BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Nurcholis Madjid
Nurcholis
Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358 H)di Jombang Jawa
Timur, dari keluarga kalangan pesantren yang taat menjalankan agama.
Pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat di Majoanyar pada pagi hari,
sedangkan sore hari ia sekolah di Madrasah Ibtidayah Majoanyar.
Setelah
menamatkan pendidikan dasar dan ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar ke pesantren
Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul
Mu’allimin al- Islamiyah (KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo.
Setamat dari
Gontor, ia melanjutkan studi pada Institut Agama Islam Negeri (Universitas
Islam Negeri, UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab dan tamat pada tahun 1968.
Kemudia ia menempuh studi di Universitas Chicago, Illinios, Amerika Serikat dan
berhasil meraih gelar Doktor dalam bidang Islamic Thought (Pemikiran Islam)
pada tahun 1984.
Semasa
mahasiswa, Nurcholis Madjid banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi.
Ia pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), cabang Ciputat
pada tahun 60-an, kemudian menjadi pengurus Ketua Umum Besar HMI selam periode
1966-1969 dan 1967-1971. Selain itu, ia juga pernah menjadi Presiden pertama
Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) tahun 1967-1969. Sebagai Wakil
Sekretaris Jendral Internasional Islamic Federation of Student Organization
(IIFSO) pada tahun 1969-1971.
Selesai studi
di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid bekerja sebagai dosen di
almamaternya, mulai tahun 1972 sampai 1976, setelah meraih Doktor pada tahu
1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang fisafat pada lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bersamaan
dengan tugastugas itu ia pernah juga menjadi dosen tamu pada Universitas
MCGill, Montreal, Canada pada tahun 1990, sekaligus didampingi istrinya yang
mengikuti program Eisenhower Fellowship.[1]
Selain orang
yang banyak berkecimpung di organisasi dan memangku berbagai jabatan, Nurcholis
Madjid juga sebagai seorang penulis yang produktif. Diantara karyanya yang
dapat disebutkan adalah (1) Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1984), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan,
1987), Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta, Yayasan Wakaf Pramadina, 1992), Kontekstualisasi Doktrin
Islam Sejarah (Karya bersama para pakar Indonesia lainnya), (Jakarta
Yayasan Wakaf Pramadina, 1995), Islam
Agama Peradaban, Mambangun Makna dan Relavansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta
Yayasan Wakaf Pramadina, 1995), Pintu-pintu
Menuju Tuhan, (Jakarta Yayasan Wakaf
Pramadina, 1995), Masyarakat Religius, (Jakarta Yayasan
Wakaf Pramadina, 1997), Kaki Langit
Peradaban Islam, (Jakarta Yayasan Wakaf
Pramadina, 1997), Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan
di indonesia, (Jakarta Yayasan Wakaf
Pramadina, 1997), dan Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam
Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta Yayasan Wakaf Pramadina, 1998).[2]
Ikon pembaruan
pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia ini wafat pada 29 Agustus 2005 di RSPI
Jakarta. Dia menghembuskan napas terakhir di hadapan istrinya, Omi Komariah dan
putra-putrinya (Ahmad Mikail dan Nadia Madjid), serta keluarganya yang lain.
jenazah rektor Universitas Paramadina dan penerima Bintang Mahaputra Utama itu
dimakamkan di Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.[3]
B.
Metodologi pemikiran Nurcholis Madjid
Untuk dapat
memahami metode pemikiran Nurcholis Madjid secara sederhana dapat dilakukan
dengan cara menulusuri perkembangan pemikirannya. Terlebih dahulu dikemukakan
pendapat Budhy Munawar Rachman tentang tiga bentuk pemikiran sosial-keislaman
dari kalangan cendikiawan “neo-modernisasi Islam” yang disebut dengan
memakai istilah mereka sendiri yaitu “Islam Rasional, Islam Peradaban, Islam
Transformatif”. Tiga bentuk pemikiran ini melalui pendekatan epistimologi
memiliki tiga kepentingan di balik tiga program riset cendikiawan Muslim
neo-Modernis, yaitu:
Pertama, kepentingan
“teknis dari Islam Rasional” maksudnya program riset keislaman mereka,
dilakukan dalam rangka memenuhi fungsi, menetapkan pendapat, menghilangkan
kesanksian dan akhirnya memperoleh kepercayaan tentang Islam yang kokoh, untuk
sampai pada tujuan ini, tentu saja logika sangat penting dalam menganalisa
rasionalitas al-Qur’an untuk mendapatkan pengetahuan yang nanti akan dijadikan
dasar keshahihan. Sebuah keshahihan menumbuhkan sebuah kepercayaan. Melalui
sebuah kepercayaan yang diyakini shahih (benar) diharapkan akan
mengorientasikan tingkah laku.[4]
Kedua, pentingnya “praktis” di balik pemikiran Islam peradaban.
Kepentingan praktis ini untuk mendapatkan “makna” dari perwujudan konkrit
al-Qur’an. Karena itu, selain analisis hermeneutik dari konsep-konsep kunci
al-qur’an, mereka juga memberi perhatian besar pada Islam-nya kaum salaf.
Metode yang dipakai untuk mengerti bagaimana “Islam Sejati” itu dilakukan
dengan cara yang dalam istilah filsafat sosial disebut versteben (empati).
Yakni, mencoba memahami bagaimana kalangan salaf itu mengayati dan menjalankan
Islam. Mereka dengan metode empati atau
fenomenologis ini, tidak mencari hukum-hukum rasional seperti tampak pada
kalangan “Islam Rasional”, melainkan ingin menemukan makna dan proses
pembentukan Islam sebagai sebuah dorongan sejarah yang menghasilkan sebuah
peradaban Islam.[5]
Selanjutnya,
pembahasan metode pemikiran Nurcholis Madjid akan dikemukakan terlebih dahulu
metode yang mempengaruhi pemikirannya secara umum, agar dapat diperoleh
gambaran teoritis yang mencakup tiga hal : 1) tradisi pemikiran filsafat
Marxisme melalui metodologi dialektika, 2) metode hermeneutika, 3) metode
fenomenologi:
1.
Metode dialektika
Nurcholis
Madjid sebagai salah seorang pemikir Islam Indonesia sangat dipengaruhi oleh
tradisi pemikiran filsafat materialisme historis. Dengan metode dialektika, ia
melakukan sistematisasi dan penyatuan semua aspek pengetahuan dan pengalaman,
dan menyusunnya kedalam satu keutuhan yang inklusif. Pemikirannya bisa disebut
Marxisme, walaupun tidak termasuk Marxisme. Dalam bentuknya paling sederhana,
metode ini berpandangan bahwa proses sejarah terjadi lewat konfrontasi
dialektis, yaitu tesis menimbulkan antitesis dan keduanya diangkat menjadi
sintesis.
Dalam bangunan
pemikiran Nurcholis Madjid, metode dialektika dipakai untuk menjelaskan
perkembangan Islam dan menentukan titik pijak serta alasan dasar melakukan
suatu perubahan. Perubahan harus dipandang sebagai panggilan sejarah. Dengan
bantuan metode dialektika historis dari Marx, ia meninjau ulang sejarah
perkembangan perjuangan Islam.
Kemudian Nurcholis
Madjid menggunakan dialektika untuk menggagas teologi sebagai antropologi yang
merupakan cara “ilmiah” untuk mengatasi keterasingan teologis itu sendiri
meminjam istilah Hasan Hanafi. Cara ini dilakukan Karl Marx terhadap filsafat
hegel. Menurutnya, dialektika hegel berjalan pada kepalanya, agar dialektika
itu dapat dipahami dengan benar, ia harus diletakkan di atas kakinya. Upaya Nurcholis
Madjid ini tampak secara provokatif
dalam berbagai gagasannya seperti sekularisasi, desakralisasi dan
lain-lain.
2.
Metode hermeneutika
Hermeneutika
merupakan salah satu tema penting dalam pemikiran Nurcholis Madjid, bahkan ia
menjadi integral dari wacana pemikirannya baik dalam filsafat, teologi, kalam,
politik, maupun agama untuk memahami teks. Ia menerapkan hermeneutika sebagai
metodologi untuk memahami al-Qur’an, dan pengembangannya dipengaruhi
hermeneutika kontemporer barat.
Hermeneutika
sebagai ilmu yang mereflesikan tentang bagaimana suatu kata atau event yang ada
pada masa lalu mungkin dapat dipahami, dan secara eksistensial dapat bermakna
di dalam situasi kekinian manusia. Ia mencakup baik aturan-aturan metodologis
yang diterapkan dalam penafsiran maupun asumsi-asumsi epistmologis pemahaman.
Sebagai sebuah metode, hermeneutika diartikan sebagai cara menafsirkan simbol yang
berupa teks atau benda konkrit untuk ditemukan arti dan maknanya. Metode
hermeneutika ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau
yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang. Semula hermeneutika
digunakan untuk menafsirkan kitab suci keagamaan yang kemudian dikembangkan
dalam ilmu-ilmu humaniora, dan termasuk di dalamnya filsafat. Keberadaan
hermeneutika sangat penting dan peranannya cukup luas pada ilmu-ilmu
kemanusiaan, sejarah, hukum, agama, filsafat, seni dan linguistik.
3.
Metode fenomenologi
Pemikiran Nurcholis
Madjid sangat dipengaruhi oleh ketajaman analisis pemahaman terhadap realitas.
Realitas, bagi Nurcholis Madjid, adalah realitas masyarakat, politik, ekonomi
dan khazanah Islam. Keberhasilan mencapai cita-cita Islam tergantung pada
kecermatan menganalisis realitas tersebut dan memetakan semuanya, ia
menggunakan metode fenomenologi.
Metode
fenomenologi ini sangat besar pengaruhnya tehadap Nurcholis Madjid. Bahkan
juga, pendekatan ini digunakan dalam ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu alam
dan matematika. Para tokoh, pemikir, agamawan, juga menggunakan metode
fenomenologi dalam usahanya memahami filsafat, sejarah, politik, kebudayaan dan
agama.[6]
C.
Pemikiran ketuhanan Nurcholis Madjid
Agama merupakan
suatu cara manusia menemukan makna hidup dan dunia yang menjadi lingkungannya.
Tapi, hidup kita dan lingkungan abad modern ini, untuk kebanyakan orang
termasuk para pemeluk sendiri semakin sulit diterangkan maknanya. Kesulitan itu
terutama ditimbulkan oleh masalah-masalah yang muncul akibat dinamika ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ciri-ciri utama pada abad modern yang secara tak
terbendung mengubah bentuk dan jaringan
masyarakat serta lembaga-lembaganya. Pada abad modern, nilai berganti
dengan cepat, demikian pula cara hidup, dengan timbulnya rasa tidak menentu
serta kejutan-kejutan memisahkan manusia
semakin jauh dari kepastian moral dan etis tradisional mereka. Inilah tantangan
yang dihadapi agama-agama.
Pandangan
pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama
dengan baik, masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian
menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran
semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan
dalam penganut relativisme agama. Cak Nur selalu membedakan antara pluralitas
dan pluralisme. Pluralitas baginya adalah keragaman hidup yang telah menjadi
sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap kejiwaan dan kedewasaan
mental dalam menerima keragaman itu. Yang ditekankan pada pluralisme Cak Nur
adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan untuk bisa menerima perbedaan, karena
tidak semuanya bisa menerima perbedaan. Dan apabila seseorang tidak dapat
menerima pluralisme, itu karena pemahamannya yang belum dewasa.
Untuk sampai
pada segi operasional agama dalam tindakan nyata manusia, yang menjadi tekanan
pada pembicaraan ini, kita harus mepertimbangkan aspek “dramatis” kehidupan
manusia, yang meliputi aspek keagamaan itu sendiri, kekuasaan, kekeluargaan dan
kepribadian. Dalam konteks-konteks inilah mendefinisikan dirinya dalam
hubungannya dengan orang lain, lalu menerima atau menolak kewenangan dan menentukan
pilihan akan apa yang hendak dilakukan atau tidak, untuk memberi makna pada
hidup ini.[7]
Catatan ini
adalah apresiasi terhadap teologi Nurcholis Madjid yang dituangkan dalam
ceramah kebudayannya “Islam” tidak pertama-tama dimengerti sebagai agama,
melainkan sikap tunduk kepada Allah, sikap pasrah pada kebenaran. Sedangkan
“agama” adalah pesan. Sikap keagamaan yang benar adalah semangat mencari
kebenaran secara tulus dan murni, bebas dari segala kepalsuan. Semangat mencari
kebenaran yang lapang dan terbuka, tidak sempit, toleran, tanpa kefanatikan dan
tidak membelenggu jiwa.
Tampaknya
pandangan ini bergerak ke arah de-institusionisasi agama, berupa descooling
seciety dari Ivan Illich. Jadi, semacam de-institutional relogion. Tentu
saja dalam batas tertentu dan dengan demikian menempatkan agama pada fungsinya
yang tepat. Penghayatan agama semacam itu, meminjam istilah Erich Fromm, dapat
disebut sebagai penghayatan agama yang humanistik dan bukan agama yang otoriter
intergritas manusiawi, sedangkan penghayatan agama humanistik membawa manusia
pada keterbatasan dan pengembangan kemanusiaannya melalui pengalaman
kontemplatif dan mistik.[8]
Teologi
pembebasan Islam berpangkal pada menerima Allah sebagai satu-satunya yang
ditaati dan karena itu bebas dari kepercayaan palsu. Sejalan dengan itu tidak
ada ciptaan Allah manapun di dunia ini yang dapat disembah dan ditaati seperti
itu. Konsekuensi logis ialah menolak segala macam klaim absolut yang selalu
mengandung bahaya menindas dan membelenggu. Sikap cinta pada kebenaran, sikap Islam, adalah sekaligus cinta kepada
manusia. Jadi pembebasan dari lingkungannya sekaligus juga bebas untuk dan
bersama sesama manusia. Kalau demikian, kiranya dapat diharapkan berkembangnya
komunikasi pembebasan yang sejati.[9]
Secara internal
(dalam Islam) diproklamasikan bahwa tuhan-tuhan kecil (dewa) telah mati satu
persatu dan diakui hanya ada satu Tuhan besar, Maha besar yang merupakan Tuhan
semesta alam. Secara eksternal, tuhan-tuhan kecil tadi tetap saja boleh hidup
dalam alam kepercayaan kelompok-kelompok penganut agama lain sebab Islam tak
menaruh keberatan jika kelompok lain tetap percaya akan adanya sesembahan lain.
dengan begitu selain pernyataan teologis lakum diniukum wa liyadin tadi
juga harus dipahami sebagai sebuah pernyataan sosiologis dalam hubungan antar
kelompok (agama). Pendek kata, dimensi sosiologis dari ayat itu dulunya, tapi
begitu juga sekarang ini, merupakan jalan keluar itu artinya sudah dimiliki
Islam sejak “di sananya”[10]
BAB III
PENUTUP
Nurcholis Madjid adalah seorang tokoh yang intelektual dididik dan
dibesarkan dalam lingkungan tradisi keagamaan Islam yang kuat dan dunia
keilmuan Barat yang kritis. Pengembangan intelektualnya, akhirnya mengantarkan Nurcholis
Madjid ke arah madzhab neo-modernisme dengan wacana yang bersifat
humanitarianistik dan pemikiran yang liberal, tetapi tetap autentik dan
historis.
Dengan pemikiran Nurcholis Madjid tersebut di atas, maka banyak
sekali pemikirannya yang mengkritisi berbagai masalah, seperti relasi Islam dan
negara dan Islam dan demokrasi. Baginya, Islam hanya menjelaskan bahwa tuntunan
al-Qur’an mengenai kehidupan bernegara tidaklah menunjukkan kepada suatu model
tertentu. Persoalan pemerintahan dan negara lebih banyak diserahkan kepada
ijtihad umat Islam. Adapun mengenai Islam dan demokrasi, semestinya umat Islam
tidak mempersoalkan lebih jauh, walaupun konsep demokrasi tidak ditemukan dalam
al-Qur’an, sebagaimana negara. Namun, al-Qur’an mengandung prinsip-prinspi
demokrasi, sehingga nilai-nilai demokrasi tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.
Cak Nur selalu membedakan antara
pluralitas dan pluralisme. Pluralitas baginya adalah keragaman hidup yang telah
menjadi sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap kejiwaan dan
kedewasaan mental dalam menerima keragaman itu. Yang ditekankan pada pluralisme
Cak Nur adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan untuk bisa menerima
perbedaan, karena tidak semuanya bisa menerima perbedaan. Dan apabila seseorang
tidak dapat menerima pluralisme, itu karena pemahamannya yang belum dewasa.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
Djumhur, Adang. 2010. Menulusuri Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam.
Yogyakarta: Pilar Media.
Iskandar,
Salman. 2009. 99 Tokoh Muslim Indonesia. Bandung: Mizan Pustaka.
Madjid,
Nurcholis. 1997. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Madjid,
Nurcholis. 1999. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta:
Paramadina.
Rachman, Budhy
Munawar. 2001. Islam Pluralis. Jakarta: Paramadina.
Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Tharikat Nurcholisy.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
[1] Adang Djumhur, Menulusuri Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam, (Yogyakarta:
Pilar Media. 2010), cet pertama, hlm 117-118.
[3] Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2009), cet pertama, hlm. 153.
[4] Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina,
2001), hlm. 57.
[5] Nurcholis Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta:
Paramadina, 1999), hlm. 103.
[7] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,(Bandung:
Mizan, 1997), cet ke ix, hlm. 156.
[8] Jalaluddin Rakhmat,Tharikat
Nurcholisy.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001), cet pertama, hlm. 55-56.
[9] Ibid., hlm. 57.
[10] Ibid., hlm. 53.
0 comments:
Post a Comment