RIBA
DAN BUNGA BANK DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AL-AZHAR
Mulya
Abstrak
Suatu persoalan yang selalu menarik
dan masih menjadi hal yang patut diperbincangkan dalam masalah perekonomian
Islam, yaitu permasalahan riba yang telah jelas dimyatakan keharamannya di
dalam al-Qur’an. Perdebatan ini terpusat pada suatu titik apa yang sesungguhnya
dimaksudkan dengan riba dalam al-Qur’an, dan bagaimana dengan perekonomian kaum
muslimin ketika dihadapkan di tengah-tengah arus ekonomi kapitalis dan
perbankan modern yang melakukan praktik bunga sebagai senjata dalam aktivitas
perekonomiannya. Konsep riba menurut hamka menyatakan bahwa statusnya adalah
haram, karena pada dasarnya dengan praktik riba mengandung pemerasan secara
perlahan bagaikan lintah darat, begitu pula bunga bank yang terjadi saat ini
tanpa disadari mengandung unsur riba. Upaya menghindari bank bunga sudah
dilakukan. Seperti konsep perbankan syari’ah, asuransi syariah, bait al-mal
wa al-tamwil, badan amil zakat atau dompet peduli umat, yang sedang
marak saat ini sangat mirip dengan konsep ”Bank Shadaqah” yang pernah
ditawarkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto.
Kata kunci: Al-Qur’am, Bunga Bank,
Ekonomi, Hamka, Riba
A.
Pendahuluan
1.
Latar
belakang
Melakukan kegiatan ekonomi merupakan tabiat
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan kegiatan itu dapat memperoleh
rizki, dengan rizki dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang Islam,
al-Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang absolut.
Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh al-Qur’an. Apabila
kegiatan itu punya watak yang merugikan banyak orang dan menguntungkan sebagian
kecil orang, seperti monopoli dagang, calo, perjudian dan riba pasti akan
ditolak.
Larangan riba sebenarnya sudah tegas dan jelas dalam
al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw, cukup banyak mengutarakannya dan mencela
para pelakunya, sehingga pada prinsipnya disepakati pengharaman riba. Akan
tetapi dalam perkembangan zaman, umat Islam mulai dihadapkan dengan kontak
peradaban dunia barat. Perbankan yang mensyaratkan adanya bunga merupakan
bagian dari peradaban mereka dalam aspek ekonomi, maka konsep riba yang
dianggap final status hukumnya mulai menjalani peninjauan kembali oleh tokoh
para pembaharu Islam. Kehadiran institusi perbankan dalam dunia Islam bukanlah
hal yang asing, karena istilah perbankan sudah dikenal sejak zaman pertengahan
Islam dahulu. Namun ketika dikaitkan dengan sistem perbankan modern saat ini,
maka kegiatan perbankan menjadi persoalan baru dalam kajian keislaman. Karena
itu, bila ditinjau dalam hukum Islam, hukum lembaga ini termasuk ijtihadiyah.
Sebagai masalah ijtihadiyah perbedaan pendapat tidak akan terlepas dari
padanya.
2.
Rumusan
masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, untuk mempermudah kajian yang
dilakukan terarah pada satu objek sehingga menghasilkan hasil akhir yang
komprehensif, integral dan menyeluruh sehingga relatif mudah dipahami dan dapat
merepresentasikan. Maka dirumuskan beberapa masalah pokok sebagai berikut:
a.
Bagaimana
metode penalaran hukum Hamka dalam menentukan status riba dan bunga bank ?
b.
Bagaimana
kontribusi pandangan Hamka terhadap praktik perbankan Indonesia ?
3.
Tujuan
Penulisan
Sejalan dengan perumusan masalah, penulis memiliki tujuan dalam
penulisan ini.
a.
Mendeskripsikan
metode penalaran hukum Hamka dalam menentukan status hukum riba dan bunga bank
b.
Mendeskripsikan
eksplorasi, pengembangan, serta evaluasi Hamka terhadap praktik perbankan
Indonesia.
B.
Pembahasan
1.
Tinjauan tentang riba
Riba menurut pengertian etimologi adalah
bertambah, dalam pengertian teknik hukum syariah berarti akad yang terjadi
dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan
syara atau terlambat menerimanya. Di dalam praktik di masa permulaan Islam,
riba ada tiga bagian yaitu riba fadhl, riba yadh, dan riba nasi’ah.[1]
Menurut Prof DR Rachmat Syafe’I M.A riba
diharamkan karena 2 hal yakni pertama, adanya kedzaliman; kedua, adanya
eksploitasi dalam kebutuhan pokok atau adanya garar, ketidakpastian dan
spekulasi yang tinggi. Oleh karena itu, tidak diharamkan selama tidak
bertentangan dengan dua hal di atas.[2]
Pendapat yang menegaskan bahwa riba itu haram
dalam segala bentuknya, pendapat ini dikemukakan oleh DR. Muhammad Darraz,
seorang ahli hukum dari Saudi Arabia. Ia mengatakan baik secara formal maupun
sosiologis, riba itu sangat merusak.[3]
M. Quraish Shihab menegaskan keharaman riba,
sebagaimana dikemukakan alQur’an adalah tidak terlepas dari tiga tinjauan,
yaitu ad’afan-muda afah,ma baqiya min ar-riba, dan falakum ru’usu
amwalikumla tazlimuna wala tuzlamun.[4] Bila
dibawa ke kajian fiqih, maka illat hukum keharaman riba adalah berlipat
ganda dan unsureaniaya dalam penetapan kelebihan pengembalian hutang.
Jadi, riba pada dasarnya haram dalam segala
bentuknya, baik secara formal maupun sosiologis. Karena adanya kedzaliman dan
adanya ekploitasi dalam kebutuhan pokok (garar), ketidakpastian dan
spekulasi yang tinggi. Bila dibawa ke kajian fiqih, maka illat hukum
keharaman riba adalah berlipat ganda dan unsure aniaya dalam penetapan kelebihan
pengembalian hutang.
2.
Tinjauan tentang bunga bank
Bunga adalah harga atau konpensasi atau ganti
rugi terhadap pemakaian uang orang lain, yang kemudian dipergunakan di dalam
proses perusahaan sendiri, sehingga debitur mendapat keuntungan dari kredit tersebut,
atau bunga itu dapat dikatakan sebagai sewa dari uang yang dipinjam seorang
debitur. Sebaliknya debitur yang meminjamkan uang tidak dapat menguasainya dan
terkandung pula beberapa resiko.
Debitur berhak mempergunakan uang tersebut untuk suatu jangka tertentu, dengan
menggunakan tersebut dia mendapat keuntungan. Keuntungan tersebut adalah di
atas kewajiban bunga yang harus dibayarnya. Jumlah dari harga atau konpenasi,
atau bunga tersebut ditentukan berdasarkan prosentasi tertentu dari jumlah yang
dipinjam.[5]
Muhammad Syafi’I Antonio memutuskan bahwa
kedudukan bunga bank adalah riba dan hukumya haram, dengan menggunakan beberapa
pandangan yaitu pandangan agama (normatif), ushul fiqh dan pandangan ekonomi,
di mana persoalan riba dan bunga bank bukan persoalan umat Islam saja,
melainkan seluruh manusia yang hidup di muka bumi sebagai kompensasinya.[6]
Veithzal Rivai dan Andi Buchari dalam bukunya Islamic
Economic menyatakan bahwa, sampai ssat ini bunga dapat diartikan sebagai
“buah” dari modal yang digunakan atau dipinjamkan. Sedangkan modal adalah
“buah’ dari hasil kerja para pekerja di masa yang lalu yang digunakan di masa
depan untuk keperluan produksi. Ketika seseorang meminjamkan modalnya dia
mengharapkan akan adanya imbalan tertentu.
Siklus perdagangan (kelanjutan dari pertumbuhan
dan kehancuran yang terjadi dalam ekonomi di mana hal tersebut dapat
menyebabkan terjadinya pengangguran dalam jumlah yang besar) telah
diperhitungkan oleh para ekonom berkaitan dengan tingkat inflasi yang
fluktatif. Harrod, dalam bukunya Towards a Dinamics Economics menyatakan
sangatlah tidak mungkin untuk mengendalikan dan mencegah terjadinya seklus
tersebut kecuali terciptanya sebuah sistem ekonomi baru yang diterima secara
internasional dan bebas dari bunga. Harrod juga menyatakan bahwa sangatlah
mungkin untuk dapat mengendalikan atau meniadakan bunga secara bersamaan jika
terdapat banyak sumber modal yang digunakan untuk membiayai kegiatan usaha dari
negara-negara yang sedang berkembang.[7]
Jadi, bunga dalam praktik perbankan adalah
harga atau konpensasi atau ganti rugi yang dibayarkan untuk penggunaan uang
selama jangka waktu tertentu, yang dinyatakan dalam suatu prosentasi dari jumlah
uang yang disetujui bersama. Bunga dapat diartikan sebagai “buah” dari modal
yang digunakan atau dipinjamkan. Sedangkan modal adalah “buah’ dari hasil kerja
para pekerja di masa yang lalu yang digunakan di masa depan untuk keperluan
produksi. kedudukan bunga bank adalah riba dan hukumya haram, dan persoalan
riba dan bunga bank bukan persoalan umat Islam saja, melainkan seluruh manusia
yang hidup di muka bumi. Bunga dapat dikendalikan atau bahkan dihilangkan
dengan syarat harus mempunyai banyak sumber modal yang digunakan untuk
membiayai kegiatan usaha.
3.
Telaah
penafsiran tafsir al-Azhar terhadap ayat-ayat tentang riba
Adapun
ayat-ayat yang berkenaan tentang riba yang terdapat dalam surat al-Baqarah :
275-281 surat Ali Imran : 130, dan surat al-Nisa: 161.
ĆŗĆÆĆ%©!$# tbqĆØ=Ć 2Ć¹'t (#4qt/Ćh9$# w tbqĆ£BqĆ )t wĆ) $yJx. Ć£PqĆ )t Ć%©!$# ƧmƤƬ6ytFt Ć`»sĆĆø¤±9$# z`ĆB Ćb§yJĆø9$# 4 y7Ć9Āŗs ƶNĆg¯Rr'Ć/ (#Ć¾qƤ9$s% $yJ¯RĆ) ĆƬĆøt7Ćø9$# Ć£@÷WĆB (#4qt/Ćh9$# 3 ¨@ymr&ur ĀŖ!$# yƬĆøt7Ćø9$# tP§ymur (#4qt/Ćh9$# 4 `yJsĆ¹ ¼Ć§nuƤ!%y` ×psĆ ĆĆ£Ć¶qtB `ĆiB ¾ĆmĆn/§ 4ygtFR$$sĆ¹ ¼Ć£&s#sĆ¹ $tB y#n=y Ćæ¼Ć§nĆ£ĆøBr&ur n<Ć) «!$# ( ĆÆĆtBur y$tĆ£ y7Ć´¯»s9'rĆ©'sĆ¹ Ć=»ysĆ“¹r& Ć$¨Z9$# ( ƶNĆØd $pkĆĆ¹ crĆ $Ć#»yz ĆĆĆĆĆ
Orang-orang
yang memakan riba itu tidaklah akan berdiri, melainkan sebagai berdirinya
orang-orang yang di haru-haru syaitan dengan tamparan. Menjadi demikian, karena
sesungguhnya mereka berkata: “Tidak lain perdagangan itu hanyalah seperti riba
juga.” Sedang Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba.
Lantaran itu maka barangsiapa yang telah kedatangan pengajaran dari Tuhannya
lalu dia berhenti, maka baginyalah apa yang telah berlalu, dan perkaranya
terserahlah kepada Allah, akan tetapi barangsiapa yang kembali (lagi), maka
mereka itu menjadi ahli neraka, mereka akan kekal di dalamnya.
”Orang-orang
yang memakan riba itu tidaklah akan berdiri, melainkan sebagai berdirinya
orang-orang yang diharu-biru oleh syaitan dengan tamparan” (pangkal ayat
275).
Kalimat
dalam ayat ini makan riba telah pindah menjadi kata umum. Sebab meskipun riba
bukan semata-mata buat dimakan, bahkan untuk membangun kekayaan yang
lain-lainpun, namun asal usaha manusia pada mulanya ialah ”cari makan”. Maka di
dalam ayat ini diperlihatkanlah pribadi bunga uangnya dari makan riba itu.
Hidupnya susah selalu, walaupun bunga uangnya dari riba telah berjuta-juta. Dia
tidak merasa kenikmatan di dalam jiwa lantaran tempat berdirinya ialah
menghisap darah orang lain. Dia diumpamakan dengan orang yang selalu kacau,
gelisah, resah dan haru-biru karena ditampar syetan. Selalu merasa takut
kalau-kalau uangnya tidak dibayar orang, kalau tidak terbayar oleh yang
berpiutang sehingga harta benda orang itu perlu dirampasnya, maka budinya bertambah
kasar. Perasaan halus yang ada di dalam hati sanubarinya perlu ditekannya,
supaya keuntungan masuk.[8]
Ada pemakan riba yang usianya sudah 60 tahun
sampai hati menyesakkan piutangnya kepada orang yang berhutang, walaupun orang
itu sedang dalam keadaan sakit keras. Bahkan kalau orang itu langsung mati, dan
ada mempunyai anak gadis usia 16 tahun, si tukang riba yang berusia 60 tahun
itu, sampai hati saja melepaskan hutang itu asal dibayar dengan anak gadis itu,
untuk menjadi istri mudanya. Kerap kali si tukang riba tidak ingat lagi
mengurus badannya; baju kotor, sepatu tidak berganti, celana kotor, sedang
pekerjaannya siang malam hanya menghitung uang di sana sekian, bunganya mesti
sekian, si anu telah lari, si fulan ingkar membayar, uang tinggal pada si anu
sekian san si anu perlu dibeslah hartanya, dan lain-lain yang dipikirkannya
untuk keuntungan diri sendiri dan untuk memeras menindas orang lain, sehingga
dia tidak pernah merasa enak tidur.[9]
Menjadi
demikian, karena sesungguhnya mereka berkata: “Tidak lain perdagangan itu
hanyalah seperti riba juga.”
Artinya
karena dia hendak membela pendiriannya menternakkan uang, dia mengatakan bahwa
pekerjaan orang berniaga itupun serupa juga dengan pekerjaannya makan riba,
yaitu sama-sama mencari keuntungan atau sama-sama cari makan. Keadaannya jauh
berbeda. Berdagang, ialah saudagar menyediakan barang, kadang-kadang
didatangkannya dari tempat lain, si pembeli ada uang pembeli barang itu.
Harganya sepuluh rupiah, dijualnya sebelas rupiah yang menjual mendapat untung
yang membelinya mendapat untung pula. Karena yang diperlukannya telah
didapatnya. Keduanya sama-sama dilepaskan keperluannya. Itu sebabnya dia
dihalalkan Tuhan. Bagaimana dia akan diserupakan dengan cari keuntungan secara
riba? Padahal dengan riba yang berhutang dianiaya, dihisap kekayaannya, dan
yang berpiutang hidup senang-senang, goyang kaki dari hasil ternak uang?[10]
“Lantaran
itu maka barangsiapa yang telah kedatangan pengajaran dari Tuhannya, lalu dia
berhenti,” dari makan riba yang sangat jahat dan kejam itu, “maka
baginyalah apa yang telah berlalu.” Artinya yang sudah-sudah itu sudahlah!
Kalau dia selama ini telah menangguk keuntungan dari riba tidaklah perlu
dikembalikannya lagi kepada orang-orang yang telah dianiayanya itu, sama saja
dengan dosa menyembah berhala di zaman musyrik, menjadi habis tidak ada
tuntutan lagi kalau telah Islam. “Dan perkaranya terserah kepada Allah”
sehingga manusia tidak berhak buat membongkar-bongkar kembali, sebab yang
demikian memang salah satu dari rangkaian kehidupan jahiliyah, yang tidak
senonoh itu. “Akan tetapi barangsiapa yang kembali (lagi),” padahal
keterangan yang sejelas ini sudah diterimanya; “maka mereka itu menjadi ahli
neraka; mereka akan kekal di dalamnya” (ujung ayat 275).
Riba
adalah salah satu kejahatan jahiliyah yang amat hina. Riba tidak sedikit juga
sesuai dengan kehidupan orang beriman. Kalau di zaman yang sudah-sudah ada yang
melakukan itu, maka sekarang karena sudah menjadi muslim semua, hentikanlah
hidup yang hina itu. Kalau telah berhenti, maka dosa-dosa yang lama itu
habislah hingga itu, bahkan diampuni oleh Allah. Kalau misalnya harta dari
keuntungan riba mereka mendirikan rumah, tidak usah rumah itu dibongkar. Mulai
sekarang hentikan sama sekali. Tetapi kalau ada yang kembali kepada hidup makan
riba itu, samalah dengan setelah Islam kembali menyembah berhala, sama kekalnya
dalam neraka.[11]
“Allah membasmi riba dan Dia menyuburkan sedekah-sedekah.” (pangkal ayat 276). Riba dikikis
habis, sebab itu berpangkal dari kejahatan musyrik, kejahatan hidup dan
nafsi-nafsi, asal diri beruntung, biar orang lain melarat, dengan ini
ditegaskan bahwa berkat daripada riba itu tidak ada. Itulah kekayaan yang
membawa kepada sial, membawa dendam dan kebencian. Kata-kata RIBA amat jahat.
Kalau penyakit riba menjalar, maka kalu disebut orang “orang kaya”, benci dan
dendamlah yang timbul, sama dengan menyebut kapitalisme dalam ukuran besar.
Asal disebut kapitalisme rasa benci yang timbul terlebih dahulu dan
rasa dendam. Tetapi Allah menyuburkan sedekah-sedekah. Sebab Dia mempertautkan
sedekah kasih-sayang di antara si pemberi dengan si penerima, yang bersedekah
dengan yang menerima sedekah. Masyarakatnya jadi lain, yaitu masyarakat yang
Bantu-membantu, sokong menyokong, doa-mendoakan. Maka jika disebut kalimat
“orang kaya”, orang teringat akan kedermawanan, kesuburan dan doa, moga-moga
ditambah Tuhan rezekinya.[12]
$ygr'¯»t ĆŗĆÆĆ%©!$# (#qĆ£ZtB#uƤ (#qĆ )®?$# ©!$# (#rĆ¢sur $tB uĆ
+t/ z`ĆB (##qt/Ćh9$# bĆ) OƧFZƤ. tĆ»Ć¼ĆZĆB÷sB ĆĆĆĆĆ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman.”
Orang yang beriman adalah orang yang
diliputi kasih sayang kepada sesama manusia, yang kaya kalau hendak memberi
piutang, tidaklah bermaksud hendak memeras keringat dan tenaga sesama manusia,
yang miskin menelak jauh-jauh daripada memberi kesempatan orang kaya memeras
dirinya, dan di dalam ayat ini diperingatkan Tuhan pada orang-orang yang
beriman setelah masyarakat muslim terbentuk di Madinah, kalau masih ada
sisa-sisa hidup dengan riba itu, mulai sekarang hendaklah hentikan.
Menurut riwayat yang dirawikan oleh
Ibnu Jarir dan ibnu Mundzir dan Ibn Abi Hatim daripada as-Suddi, ayat ini
diturunkan ialah berkenaan dengan diri paman Nabi Saw. Sendiri ialah Abbasbin
Abdul Muthalib.Beliau di zaman jahiliyah mendirikan satu perkongsian dengan
seorang dari Bani al-Mughirah, yang mata usaha mereka ialah menternakan uang
(makan riba). Mereka pernah meminjamkan uang kepada seorang dari Bani Tsaqif di
Thaif. Kemudian Abbas masuk Islam (beliauhijrah ke Madinah, dan di tengah jalan
berselobok dengan tentara Rasululah yang akan menaklukkan Makkah di bawah pimpinan Rasul sendiri, di waktu
itulah beliau dengan resmi meyatakan diri telah Islam. Setelah datang zaman Islam,
datanglah peraturan ini, yaitu bahwa sisa-sisa riba jahilyah itu ditinggalkan
sama sekali. Artinya orang yang berhutang di Thaif itu tidak perlu lagi
memberikan bunga riba itu, cukup diberikan seberapa banyak yang dihutangnya
dahulu itu saja.[13]
QS. Ali Imran: 130
$ygr'¯»t ĆŗĆÆĆ%©!$# (#qĆ£YtB#uƤ w (#qĆØ=Ć 2Ć¹'s? (##qt/Ćh9$# $ZĆæ»yĆØĆ“Ćr& ZpxĆæyĆØ»ĆB ( (#qĆ )¨?$#ur ©!$# ƶNƤ3ĀŖ=yĆØs9 tbqĆsĆ=ĆøĆæĆØ? ĆĆĆĆĆ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan Riba[14]
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
Menurut keterangan ahli-ahli tafsir,
inilah ayat mengharamkan riba yang mula-mula turun. Adapun ayat yang ada dalam surat al-Baqarah yang
telah terlebih dahulu kita tafsirkan itu adalah termasuk ayat yang terakhir
turunnya kepada Nabi. Menurut keterangan sayyidina Umar bin Khattab sebelum Rasullullah Saw. Menerangkan riba
yang berbahaya itu secara terperinci, beliauun wafat. Tetapi pokoknya sudah
nyata dan jelas dalam ayat yang mula-mula turun tentang riba. Riba adalah suatu
pemerasan hebat dari yang berpiutang
kepada yang berhutang, yaituAdh’afan Mudha’afan artinya berlipat-lipat.
Inilah yang bernama riba Nasiyah,
secara jahiliyah yang berlipat-lipat. Dengan beginilah kaum Yahudi hidup dan
beginilah hartawan-hartawan Makkah memerkaya diri dan menindas orang yang
melarat. Di ujung ayat orang di suruh beriman supaya takwa, yaitu memelihara
baik-baik dan takut kepada Allah. Kalau itu tidak ada, Takut kaum muslimin akan
terjerumus kepada main riba.[15]
Maksud ajaran Islam bukanlah
semata-mata memperbaiki hubungan dengan Allah, melainkan memperbaiki hubungan
dengan manusia sebagai ayat 112 di atas tadi yaitu supaya tidak terputus tali
dengan Allah dan tali dengan manusia. Kedua sayap kehidupan inilah yang akan
diperbaiki oleh islam. Oleh sebab itu, jika riba secara jahiliyah itu masih ada
boleh dikatakan percuma mendengarkan agama. Sekiranya orang diperintahkan
shalat berjamaah menghadap Tuhan, apalah arti jamaah kalau antara yang menjadi makmum
itu ada seorang penindas atau lintah darat yang memeras darah kawannya, sedang
makmum yang lain, ialah orang yang dihisap darahnya itu.
Pendeknya, riba adalah kehidupan yang
paling jahat dan meruntuhkan segala bangunan persaudaraan. Itulah sebabnya di
dalam ayat disuruh supaya seorang mu’min takwa kepada Allah. Karena orang yang
telah takwa tidak mungkin mencari penghidupan dengan memeras keringat dengan
menghisap darah orang lain. Dan di ujung ayat pula diterangkan pula, bahwa
janganlah memakan riba dan hendaklah bertakwa, supaya kamu peroleh kemnangan .
barulah kejataan di dalam menegakkan masyarakat yang adil dan makmur, tidak ada
penghisapan manusia, berdasarkan kepada ridha Allah dan ukhuwah yang sejati.[16]
QS An-Nisa: 161
Ć£NĆdĆ÷{r&ur (#4qt/Ćh9$# Ć“s%ur (#qĆ„kƧX Ƨm÷ZtĆ£ ƶNĆgĆ=Ćø.r&ur tAĀŗuqĆøBr& ƨ$¨Z9$# Ć@ĆĆ»t7Ćø9$$Ć/ 4
$tRĆ“tGĆ“Ć£r&ur tĆ»ĆÆĆĆĆæ»s3Ć¹=Ć9 ƶNĆ„k÷]ĆB $¹/#xtĆ£ $VJĆ9r& ĆĆĆĆĆ
“dan disebabkan mereka memakan riba,
Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Terkenal di atas dunia, sejak zaman
dahulu hingga zaman sekarang ini, bahwa
di antara riba dengan Yahudi payah dipisahkan. Umumnya perangkai mereka bakhil,
sempilit dan suka member hutang. Berapa saja hendak berhutang mereka sediakan
mempiutangi asal saja diberi bunga (rente). Sehingga dalam buku yang berjudul Saudagar
dari Venesia, yang membuat janji dengan orang yang diberinya hutang, sebab
tidak terbayar oleh orang itu pada waktunya, tetapi dengan bahwa setetes
darahpun tidak boleh keluar dari badan orang itu, sebab dalam perjanjian hanya
tersebut daging. Meskipun itu hanya semacam dongeng dari seorang pujangga besar, namun isinya
sudah nyata menggambarkan bagaimana kejamnya si Yahudi itu di dalam memakan
Riba yang berjangkit beratus-ratus tahun di Benua Eropa.[17]
4.
Metode
penalaran hukum Hamka dalam menentukan status riba
Kaitannya dengan penafsiran
terhadap ayat Al-Qur’an, terlebih dahulu Hamka menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an
yang akan ditafsirkan sesuai dengan urutan surat dan ayatnya sebagaimana yang terdapat
dalam mushaf. Setelah itu, beliau menuliskan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, baru kemudian menafsirkannya juga dalam bahasa Indonesia ayat demi
ayat dan tidak kata per kata.
Berdasarkan menafsirkan ayat
Al-Qur’an, kadang-kadang Hamka mengungkapkan kembali tafsir ayat sebelumnya.
Seperti, ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 130 tentang larangan memakan
riba, beliau lebih dahulu mengungkapkan kembali tentang larangan menjadikan
orang Yahudi dan musyrikin sebagai teman supaya tidak ikut dalam kebiasaan
mereka yang suka memakan riba.
Penafsirannya, Hamka juga
menjelaskan asbab al-nuzul (latar belakang historis turunnya ayat), baik
berupa persoalan-persoalan yang berkaitan dengan situasi psikologis maupun
sosiologis masyarakat pada saat diturunkannya ayat tersebut. Seperti, dalam
penafsiran surat Ali Imran ayat 130, beliau menceritakan kondisi psikologis dan
sosiologis pada waktu tersebut, di mana orang Yahudi dan kaum musyrikin
memiliki kebiasaan menternakan uang yang merupakan sumber penghasilan mereka.
Oleh karena itu, kaum muslimin diberi peringatan agar jangan terlalu
rapat berkawan dengan mereka, karena dikhawatirkan akan terjerumus dalam
praktek riba yang diterapkan mereka. Demikian juga dalam menafsirkan surat
an-Nisa ayat 160, beliau menceritakan tentang kebiasaan orang Yahudi yang sukar
dipisahkan dengan praktek riba tersebut.
Di samping itu, Hamka juga dalam
tafsirnya sering menceritakan berbagai kondisi sosial masyarakat yang berkenaan
dengan ayat yang dibahasnya sekaligus memberikan alternatif pemecahannya.
Seperti, ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 275, beliau menceritakan
tentang seorang yang sudah berumur 60 tahun yang memiliki kebiasaan memakan
riba yang tidak memiliki prikemanusiaan terhadap orang yang berhutang kepadanya,
walaupun kondisi orang yang berhutang itu dalam keadaan sakit keras, dia terus
menekannya agar membayar hutangnya. Bahkan, seandainya orang yang berhutang
tersebut meninggal dunia dan memiliki anak gadis berusia 16 tahun, maka sebagai
ganti hutangnya, dia akan mengambil anak gadisnya sebagai pembayarannya. Tentu
saja solusi yang ditawarkan Hamka adalah dengan meninggalkan riba dan
memperbanyak sedekah, serta berusaha lewat jalur yang halal yaitu jual beli
yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an, Hamka terlebih dahulu menafsirkannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal
ini dapat dilihat ketika beliau menafsirkan surat al-Baqarah 275-281 tentang
larangan memakan riba, maka beliau menafsirkannya surat Ali Imran ayat 130 tentang
larangan memakan riba secara berlipat-ganda.
Di samping menafsirkan Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, Hamka juga menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah. Sebagaimana
ketika beliau menafsirkan surat al-Baqarah ayat 278-281 tentang perintah
meninggalkan riba. Beliau memaparkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn
Jarir, Ibn al-Mundzir dan Ibn Abi Hatim yang menceritakan tentang paman Nabi,
yaitu Abbas ibn Abd al-Muthalib yang pada masa jahiliyah pernah menternakkan
uang (makan riba), maka setelah paman beliau itu masuk Islam, orang-orang yang
berhutang kepada beliau tidak perlu membayar bunga riba tersebut, cukup
mengembalikan pokoknya saja.
Hamka juga dalam tafsirnya sering
mengungkapkan berbagai pendapat ulama seperti dalam menafsirkan surat
al-Baqarah ayat 275-281 dan surat Ali Imran ayat 130 tentang riba. Beliau
memaparkan tentang beberapa pembagian riba yang kesemuanya itu merupakan
pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ulama.
Selain itu, Hamka juga menggunakan
pengalaman-pengalamannya dalam upaya menafsirkan ayat Al-Qur’an. Seperti, dalam
membahas tentang riba yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275-281, maka
di akhir tafsirnya, beliau menceritakan pengalamannya tentang konsep ”Bank
Shadaqah” yang pernah ditawarkan oleh Almarhum H.O.S. Tjokroaminoto, yang
menurut beliau sangat cocok sebagai sebuah solusi dalam upaya menghindarkan
riba.
Dalam kaitannya dengan tafsiran
terhadap ayat-ayat tentang riba, maka Hamka berpendapat bahwa ayat-ayat tentang
riba ini adalah termasuk dalam golongan ayat-ayat yang qath’i al-dilalah (dalil-dalil
yang pasti). Sehingga, dalam menafsirkan ayat-ayat ini beliau tidak
menafsirkannya dengan rasio (pemikiran), melainkan apa adanya (berdasarkan
makna lahir ayat) sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits.
5.
Kontribusi
pandangan Hamka terhadap praktik perbankan Indonesia
Ketika menafsirkan ayat-ayat
tentang riba terutama yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275-279, Hamka
menyamakan hukum bunga bank dengan riba, karena keduanya mempunyai pengertian
yang sama yaitu tambahan yang sudah disepakati pada awal transaksi (akad).
Perbankan dalam dunia modern saat
ini memang sangat diperlukan untuk kelancaran roda perekonomian negara dan
masyarakat pada umumnya. Namun yang jadi permasalahan adalah sistem perbankan
yang bagaimana yang paling baik dan sesuai dengan syariat Islam.
Melihat kenyataan sosial terutama
kondisi bangsa Indonesia pada saat ini yang sedang terpuruk dengan krisis
multidimensi yang berkepanjangan, termasuk keterpurukan dalam bidang ekonomi, yang
salah satu penyebabnya adalah karena bangsa kita sangat tergantung kepada
pinjaman luar negeri yang berasal dari International Monetary Fund (IMF)
yang notabenenya merupakan ”lintah darat” internasional. Melalui corong IMF
inilah, luar negeri (Barat) ”mendekte” bangsa Indonesia, baik dari segi
politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, bahkan agama. Tentu saja hal ini
sangat merugikan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan
berdaulat.
Konsep perbankan syari’ah, asuransi
syariah, bait al-mal wa al-tamwil, badan amil zakat atau dompet peduli
umat, yang sedang marak saat ini sangat mirip dengan konsep ”Bank
Shadaqah” yang pernah ditawarkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto. Bahwasannya
peraturan Bank yang diterima dari zaman modern Eropa itu dapat kita terima.
Kitapun mendirikan Bank. Tetapi modalnya bukan dari orang-orang kaya yang
menyimpankan uangnya di dalam Bank, melainkan dari satu bahagian daripada
zakat, terutama Sabilillah. Zakat-zakat dri orang beriman dikumpulkan untuk modal dari Bank itu, dipinjamkan kepada
orang-orang yang memerlukan dengan bunga
yang tipis dan pantas. Keuntungan bunga itu dipergunakan untuk membangun
Sabilillah. Tetapi yang dicetuskan itu, sebelum sampai diperbincangkan menuruti
hukum agama dari ulama-ulama Islam dan ahli-ahli ekonomi Islam beliaupun
meninggal dunia, sehingga terbenamlah konsep tersebut dan tidak dibangkit-bangkitkan
orang lain.[18]
C.
Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang terdapat pada
bagian-bagian sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Kaitannya dengan metode penafsiran
Al-Qur’an, Hamka menggabungkan antara pendekatan naqli dan naqli, menggabungkan
antara metode tahlili dan ijmali, walaupun metode tahlili lebih dominan. Beliau
juga memberikan warna dalam penafsirannya dengan kecenderungan-kecenderungan
yang sesuai dengan konteks ayat. Demikian pula dalam menggabungkan antara
pendapat-pendapat ulama dengan pendapat dan pengalamannya sendiri.
Konsep riba menurut hamka
menyatakan bahwa statusnya adalah haram, karena pada dasarnya dengan praktik
riba mengandung pemerasan secara perlahan bagaikan lintah darat, begitu pula
bunga bank yang terjadi saat ini tanpa disadari mengandung unsur riba. Menilik
sejarahnya riba merupakan budaya orang-orang Yahudi yang pada saat itu
meminjamkan uangnya dengan tujuan mendapatkan uang lebih. Seiring dengan
perkembangan zaman ternyata kita juga merasakan riba pada bunga bank-bank
konvensional yang ada di sekitar kita. Tanpa dipungkiri kita ikut andil dalam
mengembangkan bank konvensional tersebut. Sistem perbankan yang kita terima sekarang ini
merupakan realitas yang tak dapat dihindari, oleh karena itu umat Islam boleh
bermuamalah dengan bank konvensional atas pertimbangan dalam keadaan darurat
dan bersifat sementara. Karena itu umat Islam harus berusaha mencari jalan
keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem
tanpa bunga untuk menyelamatkan umat Islam
dari cengkraman bank bunga. Upaya menghindari bank bunga sudah
dilakukan. Seperti konsep perbankan syari’ah, asuransi syariah, bait
al-mal wa al-tamwil, badan amil zakat atau dompet peduli umat, yang
sedang marak saat ini sangat mirip dengan konsep ”Bank Shadaqah” yang pernah
ditawarkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto.
Konsep inilah yang paling cocok
dilihat dari kaca mata syariat serta konsep perekonomian yang saling
menguntungkan, di mana di dalamnya terdapat unsur tolong-menolong,
bantu-membantu, berlomba dalam kebaikan tanpa menghilangkan unsur saling
memberikan manfaat di dalamnya. Karena itu, lembaga perekonomian ini harus
benar-benar dikelola dengan profesional oleh sumber daya yang kompeten, di
samping juga perlunya dukungan dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, ulama,
masyarakat agar dapat memberikan manfaat yang maksimal dalam upaya
memberdayakan perekonomian umat dengan lebih baik dan Islami.
Terkadang pemikiran manusia tidak
mampu mencapai apa yang dimaksud oleh Allah sebagaimana yang difirmankan-Nya
dalam Al-Qur’an al-Karim, karena itu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
terutama yang qath’i al-dilalah, maka akal manusia sebaiknya tunduk
kepada apa yang telah difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an tersebut (lahir ayat).
Maka, berkenaan dengan penafsiran ayat-ayat tentang riba, bila dikaitkan dengan
sistem perbankan saat ini, hendaklah setiap mukmin bersikap berhati-hati agar
tidak terjebak dalam sebuah ekosistem “lingkaran setan” yang akan meyebabkan
keterpurukan. Sistem perbankan syariah, asuransi syariah, badan amil zakat, bait
al-mal wa al-tamwil patut dikedepankan dalam upaya menghindarkan diri dari
praktek riba dan melepaskan bangsa dari keterpurukan ekonomi.
Daftar Pustaka
Ahmad Muhammad Al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim.
1999. Sistem, Prinsip dan Tujuan
Ekonomi Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Azhar BasyƮr, Ahmad. 2000. Asas-Asas Muamalat (Hukum Islam Perdata). Yogyakarta UII Press.
Efendy, Muchtar. 1996. Ekonomi Islam
Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran
Qur’an dan Hadis. Palembang:
Yayasan Pendidikan dan Ilmu Islam al-Mukhtar.
Fazar,
Riza Yulistia. 2009. Riba dan Bunga Bank dalam Pandangan Muhammad Syafi’I
Antonio. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Hamka. 1984. Tafsir
al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamka. 2003. Tafsir
Al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional.
Shihab,
M. Quraish. 1995. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Syafei, Rachmat. 2004. Fiqh Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS
dan Umum. Bandung:
Pustaka Setia.
Veithzal Rivai dan Andi Buchari. 2009. Islamic Economics. Jakarta:
Bumi Aksara.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
[1] Muchtar Efendy, Ekonomi Islam Suatu
Pendekatan Berdasarkan Ajaran Qur’an dan
Hadis,(Palembang: Yayasan Pendidikan dan Ilmu Islam al-Mukhtar, 1996), hal.
17.
[2] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah untuk IAIN,
STAIN, PTAIS dan Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 276.
[3] Ahmad Muhammad Al-‘Assal da Fathi Ahmad Abdul
Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 1999), hal 89-90.
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, (Bandung: Mizan 1995), hal. 261.
[5] Mochtar
Efendy, Loc.it., hal. 173.
[6] Veithzal Rivai
dan Andi Buchari, Islamic Economics, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal.
519.
[7][7] Ibid., hal. 521.
[8] Prof. Dr. Hamka, Tafsir
al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), juz 3, hal. 68.
[9] Ibid.
[10] Ibid., hal.
69.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hal.
75.
[14] Yang
dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa
Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada
dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang
yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang
berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[15] Prof. Dr. Hamka, Tafsir
Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 2003) cet ke-5, hal. 924.
[16] Ibid.
[17] Ibid. hal.
1551.
[18] Prof. Dr. Hamka, Tafsir
al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), juz 3, hal. 78.
0 comments:
Post a Comment