اَهْلاًوَسَهْلاً

Thursday, 13 November 2014

Studi Ma'anil Qur'an tentang Poligami


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ayat al-Qur’an tentang Poligami
Berangkat dari sebuah ayat al-Quran surat al-Nisa ayat 3   

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” (Q.S. An-Nisa/4: 3)
1.      Al I’rab
فِي الْيَتَامَى               : menghilangkan mudhaf (الْيَتَامَى نكَاح فِي)
مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ     : mansub karena badal dari  مَا
فَوَاحِدَةً                    : artinya (وَاحِدَةً فَانْكِحُوا) jawab syarat dari (فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا). Dapat pula dibaca rafa’ sebagai khabar dari mubtada’ yang mahdzuf (dibuang) dengan lafadz (فهي واحدة) atau sebagai mubtada’ yang khabarnya dibuang (أة واحدة تقنع فامر). Adapun yang petama disebutkan lebih utama.


1.      Al-Mufradat al-Lughawiyah
تُقْسِطُوا                     : berlaku adil, tidak berbuat zalim. Lafadz (قسط أ) bermakna (عدل   artinya berbuat adil,[1] sebagaimana Firman Allah swt surat al-Hujurat ayat 9 yang berbunyi:
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Sedangkan lafadz (قسط) artinya (جار) sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Jin ayat 15 berikut ini :
وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا
مَا طَابَ لَكُمْ                : hati yang condong di antara para wanita
مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ      : lafadz bilangan yang merupakan peralihan dari kata 2, 3, dan 4
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا      : pada mereka dalam hal nafkah dan pembagian dalam bergaul dan bermalam
فَوَاحِدَةً                     : nikahilah satu saja
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ      : cukuplah bagi kalian atas budak-budak, jika mereka tidak memiliki hak atas suami-suami mereka
ذَلِكَ                                     : artinya nikah 4 isteri saja atau satu saja
أَدْنَى                        : lebih dekat kepada
أَلَّا تَعُولُوا                  : akan tidak berbuat lalim, artinya itu lebih dekat pada peniadaan kelaliman

B.     Asbabun-Nuzul Ayat
1.      Diriwayatkan oleh al-Bukhāri, Muslim, al-Nasāi, al-Baiḥaqi, dan selain mereka dari ‘Urwah bin Zubair bahwasanya ia bertanya kepada ‘Aisyah r.a. tentang ayat ini, lalu ‘Aisyah r.a. berkata: “Wahai anak saudariku, anak perempuan yatim ini berada dalam asuhan walinya, lalu walinya tertarik pada kekayaan dan kecantikannya. Dia menginginkan untuk menikahinya dengan mahar yang kurang dari wantia sepadannya, maka hal itu dilarang kecuali ia memberi mahar sesuai umumnya wanita yang sepadan dia. Lalu ia diperintahkan untuk menikahi wanita lain boleh sampai bilangan 4 wanita.[2]
2.      Sa’id bin Jubair, Qatādah, Ruba’i, Ḍaḥḥāk, dan al-Suddiy berkata : Para lelaki saat itu sangat serius dalam mengurus harta anak yatim dan mendapatkan kemudahan dalam hal wanita, mereka menikahi  banyak wanita dan kadang berbuat adil, namun terkadang tidak bisa berbuat adil, lalu mereka bertanya tentang anak yatim, lalu turunlah surat al-nisa ayat 2 :“Dan berikanlah oleh kalian harta-harta mereka”. Allah swt menurunkan pula surat al-Nisa ayat 3 : “Dan jika kalian khawatir akan tidak mampu berbuat adil terhadap anak yatim”. Sebagaimana kalian khawatir terhadap anak yatim, maka khawatirlah kalian pada para wanita akan tidak mampu berbuat adil, maka nikahilah (wanita) yang memungkinkan kalian untuk menegakkan hak mereka, karena wanita itu lemah seperti anak yatim. Ini merupakan perkataan Ibnu Abbas pada riwayat al-Walibi (Ali bin Rabi’ah bin Nadhlah).[3]





