BAB
II
PROBLEM
PEMAHAMAN HADIS
Pemahaman
sebuah hadis tidak terlepas dari pembahasan seputar sanad dan matan hadis.
Keduanya penting untuk dikaji agar pemahaman sebuah hadis dapat menjadi
sempurna, atau minimal mendekati kebenaran.
Muhammad
Quraish Shihab menuturkan bahwa Imam Al-Qarāfi disebut-sebut sebagai orang
pertama yang memilah-milah ucapan Nabi Muhammad Saw. Menurutnya Nabi Muhammad
Saw terkadang berperan sebagai imam agung, Qādhi (penetap hukum yang
bijaksana), dan Mufti yang amat dalam pengetahuannya.[1]
Sejalan dengan pendapat Imam Al-Qarāfi, Muhammad Quraish Shihab juga menuturkan
masing-masing rincian mengapa hadis perlu difahami bukan hanya dari teks hadis
saja, tetapi juga dari konteksnya berdasarkan peran Nabi Muhammad Saw.
1.
Rasul. Segala yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw pasti benar
sebab bersumber dari Allah SWT.
2.
Mufti. Seorang yang memberikan fatwa berdasarkan pemahaman dan
wewenang yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Keputusan ini pun pasti benar
dan berlaku umum bagi seluruh umat Islam.
3.
Hakim. Seorang yang memutuskan perkara atas sengketa yang terjadi.
Keputusan yang dihasilkan secara formal memang benar, namun adakalanya
keputusan tersebut keliru. Kekeliruan tersebut dikarenakan adanya kemungkinan
ada kebenaran atau fakta lain yang disembunyikan oleh pihak yang bersengketa.
Di sisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak yang bersengketa saja.
4.
Pimpinan suatu masyarakat. Sebagai seorang pemimpin beliau
menyesuaikan sikap, petunjuk, dan bimbingannya sesuai dengan kondisi masyarakat
yang beliau pimpin. Bimbingan tersebut pasti benar bagi masyarakat yang beliau
pimpin, namun bagi masyarakat di tempat yang lain mereka hanya bisa menerapkan
nilai-nilai yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw sesuai dengan kondisi
masing-masing masyarakat.
5.
Pribadi. Ribadi yang dimaksud adalah kehususan-kehususan dari diri
Nabi Muhammad.
a.
Kehususan dan hak-hak tertentu yang dibebankan atau diberikan oleh
Allah SWT kepada Nabi Muhammad Swt, seperti kewajiban solat malam.
b.
Kehusussan-kehususan yang diakibatkan oleh sifat manusia yang
berbeda antara yang satu dengan lainnya.[2]
Pemahaman
secara kontekstual juga sangat diperlukan mengingat dari bentuk matannya hadis
Nabi ada yang berupa jami’al-kalim (yakni ungkapan yang singkat namun
padat makna), tamtsil (perumpamaan), bahasa simbolik (ramzi),
bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi (qiyasi), dan lain-lain. Matan
hadis yang berbentuk jami’ al-kalim adakalanya juga berbentuk tamtsil,
dialog, maupun lainnya.[3]
Berbagai
hal yang telah disebutkan di atas akan sangat mempengaruhi kebenaran pemaknaan
dan pemahaman terhadap sebuah hadis. Oleh karena itu penelitian hadis tidak
cukup hanya dengan meneliti bentuk sanad dan matan-nya saja, tapi
juga penting melihat seting sosial, keadaan Nabi, siapa yang diajak bicara dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan hadis. Indikasi-indikasi yang meliputi
matan hadis akan dapat memberikan kejelasan terhadap pemahaman akan kandungan
makna hadis, apakah suatu hadis termasuk kategori temporal, lokal, atau bahkan
universal.
a.
Kurang Berhati ketika berdalil dengan hadits
Sesuatu yang penting di sini adalah sikap berhati-hati ketika
menyebutkan sebuah hadits yang dijadikan sebagai dalil atau suatu makna, nilai,
atau kasus tertentu. Dan apabila hakikatnya merupakan kewajiban bagi setiap
ilmuwan untuk hanya mengandalkan sumber-sumber yang otentik saja dan
membebaskan intelektualitas mereka dari hadits-hadits yang lemah, munkar,
maudhu, dan yang tidak ada asalnya. Hadits-hadits seperti itu, selama ini,
mengisi banyak dari halaman kitab-kitab kita di bidang pengetahuan keagamaan,
sedimikian sehingga bercampur aduk dengan hadits-hadits lainnya yang
berpredikat shahih ataupun hasan, tanpa pemisahan keduanya, serta
yang maqbul (diterima) dan yang mardud (tertolak).
Sebagian orang memang sering terkelabuhi oleh kemasyuran suatu
hadits serta seringnya ia disebut-sebut dalam kitab-kitab maupun dalam
ucapan-ucapan. Lalu ia mengira bahwa hal itu sudah cukup untuk dipercayai atau
“diberi lampu hijau” untuk dapat lewat dan diterima.
Adalah hal yang cukup diketahui oleh para peneliti bahwa adakalanya
sautu hadits menjadi terkenal di kalangan orang banyak, bahkan di dalam
buku-buku para ahli ilmu. Sebagian para penulisnya mEnukilnya dari yang lain.
Padahal ia adalah hadits yang sangat dhaif . bahkan tidak diketahui
asal-usulnya sama sekali. Atau mungkin saja ia adalah maudhu.
Itulah yang mendorong sejumlah ulama hadits, menuliskan buku yang
menjelaskan tentang nilai-nilai hadits yang beredar di kalangan orang banyak.
Kiranya perlu diketahui pula bahwa hadits-hadits yang diragukan seperti itu
banyak dijumpai dalam kitab-kitab tasawuf, nasihat dan raqaiq (ungkapan-ungkapan
yang merawan hati). Mereka para pembaca sepatutnya lebih berhati-hati.[4]
b.
Cacat Kebanyakan Para
Penceramah
Cacat yang ada pada banyak dari kalangan penceramah dan khatib di
masjid-masjid, di kebanyakan negeri muslim, adalah bahwa mereka itu bagai
“pencari kayu di malam hari” (yakni mengambil apa saja yang dijumpainya, tanpa
melihat kualitasnya). Tujuan utama mereka adalah mengambil apa saja dari
hadits-hadits yang mampu menyentuh perasaan kaum awam, walaupun hadits-hadits
tersebut tidak ada sanadnya yang shahih maupun yang hasan.
Dalam bukunya Yusuf Qardawi disebutkan, hampir hampir setiap kali
menghadiri khutbah Jum’at atau ceramah berisi nasehat, saya selalu mendengarkan
sebuah hadits yang dhaif bahkan yang sangat dhaif, dan tidak
jarang pula yang maudhu’.
Pernah saya menghadiri suatu khutbah di suatu tempat, berkenaan dengan
suatu peristiwa tentang riwayat hidup Nabi Saw. karenanya pembicaraan waktu itu
berkisar seputar pribadi beliau, kebersihan prilakunya, kehebatan sikapnya
serta keagungan ahlaknya. Suatu tema yang sebenarnya amat kaya dengan
hakikat-hakikat yang dikuatkan oleh ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah yang
shahih. Namun si penceramah tidak menyebutkan kecuali dua atau tiga hadits
yang shahi atau yang hasan. Sementatara ia menuangkan sampai
habis persediaanya yang banyak, dari hadits-hadits yang lemah munkar, maudhu
ataupun yang tidak diketahui asalnya. Yaitu yang oleh para ulama disebut
sebagai “yang tidak ada kendalinya ataupun tali pengikatnya.
BAB III
KESIMPULAN
Pemahaman
sebuah hadis tidak terlepas dari pembahasan seputar sanad dan matan hadis.
Keduanya penting untuk dikaji agar pemahaman sebuah hadis dapat menjadi
sempurna, atau minimal mendekati kebenaran.
Muhammad
Quraish Shihab menuturkan bahwa Imam Al-Qarāfi disebut-sebut sebagai orang
pertama yang memilah-milah ucapan Nabi Muhammad Saw. Menurutnya Nabi Muhammad
Saw terkadang berperan sebagai imam agung, Qādhi (penetap hukum yang
bijaksana), dan Mufti yang amat dalam pengetahuannya.[5]
Sejalan dengan pendapat Imam Al-Qarāfi, Muhammad Quraish Shihab juga menuturkan
masing-masing rincian mengapa hadis perlu difahami bukan hanya dari teks hadis
saja, tetapi juga dari konteksnya berdasarkan peran Nabi Muhammad Saw.
Sesuatu
yang penting di sini adalah sikap berhati-hati ketika menyebutkan sebuah hadits
yang dijadikan sebagai dalil atau suatu makna, nilai, atau kasus tertentu. Dan
apabila hakikatnya merupakan kewajiban bagi setiap ilmuwan untuk hanya
mengandalkan sumber-sumber yang otentik saja dan membebaskan intelektualitas
mereka dari hadits-hadits yang lemah, munkar, maudhu, dan yang tidak ada
asalnya. Hadits-hadits seperti itu, selama ini, mengisi banyak dari halaman
kitab-kitab kita di bidang pengetahuan keagamaan, sedimikian sehingga bercampur
aduk dengan hadits-hadits lainnya yang berpredikat shahih ataupun hasan,
tanpa pemisahan keduanya, serta yang maqbul (diterima) dan yang mardud
(tertolak).
Cacat
yang ada pada banyak dari kalangan penceramah dan khatib di masjid-masjid, di
kebanyakan negeri muslim, adalah bahwa mereka itu bagai “pencari kayu di malam
hari” (yakni mengambil apa saja yang dijumpainya, tanpa melihat kualitasnya).
Tujuan utama mereka adalah mengambil apa saja dari hadits-hadits yang mampu
menyentuh perasaan kaum awam, walaupun hadits-hadits tersebut tidak ada
sanadnya yang shahih maupun yang hasan.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
[1] Muhammad Al-Ghozali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw Antara
Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual, (Bandung : PENERBIT MIZAN, 1998), hal.
9.
[2] Ibid., hal. 9-10.
[3] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, op.
Cit., hal. 9.
[5] Muhammad Al-Ghozali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw Antara
Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual, (Bandung : PENERBIT MIZAN, 1998), hal.
9.
0 comments:
Post a Comment