PARA PENULIS KITAB
HADIS DI INDONESIA
Diajukan Untuk Memenuhi
Tugas Terstruktur
Mata Kuliah:
Studi Hadis Indonesia
Dosen Pengampu:
Hj. Liya Aliyah, M.Ag
Disusun oleh:
Mulya (14113450009)
Nur Inayah (14113440042)
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS ADADIN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2014
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji dan syukur sudah selayaknya
kami panjatkan khadirat Allah SWT. Atas berkat dan rahmatnya kami dapat
menyelesaikan sebuah makalah yang diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
mata kuliah Studi Hadis Indonesia yang bertema “Para Tokoh Penulis Kitab Hadis di Indonesia”
Sholawat beserta salam semoga
selamanya tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kepada keluarganya,
sahabatnya, tabiin tabi’atnya dan semoga sampai kepada kita selaku umatnya yang
senantiasa selalu taat dan patuh pada ajarannya, dan berkat beliau pula mampu
mengubah dari zaman jahiliyah menjadi zaman ilmiah yang penuh dengan inovasi
ilmu-ilmu baru.
Akhirnya, sesuai kata pepatah
“Tiada gading yang tak retak” dan kami menyadari bahwa makalah ini masih
memiliki kekurangan, oleh sebab itu kami akan sangat berterima kasih sekiranya
mendapatkan kritik dan masukan yang positif untuk kesempurnaan makalah ini,
terutama kami sangat berharap sumbang saran dari ibu Hj. Liya Aliyah, M.Ag dosen pengampu mata
kuliah Studi Hadis Indonesia. Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik
Allah yang maha kuasa. Kurang lebihnya kami mohon ma’af. Wallahu a’lamu bisoab.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Cirebon, Februari 2014
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Upaya
penelusuran sejarah perkembangan kajian hadis di Indonesia belum dilakukan
secara sistematis. Hal ini bisa diduga disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kenyataan
bahwa kajian hadis tidak seintens kajian di keislaman yang lain, seperti
al-Qur’an, fiqh, akhlak dan sebagainya. Kedua, kajian hadis bisa dikatakan
berkembang sangat lambat, terutama bila dilihat dari kenyataan bahwa para ulama
Nusantara telah menulis di bidang hadis sejak abad ke-17. Namun demikian,
seperti terlihat kemudian, tulisan-tulisan tersebut tidak dikembangkan lebih
jauh. Kajian hadis setelah itu mengalami kemandekan hampir satu setengah abad
lamanya. Untuk itulah, perhatian para pengamat terhadap kajian hadis di
Indonesia masih sangat kurang. Kalaupun ada pengamat yang menaruh perhatian,
perhatiannya masih parsial dan tidak komprehensif.
Sebagian besar kaum Muslim meyakini
bahwa hadis adalah kendaraan sunnah Nabi dan bahwa hadis merupakan tuntunan
yang tidak dapat diabaikan dalam memahami wahyu Allah.[1]
Sebagai salah satu sumber otoritas Islam kedua setelah al-Qur’an, sejumlah
literatul hadis memiliki pengaruh yang sangat menentukan dan menjadi sumber hukum dan inspirasi agama. Para ulama telah
berupaya keras mengumpulkan dan mengklasifikasikan serta memilah hadis-hadis
yang autentik. Begitu pula ulama hadis Indonesia yang mencoba merekomendasikan
hadis-hadis yang dipakai di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
Bagaimana Biografi muhaditsin Indonesia dan
pandangannya terhadap Hadis, yang meliputi :
1. Syekh Nawawī al-Bantani,
2.
Sheikh Mahfuz At-Tarmasi,
3.
Sheikh
Utsman Pontianak,
4.
Sheikh Husein Kedah,
5.
Sheikh Utsman Jalaluddin
Al-Kalantani,
6.
Sheikh Idris Al-Marbawi, dan
7.
Sheikh Ahmad
Lingga ?
C.
Tujuan
penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah adalah untuk
untuk mengetahui biografi muhaditsin Indonesia dan pandangannya terhadap hadis,
yang meliputi :
1. Syekh Nawawī al-Bantani,
2.
Sheikh Mahfuz At-Tarmasi,
3.
