BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi singkat Zamaksyari
Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran
bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa, dan semantik. Semantik diartikan
sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Jadi semantik adalah makna,
membicarakan makna.[1] Diantara
para ahli bahasa Arab yang banyak mengadakan penelitian tentang semantik adalah
Mahmud ibn Umar ibn Muhammad ibn Umar Zamaksyari (467-538 H/1074-1144 M) yang
lebih dikenal dengan sebutan Zamaksyari.
Usaha Zamaksyari dalam kajian makna ini tampak dalam
karyanya yaitu kitab asas al-Balaghah yaitu kamus yang berisikan kumpulan
lafazh-lafazh yang diberi arti hakiki
dan majazi berdasarkan penelitian yang
dilakukannya, dan dalam buku al-faiqfi ghariv al-hadis yaitu kitab yang
memuat matan-matan hadis yang dianggap memiliki lafazh-lafazh yang dianggap
asing kemudian diberi arti yang lebih jelas berdasarkan hasil penelitiannya.
Zamaksyari bermadzhab Hanafi dan berakidah mu’tazilah, ia
bukan hanya sebagai linguis tetapi juga sebagai mufasir. Ia menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan madzhab dan akidahnya, dengan bahasa yang
hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu. Dengan penguasaan bahasa Arab
yang dimilikinya, ia dapat menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
dengan masalah-masalah teologi sesuai dengan petunjuk makna bahasa yang
diperoleh dari hasil kajiannya melalui telaah terhadap syair-syair para
pujangga Arab pada zaman jahili, masa peralihan dari zaman jahili ke Islam.[2]
B. Obyek dan Sumber Kebahasaan
Bahasa Arab yang bisa dijadikan sumber kebahasaan oleh para linguis Arab
klasik dalam kajian bahasa mereka, dapat digolongkan ke dalam empat kelompok,
yaitu bahasa Arba al-Qur’an, bahasa Arab hadis Nabi, bahasa Arab syair, bahasa
Arab prosa.
Tentang bahasa Arab al-Qur’an, semua ahli bahasa Arab sepakat bahwa bahasa
al-Qur’an adalah bahasa Arab yang paling fasih dan bisa dijadikan sumber
kebahasaan, baik yang diriwayatkan secara mutawatir maupun tidak. Sementara
bahasa Arab hadis Nabi, sebagian banyak ahli bahasa Arab menolaknya sebagai
sumber kebahasaan dengan alasan bahwa hadis Nabi boleh diriwayatkan hanya
dengan maknanya dan sebagian perawinya tergolong kalangan muwalladin.[3]
Adapun bahasa Arab syair, seperti telah diinggung di atas, para perawinya
digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok penyair Jahili,
Mukhadram, Islami, dan Muwallad. Semua ulama bahasa Arab sepakat
bahwa syair para penyair dua kelompok pertama bisa dijadikan sumber bahasa Arab
sementara syair kelompok ketiga, sebagian kecil ulama bahasa Arab menolaknya
sebagai sumber kebahasaan, dan syair kelompo keempat smua ulama bahasa Arab
menolaknya sebagai sumber kebahasaan, kecuali Zamaksyari yang membolehkan
mengambil bahasa dari mereka. Sikap Zamaksyari ini sejalan dengan sikap Ibnu
Jinni yang memandang kefasihan bahasa tidak dilihat dari keberadaan penutur
bahasa dalam kurun aktu tertentu semata, tetapi dilihat dari siapa orang yang
menuturkannya atau dilihat kepabilitasnya dalam berbahasa, tanpa memandang
kurun waktu tertentu.[4]
Sikap ulama bahasa Arab dalam
menghadapi bahasa prosa adalah mereka memandang bahasa Arab ada yang dianggap
fasih dan tidak fasih. Kriteria yang mereka gunakan dalam mengukur fasih atau
tidak fasih adalah orisinilitas bahasa Arab atau sejauh mana kedekatan bahasa
Arab itu dari sumber aslinya, yaitu suku Quraisy. Semakin dekat bahasa Arab itu
lahir dari suku Quraisy, maka bahasa Arab itu semakin fasih, dan semakin jauh
bahasa Arab itu muncul dari suku Quraisy, maka semakin jauh pula untuk
dikatakan fasih, mengapa demikian ? karena bahasa Arab yang lahir dari suku
Quraisy jauh dari pengaruh bahasa asing. Alasan demikian diungkapkan pula oluh
Ibnu Khaldun dalam kitabnya al-muqodimah sebagai berikut: “Bahasa
Quraisy adalah bahasa Arab yang paling fasih dan jelas, karena kabilah Quraisy
dari semua arahnya jauh dari wilayah ‘ajam (non Arab). Urutan berikutnya
adalah kabilah Tsaqif, Hudzail, bani Kinanah, Gathafan, Bani Asad dan Bani Tamim.
Adapun kabilah-kabilah yang bertetangga dengan bangsa Persi, Romawi, dan
Habasyah, bahasanya tidak lagi murni dan tidak bisa dijadikan sumber kebahasaan
oleh beberapa ahli bahasa.
Lalu apa obyek kajian bahasa dan
dari mana sumber yang digunakan Zamaksyari dalam meneliti bahasa Arab dalam
bidang makna atau semantic, sehingga beliau bakukan dalam kitab-kitab
kebahasaaan atau dalam kitab tafsir monumentalnya yang penuh dengan tafsir dan
takwil kebahasaan.
Seperti diketahui Zamaksyari hidup
pada abad kelima-enam hijriah (467-538 H) dalam masyarakat multietnis yang
semuanya berusaha untuk menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pergaulan dan
bahasa ilmu pengetahuan di kalangan mereka. Oleh karena itu, objek kajian
bahasa Arab yang digunakan Zamaksyari tidak lagi bahasa Arab yang didengar
langsung dari penutur suku Arab
pedalaman, seperti yang dilakukan oleh para pakar bahasa Arab klasik semasa
al-Khalil, Sibawaih, dan al-Kisai.[5].
Dalam mukaddimah kitabnya asas
al-Balaghah, disebutkan “ia (asas al-Balaghah) adalah sebuah kitab
yang selalu menjadi buruan hati, harapan yang menghembus kencang dan renungan
tokoh-tokoh terkemuka. Di dalamnya dikaji bahasa Arab yang fasih, yang didengar
orang-orang Arab pedalaman, dari para pujangga Arab klub-klub malam, dan dari
masyarakat Arab lainnya.
Meskipun dalam ungkapan di
atasdisebutkan “yang didengar dari orang-orang Arab pedalaman” tidak berarti
didengar langsung dari mereka, akan tetapi didengar melalui orang lain, guru
Zamaksyari sendiri, atau tokoh-tokoh linguis Arab di masanya.[6]
Adapun sumber yang digunakan
Zamaksyari dalam mengkaji makna atau semantic dapat diteliti dari beberapa
hasil karyanya, terutama yang membahas masalah kebahasaan, antara lain asas
al-Balaghah, almustasqha fi Amstal al-Arab dan al-Mufashal fi ilm lughah. Dalam
karya-karya itu, Zamaksyari menyebutkan tokoh-tokoh dan pujangga Arab dari
kelompok pertama, kedua, ketiga, atau keempat.[7]
C.
Metode Kajian
Ada tiga macam metode yang biasa
digunakan para linguis dalam mengkaji masalah bahasa pada umumnya dan masalah
makna atau semantik pada khususnya, tak terkecuali dalam kajian bahasa Arab
atau semantiknya. Ketiga metode ini adalah diakronik, sinkronik, dan
komparatif. Yang masing-masing memiliki langkah-langkah, objek kajian, dan
tujuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Untuk mengethui metode apa yang
digunakanZamaksyari dalam mengkaji masalah makna, maka perlu ditelusuri
terlebih dahulu langkah-langkah yang ditempuh beliau dalam mengadakan kajan
itu, serta obyek dan tujuannya. Secara umum, metode kajian semantic yang
digunakan Zamaksyari adalah metode deskriptif. Namun untuk memastikan apakah
metode yang digunakan betul-betul murnu desktiptif atau ada unsure historiknya,
di sini akan dikemukakan cirri-ciri khusus metode desktiptif ini sebagai
berikut:[8]
a.
Metode
ini menggunakan criteria yang sama dalam menganalisis suatu struktur bahasa.
b.
Metode
ini menjelaskan dan menginterpretasikan unsure-unsur bahasa atas dasar
ketentuan yang jelas dan sederhana.
c.
Obyek
dalam membuktikan kebenaran suatu asumsi.
d.
Bahasa
sebagai obyek yang diseskripsikan, bukan sebagai Qawaid yang memberikan
penuilaian “ini boleh” “ini tidak boleh”(evaluative, subyektif).
e.
Kajian
bahasa dibatasi pada suatu fase tertentu dari kehidupan suatu bahasa sebagai
obyek peneliti, yang hasilnya dapat dideskripikan, lalu secara induktif
dirumuskan apa yang disebut sebagai “pedoman” yang tidak nomatif.
f.
Memperhatikan
cirri-ciri khsus tadi dan melihat fakta-fakta
kegiatan kajian makna yang dilakukan Zamaksyari, maka metode yang
digunakannya dalam kajian makna bahasa Arab (semantik) mengarah pada metode
deskriptif.[9]
D.
Ruang Lingkup Kajian Semantik
Kajian bahasa Zamaksyari, seperti halnya para linguis arab
sebelumnya, tidak terbatas pada satu aspek bahasa saja. Seperti terlihat dari
karya-karyanya, ia membahasa semua aspek bahasa, baik segi ashwath (fonologi),
sharf (morfologi), nahw (sintaksis), maupun ma’na (semantik)
dan mu’jami (lexikologi). Dr Muhammad Izz al-Din al-Syadiy, mengomentari
keilmuan Zamaksyari.
Khusus dalam bidang bahasa, seperti tampak dalam kitabnya, ia tidak
hanya membahas masalah hahw dengan berbagai masalahnya, tetapi juga
dibahas aspek makna dari berbagai ruang lingkupnya, baik makma dalam tingkat
fonem (bunyi), tingkat morfologi (sharf), maupun sintaksis (nahw).[10]
Pertama, kajian makna
atau semantic dalam lingkup bunyi Zamaksyari tidak secara khusus membahas
masalah ini, dan tidak secara tegas
membahas masalah bunyi dalam bentuk fonem, stress, atau intonasi.
Namun secara tersirat ia mengakui bahwa fonem dapat membedakan makna kata. Hal
ini dapat dilihat dalam kajiannya tentang ism al-zaman dan ism
al-makan seperti ungkapannya sebagai berikut:
وما
بنى من الثلاث ي المزيد فيه والرباع ي فعلى لفظ اسم المفعول كا المد خل والمخرج
والمغار فى قوله: وما هي الا فى إزار وعلقه مغار ابن همام على حي خثعا
“Perempuan itu hanya memakai kain dan baju pendek sampai batas pusat, sewaktu penyerangan Ibn
Hamman terhadap kabilah ini.”
Pada contoh di atas terdapat kata مخرج intuk menunjukan makna tempat /saat keluar
yang dibentuk dari kata اخررج dan satu bentuk dengan
isim mafulnya. Karena itu akan berubah artinya, bila huruf mim nya dibaca
fathah sehingga diucapkan مخرج meskipun masih menunjukkan tempat atau waktu. Namun
berarti kata itu berasal dari kata dasar خرج . begitu juga dari kata مخرج yang berarti tempat/waktu
mengeluarkan atau yang dikeluarkan bila huruf ra-nya dibaca kasrah sehingga
dibaca مخرج maka akan bermakna yang
mengeluarkan.
Dari contoh di atas jelas bahwa perubahan harakat (vokal) dalam suatu kata dari
fathah ke kasroh atau dari fathah ke dhamah akan mengubah makna itu.
Lebih-lebih bila perubahan itu terjadi pada bunyi konsonan seperti;
خرج x حرج
خرج x خلج
خرج x خرب
Jadi jelas-jelas bahwa harakat (vokal) maupun huruf (konsonan), diakui oleh
Zamaksyari sbagai satuan bunyi yang dapat membedakan arti suatu kata dengan
kata lainnya. Istilah ini dalam kajian linguistik modern disebut fonem. Hanya
saja dalam beberapa kajian bunyi bahasa Arab secara murni maupun dalam
kaitannya dengan semantik. Zamaksyari tidak menyinggung masalah stress atau
nabr sama sekali ini mungkin karena masalah stress dalam bahasa Arab,
lebih-lebih pada masanya, masih belum jelas dan masih diperselisihkan letaknya,
dan sress dalam bahasa Arab bukan merupakan fonem yang dapat membedakan arti
kata.[11]
Kedua, kajian makna dalam ruang lingkup morfologi
(sharaf), Zamaksyari membahasnya secara panjang lebar, terutama dalam bukunya al-Mufashshal
fi Ilm al-Lughoh, antara lain ia mengatakan sebagai berikut:
وتفعل يجىء مطاوع فعل, نحو كسرته فتكسر, وقطعته فتقطع,
وبمعنى التكلف نحو تشجع وتصبروتحلم وتمرأ
وتفاعل لما يكون من اثنين فصا عدا, نحو تضارب وتضاربوا
ويجىء ليريك الفاعل انه فى حال ليس فيها نحو تغافلت وتعاميت وتجاهلت
وافعل للتعدية فى الأكثر نحو أجلسه
Dari ungkapan-ungkapan Zamaksyari di atas, ia
secara tidak langsung menjelaskan bahwa ada fungsi makna morfem muqayyad atau
zawa’id dalam suatu kata, seperti dalam contoh:
a. كسر menjadi تكسر dengan tambahan ta’ dan syiddah sebagai
morfem muqayyad yang mempunyai makna muthawaah (dengan sendirinya). Atau
morfem muqayyad berupa ta dan Syiddah berupa pola تفعل tadi mengandung makna memaksakan seperti dalam
contoh.
b. ضرب menjadi تضارب dengan tha atau alif sebagai morfum mukaayyad yang mempunyai makna
saling atau respirok antara dua belah pihak atau lebih. Morfem ta dan alif tadi
mengandung pengertian sikap pura-pura.
c. جلس menjadi اجلس dengan tambahan
hamzah qath’i sebagai morfem muqayyad yang mengandung maka tranitif.
Begitulah salah satu beliau dalam mengkaji masalah semantic atau ma’na
dalam lingkup morfem atau sharf.
Ketiga, kajian makna dalam ruang lingkup sintaksis (nahw). Beliau
mengupasnya seperti dalam uraian berikut:
Bila kita kita membicarakan
nahw,maka terbayang dalam ingatan kita hal-hal yang berkaitan dengan I’rab
rafa, nashab, jar atau jazm. Padahal nahw tidak membicarakn
masalah irab. Nahw membahas juga masalah muthabaqah, taqdim, takhir,
tartib al-kalimat,zaman dan sebagainya. Namun, kalau kita telaah buku-buku
nahw, akan dijumpai bab-bab yang berkaitan dengan irab.[12]
Cara ini berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh Zamaksyari dalam mengkaji masalah nahw. Beliau, meski membahas
irab akan tetapi awamil itu dikelompokkan dan dijelaskan sesuai fungsi
atau ma’na-nya dalam kalimat misalkan ketika beliau menjelaskan ليس yang biasa dalam buku nahw disebutkan:
ليس من اخوات كان, ترفع الاسم وتنصب الخير وليس معناه نفي
مضمون الجملة فى الحال, تقول ليس زيدقاءما الان ولا تقول ليس زيد قاءما غدا
Dalam ungkapan tadi, Zamaksyari tidak
menjelaskan amal fiil sebagaiman kebiasaan para ahli nahw, tetapi beliau
menerangkan makna dan fungsinya dalam kalimat, yaitu menafikan isi kandungan
kalimat untuk masa sekarang.
Zamaksyari dalam mengkaji masalah semantik dalam berbagai aspek kebahasaan
, baik aspek bunyi, morfologi maupun sintaksis. Namun satu hal yang sangat
penting dalam kajiannya mengenai makna atau semantik adalah kajian makna kata
dan kalimat dalam konteks.[13]
E.
Penafsiran Terhadap Ayat Ketuhidan
Zamaksyari sebagai seorang tokoh Mu’tazilah yang lebih menonjol
penguasaannya dalam bidang bahasa dan tafsir, dalam menafsirkan ayat tentang
ketauhidan, ia gunakan makna kebahasaan sebagai dasar untuk memperkuat
penafsirannya di samping dasar lainnya. Berikut contoh dikemukakan di bawah
ini;
a. Penafsiran ayat 5 surat Taha yang berbunyi:
الر حمن على الراستوا
Ia mengatakan:
“Karena mengartikan bertempat (الاستواء ) di atas ‘Arasy
(sianggasana kerajaan) adalah sebagai akibat menguasai, mereka menganggap kata استوا adalah kata kiasaan dari pengertian
memiliki/menguasai, seperti dikatakan:
استوى فلان على العرش (seseorang menduduki singgasana), maksudnya
adalah seseorang menguasai singgasana, meskipun ia tidak pernah duduk di
sianggsana itu”
Dalam ayat di atas Zamaksyari mencoba menafsirkan ayat yang mengandung
pengertian anthropomorphisme atau tajsim dengan menggunakan makna
majazi dari salah satu kata yang terkandung di dalamnya, sehingga maksud
dari ayat itu dapat dipahami secara rasional dan dapat memurnikan ke-Maha Esaan
Allah.
b. Penafsiran ayat 143 surat al-A’raf
ولما جاء موسى لميقا تنا وكلمة ربه قال رب أرنى أنظر اليك
Dia menafsirkan kalimat yang bergaris bawah
pada ayat di atas sebagai berikut.
“ia (Musa) diajak bicara Tuhannya, tanpa
perantara seperti ia bicara dengan malaikat. Mengajak bicara artinya ia
menciptakan pembicaraan (kalam) sesuatu yang dapat diucapkan dalam bentuk fisik
seperti yang Ia ciptakan tertulis di al-Lauh.”
Penafsiran ini tegas-tegas menyatakansikap zamaksyari bahwa kalam itu
diciptakan, karena dapat dirasakan oleh manusia, yang sekaligus meniadakan
sifat kalam yang qadim di luar zat Allah. Pemahaman ini juga sejalan dengan makna kalam yang berasal dari kata Baa
yang dijelaskan Zamaksyari sebagai berikut:
“Aku Mendengar ia berbicara demikian, aku
mengajak bicara kepadanya dan Allah berdialog dengannya,.... Musa adalah kalim
Allah”
Bila dilihar ddari makna kata yang berasal
dari kata كلم yang diungkapan Zamaksyari,
ungkapan وموسى كليمالله maksudnya bisa berarti bahwa Musa
adalah orang yang diajak bicara oleh Allah, atau Musa adalah orang yang diuji
Allah sebab kata كليم adalah bentuk isim
maf’ul كلم
يكلم kata ini bisa
dipakai dalam bentuk hakiki dan majazi.[14]
BAB III
KESIMPULAN
Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi
fonologi, tata bahasa, dan semantik. Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa
yang mempelajari makna. Jadi semantik adalah makna, membicarakan makna.
Diantara para ahli bahasa Arab yang banyak mengadakan penelitian tentang
semantik adalah Mahmud ibn Umar ibn Muhammad ibn Umar Zamaksyari (467-538
H/1074-1144 M) yang lebih dikenal dengan sebutan Zamaksyari.
Bahasa Arab yang bisa dijadikan sumber kebahasaan oleh para linguis Arab
klasik dalam kajian bahasa mereka, dapat digolongkan ke dalam empat kelompok,
yaitu bahasa Arba al-Qur’an, bahasa Arab hadis Nabi, bahasa Arab syair, bahasa
Arab prosa.
objek kajian bahasa Arab yang digunakan Zamaksyari tidak lagi bahasa Arab
yang didengar langsung dari penutur suku
Arab pedalaman, seperti yang dilakukan oleh para pakar bahasa Arb klasik semasa
al-Khalil, Sibawaih, dan al-Kisai.
Ada tiga macam metode yang biasa digunakan para linguis dalam mengkaji
masalah bahasa pada umumnya dan masalah makna atau semantik pada khususnya, tak
terkecuali dalam kajian bahasa Arab atau semantiknya. Ketiga metode ini adalah diakronik, sinkronik, dan komparatif. Yang
masing-masing memiliki langkah-langkah, objek kajian, dan tujuan yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya.
Khusus dalam bidang bahasa, seperti
tampak dalam kitabnya, ia tidak hanya membahas masalah hahw dengan
berbagai masalahnya, tetapi juga dibahas aspek makna dari berbagai ruang
lingkupnya, baik makma dalam tingkat fonem (bunyi), tingkat morfologi (sharf),
maupun sintaksis (nahw).
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
DAFTAR PUSTAKA
Asas al-Balaghah.
Djajasudarma,T.Fatimah.1993. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Erasco.
Matsna, Moh. 2006. Orientasi semantic Zamaksyari. Jakarta:
Anglo Media.
Zakaria, Mishel .1992. al-alSuniyyah Mahadiuha wa A lamuha. Beirut:
al-Muassasah al-Jamiiyah.
Zamaksyari, al-Kasyaf.
Zamaksyari. Tt. al-Mufashal fi ilm al-Lughah. Beirut: Dar
Ihya alUlum.
[1]
T.Fatimah Djajasudarma, Semantik
I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Erasco, 1993), cet. Ke 1 hal. 1
[2]
Moh. Matsna, Orientasi semantic Zamaksyari, (Jakarta: Anglo Media,
2006), hal. 19.
[3]
Ibid., hal. 92.
[4]
Ibid., hal.
[5]
Asas al-Balaghah, op.Cit., hal. 7
[6]
Ibid, hal. 93
[7]
Ibid. Hal. 94.
[8]
Mishel Zakaria, al-alSuniyyah Mahadiuha wa A lamuha, (Beirut: al-Muassasah
al-Jamiiyah, 1992), hal. 142.
[9]
Moh. Matsna, op.cit., hal. 97.
[10]
Zamaksyari, al-Mufashal fi ilm al-Lughah, (Beirut: Dar Ihya alUlum, tt),
hal. 6.
[11]
Ibid.
[12]
Ibid.
[13]
Ibid. hal. 45
[14]
Zamaksyari, al-Kasyaf/I, hal. 582.
0 comments:
Post a Comment