C.    Penafsiran Ayat
  1. Penafsiran Wahbah al-Zuhaili tentang Surat al-Nisa ayat 3
Maksud dan tujuan diturunkannya ayat ini menurut Wahbah al-Zuhaili adalah keterangan tentang menikahi wanita yang bukan yatim, artinya adalah apabila seseorang khawatir tidak akan memberikan mahar yang semestinya ketika menikahi wanita yang berada dalam asuhannya, maka hendaklah ia berbuat adil pada wanita selainnya, karena jumlah wanita itu sangat banyak dan Allah swt, tidak menyempitkan akan hal itu.[4]
Wahbah al-Zuhaili menafsirkan perintah yang berbunyi (فَانْكِحُوا) sebagai suatu pembolehan (للإ باحة) atau hukumnya boleh,[5] sebagaimana Firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 187 (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا),  bahwa hal itu bisa menunjukkan kewajiban (للوجوب), artinya wajib meringkas atau membatasi atas jumlah yang telah ditentukan oleh lafadz selanjutnya (مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ), yaitu berjumlah 2 atau 3 atau 4 orang isteri,[6] namun beliau berpendapat bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban untuk menikah menurut jumlah tersebut.
Dalam ayat tersebut, Islam membolehkan memiliki isteri lebih dari satu, dengan pembatasan maksimal empat orang isteri, dengan ditunjukkan dengan lafadz (مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ). Lafadz tersebut menunjukkan bahwa (مَثْنَى) itu menunjukkan 2 orang isteri, lafadz (ثُلَاثَ) menunjukkan 3 orang isteri, dan lafadz (رُبَاعَ) menunjukkan 4 orang isteri. Adapun yang dimaksud itu semua adalah adanya izin bagi tiap orang yang akan menikahi isteri sesuai jumlah tersebut, baik mereka setuju ataupun menolak. Isteri yang berjumlah 4 adalah batasan maksimal yang diperuntukkan bagi seorang suami yang akan berpoligami, karena hal itu dapat memungkinkan adanya keadilan antara isteri-isteri.[7]
Mengenai lafadz (فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا), Wahbah al-Zuhaili berpendapat dalam tafsirnya, bahwa jika seseorang itu khawatir tidak akan mampu berbuat adil, maka nikahilah hanya seorang saja, karena orang yang dibolehkan untuk berpoligami atau beristeri lebih dari satu adalah orang yang yakin terhadap dirinya akan mewujudkan keadilan yang telah diperintahkan padanya secara jelas dalam al- Quran surat al-Nisa ayat 129 berikut ini:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa seseorang tidak akan bisa berbuat adil, tidak bisa berbuat adil di sini adalah tentang kecondongan hati. Seseorang mungkin bisa adil dalam pembagian harta, bergaul ataupun memberikan jatah bermalam di rumah istri masing-masing, namun untuk hal yang satu ini, manusia tidak akan bisa berbuat adil.
Dalam ayat yang sama, terdapat lafadz (أَلَّا تَعُولُوا). Wahbah al-Zuhaili mengartikan lafadz tersebut dengan (ألا تجور) yang atinya akan tidak berbuat lalim. Pendapat beliau merujuk pada pendapat Imam al-Syafi’i tentang lafadz tersebut, yaitu (بألا تكثر عيالكم)  yang artinya dengan tidak memperbanyak kelaliman kalian. Wahbah al-Zuhaili berpendapat, bahwa adanya kelaliman tersebut, merupakan sebab pensyariatan untuk memiliki isteri satu saja, di dalamnya terdapat pula perintah untuk berbuat adil di antara para isteri-isteri. Keadilan yang dituntut di antara para isteri adalah yang bersifat jasmani atau materi, seperti pembagian jatah bermalam di rumah isteri-isteri, penyama rataan  dalam nafkah atau ma’isyah, baik itu makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, sedangkan keadilan yang bersifat tersembunyi atau perkara hati, seperti kecondongan hati dan kecintaan tidak dituntut, karena hal itu bukan termasuk dalam kemampuan manusia dan tidak termasuk dalam batas kemampuannya pula.[8]
