اَهْلاًوَسَهْلاً

Sunday, 5 January 2014

Kajian Semantik Zamaksyari


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi singkat Zamaksyari
Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa, dan semantik. Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Jadi semantik adalah makna, membicarakan makna.[1] Diantara para ahli bahasa Arab yang banyak mengadakan penelitian tentang semantik adalah Mahmud ibn Umar ibn Muhammad ibn Umar Zamaksyari (467-538 H/1074-1144 M) yang lebih dikenal dengan sebutan Zamaksyari.
Usaha Zamaksyari dalam kajian makna ini tampak dalam karyanya yaitu kitab asas al-Balaghah yaitu kamus yang berisikan kumpulan lafazh-lafazh yang diberi arti  hakiki dan majazi  berdasarkan penelitian yang dilakukannya, dan dalam buku al-faiqfi ghariv al-hadis yaitu kitab yang memuat matan-matan hadis yang dianggap memiliki lafazh-lafazh yang dianggap asing kemudian diberi arti yang lebih jelas berdasarkan hasil penelitiannya.
Zamaksyari bermadzhab Hanafi dan berakidah mu’tazilah, ia bukan hanya sebagai linguis tetapi juga sebagai mufasir. Ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan madzhab dan akidahnya, dengan bahasa yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu. Dengan penguasaan bahasa Arab yang dimilikinya, ia dapat menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah-masalah teologi sesuai dengan petunjuk makna bahasa yang diperoleh dari hasil kajiannya melalui telaah terhadap syair-syair para pujangga Arab pada zaman jahili, masa peralihan dari zaman jahili ke Islam.[2]






B.     Obyek dan Sumber Kebahasaan
Bahasa Arab yang bisa dijadikan sumber kebahasaan oleh para linguis Arab klasik dalam kajian bahasa mereka, dapat digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu bahasa Arba al-Qur’an, bahasa Arab hadis Nabi, bahasa Arab syair, bahasa Arab prosa.
Tentang bahasa Arab al-Qur’an, semua ahli bahasa Arab sepakat bahwa bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab yang paling fasih dan bisa dijadikan sumber kebahasaan, baik yang diriwayatkan secara mutawatir maupun tidak. Sementara bahasa Arab hadis Nabi, sebagian banyak ahli bahasa Arab menolaknya sebagai sumber kebahasaan dengan alasan bahwa hadis Nabi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya dan sebagian perawinya tergolong kalangan muwalladin.[3]
Adapun bahasa Arab syair, seperti telah diinggung di atas, para perawinya digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok penyair Jahili, Mukhadram, Islami, dan Muwallad. Semua ulama bahasa Arab sepakat bahwa syair para penyair dua kelompok pertama bisa dijadikan sumber bahasa Arab sementara syair kelompok ketiga, sebagian kecil ulama bahasa Arab menolaknya sebagai sumber kebahasaan, dan syair kelompo keempat smua ulama bahasa Arab menolaknya sebagai sumber kebahasaan, kecuali Zamaksyari yang membolehkan mengambil bahasa dari mereka. Sikap Zamaksyari ini sejalan dengan sikap Ibnu Jinni yang memandang kefasihan bahasa tidak dilihat dari keberadaan penutur bahasa dalam kurun aktu tertentu semata, tetapi dilihat dari siapa orang yang menuturkannya atau dilihat kepabilitasnya dalam berbahasa, tanpa memandang kurun waktu tertentu.[4]
Sikap ulama bahasa Arab dalam menghadapi bahasa prosa adalah mereka memandang bahasa Arab ada yang dianggap fasih dan tidak fasih. Kriteria yang mereka gunakan dalam mengukur fasih atau tidak fasih adalah orisinilitas bahasa Arab atau sejauh mana kedekatan bahasa Arab itu dari sumber aslinya, yaitu suku Quraisy. Semakin dekat bahasa Arab itu lahir dari suku Quraisy, maka bahasa Arab itu semakin fasih, dan semakin jauh bahasa Arab itu muncul dari suku Quraisy, maka semakin jauh pula untuk dikatakan fasih, mengapa demikian ? karena bahasa Arab yang lahir dari suku Quraisy jauh dari pengaruh bahasa asing. Alasan demikian diungkapkan pula oluh Ibnu Khaldun dalam kitabnya al-muqodimah sebagai berikut: “Bahasa Quraisy adalah bahasa Arab yang paling fasih dan jelas, karena kabilah Quraisy dari semua arahnya jauh dari wilayah ‘ajam (non Arab). Urutan berikutnya adalah kabilah Tsaqif, Hudzail, bani Kinanah, Gathafan, Bani Asad dan Bani Tamim. Adapun kabilah-kabilah yang bertetangga dengan bangsa Persi, Romawi, dan Habasyah, bahasanya tidak lagi murni dan tidak bisa dijadikan sumber kebahasaan oleh beberapa ahli bahasa.
Lalu apa obyek kajian bahasa dan dari mana sumber yang digunakan Zamaksyari dalam meneliti bahasa Arab dalam bidang makna atau semantic, sehingga beliau bakukan dalam kitab-kitab kebahasaaan atau dalam kitab tafsir monumentalnya yang penuh dengan tafsir dan takwil kebahasaan.
Seperti diketahui Zamaksyari hidup pada abad kelima-enam hijriah (467-538 H) dalam masyarakat multietnis yang semuanya berusaha untuk menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pergaulan dan bahasa ilmu pengetahuan di kalangan mereka. Oleh karena itu, objek kajian bahasa Arab yang digunakan Zamaksyari tidak lagi bahasa Arab yang didengar langsung  dari penutur suku Arab pedalaman, seperti yang dilakukan oleh para pakar bahasa Arab klasik semasa al-Khalil, Sibawaih, dan al-Kisai.[5].
Dalam mukaddimah kitabnya asas al-Balaghah, disebutkan “ia (asas al-Balaghah) adalah sebuah kitab yang selalu menjadi buruan hati, harapan yang menghembus kencang dan renungan tokoh-tokoh terkemuka. Di dalamnya dikaji bahasa Arab yang fasih, yang didengar orang-orang Arab pedalaman, dari para pujangga Arab klub-klub malam, dan dari masyarakat Arab lainnya.
Meskipun dalam ungkapan di atasdisebutkan “yang didengar dari orang-orang Arab pedalaman” tidak berarti didengar langsung dari mereka, akan tetapi didengar melalui orang lain, guru Zamaksyari sendiri, atau tokoh-tokoh linguis Arab di masanya.[6]
Adapun sumber yang digunakan Zamaksyari dalam mengkaji makna atau semantic dapat diteliti dari beberapa hasil karyanya, terutama yang membahas masalah kebahasaan, antara lain asas al-Balaghah, almustasqha fi Amstal al-Arab dan al-Mufashal fi ilm lughah. Dalam karya-karya itu, Zamaksyari menyebutkan tokoh-tokoh dan pujangga Arab dari kelompok pertama, kedua, ketiga, atau keempat.[7]
C.    Metode Kajian
Ada tiga macam metode yang biasa digunakan para linguis dalam mengkaji masalah bahasa pada umumnya dan masalah makna atau semantik pada khususnya, tak terkecuali dalam kajian bahasa Arab atau semantiknya. Ketiga metode ini adalah diakronik, sinkronik, dan komparatif. Yang masing-masing memiliki langkah-langkah, objek kajian, dan tujuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Untuk mengethui metode apa yang digunakanZamaksyari dalam mengkaji masalah makna, maka perlu ditelusuri terlebih dahulu langkah-langkah yang ditempuh beliau dalam mengadakan kajan itu, serta obyek dan tujuannya. Secara umum, metode kajian semantic yang digunakan Zamaksyari adalah metode deskriptif. Namun untuk memastikan apakah metode yang digunakan betul-betul murnu desktiptif atau ada unsure historiknya, di sini akan dikemukakan cirri-ciri khusus metode desktiptif ini sebagai berikut:[8]

a.       Metode ini menggunakan criteria yang sama dalam menganalisis suatu struktur bahasa.
b.      Metode ini menjelaskan dan menginterpretasikan unsure-unsur bahasa atas dasar ketentuan yang jelas dan sederhana.
c.       Obyek dalam membuktikan kebenaran suatu asumsi.
d.      Bahasa sebagai obyek yang diseskripsikan, bukan sebagai Qawaid yang memberikan penuilaian “ini boleh” “ini tidak boleh”(evaluative, subyektif).
e.       Kajian bahasa dibatasi pada suatu fase tertentu dari kehidupan suatu bahasa sebagai obyek peneliti, yang hasilnya dapat dideskripikan, lalu secara induktif dirumuskan apa yang disebut sebagai “pedoman” yang tidak nomatif.
f.       Memperhatikan cirri-ciri khsus tadi dan melihat fakta-fakta  kegiatan kajian makna yang dilakukan Zamaksyari, maka metode yang digunakannya dalam kajian makna bahasa Arab (semantik) mengarah pada metode deskriptif.[9]
D.    Ruang Lingkup Kajian Semantik
Kajian bahasa Zamaksyari, seperti halnya para linguis arab sebelumnya, tidak terbatas pada satu aspek bahasa saja. Seperti terlihat dari karya-karyanya, ia membahasa semua aspek bahasa, baik segi ashwath (fonologi), sharf (morfologi), nahw (sintaksis), maupun ma’na (semantik) dan mu’jami (lexikologi). Dr Muhammad Izz al-Din al-Syadiy, mengomentari keilmuan Zamaksyari.
Khusus dalam bidang bahasa, seperti tampak dalam kitabnya, ia tidak hanya membahas masalah hahw dengan berbagai masalahnya, tetapi juga dibahas aspek makna dari berbagai ruang lingkupnya, baik makma dalam tingkat fonem (bunyi), tingkat morfologi (sharf), maupun sintaksis (nahw).[10]
Pertama, kajian makna atau semantic dalam lingkup bunyi Zamaksyari tidak secara khusus membahas masalah ini,  dan tidak secara tegas membahas masalah bunyi dalam bentuk fonem, stress, atau intonasi. Namun secara tersirat ia mengakui bahwa fonem dapat membedakan makna kata. Hal ini dapat dilihat dalam kajiannya tentang ism al-zaman dan ism al-makan seperti ungkapannya sebagai berikut:
وما بنى من الثلاث ي المزيد فيه والرباع ي فعلى لفظ اسم المفعول كا المد خل والمخرج والمغار فى قوله: وما هي الا فى إزار وعلقه مغار ابن همام على حي خثعا
“Perempuan itu hanya memakai kain dan baju pendek  sampai batas pusat, sewaktu penyerangan Ibn Hamman terhadap kabilah ini.”
Pada contoh di atas terdapat kata مخرج intuk menunjukan makna tempat /saat keluar yang dibentuk dari kata اخررج dan satu bentuk dengan isim mafulnya. Karena itu akan berubah artinya, bila huruf mim nya dibaca fathah sehingga diucapkan مخرج meskipun masih menunjukkan tempat atau waktu. Namun berarti kata itu berasal dari kata dasar خرج . begitu juga dari kata مخرج yang berarti tempat/waktu mengeluarkan atau yang dikeluarkan bila huruf ra-nya dibaca kasrah sehingga dibaca مخرج maka akan bermakna yang mengeluarkan.
Dari contoh di atas jelas bahwa perubahan  harakat (vokal) dalam suatu kata dari fathah ke kasroh atau dari fathah ke dhamah akan mengubah makna itu. Lebih-lebih bila perubahan itu terjadi pada bunyi konsonan seperti;
خرج  x  حرج
خرج  x  خلج
خرج  x  خرب
Jadi jelas-jelas bahwa harakat (vokal) maupun huruf (konsonan), diakui oleh Zamaksyari sbagai satuan bunyi yang dapat membedakan arti suatu kata dengan kata lainnya. Istilah ini dalam kajian linguistik modern disebut fonem. Hanya saja dalam beberapa kajian bunyi bahasa Arab secara murni maupun dalam kaitannya dengan semantik. Zamaksyari tidak menyinggung masalah stress atau nabr sama sekali ini mungkin karena masalah stress dalam bahasa Arab, lebih-lebih pada masanya, masih belum jelas dan masih diperselisihkan letaknya, dan sress dalam bahasa Arab bukan merupakan fonem yang dapat membedakan arti kata.[11]
Kedua, kajian makna dalam ruang lingkup morfologi (sharaf), Zamaksyari membahasnya secara panjang lebar, terutama dalam bukunya al-Mufashshal fi Ilm al-Lughoh, antara lain ia mengatakan sebagai berikut:
وتفعل يجىء مطاوع فعل, نحو كسرته فتكسر, وقطعته فتقطع, وبمعنى التكلف نحو تشجع وتصبروتحلم وتمرأ
وتفاعل لما يكون من اثنين فصا عدا, نحو تضارب وتضاربوا ويجىء ليريك الفاعل انه فى حال ليس فيها نحو تغافلت وتعاميت وتجاهلت
وافعل للتعدية فى الأكثر نحو أجلسه
Dari ungkapan-ungkapan Zamaksyari di atas, ia secara tidak langsung menjelaskan bahwa ada fungsi makna morfem muqayyad atau zawa’id dalam suatu kata, seperti dalam contoh:
a.       كسر  menjadi تكسر   dengan tambahan ta’ dan syiddah sebagai morfem muqayyad yang mempunyai makna muthawaah (dengan sendirinya). Atau morfem muqayyad berupa ta dan Syiddah berupa pola تفعل  tadi mengandung makna memaksakan seperti dalam contoh.
b.      ضرب   menjadi تضارب  dengan tha atau alif  sebagai morfum mukaayyad yang mempunyai makna saling atau respirok antara dua belah pihak atau lebih. Morfem ta dan alif tadi mengandung pengertian sikap pura-pura.
c.       جلس  menjadi اجلس   dengan tambahan hamzah qath’i sebagai morfem muqayyad yang mengandung maka tranitif.
Begitulah salah satu beliau dalam mengkaji masalah semantic atau ma’na dalam lingkup morfem atau sharf.
Ketiga, kajian makna dalam ruang lingkup sintaksis (nahw). Beliau mengupasnya seperti dalam uraian berikut:
Bila kita kita membicarakan nahw,maka terbayang dalam ingatan kita hal-hal yang berkaitan dengan I’rab rafa, nashab, jar atau jazm. Padahal nahw tidak membicarakn masalah irab. Nahw membahas juga masalah muthabaqah, taqdim, takhir, tartib al-kalimat,zaman dan sebagainya. Namun, kalau kita telaah buku-buku nahw, akan dijumpai bab-bab yang berkaitan dengan irab.[12]
Cara ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Zamaksyari dalam mengkaji masalah nahw. Beliau, meski membahas irab akan tetapi awamil itu dikelompokkan dan dijelaskan sesuai fungsi atau ma’na-nya dalam kalimat misalkan ketika beliau menjelaskan ليس  yang biasa dalam buku nahw disebutkan:
ليس من اخوات كان, ترفع الاسم وتنصب الخير وليس معناه نفي مضمون الجملة فى الحال, تقول ليس زيدقاءما الان ولا تقول ليس زيد قاءما غدا
     Dalam ungkapan tadi, Zamaksyari tidak menjelaskan amal fiil sebagaiman kebiasaan para ahli nahw, tetapi beliau menerangkan makna dan fungsinya dalam kalimat, yaitu menafikan isi kandungan kalimat untuk masa sekarang.
Zamaksyari dalam mengkaji masalah semantik dalam berbagai aspek kebahasaan , baik aspek bunyi, morfologi maupun sintaksis. Namun satu hal yang sangat penting dalam kajiannya mengenai makna atau semantik adalah kajian makna kata dan kalimat dalam konteks.[13]

E.     Penafsiran Terhadap Ayat Ketuhidan
Zamaksyari sebagai seorang tokoh Mu’tazilah yang lebih menonjol penguasaannya dalam bidang bahasa dan tafsir, dalam menafsirkan ayat tentang ketauhidan, ia gunakan makna kebahasaan sebagai dasar untuk memperkuat penafsirannya di samping dasar lainnya. Berikut contoh dikemukakan di bawah ini;
a.       Penafsiran ayat 5 surat Taha yang berbunyi:
الر حمن على الراستوا
Ia mengatakan:
“Karena mengartikan bertempat (الاستواء ) di atas ‘Arasy (sianggasana kerajaan) adalah sebagai akibat menguasai, mereka menganggap kata استوا adalah kata kiasaan dari pengertian memiliki/menguasai, seperti dikatakan:
استوى فلان على العرش  (seseorang menduduki singgasana), maksudnya adalah seseorang menguasai singgasana, meskipun ia tidak pernah duduk di sianggsana itu”
Dalam ayat di atas Zamaksyari mencoba menafsirkan ayat yang mengandung pengertian anthropomorphisme atau tajsim dengan menggunakan makna majazi dari salah satu kata yang terkandung di dalamnya, sehingga maksud dari ayat itu dapat dipahami secara rasional dan dapat memurnikan ke-Maha Esaan Allah.
b.      Penafsiran ayat 143 surat al-A’raf
ولما جاء موسى لميقا تنا وكلمة ربه  قال رب أرنى أنظر اليك
Dia menafsirkan kalimat yang bergaris bawah pada ayat di atas sebagai berikut.
“ia (Musa) diajak bicara Tuhannya, tanpa perantara seperti ia bicara dengan malaikat. Mengajak bicara artinya ia menciptakan pembicaraan (kalam) sesuatu yang dapat diucapkan dalam bentuk fisik seperti yang Ia ciptakan tertulis di al-Lauh.”
Penafsiran ini tegas-tegas menyatakansikap zamaksyari bahwa kalam itu diciptakan, karena dapat dirasakan oleh manusia, yang sekaligus meniadakan sifat kalam yang qadim di luar zat Allah. Pemahaman ini juga sejalan  dengan makna kalam yang berasal dari kata Baa yang dijelaskan Zamaksyari sebagai berikut:
Aku Mendengar ia berbicara demikian, aku mengajak bicara kepadanya dan Allah berdialog dengannya,.... Musa adalah kalim Allah”
Bila dilihar ddari makna kata yang berasal dari kata كلم yang diungkapan Zamaksyari, ungkapan وموسى كليمالله maksudnya bisa berarti bahwa Musa adalah orang yang diajak bicara oleh Allah, atau Musa adalah orang yang diuji Allah sebab kata كليم adalah bentuk isim maf’ul  كلم يكلم kata ini bisa dipakai dalam bentuk hakiki dan majazi.[14]








BAB III
KESIMPULAN
Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa, dan semantik. Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Jadi semantik adalah makna, membicarakan makna. Diantara para ahli bahasa Arab yang banyak mengadakan penelitian tentang semantik adalah Mahmud ibn Umar ibn Muhammad ibn Umar Zamaksyari (467-538 H/1074-1144 M) yang lebih dikenal dengan sebutan Zamaksyari.
Bahasa Arab yang bisa dijadikan sumber kebahasaan oleh para linguis Arab klasik dalam kajian bahasa mereka, dapat digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu bahasa Arba al-Qur’an, bahasa Arab hadis Nabi, bahasa Arab syair, bahasa Arab prosa.
objek kajian bahasa Arab yang digunakan Zamaksyari tidak lagi bahasa Arab yang didengar langsung  dari penutur suku Arab pedalaman, seperti yang dilakukan oleh para pakar bahasa Arb klasik semasa al-Khalil, Sibawaih, dan al-Kisai.
Ada tiga macam metode yang biasa digunakan para linguis dalam mengkaji masalah bahasa pada umumnya dan masalah makna atau semantik pada khususnya, tak terkecuali dalam kajian bahasa Arab atau semantiknya. Ketiga metode ini adalah diakronik, sinkronik, dan komparatif. Yang masing-masing memiliki langkah-langkah, objek kajian, dan tujuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Khusus dalam bidang bahasa, seperti tampak dalam kitabnya, ia tidak hanya membahas masalah hahw dengan berbagai masalahnya, tetapi juga dibahas aspek makna dari berbagai ruang lingkupnya, baik makma dalam tingkat fonem (bunyi), tingkat morfologi (sharf), maupun sintaksis (nahw).




BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran


DAFTAR PUSTAKA
Asas al-Balaghah.
Djajasudarma,T.Fatimah.1993. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Erasco.
Matsna, Moh. 2006. Orientasi semantic Zamaksyari. Jakarta: Anglo Media.
Zakaria, Mishel .1992. al-alSuniyyah Mahadiuha wa A lamuha. Beirut: al-Muassasah al-Jamiiyah.
Zamaksyari, al-Kasyaf.
Zamaksyari. Tt. al-Mufashal fi ilm al-Lughah. Beirut: Dar Ihya alUlum.



[1] T.Fatimah Djajasudarma, Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Erasco, 1993), cet. Ke 1 hal. 1
[2] Moh. Matsna, Orientasi semantic Zamaksyari, (Jakarta: Anglo Media, 2006), hal. 19.
[3] Ibid., hal. 92.
[4] Ibid., hal.
[5] Asas al-Balaghah, op.Cit., hal. 7
[6] Ibid, hal. 93
[7] Ibid. Hal. 94.
[8] Mishel Zakaria, al-alSuniyyah Mahadiuha wa A lamuha, (Beirut: al-Muassasah al-Jamiiyah, 1992), hal. 142.
[9] Moh. Matsna, op.cit., hal. 97.
[10] Zamaksyari, al-Mufashal fi ilm al-Lughah, (Beirut: Dar Ihya alUlum, tt), hal. 6.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid. hal. 45
[14] Zamaksyari, al-Kasyaf/I, hal. 582.

0 comments: