اَهْلاًوَسَهْلاً

Saturday, 29 March 2014

Kajian Hadis


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadis Tentang Kepemimpinan
Islam menetapkan tujuan dan tugas utama pemimpin adalah untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan perintah-perintah-Nya. Ibnu Taimyah mengungkapkan bahwa kewajiban seorang pemimpin yang telah ditunjuk dipandang dari segi agama dan dari segi ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendekatan diri kepada Allah adalah dengan menaati peraturan-peraturan-Nya dan Rasul-Nya. Namun hal itu lebih sering disalah gunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai kedudukan dan harta.[1]

حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته[2]
((رواه البخاري

Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.
Kandungan Hadis
Dalam Kitab Riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadap keluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.
Hal yang paling mendasar yang dapat diambil dari hadis diatas adalah bahwa dalam level apapun, manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan  memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap orang adalah pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas.[3]

B.     Hadis Tentang Kejujuran
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
((رواه البخاري
Terjemahnya:
“Usman bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami, Jarir menceritakan pula kepada kami dari Mansur, dari Abi Wail, dari Abdullah, dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Sungguh, kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang dapat dinilai jujur bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran tersebut. Sebaliknya, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali berbohong, hingga ia dicatat di sisi Allah swt. sebagai pembohong.”
Kandungan Hadis
            Melihat sanad hadis di atas ditemukan redaksi حَدّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ (Usman bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami). Usman bin Abi Syaibah adalah saudara kandung Abu Bakar bin Abi Syaibah. Sedangkan nama Jarir dalam sanad hadis di atas adalah Jarir bin Abd al-Hamid. Yang dimaksud Mansur adalah Mansur bin al-Mu’tamar. Selanjutnya Abu Wail adalah Syaqiq bin Salmah.
            Redaksi إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي اِلَى الْبِرِّ memiliki makna bahwa kejujuran mengantarkan kepada semua kebaikan. Kejujuran, dalam hal ini, meliputi enam hal. Pertama, kejujuran lisan, lawan dari kebohongan; kedua, kejujuran niat, yakni ikhlas dalam berbuat; ketiga, kejujuran dalam bertekad, yakni apapun yang dapat menguatkan tekadnya; keempat, kejujuran dalam merealisasikan tekad yang bulat; kelima, kejujuran dalam berbuat, minimal ada kesamaan antara apa yang diucapkan dengan yang diperbuat; keenam, kejujuran spiritual, seperti jujur dalam mengaplikasikan konsep khawf (rasa takut) dan raja’ (rasa harap).
            Dalam disiplin ilmu nahwu, kata يهدى merupakan fi’il mudlari’ bina naqis yai, yaitu kata kerja yang dilakukan sekarang atau akan datang. Kata turunan (bentuk derivatifnya) adalah kata الهداية yang berarti sarana atau petunjuk praktis yang mengantarkan kepada tujuan. Sedangkan kata البر yang makna asalnya adalah menyebarkan laku kebaikan, namun dalam matan ini memiliki arti perbuatan didasarkan pada keikhlasan dan dilakukan secara kontinu.
            Redaksi وإن الرجل ليصدق memiliki makna seseorang yang jujur lahir batin dan mengulangi kejujuran itu secara terus menerus. Dan redaksi حتى يكون صديقا berarti hingga ucapannya sesuai dengan perilakunya. Kata صديقا merupakan sigat mubalagah yang berarti bahwa kejujuran tersebut dilakukan sesering mungkin.
Kata الفجور berarti keburukan yang merupakan lawan kata البر (kebaikan). Sedangkan redaksi حتى يكتب عند الله كذابا memiliki makna sehingga orang tersebut (yang berbohong) secara terus menerus dijustifikasi sebagai pembohong dan kebohongan itu disebarkan ke seluruh penghuni bumi.
            Jujur dalam arti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan kenyataan. Dan dalam pengertian yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan batin. Maka orang yang jujur bersama Allah swt. dan bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan batinnya. Karena itulah, orang munafik disebutkan sebagai kebalikan orang yang jujur.[4]
            Jujur termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Kejujuran, dalam hal ini, meliputi enam hal. Pertama, kejujuran lisan, lawan dari kebohongan; kedua, kejujuran niat, yakni ikhlas dalam berbuat; ketiga, kejujuran dalam bertekad, yakni apapun yang dapat menguatkan tekadnya; keempat, kejujuran dalam merealisasikan tekad yang bulat; kelima, kejujuran dalam berbuat, minimal ada kesamaan antara apa yang diucapkan dengan yang diperbuat; keenam, kejujuran spiritual, seperti jujur dalam mengaplikasikan konsep khawf (rasa takut) dan raja’ (rasa harap).
            Di antara pengaruh kejujuran adalah teguhnya pendirian, kuat hati, dan mampu menceritakan berbagai hal yang memberikan ketenangan bagi pendengar. Di antara tanda dusta adalah ragu-ragu, gagap, bingung, dan bertentangan, yang membuat pendengar merasa ragu dan tidak tenang
            Kejujuran membawa pelakunya bersikap berani, karena ia kokoh tidak lentur, dan karena ia berpegang teguh tidak ragu-ragu. Karena itu disebutkan dalam salah satu definisi jujur adalah berkata benar di tempat yang membinasakan.  Al-Junaidi mengungkapkan, hakekat kejujuran adalah bahwa engkau bisa jujur di tempat yang mengharuskan berbohong. Berapa banyak orang yang suka membual menjadi celaka akibat dari omongannya yang hanya bertujuan menarik perhatian orang lain.

Sungguh dusta yang paling berat dan paling besar dosanya adalah berbohong kepada Allah dan Rasul, ia menyandarkan kepada agama Allah yang bukan darinya, dan mengaku dalam syariat yang dia tidak mengetahui, membuat nash-nash yang tidak ada dasarnya –ia melakukan hal itu karena menghendaki kebaikan atau keburukan-, hal itu merupakan dusta yang sangat jahat terhadap agama. Jujur akan membawa pelakunya kepada ketakwaan, dan ketakwaan akan membawanya kepada iman, serta iman akan mengantarkannya ke dalam surga. Akan tetapi dusta akan membawa pelakunya kepada kekufuran serta kekufuran akan menjerumuskan ke dalam neraka.[5]




3.  Hadis Tentang Tengkulak
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ ، عَنِ الأَعْرَجِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَ تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ ، وَلاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ، وَلاَ تَنَاجَشُوا ، وَلاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ ، وَلاَ تُصَرُّوا الْغَنَمَ وَمَنِ ابْتَاعَهَا فَهْوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا إِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ[6]

Hadis di atas menjelaskan bahwa jual belinya perantara maupun orang kota kepada orang desa diharamkan, kalau harga yang ditawarkan dapat menyebabkan ketimpangan dan rusaknya stabilitas ekonomi yang ada di pedasaan, apabila tidak ada ketimpangan tentu saja dibolehkan.[7]
Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa penduduk kota tidak boleh menjual kepada penduduk desa, baik desa itu jauh meupun dekat dengan kota, baik diwaktu harga mahal ataupun murah (turun), baik di waktu penduduk kota memerlukan barang maupun tidak, baik menjual secara bertahap ataupun sekaligus.
Perantara menurut penafsiran Ibnu Abas dari kata Hadiru libad, yakni penduduk kota menjadi pelantara bagi penduduk desa, dengan kata lain mengambil keuntungan atau bayaran. Jika perantara tidak mengambil keuntungan atau bayaran itu diperbolehkan secara mutlak, bahkan orang tersebut dianggap telah melakukan kebaikan bagi para penduduk.
Namun demikian, tujuan para tengkulak dari kota menjadi perantara tiada kata lain mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka membodohi penduduk desa dengan menjual barang dengan sangat tinggi sesuai dengan keinginan mereka perbuatan tersebut tentu saja dilarang oleh islam kerena sangat memudaratkan.
Penduduk desa sebenarnya dapat langsung pergi kekota untuk membeli barang tersebut, tidak melalui pelantara, akan tetapi karna kebodohan mereka atau sebab sebab lain, mereka tidak dapat pergi ke kota. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh para perantara hingga penduduk desa membeli barang dengan harga sangat tinggi. Mereka membeli barang tersebut karena sangat membutuhkan dan kebodohan mereka tentang harga sebenarnya.
Tentu saja berbeda hukumnya, bila perantara betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah, sebagai mana telah disebutkan diatas barang-barang tersebut tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui tengkulak (perantara). Perantara seperti itu dibolehkan bahkan ia telah menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak mampu kekota untuk membeli barang, akan tetapi harga jangan sampai mencekik penduduk, lebih baik tidak mengambil keuntungan. Ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau sekedarnya saja. Perantara seperti itu di kategorikan sebagai pedagang yang diperbolehkan dalam islam, bahkan kalau jujur dan bersih, mereka telah melakukan pekerjaan yang paling baik.
Kita ketahui dalam sejarah, bahwa masyarakat arab banyak mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang dari negeri yang satu kenegeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk  ma’kah. Mereka datang bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk mendapatkan barang tersebut karena harganya murah.
Oleh karena itu banyak tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa oleh mereka. Para tengkulak tersebut menjualnya kembali dengan harga yang sangat mahal. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.



BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran

[1] http://ririgusriani.blogspot.com/2013/06/beberapa-hadis-tentang-kepemimpinan.html diunduh  18.08 25 Feb 2014

[2]اخرجه البخارى فى 490 كتاب العتق: 17- باب كرهية التطاول على الرقيق
[3] Ririgusriani, loc.it.
[5] Sayyid Ahmad Al-Hasimi , Syarah Mukhtaarul Ahaadis, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), hal. 591
[6] الكتاب : الجامع الصحيح
المؤلف : محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة البخاري، أبو عبد الله (المتوفى : 256هـ)
حسب ترقيم فتح الباري
الناشر : دار الشعب - القاهرة
الطبعة : الأولى ، 1407 - 1987
عدد الأجزاء : 9
[7]  Ahmad Mudjab mahali dan Ahmad Rodli Hasbullah. Hadis-Hadis Mutafaq Alaih, (Jakarta: Prenaa Media, 2004) Hal. 94

0 comments: