MAKALAH
Bai’at Menurut Tafsir
al-Maraghi dan fi Zilal Qur’an
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Tafsir Sains
Dosen pengampu : Hj. Hartati, MA
Disusun oleh:
Mulya
NIM: 14113450009
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS ADADIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2014
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bai’at
Secara etimologi Bai’at adalah Isim mashdar dari
baa-ya’a-yubaaya’a-bay’atun بايع – يبايع -
بيعة
Asalnya sama dengan baayi’un (transaksi). Makna bai’at itu sendiri adalah
sumpah setia dengan suatu kepemimpinan. Sehingga ada jalinan hubungan yang kuat
antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dengan prosesi bai’at terjalinlah
ikatan hukum berupa hak dan kewajiban serta tanggung jawab kedua belah pihak
secara adil dan proporsional. Adanya hak dan kewajiban ini merupakan hasil dari
bai’at.
Istilah Bai’at
disebut juga dengan talqin. Talqin dipakai oleh para Ahli Tarekat, sedangkan
Bai’at sering digunakan dalam Fiqh Siyasah (Politik Islam). Bai’at juga disebut
juga dengan Ijazah. Ijazah mengandung arti memberikan suatu amalan atau wirid
(kepada murid). Dalam kebijakan Al-Idrisiyyah Al-Islamiyyah, ketiga istilah ini
(Bai’at – Talqin dan Ijazah) dipadukan dalam satu kesatuan. Bai’at mengandung
kesepakatan terhadap kepemimpinan yang di dalamnya mengandung pendidikan atau
pengajaran sekaligus adanya pemberian amalan (wirid).
Wiridan dalam
Ijazah mesti dilakukan oleh setiap murid untuk mengikat batin, agar tercipta
kelangsungan bimbingan dari seorang Guru kepada murid-muridnya. Karena
bimbingan Islam tidak dibatasi waktu dan tempat. Kapanpun dan di manapun
bimbingan (tarbiyyah) ruhiyyah bisa dirasakan. Seorang murid mesti memiliki
daya juang (mujahadah) untuk mendapatkan hubungan tarbiyyah berjalan dengan
baik, salah satunya dengan melaksanakan formula dzikir yang diterimanya. Apabila seorang Mursyid dengan
tanggungjawabnya senantiasa memperhatikan keselamatan dan kebahagiaan
murid-muridnya di dunia dan akhirat, dan Allah memberikan kekuatan berupa Nur
Ilahi-Nya, kemudian muridnya melakukan mujahadah dalam ijazahnya maka akan
tersambunglah hubungan tersebut. Sebagaimana Firman Allah Swt. Dalam QS.
Al-Fath: 10.[1]
B. Bai’at Menurut Tafsir al-Maraghi
!$¯RÎ) »oYù=yör& #YÎg»x© #\Ïe±t6ãBur #\ÉtRur ÇÑÈ (#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur çnrâÌhyèè?ur çnrãÏj%uqè?ur çnqßsÎm7|¡è@ur Zotò6ç/ ¸xϹr&ur ÇÒÈ ¨bÎ) úïÏ%©!$# y7tRqãèÎ$t6ã $yJ¯RÎ) cqãèÎ$t7ã ©!$# ßt «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& 4 `yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Zt 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ
#YÎg»x©: Saksi atas umatmu berdasarkan firman Allah Swt.
#\Ïe±t6ãB : Pemberi kabar gembira dengan diperolehnya pahala atas ketaatan.
#\ÉtRu: Pemberi peringatan tentang adanya adzab atas kemaksiatan.
nrâÌhyèè?u: Kamu menolong Allah
nrãÏj%uqè?u: Kamu mengagungkan-Nya
otò6ç/: Awal siang (pagi).
xϹr&u : Akhir siang (sore).
RqãèÎ$t6ã: Mereka berjanji setia kepadamu di
Hudaibiyyah, yakni ketika mereka berjanji setia kepada Nabi Saw. Sampai mati
dalam membela dan menolongnya, demikian sebagaimana diriwayatkan dari Salamah
bin Al-Aqwa dan lainnya, atau berjanji setia bahwa mereka takkan lari dari
menghadapi orang-orang Quraisy.
©!$#
cqãèÎ$t7ã$yJ¯RÎ): Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada
Allah. Karena tujuan dari berjanji setia kepada Rasul dan taat kepadanya adalah
taat kepada Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya.
