اَهْلاًوَسَهْلاً

Monday, 28 April 2014

Kitab Kasyifatu Saja



KITAB KASYIFATU SAJA
Karya Syekh Nawawi Bantani


Oleh : Mulya 14113450009
Diajukan untuk Memenuhi Tugas UTS
Mata Kuliah: Studi Hadis Indonesia
Dosen Pengampu: Hj. Liya Aliyah, M.Ag



 













PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2014


KITAB KASYIFATU SAJA
A.    Pengertian Kitab Kasyifatu Saja
Kasyifatu Saja adalah kitab kuning yang menggunakan bahasa Arab yang ditulis oleh ulama salaf sekitar abad pertengahan, kitab tersebut dalam sistematika penulisannya sama dengan kitab kuning yang lain menggunakan kata-kata pasal atau kode sejenis seperti tamimmah, muhimmah, tanbih, far’ dan sebagainya.
Dalam penulisanya kitab Kasyifatu Saja berada di tengah-tengah halaman, karena memang kitab tersebut memuat penjelasan yang panjang dan komprehensif dari pengarang, kitab tersebut merupakan  syarh dari matn kitab Safinatu Naja karangan Salim bin Abdullah bin Samir al-Khudhori. Kitab ini (Kasyifatu Saja) membahas masalah tauhid dan fikh ibadah serta ada pembahasan tentang tasawuf.

B.     Latar belakang Penulisan Kitab Kasyifatu Saja
Sebelum menjelaskan kitab Kasyifatu Saja, alangkah baik menyinggung latar belakang mengapa kitab Safinatu Naja (sebagai matn ) muncul di tengah–tengah masyarakat Islam, atau setidaknya ditulis oleh penulisnya Salim ibn Abdullah ibn Sumir al-Khudhori.
Kitab Safinatu Naja keberadaannya tidak dengan sendirinya, tetapi atas respon terhadap keadaan masyarakat yang terjadi ketika itu. Bahwa penulisnya kitab Safinatu Naja sangat membenci tarekat yang dianggapnya heterodoks, seperti tarekat Sammaniyah yang pada masa itu berkembang di Jakarta dan sekitarnya. Dapat diperkirarakan bahwa kehadiran Safinah pun dimaksudkan untuk mengembalikan ummat pada syari’ah. (Affandi  Mochtar, Tradisi Kitab Kuning sebuah Observasi Umum, 1999, hal. 64.)
Dari informasi di atas dapat dimengerti bahwa (matn) kitab Safinatu Naja yang ditulis oleh Salim ibn Abdullah ibn Sumair al-Khudhori, berisi pengetahuan dasar tentang aqidah dan fiqh ibadah. Maka dari itu Syekh Nawawi mencoba menyeimbangkan dengan memberikan warna menyinggung masalah tawawwuf pada kitab Kasyifatu Saja.

C.     Metode Penulisan dan Karakteristik Kitab Kasyifatu Saja
Metode yang digunakan Syekh Nawawi penulisannya sama dengan kitab kuning yang lain menggunakan kata-kata pasal atau kode sejenis seperti tamimmah, muhimmah, tanbih, far’ dan sebagainya.
Sesuai dengan latar belakang penulisannya bahwa kitab Kasyifatu Saja di samping membahas masalah aqidah dan fiqh ibadah juga menyinggung masalah tasawwuf. Perbedaan aksen antara Nawawi dan Salim bin Samir adalah dalam pendekatan tentang tasawwuf. Salim bin Samir sangat keras menentang tarekat, uraiannya dala Safinatu Naja agak kering, sekalipun dalam bentuknya yang mudah dihafalkan, tetapi kurang langsung mengerakkan hati. Mungkin sebagai kritik manis terhadap sikap ini Nawawi Banten dalam Syarhnya mengutip hadits, yang menguraikan :

 بيا ن ذلك وايضاحه ان للعبد فى عبادته ثلثة مقامات الاول أن يفعلها على الوجه الذي يسقط معه طلب الشر ع بأن تكون مستوفيه الشروط والاركان الثاني أن يفعلها كذلك وقداستغفرق فى بحر المكاشفة حتى كانه يرى الله تعالى وهذا مقامه صلى الله عليه وسلم كما قال صلى االه عليه وسلم وجعلت قرة عيني في الصلاة الثالث ان يفعلها كذلك وقد غلب عليه ان الله تعالى يشاهد وهذا هو مقام المراقبة فقوله فان لم تكن تراه نزول عن مقام الكاشفة الى مقام المراقبة اي إن لم تعبده وانت من اهل الروية فاعبده وانت بحيث تعتقد أنه يراك فكل من المقامات الثلاثة احسان.
Hal ini menjelaskan bahwa seorang dalam hal ibadahnya memiliki tiga maqom. Maqom Pertama: seorang hamba yang melaksanakan ibadah hanya untuk menggugurkan kewajiban/syariat yang disempurnakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Maqom kedua : seorang hamba yang melakukan ibadah disertai dengan syarat-syarat dan rukun yang sempurna dan benar-benar tenggelam dalam lautan mukasyafah hingga dia merasa seakan melihat Allah Swt. yang menduduki maqom ini adalah Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana sabda beliau : “Dan aku menjadikan Dia sebagai kekasihku dalam shalat”. Maqom ketiga seorang hamba melakukan ibadah disertai sebagai syarat-syarat dan rukun-rukun yang sempurna dan benar-benar merasa telah bersatu bahwa Allah menyaksikan dia. Kalimat fa in lam takun taraahu berarti menunjukan penurunan dari maqom  mukasyafah ke maqom muroqobah. Artinya jika kamu tidak menyembahnya dan kamu termasuk ahli ru’yah maka sembahlah Dia seakan kamu yakin bahwa Dia melihatmu. Setiap maqom dari ketiga maqom tersebut dinamakan ihsan. (Abi ‘Abdu al–Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi, Syarh Kasyifatu Saja, hal. 13.)
Dari penjelasan di atas, bahwasanya Nawawi Bantani sesungguhnya tidak melarang tarekat atau tasawwuf , hal ini didasarkan karena sesorang dalam beribadah tidak hanya berpandangan pada syariat atau fiqh oriented, tetapi juga didasarkan pada perasaan hati ketika beribadah seakan-akan menyatu dengan Tuhannya.