Sheikh
Utsman Pontianak,
4.
Sheikh Husein Kedah,
5.
Sheikh Utsman Jalaluddin
Al-Kalantani,
6.
Sheikh Idris Al-Marbawi, dan
7.
Sheikh Ahmad
Lingga.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Syekh Nawawī al-Bantani
Syekh Nawawī al-Bantani merupakan
salah satu ulama Nusantara yang masyhur dan terkenal. Beliau dikatakan antara
tokoh ilmuwan yang turut menguasai semua bidang ilmu. Karya-karya beliau
dii'tiraf oleh para ulama yang sezaman dan selepasnya. Kitab Tanqih al-Qawl merupakan syarah kepada
kitab Lubab al-Hadith karya al-Imam
Jalāl al-Dīn al-Suyūti. Kitab al-Bantani berkenaan, turut memaparkan nama-nama
perawi hadis, sanad hadis dan
beberapa status hadis.
Nama sebenar Syekh Nawawī
al-Bantani ialah Abu Abd al-Muti Muhammad ibn Umar ibn al-Arabi Ibn Nawawī
al-Jawi al-Bantanī al-Tanari. Beliau lebih dikenali dengan nama Muhammad Nawawī
al-Bantanī atau Syekh Nawawī. Tokoh ini dilahirkan di sebuah desa Tanara, kecamatan
Tirtayasa, (sekarang di kampung Pesisir, desa Pedalaman keamatan Tanara
berhadapan Masjid Jāmi Syekh Nawawī Bantan) Kabupaten Serang, Propinsi Banten,
pada tahun 1815 Masehi bersamaan dengan 1230 H. [2]
Ayahanda beliau bernama K.H. Umar
ibn Arabi, merupakan seorang tokoh ulama di kampung Tanara. Dilihat dari
silsilah ayah beliau, Syekh Nawawī al-Bantanī merupakan keturunan yang ke-12
daripada Mawlana Sharīf Hidayatullah (Sunan Gunungjati). Keturunan ini
mempunyai hubungan nasab dengan putera Mawlana Hasanuddin, Sultan Banten yang
pertama.[3]
Sementara silsilah Syekh Nawawī daripada pihak ibu yang bernama Zubaydah, juga
dikatakan mempunyai hubungan dengan keluarga sultan Banten dan Sunan Gunungjati
juga.[4]
Kitab Tanqih
al-Qawl dalam bahasa Arab merupakan syarah kepada kitab Lubab al-Hadith karya al-Imam Jalāl
al-Dīn al-Suyūti. Ditemui juga sebuah syarah kitab Lubab al-Hadith dalam bahasa
Melayu oleh Syekh Wan Ali bin Abd al-Rahman Kutan al-Kalantani berjudul; al-Jawhar al-Mawhub. Kedua tokoh ini
hidup sezaman di Mekah al-Mukarramah.
Kandungan
kedua sharah yang ditulis oleh kedua tokoh berkenaan sangat jauh berbeda.
Syarah Syekh Nawawī al-Bantani, memperjelaskan kepentingan "isnad", justru setiap hadith kitab Lubab al-Hadith diberi penilaian menurut
kaedah "Mustalah al-Hadith"
kecuali sedikit. Syarah Syekh Wan Ali Kutan Kelantan
pula, lebih fokus kepada tarbiyah akhlak dan amalan harian. Dalam kitab Tanqih
al-Qawl ini, Syekh Nawawī al-Bantanī menjelaskan bahwa kitab lubab al-hadith berlaku perubahan pada
lafaz dan terpadam karena tiada yang mensyarahkan kitab ini sebelumnya,
sedangkan kitab lubab al-hadith ini
menjadi rujukan masyarakat di Jawa. Al-Bantani turut meluahkan
keluhannya terhadap pandangan setengah golongan yang meremehkan kandungan
hadis-hadis dhaif kitab lubab al-hadith. Oleh itu beliau menulis
kitab ini agar kitab ini tidak ditinggalkan begitu saja tetapi ia hanya boleh
menjadi rujukan dan bacan karena hadis dhaif
menurut jumhur ulama adalah boleh digunakan hujjah dalam fadail al-amal sebagaimana dijelaskan
Ibn Hajar dalam Tanbih al-Akhyar dan
oleh Imam Nawawi dalam Sharh al-Muhadhab.[5]
B.