ßöNÍkÉ÷r& s-öqsù
t
«!$#: Pertolongan Allah kepada orang-orang mu’min lebih tinggi dan lebih kuat
daripada pertolongan mereka kepada Allah
.
y]s3¯R: Melanggar janji, bila orang mengatakan Auffan bil ahdi
atau waffa bil ahdi itu artinya ia menunaikan janji dengan sempurna.[2]
1.
Pengertian secara ijmali
Setelah usai
dari membicarakan tentang buah perjuangan yang diperoleh oleh masing-masing
dari Nabi Saw. Dan orang-orang mukmin yang merupakan yang merupakan hasil usaha
mereka, maka dilanjutkan dengan dengan menerangkan hal yang mereka peroleh
bersama-sama. Allah ta’ala menyebutkan bahwa Dia mengutus
Rasulnya sebagai saksi atas umatnya dan sebagai pemberi
kabar gembira kepada mereka dengan adanya pahala dan
pemberi peringatan tentang adanya hukuman.
Kemudian, Allah
menerangkan bahwa faidah dari diutusnya beliau ini adalah agar orang beriman
kepada Allah, mengangungkan dan menyucikan-Nya pagi dan petang, agar membela
agama-Nya..
Selanjutnya
Allah menyebutkan tentang bai’at Hudaibiyah (sebuah perkampungan kecil yang
jauhnya kurang dari satu marhalah dari Makkah). Perkampungan itu diberi
nama sebuah sumur di sana. Dan bahwa orang-orang yang menyatakan bai’at di situ
sesungguhnya bersumpah setia kepada Allah dan bertekad untuk membela agama-Nya,
dan barang siapa di antara mereka yang melanggar janji, maka akibat buruk dari
pelanggaran tersebut akan kembali kepada dirinya sendiri dan tidak membahayakan
kecuali kepada dirinya sendiri.
¨ ©!$#cqãèÎ$t7ã $yJ¯RÎ) y7tRqãèÎ$t6ã
úïÏ%©!$#bÎ)
Al-baiah pada asalnya berarti akad yang diucapkan
seseorang untuk dirinya sendiri untuk melakukan ketaatan kepada seorang imam
dan untuk menunaikan suatu janji yang ia bertekad untuk melaksanakannya. Adapun
yang dimaksud di sinilah ialah Bai’atu Ridhwan du Hudaibiyah itu. Di mana sekelompok sahabat Nabi telah bersumpah setia kepada
beliau untuk tidak lari dari
pertempuran. Di antara mereka adalah Ma’qil dan Yasar.
Maksud ayat,
sesungguhnya orang-orang yang bersumpah
setia kepadamu di Hudaibiyah di antara sahabat-sahabatmu, untuk tidak
lari mnghadapi musuh, dan takkan mundur dari mereka, sesungguhnya mereka
bersumpah setia kepada Allah dengan cara bersumpah setia kepadamu. Dan
sesungguhnya Allah telah menjamin mereka
akan memperoleh surga karena mereka menunaikan sumpah tersebut kepada-Nya.
Selanjutnya Allah lebih menegaskan
lagi keterangan-Nya dengan firman-Nya:
ßöNÍkÉ÷r& s-öqsù «!$#t
Nikmat Allah kepada mereka berupa petunjuk melebihi dari bai’at yang
mereka lakukan,
yß¾ÏmÅ¡øÿtR 4n?tã ]ä3Zt$yJ¯RÎ*sù ]s3¯R ( `yJsù
Dan barang siapa yang memenuhi janjinya dalam bai’at
tersebut, maka ia akan memperoleh upah dan pahala di akhirat dan Allah akan
memasukkan ke dalam surga di mana ia mendapatkan hal-hal yang tak pernah
dilihat oleh mata siapapun, tak pernah didengar oleh telinga siapapun, dan tak
pernah terlintas dalam hati siapapun.[3]
C. Bai’at Menurut Tafsir fi Zilal al-Qur’an
¨bÎ) úïÏ%©!$# y7tRqãèÎ$t6ã $yJ¯RÎ) cqãèÎ$t7ã ©!$# ßt «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& 4 `yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Zt 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ
bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah.[4]
tangan Allah di atas tangan mereka.[5]
Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu
akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah
Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
Rasulullah datang untuk menghubungkan kaum mu’minin
dengan Allah dan mereka dengan-Nya melaui tali bai’at yang takkan terputus,
walaupun Rasulullah telah tiada. Ikatan terjadi tatkala beliau meletakkan
tangannya di atas tangan mereka. Karena hal itu merupakan janji setia kepada
Allah.
bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka,
Itulah gambaran
bai’at yang agung dan memiriskan hati antara mereka dan Rasulullah. Setiap
orang menyadari, tatkala tangannya berada di atas tangan beliau bahwa tangan
Allah berada di atas tangan mereka. Allah menyadari bai’at itu Allah pemilik bai’at
itu. Allah memegangnya, dan tangan-Nya berada di atas tangan mereka tangan
siapa ? Tangan Allah ! Alangkah miris, takut dan sakralnya bai’at itu !
Suasana itu
merenggut segala betik niat untuk melanggar janji, meskipun sosok Rasulullah
telah tiada, karena Allah senantiasa hadir, tidak lenyap. Allah senantiasa
memgang janji ini, melihat realisasinya dan memantaunya.
“Maka Barangsiapa yang melanggar
janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri”
Dialah
(pelanggar janji) yang merugi dalam segala aspek. Dialah yang tidak meraih
keuntungan dari perjanjian dia dan Allah. Tiada suatu perjanjian yang terjalin
antara dengan salah seorang hamba-Nya, melainkan hambalah yang meraih
keuntungan berupa karunia Allah, sebab Allah tidak memerlukan alam semesta ini.
Dialah yang merugi, jika dia melanggar dan mengingkari janjinya dengan Allah.
Lalu, dia masuk ke dalam murka dan siksa lantaran melakukan pelanggaran yang
dibenci dan dimurkai-Nya. Allah menyukai pemenuhan dan menyukai orang orang
yang memenuhi janji-Nya.
“dan
Barang siapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya
pahala yang besar.”
‘pahala yang besar’ sebagai ungkapan yang mutlak, yang tidak dapat dipisah-pisah dan
dibatasi. Yaitu, pahala yang dikatakan Allah, timbangan-Nya dan penjelesan-Nya
yang tak dapat digambarkan oleh anak manusia yang segelintir, terbatas dan
fana.[6]
D. Analisa Penafsiran
Cara penafsiran antara Sayiid Quthb dan
Al-Maraghi dapat danalisa bahwa, melihat kehidupan sosial Sayyid Quthb pada
saat dia mengarang kitab tafsirnya, memiliki pengalaman dan hasil studi selama
di Amerika Serikat yang meluaskan wawasan pemikirannya mengenai problem-problem
sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham materialisme yang gersang
akan paham ketuhanan. Ketika kembali
ke Mesir ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan manusia
dari paham materialism sehingga terlepas dari cengkraman materi yang tak pernah
terpuaskan.[7]
Kaitannya dengan bai’at bahwa Betapa sakralnya proses pembai’atan, ketika
itu tangan Allah berada di atas tangan mereka, seolah-olah Allah langsung
memberikan amanat amalan tersebut. Meskipun Rasul telah tiada, tidak
menghilangkan sakralnya bai’at tersebut, karena Allah tetaplah memantau,
analoginya walaupun seorang Guru telah tiada pada hakikatnya suatu ilmu harus
tetap diamalkan sesuai bidangnya.
Sedangkan Maraghi merupakan potret ulama yang
mengabdikan hampir seluruh waktunya untuk kepentingan ilmu, di sela sela
mengajar, ia tetap menyisihkan waktunya untuk menulis,[8]
kaitannya betapa urgen sekali bai’at untuk dicanangkan karena dengan proses pembai’atan,
suatu amalan (wiridan) dari seorang guru yang diberikan kepada muridnya
mempunyai ikatan yang saling terhubung dari satu guru ke guru selanjutnya
sehingga terhubung dengan sunah Rasul, dan Rasul yang menghubungkan kepada
Allah. Jadi amalan yang diterima murid (kaum mu’minin) berasal dari Allah.
Tidak sedikit orang yang pintar dan kemampuan
lebih, namun mereka salah menggunakannya tidak sadar dengan perjanjian pada
saat di bai’at (ijazah). Maka akibatnya orang melanggar ilmunya sendiri, tidak
sesuai dengan sebagaimana mestinya diamalkan kerugianlah yang didapat,
kemurkaan dan siksa dari Allah. Pada dasarnya Allah tidak memerlukan alam
seisinya, tidaklah rugi bagi Allah apabila hambanya melakukan penyimpangan
dalam menggunakan ilmu (amalan). Yang terpenting adalah sejauh mana iman
hambanya bisa memegang amanat dari Allah. Ketika hambanya menepati janjinya
dengan mengamalkan ilmu sebagaimana mestinya, maka dia akan mendapatkan pahala
yang besar.
Seorang
Mursyid bertugas (ibadah) melakukan bimbingan, mencurahkan pikiran dan
strategi, membuat berbagai metodologi dan inovasi, supaya kebijakan yang
dibawanya bisa direspon dan diamalkan oleh murid pada khususnya dan umat pada
umumnya. Tanggung jawab seorang Mursyid itu begitu besar, karena berupa Risalah
Al-Islamiyyah yang pernah ditawarkan kepada seluruh makhluk lain sebelum
manusia, mereka tidak sanggup memikulnya.
Tanggung
jawab seorang Mursyid bersifat internal dan eksternal. Skalanya sangat luas.
Sedangkan seorang murid minimal mempertanggungjawabkan dirinya masing-masing.
Kewajiban yang diistiqamahkan akan menghasilkan kualitas diri yang baik. Bahkan
diharapkan menjadi hamba pilihan.
Supaya
menjadi suri tauladan bagi manusia, sebagai kewajiban internal dan eksternal.
Murid yang telah berbai’at, mendapatkan bimbingan lahir batin, wawasan
keislaman yang luas, pendalaman dan penghayatan tentang agama, akan
menghasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas, serta menjadi contoh di hadapan
umat manusia, dan Ijazah adalah proses pembentukan diri.[9]
BAB III
KESIMPULAN
Melihat kehidupan sosial Sayyid Quthb pada
saat dia mengarang kitab tafsirnya, memiliki pengalaman dan hasil studi selama
di Amerika Serikat yang meluaskan wawasan pemikirannya mengenai problem-problem
sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham materialisme yang gersang
akan paham ketuhanan. Ketika kembali
ke Mesir ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan manusia
dari paham materialism sehingga terlepas dari cengkraman materi yang tak pernah
terpuaskan.
Kaitannya dengan bai’at bahwa Betapa sakralnya proses pembai’atan, ketika
itu tangan Allah berada di atas tangan mereka, seolah-olah Allah langsung
memberikan amanat amalan tersebut. Meskipun Rasul telah tiada, tidak
menghilangkan sakralnya bai’at tersebut, karena Allah tetaplah memantau,
analoginya walaupun seorang Guru telah tiada pada hakikatnya suatu ilmu harus
tetap diamalkan sesuai bidangnya.
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
Al-Maraghiy, Ahmad Mustafa
.Tafsir al-Maraghi. Semarang: Toha Putra.
Quthb, Sayyid. 2004. Tafsir fi
Zilal Qur’an, Jakarta: Gema Insani.
http://agsgustaf.wordpress.com/2012/02/03/243/ diunduh 9 Maret 14
http://www.al-idrisiyyah.com/read/article/348/baiat-dalam-pandangan-al-quran-dan-as-sunnah-bag1 diunduh 5 maret 14 13.29
[1] http://www.al-idrisiyyah.com/read/article/348/baiat-dalam-pandangan-al-quran-dan-as-sunnah-bag1 diunduh 5 maret 14 13.29
[2] Ahmad Mustafa
Al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra), hal. 152.
[3] Ibid., hal
153-154.
[4] Pada
bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta
pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan 'umrah dan
melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di
Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah
untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka
menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan
oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh.
karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai'ah (janji setia)
kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan
memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian
setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini,
karena itu disebut Bai'atur Ridwan. Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum
musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk
Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal
dengan Shulhul Hudaibiyah.
[5] Orang yang
berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul
ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi
maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan
Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan Allah di atas
tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha
suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.
[6] Sayyid Quthb, Tafsir
fi Zilal Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2004).
[7] Ibid.
[9] al-Idrisiyyah. Loc. it
0 comments:
Post a Comment