D.    Sistematika Kitab Kasyifatu Saja
Adapun sistematika Kitab kasyifatu Saja secara garis besarnya yaitu berbentuk fasal-fasal, di antaranya sebagai berikut :
a.       Pembahasan tauhid meliputi, pendahuluan (muqoddimah), fasal menjelaskan tentang rukun-rukun Islam dan bagian-bagiannya, fasal menjelaskan tentang sesuatu  yang wajib diimani dan dalil-dalil dari hakikat iman, fasal menjelaskan tentang kunci surga (kalimat tauhid), dan fasal menjelaskan tentang balighnya anak (mendekati dewasa/tamyiz) dan waktunya.
b.      Pembahasan thaharah meliputi, fasal menjelaskan tentang istinja (bersuci) dengan batu, fasal tentang wudhu, fasal tentang hukumnya niat, fasal menjelaskan tentang air yang tidak bisa menolak najis dan yang bisa menolak najis (dihukumi najis dan tidak najis ketika terkena najis), fasal tentang hal-hal yang mewajibkan mandi, fasal tentang mandi, fasal tentang syarat-syarat thaharah (bersuci), fasal menjelaskan tentang macam-macam hadas, fasal menjelaskan tentang sesuatu yang diharamkan karena memiliki hadas kecil, fasal tentang lemahnya/terhalang dari mempergunakan air, fasal tentang syarat syahnya tayamum, fasal tentang rukun-rukun tayamum, fasal menjelaskan tentang perubahan dan sucinya sesuatu yang berubah, fasal menjelaskan tentang macam-macamnya najis, fasal menjelaskan tentang cara-cara menghilangkan najis, dan fasal menjelaskan tentang batasan haid dan yang terkait dengannya.
c.       Pembahasan shalat, meliputi : fasal menjelaskan tentang diperbolehkannya oleh syariat untuk mengakhiri shalat dari waktunya dengan adanya sebab-sebab tertentu, fasal tentang syarat syahnya shalat, fasal menjelaskan tentang rukun-rukun shalat, fasal tentang sesuatu yang harus ada di dalam niat, fasal tentang syaratnya tahbiratul ihram, fasal tentang kewajiban-kewajiban  dalam ummul qur’an (membaca al-Fatihah), fasal menjelaskan tentang bilangan tasydid dan letaknya dalam al-Fatihah, fasal menjelaskan tentang tempat-tempatnya mengangkat kedua tangan, fasal tentang kewajiban-kewajiban di dalam sujud, fasal tentang bilangan tasydid dan letaknya dalam tasyahud, fasal tentang tasydid dalam shalawat Nabi Saw, fasal tentang salam (yang disebut juga dengan tahlil ) dan fasal tentang waktu shalat maktubah, fasal tentang waktu yang diharamkan untuk mengerjakan shalat, fasal tentang diam dalam shalat, fasal tentang hal-hal yang berkaitan dengan tuma’ninah, fasal tentang sebab-sebab sujud sahwi dan yang berkaitan dengannya, fasal menjelaskan tentang bilangannya sunnah ab’ad dalam shalat, penutup dan 21 hal yang dimakruhkan dalam shalat, fasal tentang hal-hal yang merusak shalat, fasal menjelaskan tentang shalat yang wajib untuk berniat jama’ah, fasal tentang syarat-syarat menjadi makmum, fasal tentang gambaran yang tepat menjadi makmum dan fasal tentang syarat-syarat diperbolehkannya menjalankan jama’ ta’dim, fasal tentang syarat-syarat diperbolehkannya jama’ ta’hir dan fasal tentang syarat-syaratnya qasar, fasal tentang syarat syahnya melaksanakan shalat jum’at, fasal tentang rukun dua kutbah, dan fasal tentang syarat-syaratnya dua kutbah jum’at.
d.      Pembahasan jenazah/mayyit meliputi : fasal menjelaskan tentang memandikan jenazah, fasal tentang mengkafani jenazah, fasal tentang menshalati jenazah, fasal tentang mengubur jenazah dan yang terkait dengannya hal-hal yang perlu diucapkan ketika mengubur jenazah, dan fasal tentang hal-hal yang mewajibkan menggali jenazah yang sudah dikubur dan fasal macam-macamnya meminta pertolongan dan hukumnya.
e.       Pembahasan zakat meliputi : fasal tentang sesuatu yang wajib dizakati, peringatan-peringatan dan empat waktu wajib zakat dan penutup dan syarat-syarat wajib zakat.
f.       Pembahasan puasa meliputi : fasal tentang hal-hal yang mewajibkan puasa, fasal tentang syarat-syarat syahnya puasa dan syarat wajibnya puasa, fasal tentang rukun-rukun puasa, fasal menjelaskan tentang sesuatu yang mewajibkan kifarat, fasal tentang sesuatu yang merusak puasa, fasal tentang macam-macam orang yang diperbolehkan untuk tidak mengerjakan puasa dan hukumnya dan fasal menjelaskan tentang sesuatu yang tidak membatalkan puasa dari hal-hal yang masuk ke dalam lubang.

E.     Biografi Syekh Nawawī al-Bantani
Syekh Nawawī al-Bantani merupakan salah satu ulama Nusantara yang masyhur dan terkenal. Beliau dikatakan antara tokoh ilmuwan yang turut menguasai semua bidang ilmu. Karya-karya beliau dii'tiraf oleh para ulama yang sezaman dan selepasnya.
Nama sebenar Syekh Nawawī al-Bantani ialah Abu Abd al-Muti Muhammad ibn Umar ibn al-Arabi Ibn Nawawī al-Jawi al-Bantanī al-Tanari. Beliau lebih dikenali dengan nama Muhammad Nawawī al-Bantanī atau Syekh Nawawī. Tokoh ini dilahirkan di sebuah desa Tanara, keamatan Tirtayasa, (sekarang di kampung Pesisir, desa Pedalaman keamatan Tanara berhadapan Masjid Jāmi Syekh Nawawī Bantan) Kabupaten Serang, Propinsi Banten, pada tahun 1815 Masehi bersamaan dengan 1230 H.
Ayahanda beliau bernama K.H. Umar ibn Arabi, merupakan seorang tokoh ulama di kampung Tanara. Dilihat dari silsilah ayah beliau, Syekh Nawawī al-Bantanī merupakan keturunan yang ke-12 daripada Mawlana Sharīf Hidayatullah (Sunan Gunungjati). Keturunan ini mempunyai hubungan nasab dengan putera Mawlana Hasanuddin, Sultan Banten yang pertama. Sementara silsilah Syekh Nawawī daripada pihak ibu yang bernama Zubaydah, juga dikatakan mempunyai hubungan dengan keluarga sultan Banten dan Sunan Gunungjati juga. (Rafiudin Ramli. 1399 H. Sejarah Hidup dan Silsilah Shaykh Muhammad Nawawī)
Ketika berusia 15 tahun, Nawawi pergi ke Mekkah bersama dua orang saudaranya untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung pulang ke Indonesia. Nawawi tetap tinggal di Mekkah. Tiga tahun lamanya Nawawi menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah itu, ia pun kembali ke Indonesia. Lalu, ia mengajar di pesantren ayahnya. Namun di tanah air, ia tidak dapat mengembangkan ilmunya karena saat itu negara Indonesia memang sedang dijajah Belanda. Akhirnya, Nawawi kembali ke Mekkah dan tinggal di daerah Syi’ab ‘Ali.
Nawawi memiliki kecerdasan dan ketekunan yang luar biasa. Hal tersebut menjadikan Nawawi sebagai murid terpandang di Masjidil Haram. Ia akhirnya menjadi Imam Masjidil Haram untuk menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas yang telah berusia lanjut. Nawawi mendapat panggilan Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi.
Syekh Nawawi juga giat menulis buku. Ia termasuk penulis yang banyak melahirkan karya. Ia banyak menulis kitab tentang persoalan agama. Paling tidak, 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf. Beberapa kalangan bahkan menyebutkan bahwa Nawawi telah menulis lebih dari 100 judul buku dari berbagai disiplin ilmu. Sebagian karya Syekh Nawawi diterbitkan di Timur Tengah. Dengan karya-karyanya ini, ia ditempatkan sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga kini. Selanjutnya, kitab-kitabnya itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan di Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga di Timur Tengah.
Nawawi pun dijuluki Imam Nawawi kedua. Nawawi pertama adalah yang menulis Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syahrul Muhadzdzab, Riyadhush Shalihin, dan lain-lain. Ia tetap dipanggil Syekh Nawawi (al-Bantani) bukan Imam Nawawi (ad-Dimasyqi).


Nama Syekh Nawawi pun termasuk salah satu ulama besar abad ke-14 H/19 M. Tentu ini berkat karya Nawawi yang tersebar luas dan ditulis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Berkat kemasyhurannya pula, ia mendapat gelar A’yan ‘Ulama al-Qarn ar-Ram ‘Asyar Li al-Hijrah, al-Imam al-Mullaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Karya Nawawi pun banyak masuk di Indonesia. Hal ini tentu berdampak pada perkembangan wacana keislaman di pesantren. Sejak 1888, kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Jika sebelumnya tidak ditemukan sumber referensi di bidang tafsir, ushul fiqh, dan hadits, sejak saat itu bidang keilmuan tersebut mulai dikaji. Perubahan ini juga tidak terlepas dari jasa tiga ulama Indonesia, yaitu Syekh Nawawi, Syekh Ahmad Khatib, dan Kiai Mahfuz Termas.
Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib ‘Ali, sebuah kawasan di pinggiran Mekkah, pada 25 Syawal 1314 H/1879 M. Ia dimakamkan di Ma’la, Arab Saudi, dekat makam Khadijah binti Khuwailid. Beberapa tahun setelah wafat, pemerintah Kerajaan Saudi berniat memindahkan makam beliau, namun para petugas berwenang segera mengurungkan niatnya. Hal ini karena jenazah Syekh Nawawi al-Bantani dan kain kafannya terlihat masih utuh. Jika pergi ke Mekkah, kita masih bisa berziarah ke makam beliau, di pemakaman umum Ma’la. (serunaihati.blogspot.com/2012/09/biografi-syekh-nawawi-al-bantani)


BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran


0 comments: