BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ayat al-Qur’an
tentang Poligami
Berangkat dari
sebuah ayat al-Quran surat al-Nisa ayat 3
“Dan
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang
kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” (Q.S.
An-Nisa/4: 3)
1.
Al I’rab
فِي الْيَتَامَى
: menghilangkan mudhaf (الْيَتَامَى نكَاح فِي)
مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ : mansub karena badal dari مَا
فَوَاحِدَةً
: artinya (وَاحِدَةً فَانْكِحُوا) jawab syarat dari (فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا).
Dapat pula dibaca rafa’ sebagai khabar dari mubtada’ yang mahdzuf
(dibuang) dengan lafadz (فهي واحدة) atau sebagai mubtada’ yang khabarnya
dibuang (أة واحدة تقنع فامر). Adapun yang petama disebutkan lebih
utama.
1.
Al-Mufradat al-Lughawiyah
تُقْسِطُوا : berlaku adil, tidak berbuat zalim. Lafadz (قسط أ)
bermakna (عدل artinya
berbuat adil,[1]
sebagaimana Firman Allah swt surat al-Hujurat ayat 9 yang berbunyi:
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ
Sedangkan lafadz (قسط) artinya (جار) sebagaimana yang termaktub dalam surat
al-Jin ayat 15 berikut ini :
وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ
حَطَبًا
مَا طَابَ
لَكُمْ : hati yang condong di antara para wanita
مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
: lafadz bilangan
yang merupakan peralihan dari kata 2, 3, dan 4
فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا : pada mereka
dalam hal nafkah dan pembagian dalam bergaul dan bermalam
فَوَاحِدَةً : nikahilah satu saja
أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ : cukuplah bagi
kalian atas budak-budak, jika mereka tidak memiliki hak atas suami-suami mereka
ذَلِكَ
: artinya nikah 4
isteri saja atau satu saja
أَدْنَى
: lebih dekat
kepada
أَلَّا
تَعُولُوا
: akan tidak berbuat
lalim, artinya itu lebih dekat pada peniadaan kelaliman
B.
Asbabun-Nuzul
Ayat
1.
Diriwayatkan oleh al-Bukhāri, Muslim, al-Nasāi,
al-Baiḥaqi, dan selain mereka dari ‘Urwah bin Zubair bahwasanya ia bertanya
kepada ‘Aisyah r.a. tentang ayat ini, lalu ‘Aisyah r.a. berkata: “Wahai anak
saudariku, anak perempuan yatim ini berada dalam asuhan walinya, lalu walinya
tertarik pada kekayaan dan kecantikannya. Dia menginginkan untuk menikahinya
dengan mahar yang kurang dari wantia sepadannya, maka hal itu dilarang kecuali
ia memberi mahar sesuai umumnya wanita yang sepadan dia. Lalu ia diperintahkan
untuk menikahi wanita lain boleh sampai bilangan 4 wanita.[2]
2.
Sa’id bin Jubair, Qatādah, Ruba’i, Ḍaḥḥāk, dan
al-Suddiy berkata : Para lelaki saat itu sangat serius dalam mengurus harta
anak yatim dan mendapatkan kemudahan dalam hal wanita, mereka menikahi
banyak wanita dan kadang berbuat adil, namun terkadang tidak bisa berbuat adil,
lalu mereka bertanya tentang anak yatim, lalu turunlah surat al-nisa ayat 2
:“Dan berikanlah oleh kalian harta-harta mereka”. Allah swt menurunkan pula
surat al-Nisa ayat 3 : “Dan jika kalian khawatir akan tidak mampu berbuat adil
terhadap anak yatim”. Sebagaimana kalian khawatir terhadap anak yatim, maka
khawatirlah kalian pada para wanita akan tidak mampu berbuat adil, maka
nikahilah (wanita) yang memungkinkan kalian untuk menegakkan hak mereka, karena
wanita itu lemah seperti anak yatim. Ini merupakan perkataan Ibnu Abbas pada
riwayat al-Walibi (Ali bin Rabi’ah bin Nadhlah).[3]
C.
Penafsiran Ayat
- Penafsiran Wahbah al-Zuhaili tentang Surat al-Nisa ayat 3
Maksud dan tujuan diturunkannya ayat ini
menurut Wahbah al-Zuhaili adalah keterangan tentang menikahi wanita yang bukan
yatim, artinya adalah apabila seseorang khawatir tidak akan memberikan mahar
yang semestinya ketika menikahi wanita yang berada dalam asuhannya, maka
hendaklah ia berbuat adil pada wanita selainnya, karena jumlah wanita itu
sangat banyak dan Allah swt, tidak menyempitkan akan hal itu.[4]
Wahbah al-Zuhaili menafsirkan perintah yang
berbunyi (فَانْكِحُوا) sebagai suatu pembolehan (للإ
باحة) atau hukumnya boleh,[5]
sebagaimana Firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 187 (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا), bahwa hal itu bisa menunjukkan kewajiban (للوجوب),
artinya wajib meringkas atau membatasi atas jumlah yang telah ditentukan oleh
lafadz selanjutnya (مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ), yaitu berjumlah 2 atau 3 atau 4 orang
isteri,[6]
namun beliau berpendapat bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban untuk menikah
menurut jumlah tersebut.
Dalam ayat tersebut, Islam membolehkan memiliki
isteri lebih dari satu, dengan pembatasan maksimal empat orang isteri, dengan
ditunjukkan dengan lafadz (مَثْنَى وَثُلَاثَ
وَرُبَاعَ). Lafadz
tersebut menunjukkan bahwa (مَثْنَى) itu menunjukkan 2 orang isteri, lafadz (ثُلَاثَ)
menunjukkan 3 orang isteri, dan lafadz (رُبَاعَ) menunjukkan 4 orang isteri. Adapun yang
dimaksud itu semua adalah adanya izin bagi tiap orang yang akan menikahi isteri
sesuai jumlah tersebut, baik mereka setuju ataupun menolak. Isteri yang
berjumlah 4 adalah batasan maksimal yang diperuntukkan bagi seorang suami yang
akan berpoligami, karena hal itu dapat memungkinkan adanya keadilan antara
isteri-isteri.[7]
Mengenai lafadz (فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا),
Wahbah al-Zuhaili berpendapat dalam tafsirnya, bahwa jika seseorang itu
khawatir tidak akan mampu berbuat adil, maka nikahilah hanya seorang saja,
karena orang yang dibolehkan untuk berpoligami atau beristeri lebih dari satu
adalah orang yang yakin terhadap dirinya akan mewujudkan keadilan yang telah
diperintahkan padanya secara jelas dalam al- Quran surat al-Nisa ayat 129
berikut ini:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ
النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa seseorang tidak
akan bisa berbuat adil, tidak bisa berbuat adil di sini adalah tentang
kecondongan hati. Seseorang mungkin bisa adil dalam pembagian harta, bergaul
ataupun memberikan jatah bermalam di rumah istri masing-masing, namun untuk hal
yang satu ini, manusia tidak akan bisa berbuat adil.
Dalam ayat yang sama, terdapat lafadz (أَلَّا تَعُولُوا). Wahbah al-Zuhaili mengartikan lafadz tersebut dengan (ألا تجور)
yang atinya akan tidak berbuat lalim. Pendapat beliau merujuk pada pendapat
Imam al-Syafi’i tentang lafadz tersebut, yaitu (بألا
تكثر عيالكم) yang
artinya dengan tidak memperbanyak kelaliman kalian. Wahbah al-Zuhaili
berpendapat, bahwa adanya kelaliman tersebut, merupakan sebab pensyariatan
untuk memiliki isteri satu saja, di dalamnya terdapat pula perintah untuk
berbuat adil di antara para isteri-isteri. Keadilan yang dituntut di antara
para isteri adalah yang bersifat jasmani atau materi, seperti pembagian jatah
bermalam di rumah isteri-isteri, penyama rataan dalam nafkah atau ma’isyah,
baik itu makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, sedangkan keadilan yang
bersifat tersembunyi atau perkara hati, seperti kecondongan hati dan kecintaan
tidak dituntut, karena hal itu bukan termasuk dalam kemampuan manusia dan tidak
termasuk dalam batas kemampuannya pula.[8]
Wahbah al-Zuhaili menguatkan pula, bahwa
permasalahan hati tidak bisa dibagi secara adil kepada isteri-isteri,
sebagaimana Rasulullah saw. lebih condong hatinya kepada ‘Aisyah r.a. dari pada
isteri lainnya sebagaimana hadis dari ‘Aisyah berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم- يَقْسِمُ فَيَعْدِلُ
وَيَقُولُ اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِى فِيمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِى فِيمَا
تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ[9]
Dari ‘Aisyah r.a. berkata, bahwasanya
Rasulullah saw. membagi dan berbuat adil, lalu beliau bersabda : “Ya Allah ini
adalah pembagianku terhadap apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau
mencelaku pada apa yang Engkau miliki tetapi tidak aku miliki.” (H.R. Abu Daud)
Dalam menafsirkan QS. an-Nisa/4:2, hendaklah
memperhatikan ayat sebelumnya, yaitu tentang anak-anak yatim dan memakan harta
mereka sebagian dari dosa besar. Karena para wali itu takut dosa besar akan
menimpa mereka disebabkan tidak mampu
berlaku adil terhadap anak-anak yatim, mereka sangat waspada dan keluar dari
tanggung jawab memelihara anak yatim.
Permasalahan yang sering dipertanyakan adalah
fungsi huruf wau dalam ayat tersebut. ada yang menganggap bahwa huruf wau
itu dapat dipahami menjadi penjumlahan.
Sebenarnya wau pada ayat ini berfungsi sebagai badal. Inilah yang
membedakan antara kata penghubung (a’taf) wau dengan au. Kalau
menggunakan au, maka orang yang berpoligami 3 tidak dapat menambah 1
menjadi 4, karena au menunjukkan pilihan salah satu dari sekian pilihan.
Sementara jika ‘atafnya wau menunjukkan bahwa orang yang beristri
1 dapat menjadi 1 menjadi 2 dan seterusnya.
Hubungan antara Qs. an-Nisa/4: 3 dengan Qs.
an-Nisa/4:129 menimbulkan banyak penafsiran. Ada kalangan yang menganggap bahwa
Qs. an-Nisa/4:129 ini seharusnya menjadi penjelasan lanjutan tentang ayat 3
yang membolehkan poligami. Bahwa seorang yang berpoligami tidak dapat berlaku
adil, dan jalan keluarnya adalah janganlah kalian terlalu condong (perasaan
cinta) pada salah satu istrimu dan mengabaikan yang lainnya. Karena keadilan
yang dimaksud adalah pembagian waktu dan harta bukanlah cinta. Atau tidak
condong secara penuh kepada salah satunya.
Sementara ulama yang lain mengemukakan QS.
an-Nisa/4:129 tersebut sebagai penjelasan larangan poligami. Karena poligami
disyaratkan suami dapat berlaku adil (QS. an-Nisa/4:3), sementara al-Qur’an
menegaskan bahwa mustahil bagi seseorang dapat berlaku adil dalam poligami (QS.
an-Nisa/4:129). Inilah alasan pemerintah Tunisia mengharamkan poligami karena
menurutnya sejarah panjang telah menjelaskan bahwa seseorang tidak mampu
berlaku adil dalam poligami bahkan al-Qur’an menegaskan hal itu.[10]
2.
Penafsiran at-Tabari
Dalam konteks penafsiran at-Tabari terlihat
kaitan erat antara poligami dengan persoalan anak yatim dalam QS. an-Nisa/4:3
tersebut. Hal ini memberikan petunjuk bahwa langkah yang paling efektif dalam
berbuat baik untuk anak yatim adalah dengan mengawini ibunya. Karena dengan
mengawini janda-janda tersebut berarti anak-anak mereka menjadi tanggungan
suaminya (bapak tiri mereka). Tindakan ini mendapat dua keutamaan sekaligus,
yaitu memelihara anak yatim dan mengentaskan kemiskinan. Dalam kerangka inilah,
poligami yang dibolehkan dengan mengawini anak yatim atau janda dalam kondisi
perang dengan syarat adil. Adapun pada saat normal pernikahan harus bersifat
monogami.[11]
3.
Penafsiran Quraish Shihab
Quraish dalam tafsir al-Misbah memberikan
analisis yang berbeda. Dia tidak melihat ayat di atas dalam pengaturan konteks
pengaturan soal poligami. Alasannya, sebelum Islam telah ada praktik poligami.
Juga, ayat ini tidak berbicara tentang anjuran poligami apalagi mewajibkannya,
tetapi hanya sebatas kebolehan poligami. Itupun merupkan pintu kecil yang hanya
dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dengan syarat yang amat berat. Dari
arah ini, Quraish memandang poligami bukan dari segi ideal atau baik buruknya,
tetapi dari segi penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.[12]
Di samping itu, Quraish juga menolak orang yang berpoligami dengan alasan
mengikuti sunnah Rasul. Menurutnya, tidak semua sunnah Rasul perlu diteladani.[13]
4.
Pemikiran Nurjannah
Sementara Nurjannah dalam Perempuan dalam
Pasungan mengikuti alur pemikiran Syahrur bahwa pada dasarnya spirit
al-Qur’an tidaklah terletak pada poligami sebagai suatu bentuk pernikahan,
tetapi bagaimana problem kemanusiaan, yang hal ini berupa problem anak-anak
yatim dan janda-janda yang perlu penanganan. Seandainya pelaksanaan poligami
itu tidak berfungsi memecahkan problem-problem sosial kemanusiaan, atau bahkan
justru menimbulkan masalah-masalah sosial, maka praktik poligami telah teluar
dari spirit al-Qur’an.[14]
Syariat poligami yang diajarkan al-Qur’an
adalah berasas pada jalb al-masalih (menciptakan kemaslahatan). Jika
praktik poligami bahkan bisa menimbulkam kemafsadatan atau kerusakan, maka hal
itu harus ditinggalkan. Karena dalam kaedah usul dikatakan dar’u al-mafasid
muqaddam ‘ala jalbu al-masalih (menolak kemafsadatan harus diutamakan
ketimbang menciptakan kemaslahatan).[15]
5.
Pemikiran Qasim Amin
Qasim Amin adalah tokoh yang menentang praktek
poligami. Menurutnya, poligami adalah bentuk penindasan terselubung laki-laki
terhadap perempuan. Sebab, naluri perempuan tidak menerima untuk dipoligami
sebagaimana laki-laki tidak menghendaki dipoliandri. Perempuan yang menyaksikan
suaminya bersama dengan perempuan lain akan mengalami dua kemungkinan; Pertama,
ikhlas menerima kenyataan tersebut dan membiarkan api dalam dadanya membara dan
sewaktu-waktu dia cicipi; Kedua, penuh keridhaan menerima kenyataan tersebut
dan cita-citanya menjadi isteri telah hancur lebur.[16]
6.
Penafsiran Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh
Rasyid Ridha memahami konsep poligami dalam
al-Qur’an tidak menjadi primer (al-asalah) dalam pembicaraan al-Qur’an
akan tetapi sebagai wacana sekunder (al-tab’i) yang terbonceng dalam
wacana perintah untuk memperlakukan anak yatim dengan baik. Muhammad Abduh
mengedepankan konsep dar’u al-mafasid muqaddam ala jalbi al-masalih untuk
tidak membolehkan poligami. Dia menyerukan kepada ulama (khususnya di Mesir
ketika itu) untuk mengevaluasi kebolehan poligami. Mesir adalah Negara yang
menjadikan mazhab Abu Hanifah sebagai
mazhab Negara. Dia katakan bahwa hendaknya mereka mengkaji ulang Undang-Undang
poligami, di tangan merekalah hukum berada. Mereka pasti mengetahui bahwa agama
diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia dan diantara prinsip agama adalah
mencegah dan memberantas kemudharatan. Kemudharatan yang terjadi akibat
poligami yang ada saat ini boleh jadi belum terjadi pada zaman dulu, akan
tetapi munculnya kemudharatan itu menjadikan hukum dapat ditinjau ulang dengan
mendasarkan pada kaidah yang masyur dar’u al-mafasid muqaddam ala jalbi
al-masalih. Dengan demikian, poligami adalah haram secara khawatir ketika
khawatir untuk tidak dapat berbuat adil.[17]
Abduh tetap mengakui poligami pada dasarnya adalah ajaran agama. Hanya saja ‘illat
yang mengitari poligami telah hilang bahkan berganti menjadi kemudharatan.
Kondisi masyarakat Mesir menjadikan poligami sebagai lembaga untuk menindas
perempuan. Hal inilah yang dianggap Abduh sebagai kondisi yang harus
diperbaiki.[18]
BAB III
Kesimpulan
Al-Qur’an
berbicara poligami dengan memadukannya antara kebolehan dan larangannya (Qs.
an-Nisa/4: 3dan 129). Ayat ini menjelaskan keharusan beristri satu apabila ragu
untuk berbuat adi di antara istri-istrinya apabila berpoligami lalu ayat lain
menjelaskan bahwa sifat keadilan bagi suami adalah mustahil.
Prinsip dasar Islam tentang pernikahan adalah
monogami, meskipun membolehkan poligami yang tidak dapat menimbulkan malapetaka
baik untuk yang berpoligami maupun terhadap perempuan dengan sejumlah syarat
yang ketat. Poligami dalam ayat tersebut terbatas sebagai irsyad (petunjuk)
bukan al-i’lam (anjuran). Sebagaimana al-Qur’an tidak memutlakannya,
tapi membatasainya menjadi empat dengan syarat adil yang membedakannya dengan
syarat lain tanpa pembatasan. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, kebolehan
tersebut menjadi hilang. Karena persyaratan yang ketat inilah mendorong
kalangan modernis untuk merekomendasikan perkawinan ideal menurut al-Qur’an
adalah monogamy.
Pada prinsipnya ayat ini membolehkan poligami
sebagai suatu hukum agama yang dapat saja berbentuk haram, sunnah, mubah,
makruh, dan halal sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya baik berupa
kemaslahatan maupun kemudharatan. Apabila poligami telah memunculkan persoalan
yang merusak tatanan masyarakat, penguasa dapat menjadikan poligami sebagai hal
yang haram.
BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran
Daftar Pustaka
Munawwir , Ahmad Warson. 1997. Kamus al
Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif
Al
Zuhaili, Wahbah. 2005. Tafsῑr
al-Munῑr,. Dār al Fikr. Juz II.
Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani, Abu Daud.
Tt. Sunan Abi Daud. Juz II Bab al-Qasmi Baina al-Nisa.
Hasan, Hamka. 2009. Tafsir Jender
Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat depag.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah,
jilid II
Shihab, Quraish. 2005. Perempuan.
Jakarta: Lentera Hati.
Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, jilid
IV
K.
Ali, 1996. Sejarah Islam “Tarikh Modern”. Jakarta: Raja Grafindo Persada..
[5] Ibid.
[7] Wahbab al-Zuhaili, Ta’addud al-Zaujāt, al-Mabda’ wa
al-Nadhariyyah wa al-Taṭbῑq, 2000 , hlm. 10.
[9] Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abi Daud,
tt, Juz II Bab al-Qasmi Baina al-Nisa, hlm. 208.
[10] Hamka Hasan, Tafsir Jender Studi Perbandingan
antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat depag,
2009), hal. 258
[11] Ibid, hal. 259.
[12] Quraish Shihab,
Tafsir al-Misbah, jilid II, hal. 324-325
[13] Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera
Hati, 2005), hal 169.
[14] Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan, hal. 230.
[15] Ibid
[16] Hamka Hasan, loc. It., hal. 266.
[17] Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, jilid IV, hal.
284
[18] Ibid. 285
0 comments:
Post a Comment