اَÙ‡ْلاًÙˆَسَÙ‡ْلاً

Sunday, 5 January 2014

TAFSIR JENDER




TAFSIR JENDER
(Analisis Terhadap Persaksian dan Kepemimpinan Perempuan)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UTS
Mata Kuliah: Sejarah Perkembangan Tafsir
Dosen Pengampu: Hj. Liya Aliyah, M.Ag




 








Disusun oleh:
Mulya
NIM: 14113450009

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS ADADIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2013

PEMBAHASAN
A.    Persaksian
Hal yang menjadi isu kesetaraan jender dalam al-Qur’an adalah kesaksian perempuan setengah dari kesaksian laki-laki. Perdebatan masalah ini berangkat dari penafsiran Q.S al-Baqarah/2: 282.
Artinya:
 “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. Q.S al-Baqarah/2: 282.
1.      Penafsiran Ayat menurut Mufasir
Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa persaksian perempuan setangah dari kesaksian laki-laki, hikmah perbandingan 2:1dalam QS al-Baqarah/2:282 khusus untuk jual beli karena kondisi perempuan yang tidak banyak aktif dalam dunia jual beli seperti keaktifannya dalam rumah tangga sehingga mereka dianggap kurang cakap dalam hal tersebut. Bahkan saat ini kondisi perempuan masih sepert itu, meskipun sebagian mereka tidak demikian. Hal ini sesuai dengan fitrahnya. Dengan demikian, perbndingan di atas bukanlah karena faktor kurangnya akal bagi perempuan dan bukan bentuk deskriminasi.[1]
Sebab perbedaan kuantitas persaksian antara laki-laki dan perempuan (2:1) yang trermaktub dalam ayat tersebut dijelaskan langsung oleh lanjutan ayat tersebut bahwa kemungkinan saksi perempuan itu salah sehingga yang lainnya bisa mengingatkannya. Alasan ini dapat ditemukan dalam sejumah tafsir tradisional seperti al-Wahidi. Kondisi ini erat kaitannya dengan petunjuk Islam yang menganjurkan para perempuan untuk lebih banyak bertanggungjawab dalam rumah tangganya sehingga hal-hal yang bersifat muamalah kurang diketahuinya sehingga kemungkinan untuk lupa atau salah lebih besar. Perlu diingat bahwa kesaksian perempuan dapat diterima pada hal-hal yang berhubungan dengan perempuan seperti halnya laki-laki.[2]
Quraish Shihab memahami bahwa ayat ini khusus berbicara tentang persaksian yang berhubungan dengan masalah keuangan. Pandangan ini berdasarkan redaksi ayat yang berbicara tentang utang piutang. Quraish Shihab melihat illat di balik ketentuan ayat tersebut. Menurutnya secara umum dapat dikatakan bahwa ketika ayat ini turun keterlibatan perempuan dalam persoalan perdagangan belum sepesat dewasa ini, lebih-lebih kalau dikatakan bahwa ayat ini turun menyangkut tuntunan dalam perjalanan sebagai terbaca pada lanjutan ayat. Keterlibatan yang kurang ini menjadi perhatian mereka berkurang. Oleh karena itu, kemungkinan untuk lupa mejadi lebih besar dibandingkan dengan laki-laki terlibat dan bergelut dengan perdagangan dan keuangan. Dengan demikian, jika pesan ini merupakan bagian dari lapangan ijtihad dan paparan di atas sebagai illat, maka bisa saja untuk masa kini, kesaksian perempuan yang terlibat langsung dalam bidang keuangan, dinilai sama dengan kesaksian laki-laki, yakni kesaksian perempuan yang telah terlibat banyak dalam persoalan keuangan sama dengan kesaksian laki-laki.[3]
Perhatian perempuan terhadap rumah tangga mengakibatkan ingatannya terhadap rumah tangga menjadi kuat, sebaliknya perhatian laki-laki (suami) terhadap pencarian rezki mengakibatkan ingatannya terhadap upaya terssebut menjadi kuat. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah, tuntunan di atas ditetapkan. Pandangan bahwa perempuan kodratnya adalah pelupa, jelas tidak sensitif jender. Persoalan lupa tidak boleh disimbolkan kepada perempuan. Sebab, baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi yang sama untuk lupa baik yang berhubungan  dengan perdagangan maupun kerumahtanggaan.[4]
Quraish Shihab menegaskan bahwa kemungkinan lupa dalam ayat tersebut tidak bermaksud untuk melecehkan perempun dan menunjukkan bahwa kecerdasan perempuan di bawah kecerdasan laki-laki. Perbedaan di sini adalah perbedaan yang disebabkan kurangnya perhatian, bukan pada potensi mengingat. Kenyataan menunjukkan sekian banyak perempuan yang mengungguli laki-laki dalam pengetahuandan kecerdasannya, sebagaimana kenyataan juga berbicara bahwa kemampuan mengingat berkaitan erat dengan perhatian yang diarahkan kepada objek ingatan.[5]
Menurut Muhammad ‘Imarah dalam memahami Q.S al-Baqarah ayat 282 adalah anjuran yang bersifat khusus bagi mereka yang sedang melakukan jual beli dengan alasan agar jika salah satu perempun itu lupa, maka yang lainnya dapat mengingatkannya mengindikasikan bahwa keintelektualanlah yang menjadi dasar perbedaannya. Oleh karena itu, dapat saja ketentuan itu berubah dari waktu ke waktu. Ayat ini berbicara tentang petunjuk dan anjuran yang ideal bagi pihak yang memberi piutang agar mempersaksikannya dalam bentuk seperti ini.[6]
Persaksian perempuan yang termaktub dalam QS al-Baqarah: 282 menunjukkan realitas sejarah masyarakat terutama perempuan yang tidak mendapatkan hak persaksian. Al-Quran datang dengan memberinya hak setengah yang dapat menguatkan persaksian perempuan lain. Realitas tersebut telah berubah karena perempuan saat ini sudah banyak yang berpendidikan tinggi dan pengalaman yang luas yang dapat mengalahkan kualitas persaksiannya dengan laki-laki yang tidak berpendidikan dan tidak berpengalaman. Dengan demikian, hak mereka harus disamakan dengan laki-laki dalam persaksian.[7]
2.      Pendapat Penyusun
”Dari pembahasan para mufasir tentang persaksian perempuan bahwa mereka lebih condong untuk mengangkat kesetaraan jender. Begitu pula dengan argumen penyusun bahwa persaksian perempuan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal itu melihat dari sejarahnya pada zaman jahiliah hak asasi perempuan tidak diakui dalam persaksian muamalat, datanglah al-Qur’an sebagai petunjuk manusia diangkatlah hak persaksian perempuan walaupun kuantitasnya setengah dari laki-laki. Karena kaum perempuan kurang begitu paham dalam bidang muamalat. Al-Quran yang bersifat dinamis yaitu menyesuaikan dengan perkembangan zaman hingga saat ini lahir ilmu-ilmu yang dapat mendukung perempuan ikut berpartisipasi dalam bidang muamalat sehingga tidak ada salahnya persaksian perempuan sebanding dengan laki-laki.”












B. Kepemimpinan
Isu lain yang menjadi kesetaraan jender adalah mengenai kepemimpinan yang tercantum dalam Q.S an-Nisa/4: 34 bunyinya sebagai berikut:

Dalam kitab al-Jawahiru fi Tafsiril Qur’anil Karim
(Kaum lelaki menjadi pemimpin) artinya mempunyai kekuasaan (terhadap kaum wanita) dan berkewajiban mendidik dan membimbing mereka (oleh karena Allah telah melebihkan sebagian kamu atas lainnya) yaitu kekuasaan dan sebagainya (dan juga karena mereka telah menafkahkan) atas mereka (harta mereka. Maka wanita-wanita yang saleh ialah yang taat) kepada suami mereka (lagi memelihara diri di balik belakang)) artinya menjaga kehormatan mereka dan lain-lain sepeninggal suami (karena Allah telah memelihara mereka) sebagaimana dipesankan-Nya kepada pihak suami itu. (Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyus) artinya pembangkangan mereka terhadap kamu misalnya dengan adanya ciri-ciri atau gejala-gejalanya (maka nasihatilah mereka itu) dan ingatkan supaya mereka takut kepada Allah (dan berpisahlah dengan mereka di atas tempat tidur) maksudnya memisahkan kamu tidur ke ranjang lain jika mereka memperlihatkan pembangkangan (dan pukullah mereka) yakni pukullah yang tidak melukai jika mereka masih belum sadar (kemudian jika mereka telah menaatimu) mengenai apa yang kamu kehendaki (maka janganlah kamu mencari gara-gara atas mereka) maksudnya mencari-cari jalan untuk memukul mereka secara aniaya. (Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar) karena itu takutlah kamu akan hukuman-Nya jika kamu menganiaya mereka.[8]

1.      Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seseorang wanita mengadu kepada Nabi karena telah ditampar suaminya. Rasul saw. Bersabda : “Dia mesti dikisas (dibalas).” Maka turunlah ayat tersebut di atas, sebagai ketentuan dalam mendidik istri yang menyeleweng. Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut, pulanglah ia serta tidak melaksanakan kisas. (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim yang bersumber dari al-Hasan)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ada seorang istri yang mengadu kepada Rasul karena ditampar suaminya (orang Ansar) dan menuntut kisas (balas). Nabi saw mengabulkan tuntutan itu. Maka turunlah ayat wa la taj al bil qur ani ming qabli ay yuqdla ilaika wahyuh ..(dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu)(QS Thaha:114) sebagai teguran kepadanya, dan ayat tersebut di atas QS an-Nisa :34 sebagai ketentuan hak suami dalam mendidik istrinya. (diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari beberapa jalan yang bersumber dari al-Hasan. Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis seperti ini, yang bersumber dari ibnu Juraij dan as-Suddi).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa seorang Ansar menghadap Rasul bersama istrinya. Istrinya berkata: Ya Rosul ia telah memukul saya hingga berbekas di mukaku.” Maka bersabdalah Rasul,: “ia tidak berhak berbuat demikian”.maka turunlah ayat Qs. An-Nisa:34 dalam ketentuan mendidik istri. (diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Ali). Riwayat tersebut saling menguatkan.[9]
2.      Penafsiran ayat menurut Mufasir
Secara jelasnya bahwa Tantowi Jauhari menafsirkan ayat di atas tentang kepemimpinan dalam ruang lingkup keluarga. Pada dasarnya yang menjadi pemimpin dalam sebuah keluarga adalah suami yang sering dikatakan sebagai kepala keluarga. Kepemimpinan laki-laki atas perempuan sejatinya bukan merupakan keagungan atau kelebihan laki-laki atas perempuan.[10] Kepemimpinan tersebut harus dipahami sebagai bentuk tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan. Keutamaan laki-laki yang tersurat dalam Q.S an-Nisa ayat 34 harus dipahami bahwa Allah telah melebihkan sesuatu kepada laki-laki atas perempuan sebagaimana Allah telah melebihkan sesuatu kepada perempuan atas laki-laki. Jadi, laki-laki mendapat kelebihan pada hal-hal tertentu demikian pula sebalikanya. Kepemimpinan laki-laki tidak dapat dipahami sebagai kepemimpinan otoriter dan penindasan akan tetapi hanya terbatas pada tanggungjawabnya dalam rumah tangga keluarga sebagai sebuah keniscahyaan dalam masyarakat.[11] Sederhananya bahwa antara laki-laki dengan perempuan punya kelebihan masing-masing dalam memimpin. Laki-laki sebagai suami memenuhi kebutuhan keluarganya dalam bentuk memberikan nafkah, sedangkan perempuan sebagai ibu juga membina anak-anaknya dengan kasih sayangnya yang tidak dimiliki suami. Jelaslah tidak setiap mahluk mampu melakukan semuanya, maka dari itu laki dan perempuan mempunyai peran masing-masing sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Alasan seorang suami yang wajib memberikan nafkan, karena suami lebih aktif dalam bekerja yang diberikan akal pikiran dan kekuatan yang lebih dibandingkan perempuan. Walaupun kenyataan membuktikan bahwa banyak perempuan telah bekerja secara produktif  seperti laki-laki, namun kenyataan lain membuktikan bahwa saat ini laki-laki tetap memgang kendali kepemimpinan atas perempuan. ini membuktikan gagalnya konsep feminis yang mengatakan bahwa financial perempuan dapat menjadikan kendali kepemimpinan berpindah kepada laki-laki. Dalam hal ini, kepemimpinan yang dimaksud bukanlah bersifat otoriter dan zalim akan tetapi tujuan kepemimpinan ini adalah konsistensi untuk menegakkan ajaran Allah. Hal ini juga dapat dipahami dari redaksi Q.S an-Nisa ayat 34 yang tidak berbunyi al-rijal sâdah li an-nisa lebih-lebih lagi, suami tidak dapat ororiter memaksa istrinya meninggalkan agamanya sesuai QS. Al-Baqarah ayat 256.[12]
Kekuatan laki-laki atas perempuan merupakan hukum dasar yang bersifat alami. Perasaan perempuan yang tinggi dan sensitif pada hal-hal yang bersifat psikologis sangat sesuai dengan tugasnya sebagai pendamping anak-anaknya. Setiap perkembangan anak sejak lahir hingga dewasa membutuhkan sosok ibu yang dapat mengerti dan memahami kondisinya. Sifat yang dimiliki seorang perempuan sebagai ibu lebih sesuai dibanding laki-laki sebagai bapak untuk selalu berada di sisi anaknya.[13]
Sejarah mencatat bahwa kehidupan sehari-hari dalam keluarga Nabi yang bersifat kerumahtanggaan diserahkan sepenuhnya kepada istrinya. Setiap pagi Nabi bertanya kepada Aisyah bahwa adakah makanan pagi ini ? Aisyah menjawab : “tidak ada wahai Rasulullah”. Nabi lalu berniat untuk puasa. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi tidak mengetahui persoalan kebutuhan rumah tangganya. Kalau sekiranya dia mengetahui, apa maksud pertanyaan tersebut.[14]
Tidak ada larangan bagi perempuan menduduki satu jabatan baik al-Qur’an maupun hadis, bahkan hal sebaliknya QS. At-Taubah ayat 71-72 menjelaskan bahwa umat Islam baik laki-laki maupun perempuan diharapkan saling membantu dan mendukung untuk melahirkan kemaslahatan umum bagi umat. Sementara an-Nisa ayat 34 hanya terbatas bagi persoalan keluarga sebagaimana dipahami dari sebab turunnya ayat tersebut. Sebagian ulama menjadikan QS an-Nisa ayat 32 sebagai argumentasi bolehnya perempuan menjadi kepala Negara. Sesuai dengan sebab turunnya ayat ini, persoalan kepemimpinan Negara tidak terkait dengat ayat tersebut. Karena ayat ini turun sebagai jawaban atas keinginan para sahabat perempuan, Ummu Salamah untuk menuntut pahala yang sama.[15]
3.      Pendapat Penyusun
“Argumen penyusun mengenai kepemimpinan, bahwa kepemimpinan hak untuk semua manusia. Baik itu laki-laki maupun perempuan. Pada dasarnya manusia dituntut untuk bisa memimpin, minimalnya dapat memimpin diri sendiri. Untuk dapat memimpin diri pribadi haruslah punya dasar dan keahlian. Dasar yang menjadi ushul didapat dari ilmu agama dan keahlian yang menjadi penunjang didapat dari ilmu umum. Karena antara ilmu agama dan ilmu umum harus dapat diintegrasikan sehingga bisa mencapai muhsin sejati yang dapat memimpin. Ketika seorang ingin memimpin maka harus mempunyai dasar dan keahlian. Begitu pula dalam penafsiran QS an-Nisa: 4 yang mengarahkan kepemimpinan dalam rumah tangga. Secara teks bahwa laki-laki yang memang yang berhak memimpin karena kelebihan yang dimilikinya. Namun tidak semua kelebihan dimiliki oleh seorang laki-laki sebagai suami dapat mengerjakan tugas rumah tangga semuanya. Maka dari itu perlu adanya pembagian tugas yang dapat dikerjakan oleh perempuan sebagai seorang ibu. Maka penyusun juga condong terhadap pendapat mufasir bahwa laki-laki sebagai suami memenuhi kebutuhan keluarganya dalam bentuk memberikan nafkah, sedangkan perempuan sebagai ibu juga membina anak-anaknya dengan kasih sayangnya yang tidak dimiliki suami. Dan semua itu haruslah punya dasar dan keahlian sehingga terciptalah keserasian dan keselarasan dalam rumah tangga.”













KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dalam kesetaraan jender mengenai persaksian dan kepemimpinan oleh perempuan dapat diamil kesimpulan. Persaksian yang dilakukan oleh perempuan adalah sejalan dengan evolusi kaum perempuan. Bahwasannya pada zaman jahiliyah kaum perempuan tidak diperbolehkan ikut andil dalam bersaksi dalam jual beli. Kemudian turunlah al-Qur’an yang mengangkat hak wanita mendapat setengah bagian dari laki dalam bersaksi. Faktor perbedaan jumlah kuantitas melihat pekerjaan yang dilakukan, perempuan hanya mengerjakan rumah tangganya tidak terlalu cakap dalam muamalah sedangkan laki laki lebih baik karena memang merupakan tugas laki-laki bergelut dalam bidang muamalah untuk mencari nafkah. Seiring perkembangan zaman ternyata kaum perempuan mampu mensejajarkan dengan laki-laki yaitu perkembangan ilmu yang digeluti perempuan sehingga mengerti terhadap bidang muamalah, maka tidak ada salahnya perempuan untuk bersaksi setara dengan laki-laki dalam kuantitas yang sama.
Begitu pula dalam penafsiran Q.S an-Nisa/4:34 dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam surat tersebut menjelaskan tentang kepemimpinan. Namun kepemimpinan di sini dalam ruang lingkup keluarga. antara laki-laki dan perempuan mempunyai peran masing-masing. Peran yang dimiliki telah dibekali dengan kemampuan masing-masing. Begitu pula kemampuan seorang suami untuk membina keluarga dengan berkewajiban memberikan nafkah, baik itu secara lahir maupun batin. Sedangkan seorang ibu mempunyai kemampuan untuk membina anaknya dengan naluri dan kasih sayang yang tidak dimiliki seorang suami. Jelaslah peran tersebut tidak dapat dilakukan semuanya hanya oleh satu pihak saja. Peran yang dimiliki adalah sebagai keahlian dalam memimpin. Demikianlah antara laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan jender yang sama dalam bidang kepemimpinan.



Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran

Daftar Pustaka
Hasan, Hamka. 2009. Tafsir Jender Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
KHQ Shaleh HAA Dahlan. 2009. Asbabun Nuzul Latar Belakang Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, (Bandung: Dipenogoro.
Lopa, Baharuddin. 2009.  al-Qur’an da Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Muhammad ‘Imarah, at-Tahrir al-Islami li al-Mar’ah.
PDF Tantowi Jauhari. 1343 H. Al-Jawahirul fi Tafsiril Quranil Karim.
Quraish Shihab, perempuan.


[1] Hamka Hasan, Tafsir Jender Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hal. 277.

[2] Ibid.
[3] Quraish Shihab, perempuan, hal. 268.
[4] Ibid., hal. 270.
[5] Ibid., hal-272.
[6] Muhammad ‘Imarah, at-Tahrir al-Islami li al-Mar’ah, hal. 71
[7] Hamka Hasan, loc.it., hal. 284.
[8] PDF Tantowi Jauhari. Al-Jawahirul fi Tafsiril Quranil Karim, 1343 H, juz tsalits hal 39..
[9] KHQ Shaleh HAA Dahlan. Asbabun Nuzul Latar Belakang Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, (Bandung: Dipenogoro, 2009), hal. 137.
[10] Baharuddin Lopa, al-Qur’an da Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), hal
[11] Hamka Hasan, loc. It., hal. 202.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hal. 203
[14] Ibid.
[15] Ibid., hal. 204.

0 comments: