BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hadis Tentang Kepemimpinan
Islam
menetapkan tujuan dan tugas utama pemimpin adalah untuk melaksanakan ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan perintah-perintah-Nya. Ibnu
Taimyah mengungkapkan bahwa kewajiban seorang pemimpin yang telah ditunjuk
dipandang dari segi agama dan dari segi ibadah adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Pendekatan diri kepada Allah adalah dengan menaati
peraturan-peraturan-Nya dan Rasul-Nya. Namun hal itu lebih sering disalah
gunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai kedudukan dan harta.[1]
حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس
راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على
اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم.
والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته[2]
((رواه البخاري
Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.
Kandungan Hadis
Dalam Kitab Riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa
seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang
yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan
pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga
kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu
yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadap keluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadap keluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.
Hal yang paling mendasar yang dapat diambil
dari hadis diatas adalah bahwa dalam level apapun, manusia adalah pemimpin
termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan memiliki
resiko yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap orang adalah pemimpin meskipun
pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus
berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan
kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya
sebagai bagian dari komunitas.[3]
B.
Hadis Tentang Kejujuran
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى
الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ الصِّدْقَ
يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ
الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى
الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ
لَيَكْذِبُ ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
((رواه البخاري
Terjemahnya:
“Usman bin Abi Syaibah menceritakan kepada
kami, Jarir menceritakan pula kepada kami dari Mansur, dari Abi Wail, dari
Abdullah, dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Sungguh, kejujuran itu
menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang
dapat dinilai jujur bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran
tersebut. Sebaliknya, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan
itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali berbohong,
hingga ia dicatat di sisi Allah swt. sebagai pembohong.”
Kandungan Hadis
Melihat sanad hadis di atas ditemukan redaksi حَدّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ (Usman
bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami). Usman bin Abi Syaibah adalah saudara
kandung Abu Bakar bin Abi Syaibah. Sedangkan nama Jarir dalam sanad hadis di
atas adalah Jarir bin Abd al-Hamid. Yang dimaksud Mansur adalah Mansur bin
al-Mu’tamar. Selanjutnya Abu Wail adalah Syaqiq bin Salmah.
Redaksi إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي اِلَى الْبِرِّ memiliki makna
bahwa kejujuran mengantarkan kepada semua kebaikan. Kejujuran, dalam hal ini,
meliputi enam hal. Pertama, kejujuran lisan, lawan dari kebohongan; kedua,
kejujuran niat, yakni ikhlas dalam berbuat; ketiga, kejujuran dalam
bertekad, yakni apapun yang dapat menguatkan tekadnya; keempat,
kejujuran dalam merealisasikan tekad yang bulat; kelima, kejujuran dalam
berbuat, minimal ada kesamaan antara apa yang diucapkan dengan yang diperbuat; keenam,
kejujuran spiritual, seperti jujur dalam mengaplikasikan konsep khawf
(rasa takut) dan raja’ (rasa harap).
Dalam disiplin ilmu nahwu, kata يهدى merupakan fi’il
mudlari’ bina naqis yai, yaitu kata kerja yang dilakukan sekarang atau akan
datang. Kata turunan (bentuk derivatifnya) adalah kata الهداية yang berarti
sarana atau petunjuk praktis yang mengantarkan kepada tujuan. Sedangkan kata البر yang makna
asalnya adalah menyebarkan laku kebaikan, namun dalam matan ini memiliki arti
perbuatan didasarkan pada keikhlasan dan dilakukan secara kontinu.
Redaksi وإن الرجل ليصدق memiliki makna
seseorang yang jujur lahir batin dan mengulangi kejujuran itu secara terus
menerus. Dan redaksi حتى يكون صديقا berarti hingga
ucapannya sesuai dengan perilakunya. Kata صديقا merupakan sigat
mubalagah yang berarti bahwa kejujuran tersebut dilakukan sesering mungkin.
Kata الفجور berarti
keburukan yang merupakan lawan kata البر (kebaikan). Sedangkan
redaksi حتى يكتب عند الله كذابا memiliki makna
sehingga orang tersebut (yang berbohong) secara terus menerus dijustifikasi
sebagai pembohong dan kebohongan itu disebarkan ke seluruh penghuni bumi.
Jujur dalam arti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan kenyataan. Dan
dalam pengertian yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan batin. Maka orang
yang jujur bersama Allah swt. dan bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan
batinnya. Karena itulah, orang munafik disebutkan sebagai kebalikan orang yang
jujur.[4]
Jujur termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Kejujuran,
dalam hal ini, meliputi enam hal. Pertama, kejujuran lisan, lawan dari
kebohongan; kedua, kejujuran niat, yakni ikhlas dalam berbuat; ketiga,
kejujuran dalam bertekad, yakni apapun yang dapat menguatkan tekadnya; keempat,
kejujuran dalam merealisasikan tekad yang bulat; kelima, kejujuran dalam
berbuat, minimal ada kesamaan antara apa yang diucapkan dengan yang diperbuat; keenam,
kejujuran spiritual, seperti jujur dalam mengaplikasikan konsep khawf
(rasa takut) dan raja’ (rasa harap).
Di antara pengaruh kejujuran adalah teguhnya pendirian, kuat hati, dan mampu
menceritakan berbagai hal yang memberikan ketenangan bagi pendengar. Di antara
tanda dusta adalah ragu-ragu, gagap, bingung, dan bertentangan, yang membuat
pendengar merasa ragu dan tidak tenang
Kejujuran membawa pelakunya bersikap berani, karena ia kokoh tidak lentur, dan
karena ia berpegang teguh tidak ragu-ragu. Karena itu disebutkan dalam salah
satu definisi jujur adalah berkata benar di tempat yang membinasakan.
Al-Junaidi mengungkapkan, hakekat kejujuran adalah bahwa engkau bisa jujur di
tempat yang mengharuskan berbohong. Berapa banyak orang yang suka membual
menjadi celaka akibat dari omongannya yang hanya bertujuan menarik perhatian
orang lain.
Sungguh dusta yang paling berat dan paling besar dosanya
adalah berbohong kepada Allah dan Rasul, ia menyandarkan kepada agama Allah
yang bukan darinya, dan mengaku dalam syariat yang dia tidak mengetahui,
membuat nash-nash yang tidak ada dasarnya –ia melakukan hal itu karena
menghendaki kebaikan atau keburukan-, hal itu merupakan dusta yang sangat jahat
terhadap agama. Jujur akan membawa pelakunya kepada ketakwaan, dan ketakwaan
akan membawanya kepada iman, serta iman akan mengantarkannya ke dalam surga. Akan
tetapi dusta akan membawa pelakunya kepada kekufuran serta kekufuran akan
menjerumuskan ke dalam neraka.[5]
3. Hadis Tentang Tengkulak
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ
أَبِي الزِّنَادِ ، عَنِ الأَعْرَجِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَ تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ ، وَلاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ،
وَلاَ تَنَاجَشُوا ، وَلاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ ، وَلاَ تُصَرُّوا الْغَنَمَ
وَمَنِ ابْتَاعَهَا فَهْوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا إِنْ
رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ[6]
Hadis di atas menjelaskan bahwa jual belinya perantara maupun orang
kota kepada orang desa diharamkan, kalau harga yang ditawarkan dapat
menyebabkan ketimpangan dan rusaknya stabilitas ekonomi yang ada di pedasaan,
apabila tidak ada ketimpangan tentu saja dibolehkan.[7]
Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa
penduduk kota tidak boleh menjual kepada penduduk desa, baik desa itu jauh
meupun dekat dengan kota, baik diwaktu harga mahal ataupun murah (turun), baik
di waktu penduduk kota memerlukan barang maupun tidak, baik menjual secara
bertahap ataupun sekaligus.
Perantara menurut penafsiran Ibnu Abas dari
kata Hadiru libad, yakni penduduk kota menjadi pelantara bagi penduduk desa,
dengan kata lain mengambil keuntungan atau bayaran. Jika perantara tidak
mengambil keuntungan atau bayaran itu diperbolehkan secara mutlak, bahkan orang
tersebut dianggap telah melakukan kebaikan bagi para penduduk.
Namun demikian, tujuan para tengkulak dari kota
menjadi perantara tiada kata lain mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka
membodohi penduduk desa dengan menjual barang dengan sangat tinggi sesuai
dengan keinginan mereka perbuatan tersebut tentu saja dilarang oleh islam
kerena sangat memudaratkan.
Penduduk desa sebenarnya dapat langsung pergi
kekota untuk membeli barang tersebut, tidak melalui pelantara, akan tetapi
karna kebodohan mereka atau sebab sebab lain, mereka tidak dapat pergi ke kota.
Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh para perantara hingga penduduk desa membeli
barang dengan harga sangat tinggi. Mereka membeli barang tersebut karena sangat
membutuhkan dan kebodohan mereka tentang harga sebenarnya.
Tentu saja berbeda hukumnya, bila perantara
betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari
pasar atau dari para kafilah, sebagai mana telah disebutkan diatas
barang-barang tersebut tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui
tengkulak (perantara). Perantara seperti itu dibolehkan bahkan ia telah menjadi
penolong bagi orang-orang yang tidak mampu kekota untuk membeli barang, akan tetapi
harga jangan sampai mencekik penduduk, lebih baik tidak mengambil keuntungan.
Ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau sekedarnya saja. Perantara seperti
itu di kategorikan sebagai pedagang yang diperbolehkan dalam islam, bahkan
kalau jujur dan bersih, mereka telah melakukan pekerjaan yang paling baik.
Kita ketahui dalam sejarah, bahwa masyarakat
arab banyak mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang dari negeri
yang satu kenegeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang
yang sangat dibutuhkan oleh penduduk ma’kah. Mereka datang bersama
rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk mendapatkan
barang tersebut karena harganya murah.
Oleh karena itu banyak tengkulak atau makelar
mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa
oleh mereka. Para tengkulak tersebut menjualnya kembali dengan harga yang
sangat mahal. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya
di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
[1] http://ririgusriani.blogspot.com/2013/06/beberapa-hadis-tentang-kepemimpinan.html
diunduh 18.08 25 Feb 2014
[2]اخرجه البخارى
فى 490 كتاب العتق: 17- باب كرهية التطاول على الرقيق
[3] Ririgusriani, loc.it.
[4] http://salamsejahteracintadamai.blogspot.com/2011/02/hadis-tentang-pentingnya-kejujuran.html
diunduh 26 feb 2130
[5] Sayyid Ahmad Al-Hasimi , Syarah Mukhtaarul Ahaadis, (Bandung:
Sinar Baru Algesindo, 2007), hal. 591
[6] الكتاب
: الجامع الصحيح
المؤلف : محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة البخاري، أبو عبد
الله (المتوفى : 256هـ)
حسب ترقيم
فتح الباري
الناشر : دار الشعب - القاهرة
الطبعة : الأولى ، 1407 - 1987
عدد الأجزاء : 9
[7] Ahmad Mudjab mahali dan Ahmad
Rodli Hasbullah. Hadis-Hadis Mutafaq Alaih, (Jakarta: Prenaa Media,
2004) Hal. 94
0 comments:
Post a Comment