اَهْلاًوَسَهْلاً

Friday, 28 March 2014

Bai’at Menurut Tafsir al-Maraghi dan fi Zilal Qur’an



MAKALAH
Bai’at Menurut Tafsir
 al-Maraghi dan fi Zilal Qur’an
 Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Tafsir Sains
Dosen pengampu : Hj. Hartati, MA














Disusun oleh:
Mulya
NIM: 14113450009

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS ADADIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2014


BAB II

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bai’at
Secara etimologi Bai’at adalah Isim mashdar dari baa-ya’a-yubaaya’a-bay’atun بايع – يبايع - بيعة Asalnya sama dengan baayi’un (transaksi). Makna bai’at itu sendiri adalah sumpah setia dengan suatu kepemimpinan. Sehingga ada jalinan hubungan yang kuat antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dengan prosesi bai’at terjalinlah ikatan hukum berupa hak dan kewajiban serta tanggung jawab kedua belah pihak secara adil dan proporsional. Adanya hak dan kewajiban ini merupakan hasil dari bai’at.
Istilah Bai’at disebut juga dengan talqin. Talqin dipakai oleh para Ahli Tarekat, sedangkan Bai’at sering digunakan dalam Fiqh Siyasah (Politik Islam). Bai’at juga disebut juga dengan Ijazah. Ijazah mengandung arti memberikan suatu amalan atau wirid (kepada murid). Dalam kebijakan Al-Idrisiyyah Al-Islamiyyah, ketiga istilah ini (Bai’at – Talqin dan Ijazah) dipadukan dalam satu kesatuan. Bai’at mengandung kesepakatan terhadap kepemimpinan yang di dalamnya mengandung pendidikan atau pengajaran sekaligus adanya pemberian amalan (wirid).
Wiridan dalam Ijazah mesti dilakukan oleh setiap murid untuk mengikat batin, agar tercipta kelangsungan bimbingan dari seorang Guru kepada murid-muridnya. Karena bimbingan Islam tidak dibatasi waktu dan tempat. Kapanpun dan di manapun bimbingan (tarbiyyah) ruhiyyah bisa dirasakan. Seorang murid mesti memiliki daya juang (mujahadah) untuk mendapatkan hubungan tarbiyyah berjalan dengan baik, salah satunya dengan melaksanakan formula dzikir yang diterimanya. Apabila seorang Mursyid dengan tanggungjawabnya senantiasa memperhatikan keselamatan dan kebahagiaan murid-muridnya di dunia dan akhirat, dan Allah memberikan kekuatan berupa Nur Ilahi-Nya, kemudian muridnya melakukan mujahadah dalam ijazahnya maka akan tersambunglah hubungan tersebut. Sebagaimana Firman Allah Swt. Dalam QS. Al-Fath: 10.[1]
B.     Bai’at Menurut Tafsir al-Maraghi
!$¯RÎ) š»oYù=yör& #YÎg»x© #\Ïe±t6ãBur #\ƒÉtRur ÇÑÈ   (#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur çnrâÌhyèè?ur çnrãÏj%uqè?ur çnqßsÎm7|¡è@ur Zotò6ç/ ¸xϹr&ur ÇÒÈ   ¨bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRqãè΃$t6ム$yJ¯RÎ) šcqãè΃$t7ム©!$# ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4 `yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Ztƒ 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ  
#YÎg»x©: Saksi atas umatmu berdasarkan firman Allah Swt.
#\Ïe±t6ãB : Pemberi kabar gembira dengan diperolehnya pahala atas ketaatan.
#\ƒÉtRu: Pemberi peringatan tentang adanya adzab atas kemaksiatan.
nrâÌhyèè?u: Kamu menolong Allah
nrãÏj%uqè?u: Kamu mengagungkan-Nya
otò6ç/: Awal siang (pagi).
xϹr&u : Akhir siang (sore).
Rqãè΃$t6ãƒ: Mereka berjanji setia kepadamu di Hudaibiyyah, yakni ketika mereka berjanji setia kepada Nabi Saw. Sampai mati dalam membela dan menolongnya, demikian sebagaimana diriwayatkan dari Salamah bin Al-Aqwa dan lainnya, atau berjanji setia bahwa mereka takkan lari dari menghadapi orang-orang Quraisy.
©!$# šcqãè΃$t7ãƒ$yJ¯RÎ): Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Karena tujuan dari berjanji setia kepada Rasul dan taat kepadanya adalah taat kepada Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya.
ßöNÍkÉ÷ƒr& s-öqsù tƒ «!$#: Pertolongan Allah kepada orang-orang mu’min lebih tinggi dan lebih kuat daripada pertolongan  mereka kepada Allah .
y]s3¯R: Melanggar janji, bila orang mengatakan Auffan bil ahdi atau waffa bil ahdi itu artinya ia menunaikan janji dengan sempurna.[2]
1.      Pengertian secara ijmali
Setelah usai dari membicarakan tentang buah perjuangan yang diperoleh oleh masing-masing dari Nabi Saw. Dan orang-orang mukmin yang merupakan yang merupakan hasil usaha mereka, maka dilanjutkan dengan dengan menerangkan hal yang mereka peroleh bersama-sama. Allah ta’ala menyebutkan bahwa Dia mengutus Rasulnya sebagai saksi atas umatnya dan sebagai pemberi kabar gembira kepada mereka dengan adanya pahala dan pemberi peringatan tentang adanya hukuman.
Kemudian, Allah menerangkan bahwa faidah dari diutusnya beliau ini adalah agar orang beriman kepada Allah, mengangungkan dan menyucikan-Nya pagi dan petang, agar membela agama-Nya..
Selanjutnya Allah menyebutkan tentang bai’at Hudaibiyah (sebuah perkampungan kecil yang jauhnya kurang dari satu marhalah dari Makkah). Perkampungan itu diberi nama sebuah sumur di sana. Dan bahwa orang-orang yang menyatakan bai’at di situ sesungguhnya bersumpah setia kepada Allah dan bertekad untuk membela agama-Nya, dan barang siapa di antara mereka yang melanggar janji, maka akibat buruk dari pelanggaran tersebut akan kembali kepada dirinya sendiri dan tidak membahayakan kecuali kepada dirinya sendiri.
¨  ©!$#šcqãè΃$t7ム$yJ¯RÎ) y7tRqãè΃$t6ムšúïÏ%©!$#bÎ)
Al-baiah pada asalnya berarti akad yang diucapkan seseorang untuk dirinya sendiri untuk melakukan ketaatan kepada seorang imam dan untuk menunaikan suatu janji yang ia bertekad untuk melaksanakannya. Adapun yang dimaksud di sinilah ialah Bai’atu Ridhwan du Hudaibiyah itu. Di mana sekelompok sahabat Nabi telah bersumpah setia kepada beliau  untuk tidak lari dari pertempuran. Di antara mereka adalah Ma’qil dan Yasar.
Maksud ayat, sesungguhnya orang-orang yang bersumpah  setia kepadamu di Hudaibiyah di antara sahabat-sahabatmu, untuk tidak lari mnghadapi musuh, dan takkan mundur dari mereka, sesungguhnya mereka bersumpah setia kepada Allah dengan cara bersumpah setia kepadamu. Dan sesungguhnya  Allah telah menjamin mereka akan memperoleh surga karena mereka menunaikan sumpah tersebut kepada-Nya.

Selanjutnya Allah lebih menegaskan lagi keterangan-Nya  dengan firman-Nya:
ßöNÍkÉ÷ƒr&  s-öqsù  «!$#tƒ
Nikmat Allah kepada mereka berupa petunjuk melebihi dari bai’at yang mereka lakukan,
yß¾ÏmÅ¡øÿtR 4n?tã  ]ä3Ztƒ$yJ¯RÎ*sù ]s3¯R ( `yJsù
Dan barang siapa yang memenuhi janjinya dalam bai’at tersebut, maka ia akan memperoleh upah dan pahala di akhirat dan Allah akan memasukkan ke dalam surga di mana ia mendapatkan hal-hal yang tak pernah dilihat oleh mata siapapun, tak pernah didengar oleh telinga siapapun, dan tak pernah terlintas dalam hati siapapun.[3]







C.    Bai’at Menurut Tafsir fi Zilal al-Qur’an
¨bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRqãè΃$t6ム$yJ¯RÎ) šcqãè΃$t7ム©!$# ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4 `yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Ztƒ 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ  
bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah.[4] tangan Allah di atas tangan mereka.[5] Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Rasulullah datang untuk menghubungkan kaum mu’minin dengan Allah dan mereka dengan-Nya melaui tali bai’at yang takkan terputus, walaupun Rasulullah telah tiada. Ikatan terjadi tatkala beliau meletakkan tangannya di atas tangan mereka. Karena hal itu merupakan janji setia kepada Allah.

bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka,

Itulah gambaran bai’at yang agung dan memiriskan hati antara mereka dan Rasulullah. Setiap orang menyadari, tatkala tangannya berada di atas tangan beliau bahwa tangan Allah berada di atas tangan mereka. Allah menyadari bai’at itu Allah pemilik bai’at itu. Allah memegangnya, dan tangan-Nya berada di atas tangan mereka tangan siapa ? Tangan Allah ! Alangkah miris, takut dan sakralnya bai’at itu !
Suasana itu merenggut segala betik niat untuk melanggar janji, meskipun sosok Rasulullah telah tiada, karena Allah senantiasa hadir, tidak lenyap. Allah senantiasa memgang janji ini, melihat realisasinya dan memantaunya.

“Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri”

Dialah (pelanggar janji) yang merugi dalam segala aspek. Dialah yang tidak meraih keuntungan dari perjanjian dia dan Allah. Tiada suatu perjanjian yang terjalin antara dengan salah seorang hamba-Nya, melainkan hambalah yang meraih keuntungan berupa karunia Allah, sebab Allah tidak memerlukan alam semesta ini. Dialah yang merugi, jika dia melanggar dan mengingkari janjinya dengan Allah. Lalu, dia masuk ke dalam murka dan siksa lantaran melakukan pelanggaran yang dibenci dan dimurkai-Nya. Allah menyukai pemenuhan dan menyukai orang orang yang memenuhi janji-Nya.
“dan Barang siapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
‘pahala yang besar’ sebagai ungkapan yang mutlak, yang tidak dapat dipisah-pisah dan dibatasi. Yaitu, pahala yang dikatakan Allah, timbangan-Nya dan penjelesan-Nya yang tak dapat digambarkan oleh anak manusia yang segelintir, terbatas dan fana.[6]



D.    Analisa Penafsiran
Cara penafsiran antara Sayiid Quthb dan Al-Maraghi dapat danalisa bahwa, melihat kehidupan sosial Sayyid Quthb pada saat dia mengarang kitab tafsirnya, memiliki pengalaman dan hasil studi selama di Amerika Serikat yang meluaskan wawasan pemikirannya mengenai problem-problem sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham materialisme yang gersang akan paham ketuhanan. Ketika kembali ke Mesir ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan manusia dari paham materialism sehingga terlepas dari cengkraman materi yang tak pernah terpuaskan.[7]
Kaitannya dengan bai’at bahwa Betapa sakralnya proses pembai’atan, ketika itu tangan Allah berada di atas tangan mereka, seolah-olah Allah langsung memberikan amanat amalan tersebut. Meskipun Rasul telah tiada, tidak menghilangkan sakralnya bai’at tersebut, karena Allah tetaplah memantau, analoginya walaupun seorang Guru telah tiada pada hakikatnya suatu ilmu harus tetap diamalkan sesuai bidangnya.
Sedangkan Maraghi merupakan potret ulama yang mengabdikan hampir seluruh waktunya untuk kepentingan ilmu, di sela sela mengajar, ia tetap menyisihkan waktunya untuk menulis,[8] kaitannya betapa urgen sekali bai’at untuk dicanangkan karena dengan proses pembai’atan, suatu amalan (wiridan) dari seorang guru yang diberikan kepada muridnya mempunyai ikatan yang saling terhubung dari satu guru ke guru selanjutnya sehingga terhubung dengan sunah Rasul, dan Rasul yang menghubungkan kepada Allah. Jadi amalan yang diterima murid (kaum mu’minin) berasal dari Allah.
Tidak sedikit orang yang pintar dan kemampuan lebih, namun mereka salah menggunakannya tidak sadar dengan perjanjian pada saat di bai’at (ijazah). Maka akibatnya orang melanggar ilmunya sendiri, tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya diamalkan kerugianlah yang didapat, kemurkaan dan siksa dari Allah. Pada dasarnya Allah tidak memerlukan alam seisinya, tidaklah rugi bagi Allah apabila hambanya melakukan penyimpangan dalam menggunakan ilmu (amalan). Yang terpenting adalah sejauh mana iman hambanya bisa memegang amanat dari Allah. Ketika hambanya menepati janjinya dengan mengamalkan ilmu sebagaimana mestinya, maka dia akan mendapatkan pahala yang besar.
Seorang Mursyid bertugas (ibadah) melakukan bimbingan, mencurahkan pikiran dan strategi, membuat berbagai metodologi dan inovasi, supaya kebijakan yang dibawanya bisa direspon dan diamalkan oleh murid pada khususnya dan umat pada umumnya. Tanggung jawab seorang Mursyid itu begitu besar, karena berupa Risalah Al-Islamiyyah yang pernah ditawarkan kepada seluruh makhluk lain sebelum manusia, mereka tidak sanggup memikulnya.
Tanggung jawab seorang Mursyid bersifat internal dan eksternal. Skalanya sangat luas. Sedangkan seorang murid minimal mempertanggungjawabkan dirinya masing-masing. Kewajiban yang diistiqamahkan akan menghasilkan kualitas diri yang baik. Bahkan diharapkan menjadi hamba pilihan.
Supaya menjadi suri tauladan bagi manusia, sebagai kewajiban internal dan eksternal. Murid yang telah berbai’at, mendapatkan bimbingan lahir batin, wawasan keislaman yang luas, pendalaman dan penghayatan tentang agama, akan menghasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas, serta menjadi contoh di hadapan umat manusia, dan Ijazah adalah proses pembentukan diri.[9]











BAB III
KESIMPULAN
Melihat kehidupan sosial Sayyid Quthb pada saat dia mengarang kitab tafsirnya, memiliki pengalaman dan hasil studi selama di Amerika Serikat yang meluaskan wawasan pemikirannya mengenai problem-problem sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham materialisme yang gersang akan paham ketuhanan. Ketika kembali ke Mesir ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan manusia dari paham materialism sehingga terlepas dari cengkraman materi yang tak pernah terpuaskan.
Kaitannya dengan bai’at bahwa Betapa sakralnya proses pembai’atan, ketika itu tangan Allah berada di atas tangan mereka, seolah-olah Allah langsung memberikan amanat amalan tersebut. Meskipun Rasul telah tiada, tidak menghilangkan sakralnya bai’at tersebut, karena Allah tetaplah memantau, analoginya walaupun seorang Guru telah tiada pada hakikatnya suatu ilmu harus tetap diamalkan sesuai bidangnya.







Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran









Daftar Pustaka
Al-Maraghiy, Ahmad Mustafa .Tafsir al-Maraghi. Semarang: Toha Putra.
Quthb, Sayyid. 2004. Tafsir fi Zilal Qur’an, Jakarta: Gema Insani.



[2] Ahmad Mustafa Al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra), hal. 152.
[3] Ibid., hal 153-154.
[4] Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan 'umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai'ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai'atur Ridwan. Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
[5] Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.

[6] Sayyid Quthb, Tafsir fi Zilal Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2004).
[7] Ibid.
[9] al-Idrisiyyah. Loc. it
 

0 comments: