KITAB KASYIFATU SAJA
Karya Syekh Nawawi Bantani
Oleh
: Mulya 14113450009
Diajukan untuk Memenuhi
Tugas UTS
Mata Kuliah:
Studi Hadis Indonesia
Dosen Pengampu:
Hj. Liya Aliyah, M.Ag
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
ADAB DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2014
KITAB KASYIFATU SAJA
A.
Pengertian
Kitab Kasyifatu Saja
Kasyifatu
Saja adalah kitab kuning yang menggunakan bahasa Arab yang ditulis oleh
ulama salaf sekitar abad pertengahan, kitab tersebut dalam sistematika
penulisannya sama dengan kitab kuning yang lain menggunakan kata-kata pasal
atau kode sejenis seperti tamimmah, muhimmah, tanbih, far’ dan
sebagainya.
Dalam
penulisanya kitab Kasyifatu Saja berada di tengah-tengah halaman, karena
memang kitab tersebut memuat penjelasan yang panjang dan komprehensif dari
pengarang, kitab tersebut merupakan syarh
dari matn kitab Safinatu Naja karangan Salim bin Abdullah bin
Samir al-Khudhori. Kitab ini (Kasyifatu Saja) membahas masalah tauhid
dan fikh ibadah serta ada pembahasan tentang tasawuf.
B.
Latar
belakang Penulisan Kitab Kasyifatu Saja
Sebelum
menjelaskan kitab Kasyifatu Saja, alangkah baik menyinggung latar
belakang mengapa kitab Safinatu Naja (sebagai matn ) muncul di
tengah–tengah masyarakat Islam, atau setidaknya ditulis oleh penulisnya Salim
ibn Abdullah ibn Sumir al-Khudhori.
Kitab
Safinatu Naja keberadaannya tidak dengan sendirinya, tetapi atas respon
terhadap keadaan masyarakat yang terjadi ketika itu. Bahwa penulisnya kitab Safinatu
Naja sangat membenci tarekat yang dianggapnya heterodoks, seperti
tarekat Sammaniyah yang pada masa itu berkembang di Jakarta dan sekitarnya.
Dapat diperkirarakan bahwa kehadiran Safinah pun dimaksudkan untuk
mengembalikan ummat pada syari’ah. (Affandi
Mochtar, Tradisi Kitab Kuning sebuah Observasi Umum, 1999, hal. 64.)
Dari
informasi di atas dapat dimengerti bahwa (matn) kitab Safinatu Naja yang
ditulis oleh Salim ibn Abdullah ibn Sumair al-Khudhori, berisi pengetahuan
dasar tentang aqidah dan fiqh ibadah. Maka dari itu Syekh Nawawi mencoba
menyeimbangkan dengan memberikan warna menyinggung masalah tawawwuf pada kitab Kasyifatu
Saja.
C.
Metode
Penulisan dan Karakteristik Kitab Kasyifatu Saja
Metode
yang digunakan Syekh Nawawi penulisannya sama dengan kitab kuning yang lain
menggunakan kata-kata pasal atau kode sejenis seperti tamimmah, muhimmah,
tanbih, far’ dan sebagainya.
Sesuai
dengan latar belakang penulisannya bahwa kitab Kasyifatu Saja di samping
membahas masalah aqidah dan fiqh ibadah juga menyinggung masalah tasawwuf.
Perbedaan aksen antara Nawawi dan Salim bin Samir adalah dalam
pendekatan tentang tasawwuf. Salim bin Samir sangat keras menentang tarekat,
uraiannya dala Safinatu Naja agak kering, sekalipun dalam bentuknya yang
mudah dihafalkan, tetapi kurang langsung mengerakkan hati. Mungkin sebagai
kritik manis terhadap sikap ini Nawawi Banten dalam Syarhnya mengutip
hadits, yang menguraikan :
بيا ن
ذلك وايضاحه ان للعبد فى عبادته ثلثة مقامات الاول أن يفعلها على الوجه الذي يسقط
معه طلب الشر ع بأن تكون مستوفيه الشروط والاركان الثاني أن يفعلها كذلك
وقداستغفرق فى بحر المكاشفة حتى كانه يرى الله تعالى وهذا مقامه صلى الله عليه
وسلم كما قال صلى االه عليه وسلم وجعلت قرة عيني في الصلاة الثالث ان يفعلها كذلك
وقد غلب عليه ان الله تعالى يشاهد وهذا هو مقام المراقبة فقوله فان لم تكن تراه
نزول عن مقام الكاشفة الى مقام المراقبة اي إن لم تعبده وانت من اهل الروية فاعبده
وانت بحيث تعتقد أنه يراك فكل من المقامات الثلاثة احسان.
Hal ini menjelaskan bahwa seorang dalam hal ibadahnya memiliki tiga
maqom. Maqom Pertama: seorang hamba yang melaksanakan ibadah hanya untuk
menggugurkan kewajiban/syariat yang disempurnakan dengan syarat-syarat
dan rukun-rukunnya. Maqom kedua : seorang hamba yang melakukan ibadah
disertai dengan syarat-syarat dan rukun yang sempurna dan benar-benar tenggelam
dalam lautan mukasyafah hingga dia merasa seakan melihat Allah Swt. yang
menduduki maqom ini adalah Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana sabda beliau :
“Dan aku menjadikan Dia sebagai kekasihku dalam shalat”. Maqom ketiga seorang
hamba melakukan ibadah disertai sebagai syarat-syarat dan rukun-rukun yang
sempurna dan benar-benar merasa telah bersatu bahwa Allah menyaksikan dia.
Kalimat fa in lam takun taraahu berarti menunjukan penurunan dari maqom mukasyafah ke maqom muroqobah. Artinya
jika kamu tidak menyembahnya dan kamu termasuk ahli ru’yah maka
sembahlah Dia seakan kamu yakin bahwa Dia melihatmu. Setiap maqom dari
ketiga maqom tersebut dinamakan ihsan. (Abi ‘Abdu al–Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi,
Syarh Kasyifatu Saja, hal. 13.)
Dari penjelasan di atas, bahwasanya
Nawawi Bantani sesungguhnya tidak melarang tarekat atau tasawwuf , hal ini
didasarkan karena sesorang dalam beribadah tidak hanya berpandangan pada syariat
atau fiqh oriented, tetapi juga didasarkan pada perasaan hati ketika
beribadah seakan-akan menyatu dengan Tuhannya.
D.
Sistematika
Kitab Kasyifatu Saja
Adapun
sistematika Kitab kasyifatu Saja secara garis besarnya yaitu berbentuk
fasal-fasal, di antaranya sebagai berikut :
a.
Pembahasan
tauhid meliputi, pendahuluan (muqoddimah), fasal menjelaskan tentang
rukun-rukun Islam dan bagian-bagiannya, fasal menjelaskan tentang sesuatu yang wajib diimani dan dalil-dalil dari
hakikat iman, fasal menjelaskan tentang kunci surga (kalimat tauhid), dan fasal
menjelaskan tentang balighnya anak (mendekati dewasa/tamyiz) dan
waktunya.
b.
Pembahasan
thaharah meliputi, fasal menjelaskan tentang istinja (bersuci)
dengan batu, fasal tentang wudhu, fasal tentang hukumnya niat, fasal
menjelaskan tentang air yang tidak bisa menolak najis dan yang bisa menolak
najis (dihukumi najis dan tidak najis ketika terkena najis), fasal tentang
hal-hal yang mewajibkan mandi, fasal tentang mandi, fasal tentang syarat-syarat
thaharah (bersuci), fasal menjelaskan tentang macam-macam hadas, fasal
menjelaskan tentang sesuatu yang diharamkan karena memiliki hadas kecil,
fasal tentang lemahnya/terhalang dari mempergunakan air, fasal tentang syarat
syahnya tayamum, fasal tentang rukun-rukun tayamum, fasal
menjelaskan tentang perubahan dan sucinya sesuatu yang berubah, fasal
menjelaskan tentang macam-macamnya najis, fasal menjelaskan tentang cara-cara
menghilangkan najis, dan fasal menjelaskan tentang batasan haid dan yang
terkait dengannya.
c.
Pembahasan
shalat, meliputi : fasal menjelaskan tentang diperbolehkannya oleh syariat
untuk mengakhiri shalat dari waktunya dengan adanya sebab-sebab tertentu, fasal
tentang syarat syahnya shalat, fasal menjelaskan tentang rukun-rukun shalat, fasal
tentang sesuatu yang harus ada di dalam niat, fasal tentang syaratnya tahbiratul
ihram, fasal tentang kewajiban-kewajiban
dalam ummul qur’an (membaca al-Fatihah), fasal menjelaskan
tentang bilangan tasydid dan letaknya dalam al-Fatihah, fasal
menjelaskan tentang tempat-tempatnya mengangkat kedua tangan, fasal tentang
kewajiban-kewajiban di dalam sujud, fasal tentang bilangan tasydid dan
letaknya dalam tasyahud, fasal tentang tasydid dalam shalawat
Nabi Saw, fasal tentang salam (yang disebut juga dengan tahlil ) dan
fasal tentang waktu shalat maktubah, fasal tentang waktu yang diharamkan
untuk mengerjakan shalat, fasal tentang diam dalam shalat, fasal tentang
hal-hal yang berkaitan dengan tuma’ninah, fasal tentang sebab-sebab
sujud sahwi dan yang berkaitan dengannya, fasal menjelaskan tentang
bilangannya sunnah ab’ad dalam shalat, penutup dan 21 hal yang
dimakruhkan dalam shalat, fasal tentang hal-hal yang merusak shalat, fasal
menjelaskan tentang shalat yang wajib untuk berniat jama’ah, fasal tentang
syarat-syarat menjadi makmum, fasal tentang gambaran yang tepat menjadi makmum
dan fasal tentang syarat-syarat diperbolehkannya menjalankan jama’ ta’dim, fasal
tentang syarat-syarat diperbolehkannya jama’ ta’hir dan fasal tentang
syarat-syaratnya qasar, fasal tentang syarat syahnya melaksanakan shalat
jum’at, fasal tentang rukun dua kutbah, dan fasal tentang syarat-syaratnya dua
kutbah jum’at.
d.
Pembahasan
jenazah/mayyit meliputi : fasal menjelaskan tentang memandikan jenazah, fasal
tentang mengkafani jenazah, fasal tentang menshalati jenazah, fasal tentang
mengubur jenazah dan yang terkait dengannya hal-hal yang perlu diucapkan ketika
mengubur jenazah, dan fasal tentang hal-hal yang mewajibkan menggali jenazah
yang sudah dikubur dan fasal macam-macamnya meminta pertolongan dan hukumnya.
e.
Pembahasan
zakat meliputi : fasal tentang sesuatu yang wajib dizakati,
peringatan-peringatan dan empat waktu wajib zakat dan penutup dan syarat-syarat
wajib zakat.
f.
Pembahasan
puasa meliputi : fasal tentang hal-hal yang mewajibkan puasa, fasal tentang
syarat-syarat syahnya puasa dan syarat wajibnya puasa, fasal tentang
rukun-rukun puasa, fasal menjelaskan tentang sesuatu yang mewajibkan kifarat,
fasal tentang sesuatu yang merusak puasa, fasal tentang macam-macam orang yang
diperbolehkan untuk tidak mengerjakan puasa dan hukumnya dan fasal menjelaskan
tentang sesuatu yang tidak membatalkan puasa dari hal-hal yang masuk ke dalam
lubang.
E.
Biografi Syekh Nawawī al-Bantani
Syekh Nawawī al-Bantani
merupakan salah satu ulama Nusantara yang masyhur dan terkenal. Beliau
dikatakan antara tokoh ilmuwan yang turut menguasai semua bidang ilmu.
Karya-karya beliau dii'tiraf oleh para ulama yang sezaman dan selepasnya.
Nama sebenar Syekh
Nawawī al-Bantani ialah Abu Abd al-Muti Muhammad ibn Umar ibn al-Arabi Ibn
Nawawī al-Jawi al-Bantanī al-Tanari. Beliau lebih dikenali dengan nama Muhammad
Nawawī al-Bantanī atau Syekh Nawawī. Tokoh ini dilahirkan di sebuah desa
Tanara, keamatan Tirtayasa, (sekarang di kampung Pesisir, desa Pedalaman
keamatan Tanara berhadapan Masjid Jāmi Syekh Nawawī Bantan) Kabupaten Serang,
Propinsi Banten, pada tahun 1815 Masehi bersamaan dengan 1230 H.
Ayahanda beliau bernama
K.H. Umar ibn Arabi, merupakan seorang tokoh ulama di kampung Tanara. Dilihat
dari silsilah ayah beliau, Syekh Nawawī al-Bantanī merupakan keturunan yang
ke-12 daripada Mawlana Sharīf Hidayatullah (Sunan Gunungjati). Keturunan ini
mempunyai hubungan nasab dengan putera Mawlana Hasanuddin, Sultan Banten yang
pertama. Sementara silsilah Syekh Nawawī daripada pihak ibu yang bernama
Zubaydah, juga dikatakan mempunyai hubungan dengan keluarga sultan Banten dan
Sunan Gunungjati juga. (Rafiudin
Ramli. 1399 H. Sejarah Hidup dan Silsilah Shaykh Muhammad Nawawī)
Ketika berusia 15 tahun, Nawawi
pergi ke Mekkah bersama dua orang saudaranya untuk menunaikan ibadah haji. Akan
tetapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung pulang ke Indonesia. Nawawi
tetap tinggal di Mekkah. Tiga tahun lamanya Nawawi menggali ilmu dari
ulama-ulama Mekkah. Setelah itu, ia pun kembali ke Indonesia. Lalu, ia mengajar
di pesantren ayahnya. Namun di tanah air, ia tidak dapat mengembangkan ilmunya
karena saat itu negara Indonesia memang sedang dijajah Belanda. Akhirnya,
Nawawi kembali ke Mekkah dan tinggal di daerah Syi’ab ‘Ali.
Nawawi memiliki kecerdasan dan
ketekunan yang luar biasa. Hal tersebut menjadikan Nawawi sebagai murid
terpandang di Masjidil Haram. Ia akhirnya menjadi Imam Masjidil Haram untuk
menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas yang telah berusia lanjut. Nawawi
mendapat panggilan Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi.
Syekh Nawawi juga giat menulis
buku. Ia termasuk penulis yang banyak melahirkan karya. Ia banyak menulis kitab
tentang persoalan agama. Paling tidak, 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam
Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf. Beberapa kalangan bahkan
menyebutkan bahwa Nawawi telah menulis lebih dari 100 judul buku dari berbagai
disiplin ilmu. Sebagian karya Syekh Nawawi diterbitkan di Timur Tengah. Dengan
karya-karyanya ini, ia ditempatkan sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga
kini. Selanjutnya, kitab-kitabnya itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan
agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan di Malaysia, Filipina,
Thailand, dan juga di Timur Tengah.
Nawawi pun dijuluki Imam Nawawi
kedua. Nawawi pertama adalah yang menulis Syarah Shahih Muslim, Majmu’
Syahrul Muhadzdzab, Riyadhush Shalihin, dan lain-lain. Ia tetap dipanggil
Syekh Nawawi (al-Bantani) bukan Imam Nawawi (ad-Dimasyqi).
Nama Syekh Nawawi pun termasuk
salah satu ulama besar abad ke-14 H/19 M. Tentu ini berkat karya Nawawi yang
tersebar luas dan ditulis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Berkat
kemasyhurannya pula, ia mendapat gelar A’yan ‘Ulama al-Qarn ar-Ram ‘Asyar Li
al-Hijrah, al-Imam al-Mullaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid
‘Ulama al-Hijaz.
Karya Nawawi pun banyak masuk di
Indonesia. Hal ini tentu berdampak pada perkembangan wacana keislaman di
pesantren. Sejak 1888, kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Jika
sebelumnya tidak ditemukan sumber referensi di bidang tafsir, ushul fiqh, dan
hadits, sejak saat itu bidang keilmuan tersebut mulai dikaji. Perubahan ini
juga tidak terlepas dari jasa tiga ulama Indonesia, yaitu Syekh Nawawi, Syekh
Ahmad Khatib, dan Kiai Mahfuz Termas.
Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam
usia 84 tahun di Syeib ‘Ali, sebuah kawasan di pinggiran Mekkah, pada 25 Syawal
1314 H/1879 M. Ia dimakamkan di Ma’la, Arab Saudi, dekat makam Khadijah binti
Khuwailid. Beberapa tahun setelah wafat, pemerintah Kerajaan Saudi berniat
memindahkan makam beliau, namun para petugas berwenang segera mengurungkan
niatnya. Hal ini karena jenazah Syekh Nawawi al-Bantani dan kain kafannya
terlihat masih utuh. Jika pergi ke Mekkah, kita masih bisa berziarah ke makam
beliau, di pemakaman umum Ma’la. (serunaihati.blogspot.com/2012/09/biografi-syekh-nawawi-al-bantani)
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
0 comments:
Post a Comment