Sheikh
Mahfuz At-Tarmasi
Ulama yang berasal dari Termas ini menghasilkan
beberapa kitab dalam bahasa Arab, karyanya dalam bentuk yang tebal. Nama
lengkapnya ialah: Sheikh Muhammad Mahfuz ibnu al-’Allamah al-Haji Abdullah ibnu
al-Allamah al-Haji Abdul Mannan at-Tarmasi. Lahir tahun 1285 H/1868 M di
Termas, Jawa Tengah. Dalam karyanya judul Kifayatul Mustafid lima ‘Ala minal Asanid,
disingkat Kifayatul
Mustafid membicarakan berbagai-bagai sanad. Pada halaman 10
sehingga halaman 19, khusus membicarakan sanad-sanad ilmu hadis mulai beliau,
gurunya, hingga kepada yang lebih atas.Mengenai Al-Jami’ Shahih Bukhari pula,
beliau khatam sebanyak empat kali, belajar kepada beberapa ulama dengan sanad
yang berbeda-beda. Beliau pelajari hadis tersebut kepada Saiyid
Abu Bakar Syatha (1266 H/1849 M-1310 H/1892 M), melalui sanad Saiyid Ahmad bin
Zaini Dahlan (1231 H/1815 M-1304 H/1886 M) hingga sampai kepada Imam Bukhari.
Kitab hadis yang sama beliau belajar kepada Saiyid Husein ibnu Saiyid Muhammad
al-Habsyi. Saiyid Husein al-Habsyi belajar kepada ayahnya Saiyid Muhammad bin
Saiyid Husein al-Habsyi melalui sanad Sheikh Umar bin Abdul Karim bin Abdur
Rasul al-Athar hingga sampai kepada Imam Bukhari. Beliau juga belajar kitab Shahih
Muslim, Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Abi Hanifah, Musnad Imam Syafi’ie, Musnad
Imam Ahmad bin Hanbal, Mukhtasar Abi Jamrah, Asy-Syifa’, Al-Arba’un
an-Nawawiyah, Asy-Syamail juga kepada Saiyid Abu Bakar Syatha yang
tersebut. Sunan
Abi Daud dan Muwaththa’ Imam Malik kepada Saiyid
Muhammad Amin Ridhwan al-Madani di Madinah.Sunan Tarmizi dan Sunan
Nasai. kepada Sheikh Muhammad Sa’id Babshail, dan lain-lain yang
belum disebutkan. Semua penerimaan ilmu hadis itu dibicarakan dengan sanad
sampai kepada pengarang sesuatu kitab itu, sanad-sanad itu ada yang sama dan
ada yang berbeda-beda pengambilannya. Karya Sheikh Muhammad Mahfuz Termas
tentang hadis yang agak besar ialah Manhaj Zawin Nazhar, yang pernah
dicetak berkali-kali di Mekah dan Surabaya.[6]
C.
Sheikh Utsman Pontianak
Nama lengkap beliau ialah
Sheikh Utsman bin Syihabuddin al-Funtiani al-Banjari, merupakan salah seorang
ulama yang berasal dari Pontianak, berketurunan ulama Banjar, yang juga
menghasilkan beberapa buah karangan. Karangan beliau mengenai hadis ialah Irsyadul
‘Ibad Penjaga Dan Bekal Hari Akhirat, disingkat Irsyadul
‘Ibad, yang diselesaikan tahun 1324 H/1906 M, juga dicetak dalam
tahun itu oleh Matba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah. Kitab tersebut adalah
terjemahan daripada kitab Munabbihat ‘alal Isti’dadi li Yaumil Ma’ad
karya Sheikh Ibnu Hajar al-’Asqalani. Irsyadul ‘Ibad merupakan terjemahan
secara lengkap kitab tersebut yang dilakukan oleh Sheikh Utsman Pontianak,
kitab yang sama pernah diterjemahkan oleh Sheikh Ahmad al-Fathani tetapi hanya
dipilih beberapa hadis saja. Pilihan hadis dari kitab Sheikh Ibnu Hajar al-Asqalani
oleh Sheikh Ahmad al-Fathani itu dimuat pada beberapa halaman Hadiqatul
Azhar. Kitab yang sama juga pernah dibahas oleh Sheikh Nawawi
al-Bantani yang diberi judul Nashaihul ‘Ibad yang telah
dibicarakan sebelumnya.[7]
D.
Sheikh
Husein Kedah
Ulama keturunan Sheikh
Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari yang berdomisil di Kedah ini tercatat
nama pada karya-karyanya ialah Sheikh Husein Nashir bin Muhammad Thaiyib
al-Mas’udi al-Banjari al-Qadhi. Nama popular disebut Tuan Husein Kedah. Di
antara karya-karyanya yang banyak terdapat sebuah karya hadis yang diberi judul
Terjemah
Hadis Jawahirul Bukhari. Belum diketahui tahun berapa karya ini
beliau selesaikan kerana yang terdapat pada penulis hanya juzuk yang pertama
sama. Cetakan pertama oleh Al-Maktabah Az-Zainiyah, Taiping, Perak, 1350 H.
Pada mukadimah, Tuan Husein Kedah menyebut bahawa beliau terjemahkan daripada
segala lafaz Hadis Jawahiril Bukhari dan
sebahagian daripada Syarh al-Qastalani yang telah
disebarkan oleh ulama Mesir moden, iaitu Sheikh al-Allamah Mustafa Muhammad
Imarah al-Masriyah daripada kitab Hadiqatul Ahadisil Bukhari, lebih
700 hadis yang sahih sekeliannya. Tuan Husein menyebut judul sebenar
terjemahannya itu dengan Tazkir Qabailil Qadhi fi Tarjamatil Bukhari.
Hadis-hadis yang dibicarakan di dalam kitab ini sebahagian besarnya adalah sama
dengan yang terkandung dalam Mukhthasar Ibnu Abi Jamrah.
Terjemahan kitab ini juga terdapat dalam bahasa Melayu yang diusahakan oleh
Mustafa Abdur Rahman Mahmud, 1369 H/1950 M yang diberi kata pengantar oleh
Sheikh Abdullah Fahim.Walau bagaimanapun, susunan dan model terjemahan
kedua-dua kitab tersebut adalah tidak sama. Terjemahan Mustafa Abdur Rahman
Mahmud lebih banyak merujuk kepada Hasyiyah ‘ala Mukhtashar Ibnu Abi Jamrah lil
Bukhari oleh al-Alim al-Allamah Sheikh Syinwani yang pernah
dinobatkan sebagai Sheikhul Islam Universiti Al-Azhar.[8]
E.
Sheikh
Utsman Jalaluddin Al-Kalantani
Ulama yang berasal dari Kelantan ini adalah
murid Tok Kenali. Daripada sekian banyak karya beliau, dijumpai juga bahasannya
mengenai hadis. Dalam karyanya berjudul Mathali’ul Anwar wa Majami’ul Azhar,
disingkat Mathali’ul
Anwar. Juzuk yang pertama merupakan bahasan asal-usul ilmu-ilmu
keislaman. Mulai halaman 33 pula membahas ilmu-ilmu hadis. Bahasan ini sangat
menarik kerana beliau membandingkan dengan aliran mazhab dalam satu segi. Pada
segi yang lain beliau membela mazhab fiqh, yang sebenarnya; tokoh-tokoh
terutama imam yang empat orang sebagai Mujtahid Muthlaq adalah tidak terlepas
daripada keterlibatan mereka daripada sumber al-Quran dan hadis. Syeikh Utsman
Jalaluddin al-Kalantani memulakan penulisan hadisnya dengan memperkenalkan 10
yang dianggap sebagai orang pertama menghimpunkan (menulis) hadis, mereka
ialah:- Imam Malik bin Anas di Madinah- Abdullah bin Abdul Aziz bin Juraih di
Mekah- Sufyan ats-Tsauri di Kufah- Hammad bin Salamah di Basrah- Sai’id bin Abi
‘Arubah – Husyaim bin Basyir di negeri Wasit- Abdur Rahman Auza’i di Syam-
Ma’mar bin Rasyid di Yaman- Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan- Jarir bin
Abdul Hamid di negeri Raiy
lMenurut beliau, “Dan adalah demikian itu di
dalam kurun yang kedua, maka ialah tahun 145H”. Sheikh Utsman Jalaluddin al-Kalantani,
menyebut pula thabaqat ulama hadis sesudah itu dengan kemunculan dua tokoh,
iaitu:- Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, wafat 256 H-Muslim bin
al-Hajjaj an-Nisaburi, wafat 261 H.
lSelanjutnya, kata beliau, “… dan mengaranglah
seumpamanya empat orang”:- Abu Daud Sulaiman bin Asy’ab Sijistani, wafat 275 H-
Abu Isa Muhammad bin Isa as-Sulami, wafat 279 H- Abu Abdullah Muhammad bin
Yazid Qazwini (Ibnu Majah), wafat 273 H- Abu Abdur Rahman Ahmad bin Sa’id
Nasa’i, wafat 303 H.
lKarya enam orang yang tersebut dikenali dengan
Kitabus
Sittah (Kitab yang enam). Menurut beliau pula, tidak dapat
dinafikan bahawa untuk memastikan sesuatu hadis benar-benar sahih adalah
melalui liku-liku yang sangat sukar, kecuali apabila bersungguh-sungguh membuat
penelitian terhadapnya. Oleh itu terjadilah perdebatan pada hadis dalam dua
perkara:- Adakah hadis itu suatu asal daripada segala asal bagi menjalankan
syariat yang dibangsakan kepada Islam, lagi yang menyempurnakan bagi Quran yang
mulia.- Apabila kita berkata bahawasanya hadis itu ialah asal, maka apalah
jalan bagi kita memegangnya.
Kedua-dua kemusykilan di atas dijawab oleh
Sheikh Utsman Jalaluddin bahawa pada kemusykilan yang pertama, “Maka
bahawasanya [ada] kaum meninggallah oleh mereka itu akan hadis-hadis
sekaliannya dan menyimpan oleh mereka itu di atas Quran jua”. Kemusykilan yang
kedua, menurut beliau, bahawa Imam Syafie dalam Al-Umm, suatu bab pada juzuk
yang ketujuh akan tanda bagi bab berbantah-bantahan. Dilihat bahawa Sheikh
Utsman Jalaluddin tidak sependapat dengan golongan yang tidak mahu menggunakan
qias dan istihsan. Ini sangat jelas pada tulisan beliau, “Sungguhnya adalah
segala sahabat dan tabien itu apabila tiada mendapat oleh mereka itu akan nas
di dalam Quran dan tiada di dalam hadis Nabi SAW nescaya bersandarlah mereka
itu kepada barang yang mendengar oleh mereka itu akan dia pada fikiran
ijtihad…”"Dan sungguhnya segala yang beramal dengan qias dan istihsan itu
ialah salaf yang soleh-soleh daripada yang besar-besar daripada segala sahabat
seperti Saiyidina Umar pada daur yang pertama, dan Ibnu Abbas pada daur yang
kedua, dan Rabi’ah dan Ibrahim Nakha’ie pada tabien. Maka betapalah kaum kami
meninggal akan qias dan istihsan? Adakah kaum kami terlebih alim daripada
mereka itu?Sebab-sebab Sheikh Utsman Jalaluddin menulis kalimat di atas adalah
pada zaman itu mulai hangatnya perselisihan pendapat (khilafiyah)
di seluruh Asia Tenggara, maka timbullah istilah “Kaum Tua” dan “Kaum Muda”.
Golongan Kaum Tua berpegang kepada salah satu mazhab, terutamanya Mazhab
Syafie, sedang Kaum Muda mendakwa hanya berpegang kepada al-Quran dan hadis
sahaja. Apabila kita teliti, segolongan besar manusia hanyalah pengakuan saja
berdasarkan al-Quran dan hadis, yang sebenarnya hanyalah berpegang dengan kehendak
diri sendiri atau nafsu semata-mata. Hanya pengakuan saja berdasarkan al-Quran
dan hadis, sedangkan pengetahuan yang menyeluruh mengenai kedua-duanya itu
belum dikuasai sepenuhnya. Maka pengakuan demikian adalah satu pembohongan
semata-mata atau tertipu dengan diri sendiri. Sangat ramai ulama terdahulu yang
pengetahuannya sangat luas dan mendalam termasuk ahli dalam hadis seperti Imam
Nawawi, Sheikh Ibnu Hajar dan lain-lain sedangkan mereka tidak juga berlepas
daripada mazhab. Oleh itu, semua ulama tradisional Asia Tenggara sungguhpun
mereka sangat dalam pengetahuannya tentang hadis, namun mereka tetap berpegang
kepada Mazhab Syafie dalam fiqh, Ahlus Sunnah wal Jamaah aliran Sheikh Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah, mengikut ulama-ulama
sufi yang muktabar dalam amalan tasawuf dan tarekat.[9]
F.
Sheikh
Idris Al-Marbawi
Ulama yang berasal dari Perak ini, sangat terkenal dengan kamus
Arab-Melayunya, yaitu Qamus al-Marbawi. Ilmu yang paling banyak diperolehnya
adalah daripada Tok Kenali Kelantan. Karyanya yang berupa hadis yang terkenal
ialah Bahrul
Mazi, yang judul lengkapnya Bahrul Mazi li Syarh Mukhtashar Shahihit
Tarmizi. Karyanya tersebut adalah terjemahan kitab Shahih
Tarmizi, serta disyarah oleh Sheikh Idris bin Abdur Rauf al-Marbawi
tersebut. Terjemahan Shahih Tarmizi secara lengkap ini
adalah merupakan yang pertama sekali dilaksanakan dalam bahasa Melayu. Bahrul
Mazi adalah merupakan karya besar yang terdiri daripada 22 jilid
yang sudah diterbitkan. Maklumat ringkas tentang keseluruhan jilid kitab
tersebut pernah dibicarakan sebelum ini dalam perbicaraan yang khusus
mengenainya.[10]
G.
Sheikh Ahmad Lingga
Ulama yang berasal dari
Riau-Lingga yang menghasilkan beberapa buah karangan ini nama lengkapnya ialah
Sheikh Ahmad bin Muhammad Yunus Lingga. Salah sebuah daripada karangannya ialah
mengenai hadis yang diberinya judul Nashihatu Ahlil Wafa ‘ala Washiyatil Mushthafa,
yang diselesaikan di Mekah, pada hari Sabtu, 11 Syawal 1312 H/1895 M. Ia
merupakan terjemahan wasiat Nabi Muhammad SAW kepada Saidina Ali Karamahullahu
Wajhah yang pertama dalam bahasa Melayu.[11]
BAB
III
PENUTUP
Sejauh ini ilmuwan Indonesia
mempunyai potensi dalam bidang hadis, terbukti para ulama dapat mengarang
sebuah kitab hadis, diantaranya :
Karya
Syekh an-Nawawi al-Bantani yaitu Kitab Tanqih
al-Qawl merupakan syarah kepada kitab Lubab
al-Hadith karya al-Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūti. Kitab al-Bantani berkenaan,
turut memaparkan nama-nama perawi hadis, sanad
hadis dan beberapa status hadis. Sheikh Muhammad Mahfuz ibnu al-’Allamah al-Haji Abdullah ibnu
al-Allamah al-Haji Abdul Mannan at-Tarmasi. Lahir tahun 1285 H/1868 M di
Termas, Jawa Tengah. Dalam karyanya judul Kifayatul Mustafid lima ‘Ala minal Asanid,
disingkat Kifayatul
Mustafid membicarakan berbagai-bagai sanad. Sheikh Utsman bin Syihabuddin al-Funtiani al-Banjari, merupakan salah
seorang ulama yang berasal dari Pontianak, berketurunan ulama Banjar, yang juga
menghasilkan beberapa buah karangan. Karangan beliau mengenai hadis ialah Irsyadul
‘Ibad Penjaga Dan Bekal Hari Akhirat, disingkat Irsyadul
‘Ibad, yang diselesaikan tahun 1324 H/1906 M, juga dicetak dalam
tahun itu oleh Matba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah.
Ulama keturunan Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari yang berdomisil
di Kedah ini tercatat nama pada karya-karyanya ialah Sheikh Husein Nashir bin
Muhammad Thaiyib al-Mas’udi al-Banjari al-Qadhi. Nama popular disebut Tuan Husein
Kedah. Di antara karya-karyanya yang banyak terdapat sebuah karya hadis yang
diberi judul Terjemah Hadis Jawahirul Bukhari. Sheikh Utsman Jalaluddin Al-Kalantani. Ulama
yang berasal dari Kelantan ini adalah murid Tok Kenali. Daripada sekian banyak
karya beliau, dijumpai juga bahasannya mengenai hadis. Dalam karyanya berjudul Mathali’ul
Anwar wa Majami’ul Azhar, disingkat Mathali’ul Anwar.
Sheikh Idris Al-Marbawi, Ulama yang
berasal dari Perak ini, sangat terkenal dengan kamus Arab-Melayunya, yaitu
Qamus al-Marbawi. Ilmu yang paling banyak diperolehnya adalah daripada Tok
Kenali Kelantan. Karyanya yang berupa hadis yang terkenal ialah Bahrul
Mazi, yang judul lengkapnya Bahrul Mazi li Syarh Mukhtashar Shahihit
Tarmizi. Sheikh
Ahmad Lingga. Ulama yang berasal dari Riau-Lingga yang menghasilkan beberapa buah
karangan ini nama lengkapnya ialah Sheikh Ahmad bin Muhammad Yunus Lingga.
Salah sebuah daripada karangannya ialah mengenai hadis yang diberinya
judul Nashihatu Ahlil Wafa ‘ala Washiyatil Mushthafa,
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
judul Nashihatu Ahlil Wafa ‘ala Washiyatil Mushthafa,
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
al-Bantanī, Shaykh Muhammad Nawawī. t.th. Tanqīh al-Qawl.
Surabaya: al-Haramayn.
Amiin, Kamaruddin. 2009. Metode Kritik Hadis. Jakarta
Selatan: Hikmah.
nusantara
Munir Amin, Samsul. 2011. Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syeikh
Nawawi al-Bantani. Jogjakarta: Pustaka Pesantren.
Nasution, Harun. 1987. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta:
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Ramli, Rafiudin. 1399 H. Sejarah Hidup dan Silsilah Shaykh
Muhammad Nawawī. Banten:Yayasan al-Nawawī.
http://blogtraditionalislam.wordpress.com/2009/03/11/penulisan-hadis-tokoh-ulama-.
Saran
1.
Tolong
diperjelas lagi tulisan Arabnya, bila perlu dihilangkan. (Opik)
(Hasil Revisi) Pemakalah menghilangkan tulisan Arab pada contoh
karya Nawawi Al-Bantani, karena terfokus pada kajian kitab Tanqih al-Qawl dan meringkasnya berupa pengenalan saja, karena
masih banyak pembahasan ulama hadis lainnya.
2.
Apakah ada
masing-masing Ulama Hadis dari setiap kota yang ada di Nusantara, bila ada
lebih baik cantumkan. (Anisah)
(Hasil Revisi) Pemakalah telah menambahkan ulama Hadis dari
sebagian kota.
[1]
Kamaruddin Amiin, Metode Kritik Hadis, (Jakarta Selatan: Hikmah, 2009),
hal ke 1
[2]
Samsul Munir Amin.2011. Sayyid
Ulama Hijaz: Biografi Syeikh Nawawi al-Bantani. Jogjakarta: Pustaka
Pesantren.
[3]
Harun Nasution. 1987. Ensiklopedi
Islam Indonesia. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam hlm
666-667.
[4]
Rafiudin Ramli. 1399 H. Sejarah
Hidup dan Silsilah Shaykh Muhammad Nawawī. Banten:Yayasan al-Nawawī.
[5]
al-Bantanī, Shaykh
Muhammad Nawawī. t.th. Tanqīh
al-Qawl. Surabaya: al-Haramayn.
[6]
Ibid.
[7]
http://blogtraditionalislam.wordpress.com/2009/03/11/penulisan-hadis-tokoh-ulama-nusantara
[8]
Ibid.
[9]
http://blogtraditionalislam.wordpress.com/2009/03/11/penulisan-hadis-tokoh-ulama-nusantara
[10]
Ibid.
[11]
Ibid.
0 comments:
Post a Comment