuhan rumah tangganya. Kalau sekiranya dia mengetahui, apa maksud
pertanyaan tersebut.[14]
Tidak ada larangan bagi perempuan
menduduki satu jabatan baik al-Qur’an maupun hadis, bahkan hal sebaliknya QS.
At-Taubah ayat 71-72 menjelaskan bahwa umat Islam baik laki-laki maupun
perempuan diharapkan saling membantu dan mendukung untuk melahirkan
kemaslahatan umum bagi umat. Sementara an-Nisa ayat 34 hanya terbatas bagi
persoalan keluarga sebagaimana dipahami dari sebab turunnya ayat tersebut.
Sebagian ulama menjadikan QS an-Nisa ayat 32 sebagai argumentasi bolehnya
perempuan menjadi kepala Negara. Sesuai dengan sebab turunnya ayat ini,
persoalan kepemimpinan Negara tidak terkait dengat ayat tersebut. Karena ayat
ini turun sebagai jawaban atas keinginan para sahabat perempuan, Ummu Salamah
untuk menuntut pahala yang sama.[15]
3.
Pendapat Penyusun
“Argumen penyusun mengenai kepemimpinan, bahwa kepemimpinan hak
untuk semua manusia. Baik itu laki-laki maupun perempuan. Pada dasarnya manusia
dituntut untuk bisa memimpin, minimalnya dapat memimpin diri sendiri. Untuk
dapat memimpin diri pribadi haruslah punya dasar dan keahlian. Dasar yang
menjadi ushul didapat dari ilmu agama dan keahlian yang menjadi penunjang
didapat dari ilmu umum. Karena antara ilmu agama dan ilmu umum harus dapat
diintegrasikan sehingga bisa mencapai muhsin sejati yang dapat memimpin. Ketika
seorang ingin memimpin maka harus mempunyai dasar dan keahlian. Begitu pula
dalam penafsiran QS an-Nisa: 4 yang mengarahkan kepemimpinan dalam rumah
tangga. Secara teks bahwa laki-laki yang memang yang berhak memimpin karena
kelebihan yang dimilikinya. Namun tidak semua kelebihan dimiliki oleh seorang
laki-laki sebagai suami dapat mengerjakan tugas rumah tangga semuanya. Maka
dari itu perlu adanya pembagian tugas yang dapat dikerjakan oleh perempuan
sebagai seorang ibu. Maka penyusun juga condong terhadap pendapat mufasir bahwa
laki-laki sebagai suami memenuhi kebutuhan keluarganya dalam bentuk
memberikan nafkah, sedangkan perempuan sebagai ibu juga membina anak-anaknya
dengan kasih sayangnya yang tidak dimiliki suami. Dan semua itu haruslah punya
dasar dan keahlian sehingga terciptalah keserasian dan keselarasan dalam rumah
tangga.”
KESIMPULAN
Dari pembahasan
di atas dalam kesetaraan jender mengenai persaksian dan kepemimpinan oleh
perempuan dapat diamil kesimpulan. Persaksian yang dilakukan oleh perempuan
adalah sejalan dengan evolusi kaum perempuan. Bahwasannya pada zaman jahiliyah
kaum perempuan tidak diperbolehkan ikut andil dalam bersaksi dalam jual beli.
Kemudian turunlah al-Qur’an yang mengangkat hak wanita mendapat setengah bagian
dari laki dalam bersaksi. Faktor perbedaan jumlah kuantitas melihat pekerjaan
yang dilakukan, perempuan hanya mengerjakan rumah tangganya tidak terlalu cakap
dalam muamalah sedangkan laki laki lebih baik karena memang merupakan tugas
laki-laki bergelut dalam bidang muamalah untuk mencari nafkah. Seiring
perkembangan zaman ternyata kaum perempuan mampu mensejajarkan dengan laki-laki
yaitu perkembangan ilmu yang digeluti perempuan sehingga mengerti terhadap
bidang muamalah, maka tidak ada salahnya perempuan untuk bersaksi setara dengan
laki-laki dalam kuantitas yang sama.
Begitu
pula dalam penafsiran Q.S an-Nisa/4:34 dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
surat tersebut menjelaskan tentang kepemimpinan. Namun kepemimpinan di sini
dalam ruang lingkup keluarga. antara laki-laki dan perempuan mempunyai peran
masing-masing. Peran yang dimiliki telah dibekali dengan kemampuan
masing-masing. Begitu pula kemampuan seorang suami untuk membina keluarga
dengan berkewajiban memberikan nafkah, baik itu secara lahir maupun batin.
Sedangkan seorang ibu mempunyai kemampuan untuk membina anaknya dengan naluri
dan kasih sayang yang tidak dimiliki seorang suami. Jelaslah peran tersebut
tidak dapat dilakukan semuanya hanya oleh satu pihak saja. Peran yang dimiliki
adalah sebagai keahlian dalam memimpin. Demikianlah antara laki-laki dan
perempuan mempunyai kesetaraan jender yang sama dalam bidang kepemimpinan.
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
Hasan, Hamka.
2009. Tafsir Jender Studi
Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
KHQ Shaleh HAA Dahlan. 2009. Asbabun
Nuzul Latar Belakang Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, (Bandung: Dipenogoro.
Lopa, Baharuddin.
2009. al-Qur’an da Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Muhammad ‘Imarah, at-Tahrir al-Islami li al-Mar’ah.
PDF Tantowi Jauhari. 1343 H. Al-Jawahirul fi Tafsiril Quranil Karim.
Quraish Shihab, perempuan.
[1]
Hamka Hasan, Tafsir Jender Studi
Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Departemen Agama RI, 2009), hal. 277.
[2]
Ibid.
[3]
Quraish Shihab, perempuan, hal. 268.
[4]
Ibid., hal. 270.
[5]
Ibid., hal-272.
[6]
Muhammad ‘Imarah, at-Tahrir al-Islami li al-Mar’ah, hal. 71
[8] PDF Tantowi Jauhari. Al-Jawahirul
fi Tafsiril Quranil Karim, 1343 H, juz tsalits hal 39..
[9]
KHQ Shaleh HAA Dahlan. Asbabun Nuzul Latar Belakang Turunnya Ayat-Ayat
Al-Qur’an, (Bandung: Dipenogoro, 2009), hal. 137.
[10]
Baharuddin Lopa, al-Qur’an da Hak
Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), hal
[12]
Ibid.
[14]
Ibid.
[15]
Ibid., hal. 204.
0 comments:
Post a Comment