Wahbah al-Zuhaili menguatkan pula, bahwa permasalahan hati tidak bisa dibagi secara adil kepada isteri-isteri, sebagaimana Rasulullah saw. lebih condong hatinya kepada ‘Aisyah r.a. dari pada isteri lainnya sebagaimana hadis dari ‘Aisyah berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم- يَقْسِمُ فَيَعْدِلُ وَيَقُولُ  اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِى فِيمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِى فِيمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ[9]
Dari ‘Aisyah r.a. berkata, bahwasanya Rasulullah saw. membagi dan berbuat adil, lalu beliau bersabda : “Ya Allah ini adalah pembagianku terhadap apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki tetapi tidak aku miliki.” (H.R. Abu Daud)
Dalam menafsirkan QS. an-Nisa/4:2, hendaklah memperhatikan ayat sebelumnya, yaitu tentang anak-anak yatim dan memakan harta mereka sebagian dari dosa besar. Karena para wali itu takut dosa besar akan menimpa mereka disebabkan  tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim, mereka sangat waspada dan keluar dari tanggung jawab memelihara anak yatim.
Permasalahan yang sering dipertanyakan adalah fungsi huruf wau dalam ayat tersebut. ada yang menganggap bahwa huruf wau  itu dapat dipahami menjadi penjumlahan. Sebenarnya wau pada ayat ini berfungsi sebagai badal. Inilah yang membedakan antara kata penghubung (a’taf) wau dengan au. Kalau menggunakan au, maka orang yang berpoligami 3 tidak dapat menambah 1 menjadi 4, karena au menunjukkan pilihan salah satu dari sekian pilihan. Sementara jika ‘atafnya wau menunjukkan bahwa orang yang beristri 1 dapat menjadi 1 menjadi 2 dan seterusnya.
Hubungan antara Qs. an-Nisa/4: 3 dengan Qs. an-Nisa/4:129 menimbulkan banyak penafsiran. Ada kalangan yang menganggap bahwa Qs. an-Nisa/4:129 ini seharusnya menjadi penjelasan lanjutan tentang ayat 3 yang membolehkan poligami. Bahwa seorang yang berpoligami tidak dapat berlaku adil, dan jalan keluarnya adalah janganlah kalian terlalu condong (perasaan cinta) pada salah satu istrimu dan mengabaikan yang lainnya. Karena keadilan yang dimaksud adalah pembagian waktu dan harta bukanlah cinta. Atau tidak condong secara penuh kepada salah satunya.
Sementara ulama yang lain mengemukakan QS. an-Nisa/4:129 tersebut sebagai penjelasan larangan poligami. Karena poligami disyaratkan suami dapat berlaku adil (QS. an-Nisa/4:3), sementara al-Qur’an menegaskan bahwa mustahil bagi seseorang dapat berlaku adil dalam poligami (QS. an-Nisa/4:129). Inilah alasan pemerintah Tunisia mengharamkan poligami karena menurutnya sejarah panjang telah menjelaskan bahwa seseorang tidak mampu berlaku adil dalam poligami bahkan al-Qur’an menegaskan hal itu.[10]
2.      Penafsiran at-Tabari
Dalam konteks penafsiran at-Tabari terlihat kaitan erat antara poligami dengan persoalan anak yatim dalam QS. an-Nisa/4:3 tersebut. Hal ini memberikan petunjuk bahwa langkah yang paling efektif dalam berbuat baik untuk anak yatim adalah dengan mengawini ibunya. Karena dengan mengawini janda-janda tersebut berarti anak-anak mereka menjadi tanggungan suaminya (bapak tiri mereka). Tindakan ini mendapat dua keutamaan sekaligus, yaitu memelihara anak yatim dan mengentaskan kemiskinan. Dalam kerangka inilah, poligami yang dibolehkan dengan mengawini anak yatim atau janda dalam kondisi perang dengan syarat adil. Adapun pada saat normal pernikahan harus bersifat monogami.[11]

3.      Penafsiran Quraish Shihab
Quraish dalam tafsir al-Misbah memberikan analisis yang berbeda. Dia tidak melihat ayat di atas dalam pengaturan konteks pengaturan soal poligami. Alasannya, sebelum Islam telah ada praktik poligami. Juga, ayat ini tidak berbicara tentang anjuran poligami apalagi mewajibkannya, tetapi hanya sebatas kebolehan poligami. Itupun merupkan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dengan syarat yang amat berat. Dari arah ini, Quraish memandang poligami bukan dari segi ideal atau baik buruknya, tetapi dari segi penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.[12] Di samping itu, Quraish juga menolak orang yang berpoligami dengan alasan mengikuti sunnah Rasul. Menurutnya, tidak semua sunnah Rasul perlu diteladani.[13]
4.      Pemikiran Nurjannah
Sementara Nurjannah dalam Perempuan dalam Pasungan mengikuti alur pemikiran Syahrur bahwa pada dasarnya spirit al-Qur’an tidaklah terletak pada poligami sebagai suatu bentuk pernikahan, tetapi bagaimana problem kemanusiaan, yang hal ini berupa problem anak-anak yatim dan janda-janda yang perlu penanganan. Seandainya pelaksanaan poligami itu tidak berfungsi memecahkan problem-problem sosial kemanusiaan, atau bahkan justru menimbulkan masalah-masalah sosial, maka praktik poligami telah teluar dari spirit al-Qur’an.[14]
Syariat poligami yang diajarkan al-Qur’an adalah berasas pada jalb al-masalih (menciptakan kemaslahatan). Jika praktik poligami bahkan bisa menimbulkam kemafsadatan atau kerusakan, maka hal itu harus ditinggalkan. Karena dalam kaedah usul dikatakan dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbu al-masalih (menolak kemafsadatan harus diutamakan ketimbang menciptakan kemaslahatan).[15]
5.      Pemikiran Qasim Amin
Qasim Amin adalah tokoh yang menentang praktek poligami. Menurutnya, poligami adalah bentuk penindasan terselubung laki-laki terhadap perempuan. Sebab, naluri perempuan tidak menerima untuk dipoligami sebagaimana laki-laki tidak menghendaki dipoliandri. Perempuan yang menyaksikan suaminya bersama dengan perempuan lain akan mengalami dua kemungkinan; Pertama, ikhlas menerima kenyataan tersebut dan membiarkan api dalam dadanya membara dan sewaktu-waktu dia cicipi; Kedua, penuh keridhaan menerima kenyataan tersebut dan cita-citanya menjadi isteri telah hancur lebur.[16]
6.      Penafsiran Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh
Rasyid Ridha memahami konsep poligami dalam al-Qur’an tidak menjadi primer (al-asalah) dalam pembicaraan al-Qur’an akan tetapi sebagai wacana sekunder (al-tab’i) yang terbonceng dalam wacana perintah untuk memperlakukan anak yatim dengan baik. Muhammad Abduh mengedepankan konsep dar’u al-mafasid muqaddam ala jalbi al-masalih untuk tidak membolehkan poligami. Dia menyerukan kepada ulama (khususnya di Mesir ketika itu) untuk mengevaluasi kebolehan poligami. Mesir adalah Negara yang menjadikan mazhab Abu Hanifah  sebagai mazhab Negara. Dia katakan bahwa hendaknya mereka mengkaji ulang Undang-Undang poligami, di tangan merekalah hukum berada. Mereka pasti mengetahui bahwa agama diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia dan diantara prinsip agama adalah mencegah dan memberantas kemudharatan. Kemudharatan yang terjadi akibat poligami yang ada saat ini boleh jadi belum terjadi pada zaman dulu, akan tetapi munculnya kemudharatan itu menjadikan hukum dapat ditinjau ulang dengan mendasarkan pada kaidah yang masyur dar’u al-mafasid muqaddam ala jalbi al-masalih. Dengan demikian, poligami adalah haram secara khawatir ketika khawatir untuk tidak dapat berbuat adil.[17] Abduh tetap mengakui poligami pada dasarnya adalah ajaran agama. Hanya saja ‘illat yang mengitari poligami telah hilang bahkan berganti menjadi kemudharatan. Kondisi masyarakat Mesir menjadikan poligami sebagai lembaga untuk menindas perempuan. Hal inilah yang dianggap Abduh sebagai kondisi yang harus diperbaiki.[18]













BAB III
Kesimpulan

Al-Qur’an berbicara poligami dengan memadukannya antara kebolehan dan larangannya (Qs. an-Nisa/4: 3dan 129). Ayat ini menjelaskan keharusan beristri satu apabila ragu untuk berbuat adi di antara istri-istrinya apabila berpoligami lalu ayat lain menjelaskan bahwa sifat keadilan bagi suami adalah mustahil.
Prinsip dasar Islam tentang pernikahan adalah monogami, meskipun membolehkan poligami yang tidak dapat menimbulkan malapetaka baik untuk yang berpoligami maupun terhadap perempuan dengan sejumlah syarat yang ketat. Poligami dalam ayat tersebut terbatas sebagai irsyad (petunjuk) bukan al-i’lam (anjuran). Sebagaimana al-Qur’an tidak memutlakannya, tapi membatasainya menjadi empat dengan syarat adil yang membedakannya dengan syarat lain tanpa pembatasan. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, kebolehan tersebut menjadi hilang. Karena persyaratan yang ketat inilah mendorong kalangan modernis untuk merekomendasikan perkawinan ideal menurut al-Qur’an adalah monogamy.
Pada prinsipnya ayat ini membolehkan poligami sebagai suatu hukum agama yang dapat saja berbentuk haram, sunnah, mubah, makruh, dan halal sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya baik berupa kemaslahatan maupun kemudharatan. Apabila poligami telah memunculkan persoalan yang merusak tatanan masyarakat, penguasa dapat menjadikan poligami sebagai hal yang haram.




BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran


Daftar Pustaka
Munawwir , Ahmad Warson. 1997. Kamus al Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif

Al Zuhaili,  Wahbah. 2005. Tafsῑr al-Munῑr,. Dār al Fikr. Juz II.

Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani, Abu Daud. Tt. Sunan Abi Daud. Juz II Bab al-Qasmi Baina al-Nisa.

Hasan, Hamka. 2009. Tafsir Jender Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat depag.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, jilid II
Shihab, Quraish. 2005. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati.
Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, jilid IV
K. Ali, 1996. Sejarah Islam “Tarikh Modern”. Jakarta: Raja Grafindo Persada..




[1] Ahmad Warson Munawwir, 1997. Kamus al Munawwir,(Surabaya: Pustaka Progresif). Hlm. 905.

[2] Wahbah al Zuhaili, Tafsῑr al-Munῑr, 2005, Juz II, hlm. 566
[3] Wahbah al-Zuhaili, Tafsῑr al-Munῑr, 2005, Juz II, hlm. 566

[4] Wahbah al-Zuhaili, Tafsῑr al-Munῑr, 2005, Juz II, hlm. 567
[5] Ibid.
[6] Wahbah al-Zuhaili, Tafsῑr al-Munῑr, 2005, Juz II, hlm. 567
[7] Wahbab al-Zuhaili, Ta’addud al-Zaujāt, al-Mabda’ wa al-Nadhariyyah wa al-Taṭbῑq, 2000 , hlm. 10.

[8] Ibid. hlm. 568-569.
[9] Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abi Daud, tt, Juz II Bab al-Qasmi Baina al-Nisa, hlm. 208.

[10] Hamka Hasan, Tafsir Jender Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat depag, 2009), hal. 258
[11] Ibid, hal. 259.
[12]  Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid II, hal. 324-325
[13] Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal 169.
[14] Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan, hal. 230.
[15] Ibid
[16] Hamka Hasan, loc. It., hal. 266.
[17] Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, jilid IV, hal. 284
[18] Ibid. 285

0 comments: