اَÙ‡ْلاًÙˆَسَÙ‡ْلاً

Thursday, 9 January 2014

Biografi Nurcholis Madjid



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358 H)di Jombang Jawa Timur, dari keluarga kalangan pesantren yang taat menjalankan agama. Pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat di Majoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia sekolah di Madrasah Ibtidayah Majoanyar.
Setelah menamatkan pendidikan dasar dan ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar ke pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Mu’allimin al- Islamiyah (KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo.
Setamat dari Gontor, ia melanjutkan studi pada Institut Agama Islam Negeri (Universitas Islam Negeri, UIN) Syarif  Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab dan tamat pada tahun 1968. Kemudia ia menempuh studi di Universitas Chicago, Illinios, Amerika Serikat dan berhasil meraih gelar Doktor dalam bidang Islamic Thought (Pemikiran Islam) pada tahun 1984.
Semasa mahasiswa, Nurcholis Madjid banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi. Ia pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), cabang Ciputat pada tahun 60-an, kemudian menjadi pengurus Ketua Umum Besar HMI selam periode 1966-1969 dan 1967-1971. Selain itu, ia juga pernah menjadi Presiden pertama Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) tahun 1967-1969. Sebagai Wakil Sekretaris Jendral Internasional Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) pada tahun 1969-1971.
Selesai studi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972 sampai 1976, setelah meraih Doktor pada tahu 1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang fisafat pada lembaga Ilmu Pengetahuan  Indonesia (LIPI). Bersamaan dengan tugastugas itu ia pernah juga menjadi dosen tamu pada Universitas MCGill, Montreal, Canada pada tahun 1990, sekaligus didampingi istrinya yang mengikuti program Eisenhower Fellowship.[1]
Selain orang yang banyak berkecimpung di organisasi dan memangku berbagai jabatan, Nurcholis Madjid juga sebagai seorang penulis yang produktif. Diantara karyanya yang dapat disebutkan adalah (1) Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987), Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta, Yayasan Wakaf  Pramadina, 1992), Kontekstualisasi Doktrin Islam Sejarah (Karya bersama para pakar Indonesia lainnya), (Jakarta Yayasan Wakaf  Pramadina, 1995), Islam Agama Peradaban, Mambangun Makna dan Relavansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta Yayasan Wakaf  Pramadina, 1995), Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta Yayasan Wakaf  Pramadina, 1995), Masyarakat Religius, (Jakarta Yayasan Wakaf  Pramadina, 1997), Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta Yayasan Wakaf  Pramadina, 1997), Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di indonesia, (Jakarta Yayasan Wakaf  Pramadina, 1997), dan Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta Yayasan Wakaf  Pramadina, 1998).[2]
Ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia ini wafat pada 29 Agustus 2005 di RSPI Jakarta. Dia menghembuskan napas terakhir di hadapan istrinya, Omi Komariah dan putra-putrinya (Ahmad Mikail dan Nadia Madjid), serta keluarganya yang lain. jenazah rektor Universitas Paramadina dan penerima Bintang Mahaputra Utama itu dimakamkan di Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.[3]

B.     Metodologi pemikiran  Nurcholis Madjid
Untuk dapat memahami metode pemikiran Nurcholis Madjid secara sederhana dapat dilakukan dengan cara menulusuri perkembangan pemikirannya. Terlebih dahulu dikemukakan pendapat Budhy Munawar Rachman tentang tiga bentuk pemikiran sosial-keislaman dari kalangan cendikiawan “neo-modernisasi Islam” yang disebut dengan memakai istilah mereka sendiri yaitu “Islam Rasional, Islam Peradaban, Islam Transformatif”. Tiga bentuk pemikiran ini melalui pendekatan epistimologi memiliki tiga kepentingan di balik tiga program riset cendikiawan Muslim neo-Modernis, yaitu:
     Pertama, kepentingan “teknis dari Islam Rasional” maksudnya program riset keislaman mereka, dilakukan dalam rangka memenuhi fungsi, menetapkan pendapat, menghilangkan kesanksian dan akhirnya memperoleh kepercayaan tentang Islam yang kokoh, untuk sampai pada tujuan ini, tentu saja logika sangat penting dalam menganalisa rasionalitas al-Qur’an untuk mendapatkan pengetahuan yang nanti akan dijadikan dasar keshahihan. Sebuah keshahihan menumbuhkan sebuah kepercayaan. Melalui sebuah kepercayaan yang diyakini shahih (benar) diharapkan akan mengorientasikan tingkah laku.[4]
     Kedua, pentingnya “praktis” di balik pemikiran Islam peradaban. Kepentingan praktis ini untuk mendapatkan “makna” dari perwujudan konkrit al-Qur’an. Karena itu, selain analisis hermeneutik dari konsep-konsep kunci al-qur’an, mereka juga memberi perhatian besar pada Islam-nya kaum salaf. Metode yang dipakai untuk mengerti bagaimana “Islam Sejati” itu dilakukan dengan cara yang dalam istilah filsafat sosial disebut versteben (empati). Yakni, mencoba memahami bagaimana kalangan salaf itu mengayati dan menjalankan Islam. Mereka  dengan metode empati atau fenomenologis ini, tidak mencari hukum-hukum rasional seperti tampak pada kalangan “Islam Rasional”, melainkan ingin menemukan makna dan proses pembentukan Islam sebagai sebuah dorongan sejarah yang menghasilkan sebuah peradaban Islam.[5]
Selanjutnya, pembahasan metode pemikiran Nurcholis Madjid akan dikemukakan terlebih dahulu metode yang mempengaruhi pemikirannya secara umum, agar dapat diperoleh gambaran teoritis yang mencakup tiga hal : 1) tradisi pemikiran filsafat Marxisme melalui metodologi dialektika, 2) metode hermeneutika, 3) metode fenomenologi:
1.      Metode dialektika
Nurcholis Madjid sebagai salah seorang pemikir Islam Indonesia sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran filsafat materialisme historis. Dengan metode dialektika, ia melakukan sistematisasi dan penyatuan semua aspek pengetahuan dan pengalaman, dan menyusunnya kedalam satu keutuhan yang inklusif. Pemikirannya bisa disebut Marxisme, walaupun tidak termasuk Marxisme. Dalam bentuknya paling sederhana, metode ini berpandangan bahwa proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis, yaitu tesis menimbulkan antitesis dan keduanya diangkat menjadi sintesis.
Dalam bangunan pemikiran Nurcholis Madjid, metode dialektika dipakai untuk menjelaskan perkembangan Islam dan menentukan titik pijak serta alasan dasar melakukan suatu perubahan. Perubahan harus dipandang sebagai panggilan sejarah. Dengan bantuan metode dialektika historis dari Marx, ia meninjau ulang sejarah perkembangan perjuangan Islam.
Kemudian Nurcholis Madjid menggunakan dialektika untuk menggagas teologi sebagai antropologi yang merupakan cara “ilmiah” untuk mengatasi keterasingan teologis itu sendiri meminjam istilah Hasan Hanafi. Cara ini dilakukan Karl Marx terhadap filsafat hegel. Menurutnya, dialektika hegel berjalan pada kepalanya, agar dialektika itu dapat dipahami dengan benar, ia harus diletakkan di atas kakinya. Upaya Nurcholis Madjid ini tampak secara provokatif  dalam berbagai gagasannya seperti sekularisasi, desakralisasi dan lain-lain.
2.      Metode hermeneutika
Hermeneutika merupakan salah satu tema penting dalam pemikiran Nurcholis Madjid, bahkan ia menjadi integral dari wacana pemikirannya baik dalam filsafat, teologi, kalam, politik, maupun agama untuk memahami teks. Ia menerapkan hermeneutika sebagai metodologi untuk memahami al-Qur’an, dan pengembangannya dipengaruhi hermeneutika kontemporer barat.
Hermeneutika sebagai ilmu yang mereflesikan tentang bagaimana suatu kata atau event yang ada pada masa lalu mungkin dapat dipahami, dan secara eksistensial dapat bermakna di dalam situasi kekinian manusia. Ia mencakup baik aturan-aturan metodologis yang diterapkan dalam penafsiran maupun asumsi-asumsi epistmologis pemahaman. Sebagai sebuah metode, hermeneutika diartikan sebagai cara menafsirkan simbol yang berupa teks atau benda konkrit untuk ditemukan arti dan maknanya. Metode hermeneutika ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang. Semula hermeneutika digunakan untuk menafsirkan kitab suci keagamaan yang kemudian dikembangkan dalam ilmu-ilmu humaniora, dan termasuk di dalamnya filsafat. Keberadaan hermeneutika sangat penting dan peranannya cukup luas pada ilmu-ilmu kemanusiaan, sejarah, hukum, agama, filsafat, seni dan linguistik.
3.      Metode fenomenologi
Pemikiran Nurcholis Madjid sangat dipengaruhi oleh ketajaman analisis pemahaman terhadap realitas. Realitas, bagi Nurcholis Madjid, adalah realitas masyarakat, politik, ekonomi dan khazanah Islam. Keberhasilan mencapai cita-cita Islam tergantung pada kecermatan menganalisis realitas tersebut dan memetakan semuanya, ia menggunakan metode fenomenologi.
Metode fenomenologi ini sangat besar pengaruhnya tehadap Nurcholis Madjid. Bahkan juga, pendekatan ini digunakan dalam ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu alam dan matematika. Para tokoh, pemikir, agamawan, juga menggunakan metode fenomenologi dalam usahanya memahami filsafat, sejarah, politik, kebudayaan dan agama.[6]
C.    Pemikiran ketuhanan Nurcholis Madjid
Agama merupakan suatu cara manusia menemukan makna hidup dan dunia yang menjadi lingkungannya. Tapi, hidup kita dan lingkungan abad modern ini, untuk kebanyakan orang termasuk para pemeluk sendiri semakin sulit diterangkan maknanya. Kesulitan itu terutama ditimbulkan oleh masalah-masalah yang muncul akibat dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi. Ciri-ciri utama pada abad modern yang secara tak terbendung mengubah bentuk dan jaringan  masyarakat serta lembaga-lembaganya. Pada abad modern, nilai berganti dengan cepat, demikian pula cara hidup, dengan timbulnya rasa tidak menentu serta kejutan-kejutan memisahkan  manusia semakin jauh dari kepastian moral dan etis tradisional mereka. Inilah tantangan yang dihadapi agama-agama.
Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik, masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Cak Nur selalu membedakan antara pluralitas dan pluralisme. Pluralitas baginya adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keragaman itu. Yang ditekankan pada pluralisme Cak Nur adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan untuk bisa menerima perbedaan, karena tidak semuanya bisa menerima perbedaan. Dan apabila seseorang tidak dapat menerima pluralisme, itu karena pemahamannya yang belum dewasa.
Untuk sampai pada segi operasional agama dalam tindakan nyata manusia, yang menjadi tekanan pada pembicaraan ini, kita harus mepertimbangkan aspek “dramatis” kehidupan manusia, yang meliputi aspek keagamaan itu sendiri, kekuasaan, kekeluargaan dan kepribadian. Dalam konteks-konteks inilah mendefinisikan dirinya dalam hubungannya dengan orang lain, lalu menerima atau menolak kewenangan dan menentukan pilihan akan apa yang hendak dilakukan atau tidak, untuk memberi makna pada hidup ini.[7]
Catatan ini adalah apresiasi terhadap teologi Nurcholis Madjid yang dituangkan dalam ceramah kebudayannya “Islam” tidak pertama-tama dimengerti sebagai agama, melainkan sikap tunduk kepada Allah, sikap pasrah pada kebenaran. Sedangkan “agama” adalah pesan. Sikap keagamaan yang benar adalah semangat mencari kebenaran secara tulus dan murni, bebas dari segala kepalsuan. Semangat mencari kebenaran yang lapang dan terbuka, tidak sempit, toleran, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa.
Tampaknya pandangan ini bergerak ke arah de-institusionisasi agama, berupa descooling seciety dari Ivan Illich. Jadi, semacam de-institutional relogion. Tentu saja dalam batas tertentu dan dengan demikian menempatkan agama pada fungsinya yang tepat. Penghayatan agama semacam itu, meminjam istilah Erich Fromm, dapat disebut sebagai penghayatan agama yang humanistik dan bukan agama yang otoriter intergritas manusiawi, sedangkan penghayatan agama humanistik membawa manusia pada keterbatasan dan pengembangan kemanusiaannya melalui pengalaman kontemplatif dan mistik.[8]
Teologi pembebasan Islam berpangkal pada menerima Allah sebagai satu-satunya yang ditaati dan karena itu bebas dari kepercayaan palsu. Sejalan dengan itu tidak ada ciptaan Allah manapun di dunia ini yang dapat disembah dan ditaati seperti itu. Konsekuensi logis ialah menolak segala macam klaim absolut yang selalu mengandung bahaya menindas dan membelenggu. Sikap cinta pada kebenaran,  sikap Islam, adalah sekaligus cinta kepada manusia. Jadi pembebasan dari lingkungannya sekaligus juga bebas untuk dan bersama sesama manusia. Kalau demikian, kiranya dapat diharapkan berkembangnya komunikasi pembebasan yang sejati.[9]
Secara internal (dalam Islam) diproklamasikan bahwa tuhan-tuhan kecil (dewa) telah mati satu persatu dan diakui hanya ada satu Tuhan besar, Maha besar yang merupakan Tuhan semesta alam. Secara eksternal, tuhan-tuhan kecil tadi tetap saja boleh hidup dalam alam kepercayaan kelompok-kelompok penganut agama lain sebab Islam tak menaruh keberatan jika kelompok lain tetap percaya akan adanya sesembahan lain. dengan begitu selain pernyataan teologis lakum diniukum wa liyadin tadi juga harus dipahami sebagai sebuah pernyataan sosiologis dalam hubungan antar kelompok (agama). Pendek kata, dimensi sosiologis dari ayat itu dulunya, tapi begitu juga sekarang ini, merupakan jalan keluar itu artinya sudah dimiliki Islam sejak “di sananya”[10]



























BAB III
PENUTUP

Nurcholis Madjid adalah seorang tokoh yang intelektual dididik dan dibesarkan dalam lingkungan tradisi keagamaan Islam yang kuat dan dunia keilmuan Barat yang kritis. Pengembangan intelektualnya, akhirnya mengantarkan Nurcholis Madjid ke arah madzhab neo-modernisme dengan wacana yang bersifat humanitarianistik dan pemikiran yang liberal, tetapi tetap autentik dan historis.
Dengan pemikiran Nurcholis Madjid tersebut di atas, maka banyak sekali pemikirannya yang mengkritisi berbagai masalah, seperti relasi Islam dan negara dan Islam dan demokrasi. Baginya, Islam hanya menjelaskan bahwa tuntunan al-Qur’an mengenai kehidupan bernegara tidaklah menunjukkan kepada suatu model tertentu. Persoalan pemerintahan dan negara lebih banyak diserahkan kepada ijtihad umat Islam. Adapun mengenai Islam dan demokrasi, semestinya umat Islam tidak mempersoalkan lebih jauh, walaupun konsep demokrasi tidak ditemukan dalam al-Qur’an, sebagaimana negara. Namun, al-Qur’an mengandung prinsip-prinspi demokrasi, sehingga nilai-nilai demokrasi tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Cak Nur selalu membedakan antara pluralitas dan pluralisme. Pluralitas baginya adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keragaman itu. Yang ditekankan pada pluralisme Cak Nur adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan untuk bisa menerima perbedaan, karena tidak semuanya bisa menerima perbedaan. Dan apabila seseorang tidak dapat menerima pluralisme, itu karena pemahamannya yang belum dewasa.






BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran


Daftar Pustaka

Djumhur, Adang. 2010. Menulusuri Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam. Yogyakarta: Pilar Media.
Iskandar, Salman. 2009. 99 Tokoh Muslim Indonesia. Bandung: Mizan Pustaka.
Madjid, Nurcholis. 1997. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholis. 1999. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina.
Rachman, Budhy Munawar. 2001. Islam Pluralis. Jakarta: Paramadina.
Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Tharikat Nurcholisy.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1] Adang Djumhur, Menulusuri Pemikiran Tokoh-Tokoh Islam, (Yogyakarta: Pilar Media. 2010), cet pertama, hlm 117-118.
[2] Ibid.,hlm. 118.
[3] Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia, (Bandung: Mizan Pustaka, 2009), cet pertama, hlm. 153.
[4] Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 57.
[5] Nurcholis Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 103.
[6] Adang Djumhur, op.cit., hlm 132-135.
[7] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,(Bandung: Mizan, 1997), cet ke ix, hlm. 156.
[8] Jalaluddin Rakhmat,Tharikat Nurcholisy.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001), cet pertama, hlm. 55-56.
[9] Ibid., hlm. 57.
[10] Ibid., hlm. 53.

0 comments: