اَهْلاًوَسَهْلاً

Friday, 26 December 2014

Khalifah



1.      Hadits tentang Ghadir Khum
Hadis Ghadir Khum yang menunjukkan kepemimpinan Imam Ali adalah salah satu hadis shahih yang sering dijadikan hujjah oleh kaum Syiah dan ditolak oleh kaum Sunni. Kebanyakan mereka yang mengingkari hadis ini membuat takwilan-takwilan agar bisa disesuaikan dengan keyakinan mahzabnya. Padahal Imam Ali sendiri mengakui kalau hadis ini adalah hujjah bagi kepemimpinan Beliau. Hal ini terbukti dalam riwayat-riwayat yang shahih dimana Imam Ali ketika menjadi khalifah mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berbicara meminta kesaksian soal hadis Ghadir Khum.

عن سعيد بن وهب وعن زيد بن يثيع قالا نشد على الناس في الرحبة من سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم الا قام قال فقام من قبل سعيد ستة ومن قبل زيد ستة فشهدوا انهم سمعوا رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لعلي رضي الله عنه يوم غدير خم أليس الله أولى بالمؤمنين قالوا بلى قال اللهم من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه


Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari Ghadir Khum maka berdirilah?. Enam orang dari arah Sa’id pun berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. [Musnad Ahmad 1/118 no 950 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir]

        Sebagian orang membuat takwilan batil bahwa kata mawla dalam hadis Ghadir Khum bukan menunjukkan kepemimpinan tetapi menunjukkan persahabatan atau yang dicintai, takwilan ini hanyalah dibuat-buat. Jika memang menunjukkan persahabatan atau yang dicintai maka mengapa ada sahabat Nabi yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mendengar kata-kata Imam Ali di atas. Adanya keraguan di hati seorang sahabat Nabi menyiratkan bahwa Imam Ali mengakui hadis ini sebagai hujjah kepemimpinan. Maka dari itu sahabat tersebut merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya karena hujjah hadis tersebut memberatkan kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya. Sungguh tidak mungkin ada keraguan di hati sahabat Nabi kalau hadis tersebut menunjukkan persahabatan atau yang dicintai.

عن أبي الطفيل قال جمع علي رضي الله تعالى عنه الناس في الرحبة ثم قال لهم أنشد الله كل امرئ مسلم سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم ما سمع لما قام فقام ثلاثون من الناس وقال أبو نعيم فقام ناس كثير فشهدوا حين أخذه بيده فقال للناس أتعلمون انى أولى بالمؤمنين من أنفسهم قالوا نعم يا رسول الله قال من كنت مولاه فهذا مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه قال فخرجت وكأن في نفسي شيئا فلقيت زيد بن أرقم فقلت له انى سمعت عليا رضي الله تعالى عنه يقول كذا وكذا قال فما تنكر قد سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك له

Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya”.[Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini]


       Kata mawla dalam hadis ini sama halnya dengan kata waliy yang berarti pemimpin, kata waly biasa dipakai oleh sahabat untuk menunjukkan kepemimpinan seperti yang dikatakan Abu Bakar dalam khutbahnya. Inilah salah satu hadis Ghadir Khum dengan lafaz Waly.
2.      Hadits kepemimpinan yang mesti berasal dari suku Quraisy
Dalam kehidupan bernegara, kehadiran seorang pemimpin menjadi sesuatu yang sangat penting dalam rangka untuk menjaga berbagai stabilitas baik politik, ekonomi, keamanan, maupun sosial. Oleh sebab itu, setiap negara memiliki aturan yang mengatur tentang persyaratan menjadi seorang pemimpin. Dalam khasanah keilmuan politik dan pemerintahan Islam, istilah pemimpin dikenal dengan khalifah/amir/imam, dan segala sesuatu yang terkait dengan kinerja pemimpin dikenal dengan khilafah/imamah/imarah (kepemimpinan). Salah satu syarat yang ditentukan adalah syarat dari keturunan Quraisy. Dasar yang digunakan dalam memasukkan persyaratan Quraisy adalah hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa kepemimpinan dari suku Quraisy.
Hadis yang bersumber dari para imam hadis tersebut, dinilai tidak sesuai dengan logika dan nalar manusia. Bagaimana mungkin Nabi saw menyabdakan hadis yang bersifat primordinal-sektarian, sehingga mementingkan orang Quraisy? Bagaimana kaitannya dengan pesan Nabi saw yang mengharuskan orang-orang mukmin taat kepada pemimpin walaupun pemimpin tersebut dari budak Habsy?
Hadis tentang kepemimpinan dari Quraisy dapat ditemukan dalam kitab hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Salah satu hadis tersebut adalah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai berikut :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ سَهْلِ أَبِي الْأَسَدِ عَنْ بُكَيْرٍ الْجَزَرِيِّ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كُنَّا فِي بَيْتِ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَقَفَ فَأَخَذَ بِعِضَادَةِ الْبَابِ فَقَالَ الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ وَلَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقٌّ وَلَكُمْ مِثْلُ ذَلِكَ مَا إِذَا اسْتُرْحِمُوا رَحِمُوا وَإِذَا حَكَمُوا عَدَلُوا وَإِذَا عَاهَدُوا وَفَّوْا فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
Waki’menceritakan kepada kami (berkata) al-A’masy menceritakan kepada kami (yang berasal) dari Sahl Abi al-Asad (yang bersumber) dari Bukair al-Jazari (yang berasal) dari anas berkata : Kami (ketika) berada di rumah salah seorang sahabat Anshar, Nabi saw datang hingga berhenti kemudian memegang tiang pintu lalu bersabda :”Para imam (pemimpin) adalah dari Quraisy, Mereka memiliki hak atas kamu, dan kamu memiliki hal yang sama. Ketika kamu minta belas kasih mereka memberi belas kasih. Ketika mereka memerintah, mereka adil, dan ketika mereka berjanji, mereka menetapi. Barang siapa dari mereka yang tidak berbuat demikian maka laknat Allah dan Malaikat dan seluruh menusia untuk dia.

Respon terhadap hadis tersebut dari pendapat para ahli sangat beragam. Sebagian berpendapat bahwa hadis tersebut shahih dan merupakan dalil atas kekhususan al-khilafah untuk Quraisy. Sedang sebagian yang lain mengingkari hadis tersebut, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang tidak mengakui fanaticism atau ashabiyyah, dan juga tidak mengakui racialism atau unshuriyyah.
Mayoritas Ulama klasik memahami hadis ini secara tektual, artinya persyaratan keturunan Quraisy memang menjadi suatu keharusan bagi orang yang menjadi khilafah. Hal tersebut berangkat dari peristiwa terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah di Saqifah Bani Saídah.
Setelah umat Islam mengalami duka yang mendalam akibat wafatnya Rasulullah saw, sahabat Anshar segera menyelenggarakan pertemuan di Saqifah bani Saídah untuk mendiskusikan khalifah pengganti Rasulullah saw. Ketika berita tersebut terdengar oleh Úmar bin al-khaththab, ia menyampaikan hal ini kepada Abu Bakar al-Shiddiq.
Hampir di seuruh kitab Hadits meriwayatkan mengenai syaratnya seorang pemimpin dari suku quraisy, sehingga sebagian besar ulama bersepakat bahwa syarat tersebut menjadi hal yang mutlak untuk mengangkat khalifah.
Salah satu ulama yang sangat keras terhadap peraturan tersebut adalah Al-Mawardi, dia begitu tegas dan bersikukuh bahwa seorang khalifah harus daru suku Quraisy. Pendapat beliau di dasarkan pada peristiwa Abu Bakar Ra. ketika meminta orang-orang Anshar yang telah membaiat Sa’ad bin Ubadah untuk mundur dari jabatan Khalifah (Imamah) pada peristiwa saqifah karena berargumen dengan sabda Nabi;”Pemimpin-pemimpin berasal dari quraisy”. Kemudian orang-orang Anshar mengurungkan keinginannya terhadap jabatan Khalifah (Imamah) dan mundur aripadanya. Mereka berkata;”Para Gubernur dari kami dan dari kalian! Mereka tunduk kepada riwayat Abu Bakar dan membenarkan informasinya. Mereka menerima dengan lapag dada ucapan Abu Bakar Ra. “Para pemimpin berasal dari kamu, sedang menteri-menteri berasal dari kalian. Nabi bersabda;”Dahulukan orang quraisy, dan jangan kalian mendahuluinya”.[1]
Berbanding terbalik dengan pendapat syiah dan Khawarij, menurut syiah seseorang yang akan menjadi seorang khalifah haruslah dari keturunan Nabi. Sementara menurut kaum Khawarij dan sekelompok Mu’tazilah berkata;”Bisa saja Imam (pemimpin tertinggi) bukan Quraisy. Bahkan yang berhak memegang kepemimpinan adalah yang menegakan Kitab Allah dan Sunnah, baik dia Arab atau Ajam (non Arab). Dhihar bin Amr berlebihan hingga ia berkata,”mengangkat pemimpin selain Qurasy lebih utama karena lebih sedikit keluarganya maka jika menyimpang mudah menurunkannya”.[2]
3.      Kontekstualisasi dengan Zaman Sekarang
 Berdasarkan penjelasan kedua hadits di atas terkait dengan pembahasan Ghadir Khum dan kepemimpinan yang mesti berasal dari suku Quraisy menengandung ikhtisar terhadap kehidupan sekarang. Kemelut mengenai syarat syahnya seorang pemimpin yang di syaratkan dari keturunan Quraisy memang sudah menjadi isu hangat dan di jadikan bahan perdebatan yang panas sejak dulu hingga kini. Bahkan yang sangat parah lagi, di dalam sejarah perpolitikan Islam Hadits Nabi mengenai suku Quraisi ini selalu di jadikan legitimasi untuk meraih kekuasaan dengan menafikan keturunan non quraisy, salah satunya adalah Umayyah yang sangat marah sekali ketika mengetahui ada seorang pemimpin yang bukan dari Quraisy.
Menurut hemat penulis, Hadits Nabi mengenai suku Quraisy ini harus di kontekskan terlebih dahulu dengan kondisi sosial budaya pada waktu itu. maka jika telah di tarik ke ranah tersebut kita dapat mengetahui benang merah dari diskursus di atas.
Pada zaman awal-awal islam kondisi sosial budaya pada kala itu di dominasi dengan sistem kesukuan, baik itu dari fanatisme dan keagungan nasabnya. Suku Quraisy merupakan suku yang nasabnya paling mulia karena keturunan dari tokoh-tokoh dan orang suci serta terkenal sebagai suku yang sangat besar kekerabatannya serta sangat kuat tali persaudaraannya.
Oleh sebab itu, jika kita menafsirkan Hadits Rasul di atas secara ‘nyeleneh’ maka kita dapat menduga bahwa syarat seorang pemimpin harus dari suku Quraisy adalah sebagai simbol yang mempunyai makna tersendiri. Kemungkinan, Rasul pada kala itu mrnginginkan seorang pemimpin yang memiliki intelektualitas tinggi, kuat secara kekerabatan karena dengan hal itu tidak aka nada yang berani menentangnya, dan mulia secara Nasab sehingga dihormati oleh masyarakatanya. Syarat-syarat tersebut, pada waktu itu, hanya ada pada suku Quraisy tidak pada suku lainnya.
Maka dari itu, zaman sekarang apabila menerapkan sistem kekhalifahan tidaklah mungkin, karena setiap Negara terbagi dengan sekte-sekte yang mengatur Anggaran Dasar Rumah Tangga. Di samping itu dengan bertambahnya jumlah penduduk yang berbeda suku, superioritas darah, golongan, dan sebagainya. Tentunya harus dipegang oleh setiap pemimpin yang dipercaya rakyatnya. Meledaknya jumlah penduduk diiringi dengan kemajuan zaman, sehingga setiap wilayah merasa sudah mempunyai potensi maka sudah layaknya ada pemimpin dari negara masing masing, bukan hanya satu khilafah.



BACA JUGA : MOTi EXPONENT
Jasa Rental Perlengkapan Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran

[1] Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah, 2007), hlm. 4
[2] Al-Asqalani, Fathul Bari, hlm. 410

0 comments: