Ų§َŁ‡ْŁ„Ų§ًŁˆَŲ³َŁ‡ْŁ„Ų§ً

Saturday, 14 June 2014

Metode Karya Ilmiah



RIBA DAN BUNGA BANK DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AL-AZHAR
Mulya

Abstrak
Suatu persoalan yang selalu menarik dan masih menjadi hal yang patut diperbincangkan dalam masalah perekonomian Islam, yaitu permasalahan riba yang telah jelas dimyatakan keharamannya di dalam al-Qur’an. Perdebatan ini terpusat pada suatu titik apa yang sesungguhnya dimaksudkan dengan riba dalam al-Qur’an, dan bagaimana dengan perekonomian kaum muslimin ketika dihadapkan di tengah-tengah arus ekonomi kapitalis dan perbankan modern yang melakukan praktik bunga sebagai senjata dalam aktivitas perekonomiannya. Konsep riba menurut hamka menyatakan bahwa statusnya adalah haram, karena pada dasarnya dengan praktik riba mengandung pemerasan secara perlahan bagaikan lintah darat, begitu pula bunga bank yang terjadi saat ini tanpa disadari mengandung unsur riba. Upaya menghindari bank bunga sudah dilakukan. Seperti konsep perbankan syari’ah, asuransi syariah, bait al-mal wa al-tamwil, badan amil zakat atau dompet peduli umat,  yang sedang marak saat ini sangat mirip dengan konsep ”Bank Shadaqah” yang pernah ditawarkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto.

Kata kunci: Al-Qur’am, Bunga Bank, Ekonomi, Hamka, Riba

A.    Pendahuluan
1.      Latar belakang
Melakukan kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan kegiatan itu dapat memperoleh rizki, dengan rizki dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang Islam, al-Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang absolut. Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh al-Qur’an. Apabila kegiatan itu punya watak yang merugikan banyak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang, seperti monopoli dagang, calo, perjudian dan riba pasti akan ditolak.
Larangan riba sebenarnya sudah tegas dan jelas dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw, cukup banyak mengutarakannya dan mencela para pelakunya, sehingga pada prinsipnya disepakati pengharaman riba. Akan tetapi dalam perkembangan zaman, umat Islam mulai dihadapkan dengan kontak peradaban dunia barat. Perbankan yang mensyaratkan adanya bunga merupakan bagian dari peradaban mereka dalam aspek ekonomi, maka konsep riba yang dianggap final status hukumnya mulai menjalani peninjauan kembali oleh tokoh para pembaharu Islam. Kehadiran institusi perbankan dalam dunia Islam bukanlah hal yang asing, karena istilah perbankan sudah dikenal sejak zaman pertengahan Islam dahulu. Namun ketika dikaitkan dengan sistem perbankan modern saat ini, maka kegiatan perbankan menjadi persoalan baru dalam kajian keislaman. Karena itu, bila ditinjau dalam hukum Islam, hukum lembaga ini termasuk ijtihadiyah. Sebagai masalah ijtihadiyah perbedaan pendapat tidak akan terlepas dari padanya.
2.      Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, untuk mempermudah kajian yang dilakukan terarah pada satu objek sehingga menghasilkan hasil akhir yang komprehensif, integral dan menyeluruh sehingga relatif mudah dipahami dan dapat merepresentasikan. Maka dirumuskan beberapa masalah pokok sebagai berikut:
a.       Bagaimana metode penalaran hukum Hamka dalam menentukan status riba dan bunga bank ?
b.      Bagaimana kontribusi pandangan Hamka terhadap praktik perbankan Indonesia ?
3.      Tujuan Penulisan
Sejalan dengan perumusan masalah, penulis memiliki tujuan dalam penulisan ini.
a.       Mendeskripsikan metode penalaran hukum Hamka dalam menentukan status hukum riba dan bunga bank
b.      Mendeskripsikan eksplorasi, pengembangan, serta evaluasi Hamka terhadap praktik perbankan Indonesia.








B.     Pembahasan
1.      Tinjauan tentang riba
Riba menurut pengertian etimologi adalah bertambah, dalam pengertian teknik hukum syariah berarti akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara atau terlambat menerimanya. Di dalam praktik di masa permulaan Islam, riba ada tiga bagian yaitu riba fadhl, riba yadh, dan riba nasi’ah.[1]
Menurut Prof DR Rachmat Syafe’I M.A riba diharamkan karena 2 hal yakni pertama, adanya kedzaliman; kedua, adanya eksploitasi dalam kebutuhan pokok atau adanya garar, ketidakpastian dan spekulasi yang tinggi. Oleh karena itu, tidak diharamkan selama tidak bertentangan dengan dua hal di atas.[2]
Pendapat yang menegaskan bahwa riba itu haram dalam segala bentuknya, pendapat ini dikemukakan oleh DR. Muhammad Darraz, seorang ahli hukum dari Saudi Arabia. Ia mengatakan baik secara formal maupun sosiologis, riba itu sangat merusak.[3]
M. Quraish Shihab menegaskan keharaman riba, sebagaimana dikemukakan alQur’an adalah tidak terlepas dari tiga tinjauan, yaitu ad’afan-muda afah,ma baqiya min ar-riba, dan falakum ru’usu amwalikumla tazlimuna wala tuzlamun.[4] Bila dibawa ke kajian fiqih, maka illat hukum keharaman riba adalah berlipat ganda dan unsureaniaya dalam penetapan kelebihan pengembalian hutang.
Jadi, riba pada dasarnya haram dalam segala bentuknya, baik secara formal maupun sosiologis. Karena adanya kedzaliman dan adanya ekploitasi dalam kebutuhan pokok (garar), ketidakpastian dan spekulasi yang tinggi. Bila dibawa ke kajian fiqih, maka illat hukum keharaman riba adalah berlipat ganda dan unsure aniaya dalam penetapan kelebihan pengembalian hutang.
2.      Tinjauan tentang bunga bank
Bunga adalah harga atau konpensasi atau ganti rugi terhadap pemakaian uang orang lain, yang kemudian dipergunakan di dalam proses perusahaan sendiri, sehingga debitur mendapat keuntungan dari kredit tersebut, atau bunga itu dapat dikatakan sebagai sewa dari uang yang dipinjam seorang debitur. Sebaliknya debitur yang meminjamkan uang tidak dapat menguasainya dan terkandung pula beberapa resiko.
Debitur berhak mempergunakan uang tersebut untuk suatu jangka tertentu, dengan menggunakan tersebut dia mendapat keuntungan. Keuntungan tersebut adalah di atas kewajiban bunga yang harus dibayarnya. Jumlah dari harga atau konpenasi, atau bunga tersebut ditentukan berdasarkan prosentasi tertentu dari jumlah yang dipinjam.[5]
Muhammad Syafi’I Antonio memutuskan bahwa kedudukan bunga bank adalah riba dan hukumya haram, dengan menggunakan beberapa pandangan yaitu pandangan agama (normatif), ushul fiqh dan pandangan ekonomi, di mana persoalan riba dan bunga bank bukan persoalan umat Islam saja, melainkan seluruh manusia yang hidup di muka bumi sebagai kompensasinya.[6]
Veithzal Rivai dan Andi Buchari dalam bukunya Islamic Economic menyatakan bahwa, sampai ssat ini bunga dapat diartikan sebagai “buah” dari modal yang digunakan atau dipinjamkan. Sedangkan modal adalah “buah’ dari hasil kerja para pekerja di masa yang lalu yang digunakan di masa depan untuk keperluan produksi. Ketika seseorang meminjamkan modalnya dia mengharapkan akan adanya imbalan tertentu.
Siklus perdagangan (kelanjutan dari pertumbuhan dan kehancuran yang terjadi dalam ekonomi di mana hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya pengangguran dalam jumlah yang besar) telah diperhitungkan oleh para ekonom berkaitan dengan tingkat inflasi yang fluktatif. Harrod, dalam bukunya Towards a Dinamics Economics menyatakan sangatlah tidak mungkin untuk mengendalikan dan mencegah terjadinya seklus tersebut kecuali terciptanya sebuah sistem ekonomi baru yang diterima secara internasional dan bebas dari bunga. Harrod juga menyatakan bahwa sangatlah mungkin untuk dapat mengendalikan atau meniadakan bunga secara bersamaan jika terdapat banyak sumber modal yang digunakan untuk membiayai kegiatan usaha dari negara-negara yang sedang berkembang.[7]
Jadi, bunga dalam praktik perbankan adalah harga atau konpensasi atau ganti rugi yang dibayarkan untuk penggunaan uang selama jangka waktu tertentu, yang dinyatakan dalam suatu prosentasi dari jumlah uang yang disetujui bersama. Bunga dapat diartikan sebagai “buah” dari modal yang digunakan atau dipinjamkan. Sedangkan modal adalah “buah’ dari hasil kerja para pekerja di masa yang lalu yang digunakan di masa depan untuk keperluan produksi. kedudukan bunga bank adalah riba dan hukumya haram, dan persoalan riba dan bunga bank bukan persoalan umat Islam saja, melainkan seluruh manusia yang hidup di muka bumi. Bunga dapat dikendalikan atau bahkan dihilangkan dengan syarat harus mempunyai banyak sumber modal yang digunakan untuk membiayai kegiatan usaha.
3.      Telaah penafsiran tafsir al-Azhar terhadap ayat-ayat tentang riba
Adapun ayat-ayat yang berkenaan tentang riba yang terdapat dalam surat al-Baqarah : 275-281 surat Ali Imran : 130, dan surat al-Nisa: 161.
šĆŗĆÆƏ%©!$# tbqĆØ=Ć 2Ć¹'tƒ (#4qt/ƌh9$# Ÿw tbqĆ£BqĆ )tƒ žwƎ) $yJx. Ć£PqĆ )tƒ Ə%©!$# ƧmƤƜ¬6ytFtƒ Ɵ`»sƜĆø¤±9$# z`ƏB Ƅb§yJĆø9$# 4 y7Ə9ĀŗsŒ ƶNƟg¯Rr'Ǝ/ (#Ć¾qƤ9$s% $yJ¯RƎ) ĆŸĆ¬Ćøt7Ćø9$# Ć£@÷WƏB (#4qt/ƌh9$# 3 ¨@ymr&ur ĀŖ!$# yƬĆøt7Ćø9$# tP§ymur (#4qt/ƌh9$# 4 `yJsĆ¹ ¼Ć§nuƤ!%y` ×psĆ ĆĆ£Ć¶qtB `ƏiB ¾ĆmƎn/§ 4ygtFR$$sĆ¹ ¼Ć£&s#sĆ¹ $tB y#n=y Ćæ¼Ć§nĆ£ĆøBr&ur n<Ǝ) «!$# ( ĆÆƆtBur yŠ$tĆ£ y7ƍ´¯»s9'rĆ©'sĆ¹ Ɯ=»ysĆ“¹r& ƍ$¨Z9$# ( ƶNĆØd $pkŽĆĆ¹ šcrĆ $Ǝ#»yz ƇƋƐƎƈ  

Orang-orang yang memakan riba itu tidaklah akan berdiri, melainkan sebagai berdirinya orang-orang yang di haru-haru syaitan dengan tamparan. Menjadi demikian, karena sesungguhnya mereka berkata: “Tidak lain perdagangan itu hanyalah seperti riba juga.” Sedang Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Lantaran itu maka barangsiapa yang telah kedatangan pengajaran dari Tuhannya lalu dia berhenti, maka baginyalah apa yang telah berlalu, dan perkaranya terserahlah kepada Allah, akan tetapi barangsiapa yang kembali (lagi), maka mereka itu menjadi ahli neraka, mereka akan kekal di dalamnya.
Orang-orang yang memakan riba itu tidaklah akan berdiri, melainkan sebagai berdirinya orang-orang yang diharu-biru oleh syaitan dengan tamparan” (pangkal ayat 275).

Kalimat dalam ayat ini makan riba telah pindah menjadi kata umum. Sebab meskipun riba bukan semata-mata buat dimakan, bahkan untuk membangun kekayaan yang lain-lainpun, namun asal usaha manusia pada mulanya ialah ”cari makan”. Maka di dalam ayat ini diperlihatkanlah pribadi bunga uangnya dari makan riba itu. Hidupnya susah selalu, walaupun bunga uangnya dari riba telah berjuta-juta. Dia tidak merasa kenikmatan di dalam jiwa lantaran tempat berdirinya ialah menghisap darah orang lain. Dia diumpamakan dengan orang yang selalu kacau, gelisah, resah dan haru-biru karena ditampar syetan. Selalu merasa takut kalau-kalau uangnya tidak dibayar orang, kalau tidak terbayar oleh yang berpiutang sehingga harta benda orang itu perlu dirampasnya, maka budinya bertambah kasar. Perasaan halus yang ada di dalam hati sanubarinya perlu ditekannya, supaya keuntungan masuk.[8]
 Ada pemakan riba yang usianya sudah 60 tahun sampai hati menyesakkan piutangnya kepada orang yang berhutang, walaupun orang itu sedang dalam keadaan sakit keras. Bahkan kalau orang itu langsung mati, dan ada mempunyai anak gadis usia 16 tahun, si tukang riba yang berusia 60 tahun itu, sampai hati saja melepaskan hutang itu asal dibayar dengan anak gadis itu, untuk menjadi istri mudanya. Kerap kali si tukang riba tidak ingat lagi mengurus badannya; baju kotor, sepatu tidak berganti, celana kotor, sedang pekerjaannya siang malam hanya menghitung uang di sana sekian, bunganya mesti sekian, si anu telah lari, si fulan ingkar membayar, uang tinggal pada si anu sekian san si anu perlu dibeslah hartanya, dan lain-lain yang dipikirkannya untuk keuntungan diri sendiri dan untuk memeras menindas orang lain, sehingga dia tidak pernah merasa enak tidur.[9]
Menjadi demikian, karena sesungguhnya mereka berkata: “Tidak lain perdagangan itu hanyalah seperti riba juga.”
Artinya karena dia hendak membela pendiriannya menternakkan uang, dia mengatakan bahwa pekerjaan orang berniaga itupun serupa juga dengan pekerjaannya makan riba, yaitu sama-sama mencari keuntungan atau sama-sama cari makan. Keadaannya jauh berbeda. Berdagang, ialah saudagar menyediakan barang, kadang-kadang didatangkannya dari tempat lain, si pembeli ada uang pembeli barang itu. Harganya sepuluh rupiah, dijualnya sebelas rupiah yang menjual mendapat untung yang membelinya mendapat untung pula. Karena yang diperlukannya telah didapatnya. Keduanya sama-sama dilepaskan keperluannya. Itu sebabnya dia dihalalkan Tuhan. Bagaimana dia akan diserupakan dengan cari keuntungan secara riba? Padahal dengan riba yang berhutang dianiaya, dihisap kekayaannya, dan yang berpiutang hidup senang-senang, goyang kaki dari hasil ternak uang?[10]
Lantaran itu maka barangsiapa yang telah kedatangan pengajaran dari Tuhannya, lalu dia berhenti,” dari makan riba yang sangat jahat dan kejam itu, “maka baginyalah apa yang telah berlalu.” Artinya yang sudah-sudah itu sudahlah! Kalau dia selama ini telah menangguk keuntungan dari riba tidaklah perlu dikembalikannya lagi kepada orang-orang yang telah dianiayanya itu, sama saja dengan dosa menyembah berhala di zaman musyrik, menjadi habis tidak ada tuntutan lagi kalau telah Islam. “Dan perkaranya terserah kepada Allah” sehingga manusia tidak berhak buat membongkar-bongkar kembali, sebab yang demikian memang salah satu dari rangkaian kehidupan jahiliyah, yang tidak senonoh itu. “Akan tetapi barangsiapa yang kembali (lagi),” padahal keterangan yang sejelas ini sudah diterimanya; “maka mereka itu menjadi ahli neraka; mereka akan kekal di dalamnya” (ujung ayat 275).
Riba adalah salah satu kejahatan jahiliyah yang amat hina. Riba tidak sedikit juga sesuai dengan kehidupan orang beriman. Kalau di zaman yang sudah-sudah ada yang melakukan itu, maka sekarang karena sudah menjadi muslim semua, hentikanlah hidup yang hina itu. Kalau telah berhenti, maka dosa-dosa yang lama itu habislah hingga itu, bahkan diampuni oleh Allah. Kalau misalnya harta dari keuntungan riba mereka mendirikan rumah, tidak usah rumah itu dibongkar. Mulai sekarang hentikan sama sekali. Tetapi kalau ada yang kembali kepada hidup makan riba itu, samalah dengan setelah Islam kembali menyembah berhala, sama kekalnya dalam neraka.[11]
“Allah membasmi riba dan Dia menyuburkan sedekah-sedekah.” (pangkal ayat 276). Riba dikikis habis, sebab itu berpangkal dari kejahatan musyrik, kejahatan hidup dan nafsi-nafsi, asal diri beruntung, biar orang lain melarat, dengan ini ditegaskan bahwa berkat daripada riba itu tidak ada. Itulah kekayaan yang membawa kepada sial, membawa dendam dan kebencian. Kata-kata RIBA amat jahat. Kalau penyakit riba menjalar, maka kalu disebut orang “orang kaya”, benci dan dendamlah yang timbul, sama dengan menyebut kapitalisme dalam ukuran besar. Asal disebut kapitalisme  rasa benci yang timbul terlebih dahulu  dan rasa dendam. Tetapi Allah menyuburkan sedekah-sedekah. Sebab Dia mempertautkan sedekah kasih-sayang di antara si pemberi dengan si penerima, yang bersedekah dengan yang menerima sedekah. Masyarakatnya jadi lain, yaitu masyarakat yang Bantu-membantu, sokong menyokong, doa-mendoakan. Maka jika disebut  kalimat “orang kaya”, orang teringat akan kedermawanan, kesuburan dan doa, moga-moga ditambah Tuhan rezekinya.[12]
$ygƒr'¯»tƒ šĆŗĆÆƏ%©!$# (#qĆ£ZtB#uƤ (#qĆ )®?$# ©!$# (#rĆ¢sŒur $tB uƅ+t/ z`ƏB (##qt/ƌh9$# bƎ) OƧFZƤ. tĆ»Ć¼ĆZƏB÷sB ƇƋƐƑƈ  
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”

Orang yang beriman adalah orang yang diliputi kasih sayang kepada sesama manusia, yang kaya kalau hendak memberi piutang, tidaklah bermaksud hendak memeras keringat dan tenaga sesama manusia, yang miskin menelak jauh-jauh daripada memberi kesempatan orang kaya memeras dirinya, dan di dalam ayat ini diperingatkan Tuhan pada orang-orang yang beriman setelah masyarakat muslim terbentuk di Madinah, kalau masih ada sisa-sisa hidup dengan riba itu, mulai sekarang hendaklah hentikan.
Menurut riwayat yang dirawikan oleh Ibnu Jarir dan ibnu Mundzir dan Ibn Abi Hatim daripada as-Suddi, ayat ini diturunkan ialah berkenaan dengan diri paman Nabi Saw. Sendiri ialah Abbasbin Abdul Muthalib.Beliau di zaman jahiliyah mendirikan satu perkongsian dengan seorang dari Bani al-Mughirah, yang mata usaha mereka ialah menternakan uang (makan riba). Mereka pernah meminjamkan uang kepada seorang dari Bani Tsaqif di Thaif. Kemudian Abbas masuk Islam (beliauhijrah ke Madinah, dan di tengah jalan berselobok dengan tentara Rasululah yang akan menaklukkan Makkah  di bawah pimpinan Rasul sendiri, di waktu itulah beliau dengan resmi meyatakan diri telah Islam. Setelah datang zaman Islam, datanglah peraturan ini, yaitu bahwa sisa-sisa riba jahilyah itu ditinggalkan sama sekali. Artinya orang yang berhutang di Thaif itu tidak perlu lagi memberikan bunga riba itu, cukup diberikan seberapa banyak yang dihutangnya dahulu itu saja.[13]
QS. Ali Imran: 130
$ygƒr'¯»tƒ šĆŗĆÆƏ%©!$# (#qĆ£YtB#uƤ Ÿw (#qĆØ=Ć 2Ć¹'s? (##qt/ƌh9$# $ZĆæ»yĆØĆ“ĆŠr& ZpxĆæyĆØ»ŸĆ’B ( (#qĆ )¨?$#ur ©!$# ƶNƤ3ĀŖ=yĆØs9 tbqƟsƎ=ĆøĆæĆØ? ƇƊƌƉƈ
  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba[14] dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Menurut keterangan ahli-ahli tafsir, inilah ayat mengharamkan riba yang mula-mula turun. Adapun  ayat yang ada dalam surat al-Baqarah yang telah terlebih dahulu kita tafsirkan itu adalah termasuk ayat yang terakhir turunnya kepada Nabi. Menurut keterangan sayyidina Umar bin Khattab  sebelum Rasullullah Saw. Menerangkan riba yang berbahaya itu secara terperinci, beliauun wafat. Tetapi pokoknya sudah nyata dan jelas dalam ayat yang mula-mula turun tentang riba. Riba adalah suatu pemerasan  hebat dari yang berpiutang kepada yang berhutang, yaituAdh’afan Mudha’afan artinya berlipat-lipat.
Inilah yang bernama riba Nasiyah, secara jahiliyah yang berlipat-lipat. Dengan beginilah kaum Yahudi hidup dan beginilah hartawan-hartawan Makkah memerkaya diri dan menindas orang yang melarat. Di ujung ayat orang di suruh beriman supaya takwa, yaitu memelihara baik-baik dan takut kepada Allah. Kalau itu tidak ada, Takut kaum muslimin akan terjerumus kepada main riba.[15]

Maksud ajaran Islam bukanlah semata-mata memperbaiki hubungan dengan Allah, melainkan memperbaiki hubungan dengan manusia sebagai ayat 112 di atas tadi yaitu supaya tidak terputus tali dengan Allah dan tali dengan manusia. Kedua sayap kehidupan inilah yang akan diperbaiki oleh islam. Oleh sebab itu, jika riba secara jahiliyah itu masih ada boleh dikatakan percuma mendengarkan agama. Sekiranya orang diperintahkan shalat berjamaah menghadap Tuhan, apalah arti jamaah kalau antara yang menjadi makmum itu ada seorang penindas atau lintah darat yang memeras darah kawannya, sedang makmum yang lain, ialah orang yang dihisap darahnya itu.
Pendeknya, riba adalah kehidupan yang paling jahat dan meruntuhkan segala bangunan persaudaraan. Itulah sebabnya di dalam ayat disuruh supaya seorang mu’min takwa kepada Allah. Karena orang yang telah takwa tidak mungkin mencari penghidupan dengan memeras keringat dengan menghisap darah orang lain. Dan di ujung ayat pula diterangkan pula, bahwa janganlah memakan riba dan hendaklah bertakwa, supaya kamu peroleh kemnangan . barulah kejataan di dalam menegakkan masyarakat yang adil dan makmur, tidak ada penghisapan manusia, berdasarkan kepada ridha Allah dan ukhuwah yang sejati.[16]

QS An-Nisa: 161
Ć£NƏdƉ÷{r&ur (#4qt/ƌh9$# Ć“s%ur (#qĆ„kƧX Ƨm÷ZtĆ£ ƶNƎgƎ=Ćø.r&ur tAĀŗuqĆøBr& Ƅ¨$¨Z9$# ƈ@ƏƜ»t7Ćø9$$Ǝ/ 4 $tRĆ“tGĆ“Ć£r&ur tĆ»ĆÆƌĆĆæ»s3Ć¹=Ə9 ƶNĆ„k÷]ƏB $¹/#xtĆ£ $VJŠĆ9r& ƇƊƏƊƈ  
“dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Terkenal di atas dunia, sejak zaman dahulu hingga zaman sekarang ini,  bahwa di antara riba dengan Yahudi payah dipisahkan. Umumnya perangkai mereka bakhil, sempilit dan suka member hutang. Berapa saja hendak berhutang mereka sediakan mempiutangi asal saja diberi bunga (rente). Sehingga dalam buku yang berjudul Saudagar dari Venesia, yang membuat janji dengan orang yang diberinya hutang, sebab tidak terbayar oleh orang itu pada waktunya, tetapi dengan bahwa setetes darahpun tidak boleh keluar dari badan orang itu, sebab dalam perjanjian hanya tersebut daging. Meskipun itu hanya semacam dongeng  dari seorang pujangga besar, namun isinya sudah nyata menggambarkan bagaimana kejamnya si Yahudi itu di dalam memakan Riba yang berjangkit beratus-ratus tahun di Benua Eropa.[17]
4.      Metode penalaran hukum Hamka dalam menentukan status riba
Kaitannya dengan penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an, terlebih dahulu Hamka menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang akan ditafsirkan sesuai dengan urutan surat dan ayatnya sebagaimana yang terdapat dalam mushaf. Setelah itu, beliau menuliskan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, baru kemudian menafsirkannya juga dalam bahasa Indonesia ayat demi ayat dan tidak kata per kata.
Berdasarkan menafsirkan ayat Al-Qur’an, kadang-kadang Hamka mengungkapkan kembali tafsir ayat sebelumnya. Seperti, ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 130 tentang larangan memakan riba, beliau lebih dahulu mengungkapkan kembali tentang larangan menjadikan orang Yahudi dan musyrikin sebagai teman supaya tidak ikut dalam kebiasaan mereka yang suka memakan riba.
Penafsirannya, Hamka juga menjelaskan asbab al-nuzul (latar belakang historis turunnya ayat), baik berupa persoalan-persoalan yang berkaitan dengan situasi psikologis maupun sosiologis masyarakat pada saat diturunkannya ayat tersebut. Seperti, dalam penafsiran surat Ali Imran ayat 130, beliau menceritakan kondisi psikologis dan sosiologis pada waktu tersebut, di mana orang Yahudi dan kaum musyrikin memiliki kebiasaan menternakan uang yang merupakan sumber penghasilan mereka. Oleh karena itu, kaum muslimin  diberi peringatan agar jangan terlalu rapat berkawan dengan mereka, karena dikhawatirkan akan terjerumus dalam praktek riba yang diterapkan mereka. Demikian juga dalam menafsirkan surat an-Nisa ayat 160, beliau menceritakan tentang kebiasaan orang Yahudi yang sukar dipisahkan dengan praktek riba tersebut.
Di samping itu, Hamka juga dalam tafsirnya sering menceritakan berbagai kondisi sosial masyarakat yang berkenaan dengan ayat yang dibahasnya sekaligus memberikan alternatif pemecahannya. Seperti, ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 275, beliau menceritakan tentang seorang yang sudah berumur 60 tahun yang memiliki kebiasaan memakan riba yang tidak memiliki prikemanusiaan terhadap orang yang berhutang kepadanya, walaupun kondisi orang yang berhutang itu dalam keadaan sakit keras, dia terus menekannya agar membayar hutangnya. Bahkan, seandainya orang yang berhutang tersebut meninggal dunia dan memiliki anak gadis berusia 16 tahun, maka sebagai ganti hutangnya, dia akan mengambil anak gadisnya sebagai pembayarannya. Tentu saja solusi yang ditawarkan Hamka adalah dengan meninggalkan riba dan memperbanyak sedekah, serta berusaha lewat jalur yang halal yaitu jual beli yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, Hamka terlebih dahulu menafsirkannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat ketika beliau menafsirkan surat al-Baqarah 275-281 tentang larangan memakan riba, maka beliau menafsirkannya surat Ali Imran ayat 130 tentang larangan memakan riba secara berlipat-ganda.
Di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Hamka juga menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah. Sebagaimana ketika beliau menafsirkan surat al-Baqarah ayat 278-281 tentang perintah meninggalkan riba. Beliau memaparkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir dan Ibn Abi Hatim yang menceritakan tentang paman Nabi, yaitu Abbas ibn Abd al-Muthalib yang pada masa jahiliyah pernah menternakkan uang (makan riba), maka setelah paman beliau itu masuk Islam, orang-orang yang berhutang kepada beliau tidak perlu membayar bunga riba tersebut, cukup mengembalikan pokoknya saja.
Hamka juga dalam tafsirnya sering mengungkapkan berbagai pendapat ulama seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 275-281 dan surat Ali Imran ayat 130 tentang riba. Beliau memaparkan tentang beberapa pembagian riba yang kesemuanya itu merupakan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ulama.
Selain itu, Hamka juga menggunakan pengalaman-pengalamannya dalam upaya menafsirkan ayat Al-Qur’an. Seperti, dalam membahas tentang riba yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275-281, maka di akhir tafsirnya, beliau menceritakan pengalamannya tentang konsep ”Bank Shadaqah” yang pernah ditawarkan oleh Almarhum  H.O.S. Tjokroaminoto, yang menurut beliau sangat cocok sebagai sebuah solusi dalam upaya menghindarkan riba.
Dalam kaitannya dengan tafsiran terhadap ayat-ayat tentang riba, maka Hamka berpendapat bahwa ayat-ayat tentang riba ini adalah termasuk dalam golongan ayat-ayat yang qath’i al-dilalah (dalil-dalil yang pasti). Sehingga, dalam menafsirkan ayat-ayat ini beliau tidak menafsirkannya dengan rasio (pemikiran), melainkan apa adanya (berdasarkan makna lahir ayat) sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits.
5.      Kontribusi pandangan Hamka terhadap praktik perbankan Indonesia
Ketika menafsirkan ayat-ayat tentang riba terutama yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275-279, Hamka menyamakan hukum bunga bank dengan riba, karena keduanya mempunyai pengertian yang sama yaitu tambahan yang sudah disepakati pada awal transaksi (akad).
Perbankan dalam dunia modern saat ini memang sangat diperlukan untuk kelancaran roda perekonomian negara dan masyarakat pada umumnya. Namun yang jadi permasalahan adalah sistem perbankan yang bagaimana yang paling baik dan sesuai dengan syariat Islam.
Melihat kenyataan sosial terutama kondisi bangsa Indonesia pada saat ini yang sedang terpuruk dengan krisis multidimensi yang berkepanjangan, termasuk keterpurukan dalam bidang ekonomi, yang salah satu penyebabnya adalah karena bangsa kita sangat tergantung kepada pinjaman luar negeri yang berasal dari International Monetary Fund (IMF) yang notabenenya merupakan ”lintah darat” internasional. Melalui corong IMF inilah, luar negeri (Barat) ”mendekte” bangsa Indonesia, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, bahkan agama. Tentu saja hal ini sangat merugikan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Konsep perbankan syari’ah, asuransi syariah, bait al-mal wa al-tamwil, badan amil zakat atau dompet peduli umat,  yang sedang marak saat ini sangat mirip dengan konsep ”Bank Shadaqah” yang pernah ditawarkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto. Bahwasannya peraturan Bank yang diterima dari zaman modern Eropa itu dapat kita terima. Kitapun mendirikan Bank. Tetapi modalnya bukan dari orang-orang kaya yang menyimpankan uangnya di dalam Bank, melainkan dari satu bahagian daripada zakat, terutama Sabilillah. Zakat-zakat dri orang beriman dikumpulkan  untuk modal dari Bank itu, dipinjamkan kepada orang-orang yang memerlukan  dengan bunga yang tipis dan pantas. Keuntungan bunga itu dipergunakan untuk membangun Sabilillah. Tetapi yang dicetuskan itu, sebelum sampai diperbincangkan menuruti hukum agama dari ulama-ulama Islam dan ahli-ahli ekonomi Islam beliaupun meninggal dunia, sehingga terbenamlah konsep tersebut dan tidak dibangkit-bangkitkan orang lain.[18]

C.    Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang terdapat pada bagian-bagian sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Kaitannya dengan metode penafsiran Al-Qur’an, Hamka menggabungkan antara pendekatan naqli dan naqli, menggabungkan antara metode tahlili dan ijmali, walaupun metode tahlili lebih dominan. Beliau juga memberikan warna dalam penafsirannya dengan kecenderungan-kecenderungan yang sesuai dengan konteks ayat. Demikian pula dalam menggabungkan antara pendapat-pendapat ulama dengan pendapat dan pengalamannya sendiri.
Konsep riba menurut hamka menyatakan bahwa statusnya adalah haram, karena pada dasarnya dengan praktik riba mengandung pemerasan secara perlahan bagaikan lintah darat, begitu pula bunga bank yang terjadi saat ini tanpa disadari mengandung unsur riba. Menilik sejarahnya riba merupakan budaya orang-orang Yahudi yang pada saat itu meminjamkan uangnya dengan tujuan mendapatkan uang lebih. Seiring dengan perkembangan zaman ternyata kita juga merasakan riba pada bunga bank-bank konvensional yang ada di sekitar kita. Tanpa dipungkiri kita ikut andil dalam mengembangkan bank konvensional tersebut. Sistem perbankan yang kita terima sekarang ini merupakan realitas yang tak dapat dihindari, oleh karena itu umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Karena itu umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem tanpa bunga untuk menyelamatkan umat Islam  dari cengkraman bank bunga. Upaya menghindari bank bunga sudah dilakukan. Seperti konsep perbankan syari’ah, asuransi syariah, bait al-mal wa al-tamwil, badan amil zakat atau dompet peduli umat,  yang sedang marak saat ini sangat mirip dengan konsep ”Bank Shadaqah” yang pernah ditawarkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto.
Konsep inilah yang paling cocok dilihat dari kaca mata syariat serta konsep perekonomian yang saling menguntungkan, di mana di dalamnya terdapat unsur tolong-menolong, bantu-membantu, berlomba dalam kebaikan tanpa menghilangkan unsur saling memberikan manfaat di dalamnya. Karena itu, lembaga perekonomian ini harus benar-benar dikelola dengan profesional oleh sumber daya yang kompeten, di samping juga perlunya dukungan dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, ulama, masyarakat agar dapat memberikan manfaat yang maksimal dalam upaya memberdayakan perekonomian umat dengan lebih baik dan Islami.
Terkadang pemikiran manusia tidak mampu mencapai apa yang dimaksud oleh Allah sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an al-Karim, karena itu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an terutama yang qath’i al-dilalah, maka akal manusia sebaiknya tunduk kepada apa yang telah difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an tersebut (lahir ayat). Maka, berkenaan dengan penafsiran ayat-ayat tentang riba, bila dikaitkan dengan sistem perbankan saat ini, hendaklah setiap mukmin bersikap berhati-hati agar tidak terjebak dalam sebuah ekosistem “lingkaran setan” yang akan meyebabkan keterpurukan. Sistem perbankan syariah, asuransi syariah, badan amil zakat, bait al-mal wa al-tamwil patut dikedepankan dalam upaya menghindarkan diri dari praktek riba dan melepaskan bangsa dari keterpurukan ekonomi.







Daftar Pustaka

Ahmad Muhammad Al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim. 1999. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Azhar BasyƮr, Ahmad. 2000. Asas-Asas Muamalat (Hukum Islam Perdata). Yogyakarta UII Press.

Efendy, Muchtar. 1996. Ekonomi Islam Suatu Pendekatan  Berdasarkan Ajaran Qur’an dan Hadis. Palembang: Yayasan Pendidikan dan Ilmu Islam al-Mukhtar.

Fazar, Riza Yulistia. 2009. Riba dan Bunga Bank dalam Pandangan Muhammad Syafi’I Antonio. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Hamka. 1984. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Hamka. 2003. Tafsir Al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional.

Shihab, M. Quraish. 1995. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Syafei, Rachmat. 2004. Fiqh Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Veithzal Rivai dan Andi Buchari. 2009. Islamic Economics. Jakarta: Bumi Aksara.



BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran

[1] Muchtar Efendy, Ekonomi Islam Suatu Pendekatan  Berdasarkan Ajaran Qur’an dan Hadis,(Palembang: Yayasan Pendidikan dan Ilmu Islam al-Mukhtar, 1996), hal. 17.
[2] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 276.
[3] Ahmad Muhammad Al-‘Assal da Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 89-90.
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan 1995), hal. 261.
[5] Mochtar  Efendy, Loc.it., hal. 173.
[6] Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 519.
[7][7] Ibid., hal. 521.
[8] Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), juz 3, hal. 68.
[9] Ibid.
[10] Ibid., hal. 69.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hal. 75.
[14] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

[15] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 2003) cet ke-5, hal. 924.
[16] Ibid.
[17] Ibid. hal. 1551.
[18] Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), juz 3, hal. 78.

0 comments: