BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Biografi John
Wansbrough
John
Wansbrough adalah seorang ahli tafsir terkemuka di London. Ia memulai karir
akademiknya tahun 1960. Pada saat itu, ia menjadi staf pengajar di Departemen
Sejarah di School of Oriental and Africa Studies (SOAS University of London).
Kemudian, ia menjadi dosen Bahasa Arab yang berada di naungan Departemen Sastra
Timur Dekat. John Wansbrough sempat menjabat direktur di universitas tempat ia
bekerja. Ia adalah orang produktif terbukti banyak literatur yang
ditulisnya.
Secara
umum karya John Wansbrough memberikan kritik yang tajam atas kenabian Muhammad
dan al-Qur’an. Kenabiannya dianggap sebagai imitasi (tiruan) dari kenabian nabi
Musa as. yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Arab. Al-Qur’an, menurut John Wansbrough bukan merupakan sumber biografis
Muhammad, melainkan sebagai konsep yang disusun sebagai teologi Islam tentang
kenabian. Oleh karena itu, pemikiran yang dilontarkan John Wansbrough banyak
berseberangan dengan pemikir lainnya baik di kalangan orientalis Barat maupun
pemikir muslim.[1]
2.
Historisitas al-Qur’an dalam
pandangan John Wansbrough
Pada
umumnya, gagasan bahwa Yahudi dan Kristen merupakan agama-agama “dalam sejarah”
telah diterima oleh banyak kalangan. Pandangan bahwa sejarah merupakan “medan
percobaan”, di mana Tuhan melakukan intervensi dalam peristiwa-peristiwa
sejarah adalah kebenaran yang paling penting yang dibuktikan oleh kedua agama
tersebut, terlepas dari persoalan teologis. Penekanan pada aspek kesejarahan di
atas didorong oleh upaya untuk menemukan bukti-bukti yang dapat menunjukkan
kebenaran mutlak atau kepalsuan dari sebuah agama. Tentu saja, upaya ini sangat
tergantung pada pandangan sejarah tertentu yang digunakan oleh para sejarawan.
Hipotesa bahwa sumber-sumber yang tersedia untuk menjelaskan dasar-dasar
historis agama, khususnya kitab suci, yang di dalamnya terdapat data sejarah
yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan implikasi-implikasi sejarah yang
positif. Dalam hal ini, pendekatan historis berasumsi bahwa motivasi penulis
sumber kitab suci adalah sama seperti motivasi sejarawan untuk merekam “apa
yang sesungguhnya terjadi.”[2]
Terlepas
dari persolan teologis, ilmu modern berusaha mendekati Islam dengan cara yang
sama, yang secara tradisional memperlakukan Yahudi dan Kristen sebagai agama
sejarah, yaitu agama yang terpancang dalam sejarah. Relevansi dari asumsi ini akan
menggiring untuk bersikap sama terhadap sumber-sumber yang tersedia dalam
kajian Islam masa awal sebagaimana gambaran sikap terhadap kajian Yahudi dan
Kristen. Dari sumber-sumber ini, setidaknya akan didapatkan rekaman atau
data-data yang mendukung untuk menganalisis tentang apa yang sesungguhnya
terjadi dalam sejarah. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam dalam hal ini,
al-Qur’an yang menjadi sumber ajarannya, dalam pandangan para orientalis Barat,
memiliki tabir historis yang perlu diungkapkan dalam kajian ini.[3]
Setidaknya
terdapat empat pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat berkaitan
dengan asal-usul atau sumber al-Qur’an.
1. Bahwa asal usul atau sumber genetik
al-Qur’an berasal dari tradisi Yahudi.
2. Bahwa asal-usul atau sumber genetik
al-Qur’an berasal dari tradisi Kristen.
3. Bahwa asal-usul atau sumber genetik
al-Qur’an berasal dari kedua tradisi keagamaan Semit, yaitu Yahudi dan Kristen,
yang secara serempak mempengaruhinya.
4. Bahwa latar belakang al-Qur’an Islam
adalah milieu Arab, meskipun banyak terdapat unsur-unsur Yahudi-Kristen yang
diserap dalam formasi dan perkembangannya.
Berkaitan
dengan persoalan tersebut, John Wansbrough berpandangan bahwa historisitas
al-Qur’an merupakan sesuatu yang mengada-ada. Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup
menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri juga
Islam. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya
bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian yang “netral” untuk mengkaji Islam
pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti numismatik, bahkan
dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an. Bukti-bukti yang
berasal dari sumber-sumber di luar komunitas Islam sendiri tidak cukup banyak
dan upaya merekonstruksi bahan-bahan tersebut ke dalam kerangka historis
menghadapi banyak kesulitan.
Lebih
jauh, Wansbrough memandang bahwa semua korpus dokumentasi Islam masa awal
sebagai hal yang tidak dapat dipercaya. Semua yang berusaha dibuktikan oleh
al-Qur’an, dan apa yang berusaha dijelaskan oleh karya-karya tafsir, sirah dan
teologi, adalah bagaimana rangkaian peristiwa dunia yang terpusat pada masa
Muhammad diarahkan oleh Tuhan. Seluruh komponen sejarah ini, yang disebut
“Sejarah Penyelamatan Islam”, adalah sarana untuk menyaksikan titik iman yang
sama dengan Yahudi dan Kristen, yaitu pemahaman sejarah yang melihat peran
Tuhan dalam mengarahkan urusan-urusan manusia. Akan tetapi, sejarah
penyelamatan ini, dalam pandangan Wansbrough, tidak dapat membuktikan apa yang
sesungguhnya terjadi pada masa awal Islam, melainkan hanya berbentuk sastra
yang mempunyai konteks historisnya sendiri. Oleh karena itu, al-Qur’an harus
didekati dengan analisis sastra.[4]
3. Metodologi
Analisis Sastra John Wansbrough dan Penerapannya dalam al-Qur’an
Dalam dua bukunya, yaitu Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation dan The Sektarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History, John Wansbrough mengemukakan kritik terhadap nilai sumber dari sudut pandang sastra, dengan tujuan untuk melepaskan pandangan teologis dari sejarah dalam melihat asal-usul Islam. Hal ini disebabkan oleh pandangan John Wansbrough tentang tidak adanya kelayakan dalam penggunaan metode kritik historis terhadap sumber-sumber sejarah Islam masa awal tersebut.[5]
Dalam dua bukunya, yaitu Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation dan The Sektarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History, John Wansbrough mengemukakan kritik terhadap nilai sumber dari sudut pandang sastra, dengan tujuan untuk melepaskan pandangan teologis dari sejarah dalam melihat asal-usul Islam. Hal ini disebabkan oleh pandangan John Wansbrough tentang tidak adanya kelayakan dalam penggunaan metode kritik historis terhadap sumber-sumber sejarah Islam masa awal tersebut.[5]
Argumentasi
Wansbrough, dalam hal ini, adalah bahwa kita tidak tahu dan mungkin tidak akan
pernah dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Semua yang kita ketahui
sekarang adalah apa yang dipercaya telah terjadi oleh orang-orang yang datang
kemudian. Analisis sastra atas sumber semacam itu akan menyatakan pada kita
tentang komponen-komponen yang digunakan orang untuk menghasilkan pandangan-pandangan
mereka dan mendefinisikan secara tepat apa yang mereka kemukakan. Akan tetapi,
analisis sastra tidak akan bicara tentang apa yang terjadi.
Terkait dengan persoalan di atas,
seperti kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan wahyu yang diberikan kepada Nabi
Muhammad, sebagai respon Tuhan atas situasi sosio-moral masyarakat Arab pada
abad ke-7 M. Pewahyuannya terentang selama kurang lebih dua puluh dua tahun, di
saat mana Muhammad muncul dari posisi sebagai seorang pembaharu keagamaan yang
tidak terkenal di kota asalnya, Makkah, menjadi pemimpin aktual di Madinah dan
sebagian besar Jazirah Arab. Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan
lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah selaras dengan tujuan umat
Islam selama masa-masa tersebut, maka adalah sebuah kewajaran kalau gaya sastra
Al-Qur’an berubah-ubah serta susunannya tidak sistematis.[6]
Metode yang digunakan oleh John Wansbrough untuk membuktikan tesis-tesisnya adalah kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction criticism) al-Qur’an atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Kajian semacam ini berangkat dari proposisi bahwa rekaman-rekaman sastra “Sejarah Penyelamatan”, meskipun menampilkan diri seakan-akan semasa peristiwa yang dilukiskan, pada faktanya berasal dari periode setelah itu.[7]
Dalam aplikasinya, Wansbrough “menemukan” bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi pada karakter referensialnya dan kemunculan sejumlah ayat “duplikat”. Dalam hal ini, menurut Wansbrough, audiens al-Qur’an dipandang mampu mengisi detail-detailnya yang hilang dalam narasi. Akan tetapi kemudian, ketika Islam sebagai entitas dengan mapan dan stabil berdasarkan struktur politiknya datang setelah ekspansi Arab keluar wilayah mereka, materi al-Qur’an menjadi jauh dari lingkungan intelektual aslinya dan membutuhkan eksplikasi tertulis eksplikasi yang tersedia dalam tafsir dan sirah.[8]
Untuk menjelaskan pandangannya mengenai
karakter referensial al-Qur’an, Wansbrough memberikan contoh sebagai berikut,
yaitu pertama, contoh tentang Yusuf dan “saudara-saudaranya yang lain” dalam
surat Yusuf (12) ayat 59, paralel dengan kisah Injil dalam Genesis 42: 3-13, di
mana pengetahuan tentang kisah dalam Genesis diterima oleh sebagian audiens
al-Qur’an, karena di dalam al-Qur’an tidak disebutkan sebelumnya tentang
Benjamin dan kepergiannya dari rumah karena ketakutan Ya’kub atas
keselamatannya. Pernyataan Yusuf dalam al-Qur’an: “Bawalah padaku saudara
laki-lakimu dari ayahmu”, tidak muncul dalam konteks al-Qur’an, meskipun kita
tidak datang pertama kali dengan pengetahuan tentang kisah Injil.
Kedua, contoh berkaitan dengan kehendak Ibrahim untuk mengorbankan anak laki-lakinya, dan penyembelihan dalam al-Qur’an adalah implikasi dari kisah yang ada dalam Injil, di mana anak laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa dirinya adalah orang yang dipersembahkan. Di sini, permasalahannya jauh lebih kompleks karena tradisi tafsir Yahudi memainkan peran di dalamnya. Studi yang dilakukan Geza Vermes menjelaskan bahwa banyak tradisi Yahudi dan Kristen menyampaikan kisah bahwa Ishaq dalam tradisi Islam adalah Ismail mengetahui dirinya akan dikurbankan sebelum peristiwa sesungguhnya terjadi dengan tujuan untuk menekankan kehendak Ishaq untuk mempersembahkan dirinya sendiri. Tradisi tafsir Yahudi juga bersifat referensial. Tradisi ini berasumsi bahwa kisah tentang pengurbanan jelas bagi audiensnya dan bahwa signifikansi Ibrahim dalam kisah itu akan menjadi bukti bagi semua orang yang membaca Injil. Jadi, penekanannya pada Ishaq dan tentu saja bukan pada eksklusi peran Ibrahim. Posisi al-Qur’an juga sama. Pengetahuan tentang kisah Injil telah dikemukakan. Karakter referensial al-Qur’an perlu menjelaskan ketidakcukupan satu pendekatan terhadap al-Qur’an yang melihat apa yang disebut karakter “Arabia secara khusus” dari kitab ini dan mencoba mengabaikan latar belakang tradisi Yahudi-Kristen secara keseluruhan.
Analisis Wansbrough menyatakan bahwa al-Qur’an itu bukan sekedar “calque dari bentuk-bentuk yang mapan dari masa awal”, tetapi al-Qur’an juga berusaha mereproduksi Injil dalam bahasa Arab dan menyesuaikannya untuk masyarakat Arabia. Karena satu hal, al-Qur’an tidak mengikuti motif pemenuhan yang dipandang sebagai preseden oleh Perjanjian Baru dan penggunaannya dalam Injil Ibrani. Lebih dari itu, karena al-Qur’an muncul dalam situasi polemik, ada upaya yang jelas untuk memisahkan al-Qur’an dari wahyu Musa melalui sarana-sarana seperti modus pewahyuan dan penekanan pada bahasa dalam al-Qur’an.[9]
Kritik
sastra menggiring Wansbrough untuk menyimpulkan teks yang diterima (textus receptus)
dan selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan
yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Menurut Wansbrough, teks Al-Qur’an baru
menjadi baku setelah tahun 800 M. Wansbrough menyatakan bahwa riwayat-riwayat
mengenai AI-Qur’an versi Utsman adalah fiksi yang muncul di masa kemudian, yang
direkayasa oleh komunitas Muslim yang sedang muncul dalam usahanya untuk
menggambarkan asal-usulnya.[10]
4. Wacana
tentang Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an
Tesis yang dikemukakan John Wansbrough banyak mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, tanpa mengurangi kapasitas para pengkaji yang lain, wacana yang dikemukakan oleh Andrew Rippin dan Fazlur Rahman tampaknya cukup mewakili perdebatan dalam kajian ini.
Tesis yang dikemukakan John Wansbrough banyak mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, tanpa mengurangi kapasitas para pengkaji yang lain, wacana yang dikemukakan oleh Andrew Rippin dan Fazlur Rahman tampaknya cukup mewakili perdebatan dalam kajian ini.
Secara umum, Andrew Rippin sependapat dengan John Wansbrough. Atas dasar pemikiran bahwa Islam adalah agama dalam sejarah, Rippin membenarkan penggunaan analisis sastra oleh Wansbrough dalam mengkritisi Al-Qur’an, sebagaimana juga dipergunakan dalam mengkritisi kitab suci Yahudi dan Nasrani. Hal ini disebabkan oleh posisi Islam yang tidak historis karena tidak ada dukungan berupa bukti ekstra literer dalam data arkeologis yang tersedia. Sumber-sumber berupa teks berbahasa Arab dari kalangan muslim sendiri, lanjut Rippin, terdiri dari literatur-literatur yang ditulis dua abad setelah fakta sejarah terjadi.
Selanjutnya, apa yang dikemukakan
Wansbrough berkaitan dengan sumber-sumber Islam masa awal, menurut Rippin,
bukanlah hal yang baru. Dalam hal ini Rippin beralasan bahwa Ignaz Goldziher
dan Yosepht Schacht telah lebih dulu menyatakan hal demikian. Keduanya memahami
bahwa sabda-sabda yang disandarkan kepada Muhammad dan digunakan untuk
mendukung posisi hukum atau doktrin dalam Islam sebenarnya berasal dari periode
kemudian, dari masa-masa ketika posisi hukum dan doktrin ini sedang mencari
dukungan dari apa yang disebut sebagai sunnah.
Sementara dalam menanggapi tesis-tesis John Wansbrough dan
pembelaan Andrew Rippin terhadap metode dan hasil yang dicapainya, Fazlur
Rahman menyatakan bahwa keampuhan metode historis sebenarnya sudah cukup
membuktikan tentang keaslian bahan-bahan historis kaum Muslim, dan pengalihan
kepada suatu metode analisa sastra yang murni tidak diperlukan.[11]
Fazlur Rahman juga memberikan kritik terhadap tesis Wansbrough bahwa Al-Qur’an merupakan perpaduan berbagai tradisi yang berbeda. Rahman menilai bahwa Wansbrough belum sepenuhnya memahami fenomena substitusi ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainnya. Fenomena ini diakui sendiri oleh Al-Qur’an dan dinamakan naskh yang berarti substitusi atau penghapusan. Untuk menjadi substitusi harus ada ayat baru sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah sebuah keharusan kronologis yang sulit dipertahankan bila Al-Qur’an hanya merupakan perpaduan serentak dari berbagai tradisi. Fazlur Rahman juga menilai bahwa Wansbrough kurang memiliki data-data historis mengenai asal-usul, sifat atau karakter, evaluasi dan person-person yang terlibat dalam apa yang dia sebut sebagai tradisi-tradisi tersebut. Sejumlah persoalan penting dalam Al-Qur’an, menurut Fazlur Rahman, hanya dapat dipahami dalam terma-terma kronologis yang terbentang dalam suatu dokumen yang tunggal. Al-Qur’an tidak dapat dipahami sebagai sebuah perpaduan unsur-unsur yang berbeda dan bertentangan. Dengan demikian, tesis Wansbrough yang didasarkan pada adanya repetisi dan duplikasi dalam Al-Qur’an tidaklah tepat, karena hal tersebut lebih mencerminkan perkembangan tema atau misi kenabian Muhammad dalam tahapan-tahapan kronologisnya.[12]
Berikutnya,
pembelaan Rippin yang menyatakan bahwa Wansbrough bukanlah orang pertama yang
mempermasalahkan sumber-sumber data Islam yang awal ini pun tidak luput
mendapat dikritik dari Fazlur Rahman. Memang benar bahwa Ignaz Goldziher dan
Yosepht Schacht telah mendahului Wansbrough, tetapi keduanya mempelopori
pendekatan ini dalam hubungannya dengan kritik hadits. Menurut Fazlur Rahman,
Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht bersandar pada metode sejarah untuk
menunjukkan bahwa hadits-hadits tertentu muncul setelah hadits lainnya. Oleh
karena itu, lanjut Rahman, tidak jelas logika apa yang dipakai oleh Rippin
untuk menawarkan metode sejarah Goldziher dan Schacht untuk mendukung analisis
sastra Wansbrough, karena metode yang terakhir bersifat arbitrer.[13]
Mengenai
alasan Rippin tentang adanya beberapa pengkaji yang menekankan latar belakang
Arab Islam dengan kontribusi Yahudi dan Kristen, Fazlur Rahman berpendapat
bahwa Wansbrough telah melampau batas-batas yang dapat diterima akal dalam
memandang al-Qur’an sebagai manifestasi sektarian Yahudi-Kristen sepenuhnya.
Pada faktanya, di Arab sendiri[14]
Terlepas dari perdebatan di atas, perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Mohammed Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika di kalangan Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Di samping itu, dia pun menyayangkan bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim. Menurut Mohammed Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin dikembangkannya, di mana intervensi ilmiah John Wansborugh cocok dengan framework yang diusulkannya. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang hasilnya akan cukup meresahkan bagi kalangan fundamentalis.[15]
Penolakan kalangan Muslim terhadap pendekatan kritis-historis al-Quran, dalam pandangan Mohammed Arkoun, lebih bernuansa politis dan psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah mengenai ke-makhluk-an al-Quran dalam ranah ilmu kalam. Padahal, menurut Mohammed Arkoun, mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang kemudian dijadikan ”tak terpikirkan” dan makin menjadi ”tak terpikirkan” karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.[16]
Berkaitan dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd seorang intelektual asal Mesir, Mohammed Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid Abu Zayd tersebut. Padahal metodologi Nasr Hamid Abu Zayd, menurut Mohammed Arkoun, memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Quran. Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tetapi juga oleh Kristen maupun ateis. Al-Quran adalah teks linguistik-historis-manusiawi yang berkembang dalam tradisi Arab.[17]
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan
uraian tentang permasalahan metodologi analisis sastra John Wansbrough terhadap
al-Qur’an, tafsir, dan sirah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu
pertama, John Wansbrough berpandangan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah
yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan
asal-usul geneologisnya sendiri. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan
oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian untuk
mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti
numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an.
Untuk mengatasi hal tersebut, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra.
Kedua, metode yang digunakan oleh John Wansbrough adalah kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction criticism) al-Qur’an atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Dalam aplikasinya, John Wansbrough mendapatkan temuan bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi (dan Kriten), juga kemunculan ayat “duplikat” yang terdapat di dalamnya.
Ketiga, tesis yang dikemukakan John Wansbrough di atas mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, terlepas dari perdebatan antara Andrew Rippin (pro) dan Fazlur Rahman (kontra) di atas, perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd, di mana pandangannya tentang al-Qur’an mendapat reaksi yang bertentangan di kalangan Muslim.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
Arkoun,
Mohammed. 1997. Berbagai Pembacaan
Qur’an, terj. Machasin. Jakarta: INIS.
Martin,Richard C. 2002. Pendekatan Kajian Islam dalam Studi
Agama. Surakarta: Muhammadiyyah University. Sastra Pesantren.blogspot.com
diunduh 17.40 13 Nopember
2013.
Rahman, Fazlur.
1996. Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka.
Sastra Pesantren.blogspot.com diunduh 17.40 13 Nopember 2013.
Sangperaihimpian.blogspot.com
diunduh 17.36, 13 Nopember 2013.
[1] sangperaihimpian.blogspot.com
diunduh 17.36, 13 Nopember 2013.
[2]
Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, (Surakarta:
Muhammadiyyah University, 2002), hal 201.
[3]
Sastra
Pesantren.blogspot.com diunduh 17.40 13 Nopember 2013.
[4]
Ibid.
[5]
Richard C. Martin, loc.it., hal. 204.
[6]
Sastra Pesantren. Loc.it.
[7]
Ibid.
[8]
Ibid.
[9]
Richard C. Martin, loc.it., hal. 204.
[10]
Sastra Pesantren. Loc.it.
[11]
Ibid.
[12]
Rahman Fazlur. Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas
Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1996
[13]Rippin,
Andrew, “Analisis Sastra Terhadap al-Qur’an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John
Wansbrough”, dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi
Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2002
[14]
Ibid.
[15]
Mohammed Arkoun. Berbagai Pembacaan Qur’an, terj.
Machasin, Jakarta: INIS, 1997
[16]
Ibid.
[17]
Ibid.
0 comments:
Post a Comment